Subscribe:

Labels

Tuesday 1 November 2016

Pindah Rumah. . .


Setelah menimbang (berat badan), menilai (benar-salah), sambil memutuskan (mantan pacar), saya pikir sudah saatnya saya membuat rumah baru. Sejak pertama kali membuat blog, saya tidak pernah cukup serius menggarap kontennya. Tata bahasa yang kacau dan krisis identitas di blog ini mendorong saya untuk menggarap blog baru yang lebih "gue banget". Tentu saja dengan perbaikan konten di sana sini agar blog saya tidak membuat sakit para pengunjungnya.

At least, jika kalian berkenan, silahkan mampir ke rumah baru saya di sini

Monday 13 June 2016

Hikmah dan Romantisme Puasa


“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang- sebelum kamu,
agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 183)

Puasa, sebagaimana ibadah wajib lainnya bagi saya menyimpan romantisme tersendiri. Saya masih ingat pertama kali berpuasa, di mana saya perlu beberapa kali latihan sebelum bisa berpuasa penuh seharian. Saat saya bocah, saya harus melatih diri dengan “puasa bedug” (puasa setengah hari). Dalam puasa bedug, saya mulai berbuka pukul 12 atau ketika adzan Dzuhur berkumandang. Kemudian setelah jam 1 siang, saya melanjutkan puasa sampai waktu Maghrib.

Tentu saja tidak ada tuntunannya berpuasa seperti itu. Idealnya, kalau mau berlatih puasa ya langsung saja puasa penuh seharian. Tapi kadar makrifat setiap orang berbeda. Dan salah satu tahap makrifat saya terhadap ibadah puasa adalah dengan puasa bedug tersebut. Dengan kata lain, puasa bedug adalah salah satu “kelokan” perjalanan spiritual saya untuk mengenal ibadah puasa.

Ngomong-ngomong urusan ini jangan dilaporin ke MUI ya. Saya takut dianggap sesat, bid’ah, melecehkan agama, atau sejenisnya. Namanya juga “bocah”, ada masanya perlu melatih diri. Jadi tolong urusan ini jangan langsung dikontradiksikan dengan kajian fiqih. Toh setelah akil balig, saya tidak lagi puasa bedug. Alhamdulillaah…

Kembali ke persoalan puasa.

Saat saya bocah, salah satu hal yang paling berkesan di bulan puasa adalah sirine tanda berbuka puasa yang nyaring terdengar di radio. Saya senang sekali mendengarkan sirine tersebut. Berhubung kampung saya jarang didatangi mobil ambulans, suara sirine di radio terdengar keren dan spesial—karena hanya muncul setahun sekali selama bulan puasa. Karena itu, tidak heran jika saya sering menanti-nantikan bunyi sirine itu, sampai-sampai melakukan countdown dan memukul kentongan keras-keras begitu sirine berbunyi—sekedar ikut-ikutan memberi tanda berbuka puasa pada tetangga (masa bodoh jika ada tetangga yang bilang saya “norak”—namanya juga bocah).

Puluhan tahun berlalu, sejak saya berisik memukul kentongan tanda berbuka. Saya mulai terusik untuk menyelami hikmah-hikmah puasa. Saat saya bocah, saya tidak ambil pusing dengan makna puasa. Puasa hanya saya pahami sebagai aktivitas tidak makan dan tidak minum dari waktu Subuh hingga Maghrib. Sesederhana itu. Tapi ketika beranjak dewasa, saya mulai menyadari bahwa ternyata ibadah puasa tidak sesederhana itu. Puasa lebih dari sekedar larangan tidak boleh makan dan tidak boleh minum. Dalam ibadah puasa, terdapat unsur “pengendalian diri” yang sangat kental, baik pengendalian hawa nafsu maupun pengendalian emosi.

Dalam ibadah puasa, kita diharuskan untuk mengakrabkan diri dengan rasa lapar dan haus meski secara alamiah, kita menyenangi rasa kenyang. Bukankah hal ini mengherankan? Jika kita senang kenyang, mengapa kita diwajibkan untuk berlapar-lapar dari Subuh hingga Maghrib? Mengapa kita diharuskan “menderita” meski di sekitar kita tersedia begitu banyak hidangan untuk disantap?

Jika pembelajaran puasa kita berhenti pada pertanyaan ini, boleh jadi kita akan memilih untuk tidak berpuasa. Kenapa? Karena puasa itu tidak enak. Puasa itu menyiksa. Puasa malah bikin kepala pusing dan badan lemas. Bodoh banget kalau ada orang yang mau-maunya puasa.

Pemikiran semacam itu bisa saja muncul jika kita memaknai puasa sebatas larangan makan dan minum. Jika kita melihat puasa dari sisi lahiriahnya saja, maka memang itulah yang terlihat. Rasa lapar, haus, badan lemas, kepala pusing, semua itu adalah dampak fisiologis yang dirasakan orang berpuasa. Itu normal. Tapi jika kita cuma mendapat sensasi lapar dan haus dari puasa, maka kita termasuk orang-orang yang merugi, karena sejatinya hikmah puasa lebih luas dari sekedar rasa lapar dan haus. Betapa membosankannya ibadah puasa, jika kita hanya menahan lapar dan haus dari Subuh hingga Maghrib.

Di sinilah pentingnya mencari tahu hikmah di balik perintah puasa. Karena dengan menyelami hikmah puasa, kita dapat menikmati ibadah yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk “penyiksaan diri” itu. Pengetahuan kita tentang hikmah puasa juga akan mendorong kita untuk lebih ikhlas dalam berpuasa, sehingga amal ibadah kita insya Allah tidak akan sia-sia.

Sebenarnya, ada begitu banyak hikmah di balik puasa. Jika merujuk pada ayat yang menyatakan perintah berpuasa, maka puasa ditujukan untuk menjadikan kita orang-orang yang bertakwa. Dengan puasa, kita diharapkan bisa semakin mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Dari segi sosial, kita bisa memahami puasa sebagai sarana untuk berempati, turut merasakan rasa lapar dan haus saudara-saudara kita yang kelaparan di luar sana. Dengan puasa pula kita bisa lebih bersyukur atas nikmat dan karunia Allah yang tercurah pada kita.

Kita bisa memaknai puasa sebagai metode pelatihan diri untuk mengendalikan hawa nafsu dan mengasah sisi-sisi ruhaniah batin kita. Karena itu, bulan puasa adalah momen yang sangat baik untuk memperbanyak amal ibadah dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Jika kita memahami hakikat puasa, maka kita tidak akan “membenci” puasa sebagaimana kita membenci rasa lapar dan haus. Alih-alih kita malah akan merindukan ibadah puasa—sama halnya ketika saya merindukan bunyi sirine di radio saat saya masih bocah. Ibadah puasa memang bisa membuat tubuh lemas, tapi di sisi lain ibadah puasa juga bisa mengasah spiritualitas kita, semakin mendekatkan kita kepada Allah.

Semua hikmah itu bisa kita peroleh, jika kita MENCARINYA. Jika kita berhenti mempertanyakan hikmah ibadah puasa dan puas dengan jawaban “puasa adalah aktivitas tidak makan dan tidak minum”, maka urusan puasa selesai sebatas larangan makan dan minum—atau paling tidak iming-iming pahala dan ancaman siksa karena dosa meninggalkannya. Itu persis seperti pemahaman saya saat masih bocah dulu.

Karenanya, jika kita merasa sudah bertahun-tahun puasa tapi tak kunjung mendapat manfaat yang jelas dari ibadah puasa itu, maka kita perlu mengevaluasi lagi pemahaman kita tentang hikmah berpuasa. Begitu juga jika kita masih berat menyambut Ramadhan dengan hati gembira. Boleh jadi kita masih belum bisa ikhlas menjalankan ibadah puasa, alih-alih kita malah terpaksa menunaikannya.

Terlepas dari semua itu, ibadah puasa akan selalu menghadirkan romantisme tersendiri bagi orang-orang yang sudah memahami hikmahnya. Tidak hanya janji pahala yang berlipat ganda, tapi kesadaran batin bahwa puasa adalah bentuk cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya, sampai-sampai Beliau menyatakan bahwa “…amal ibadah puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya”. Betapa besarnya makna puasa, sampai-sampai ganjaran ibadah puasa akan langsung diberikan oleh Allah. Jika kita sudah sampai pada taraf makrifat ini, maka bolehlah kita berharap agar Allah berkenan menjadikan kita orang-orang yang bertakwa—sebagaimana tujuan utama ibadah puasa itu sendiri. Semoga.[]

Monday 30 May 2016

Merayakan Kehidupan


Ijinkan aku bertanya padamu,

Jika kamu seorang guru, apakah kamu menjadi guru karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa menjalaninya?

Jika kamu seorang perawat, apakah kamu menjadi perawat karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa menjalaninya?

Jika kamu seorang sopir ojek, petani, pedagang, tukang sapu, atau profesi apapun, apakah kamu menjalani semua itu karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa melakukannya?

Jika dalam hidup ini kamu bisa memilih, tentu kamu akan memilih apa-apa yang kamu senangi. Pada dasarnya kamu lebih senang menjadi hartawan, menjadi orang penting, pejabat, atau setidaknya pegawai negeri. Kamu inginkan semua yang menurutmu bisa membuatmu bahagia. Kamu inginkan kehidupan ini berjalan sesuai keinginanmu. Bahkan diriku pun ingin begitu.

Nyatanya tidak. Kehidupan ini, tidak melulu soal melakukan apa-apa yang kita senangi. Kehidupan ini tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Justru sebaliknya, seringkali kita harus melakukan apa-apa yang tidak kita senangi. Seringkali kita harus menghadapi situasi yang tidak pernah kita harapkan terjadi. Tapi pada hal-hal yang demikian itulah, Tuhan mengajak kita untuk merenungi dan menyelami hakikat kehidupan ini.

Menjadi pedagang, misalnya. Boleh jadi kamu akan berpkir "Oh tidak, menjadi pedagang? Pedagang itu susah, serba tidak pasti, serba prihatin. Lebih banyak rugi daripada untung. Kalau ketemu kawan lama, bisa gengsi aku mengakuinya. Inginku ya jadi pegawai saja, lebih bermartabat, lebih berpangkat, kerja juga enak, tiap bulan dapat gaji dan tunjangan segala macam."

Tapi pernahkah kamu berpikir, bahwasanya justru karena berdaganglah, tanpa sadar kamu memberi lebih banyak manfaat.

Dengan berdagang itu, kamu cukupi kebutuhan banyak orang yang membutuhkan. Kamu beri kemudahan pada banyak orang untuk mengenyangkan perutnya. Kamu ringankan beban mereka yang "papa" dengan sengaja mengambil laba yang sedikit. Bahkan sekali dua, kamu rela dihutangi, saat pelangganmu kehabisan uang sementara anak-anaknya menangis kelaparan di rumah. Jika kamu ikhlas melakukan semua itu, boleh jadi ada lebih banyak "kebaikan" yang kamu peroleh, yang belum tentu kamu terima jika kamu memilih menjadi pegawai.

"Karena dalam hidup ini, boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu amat baik bagimu. Pun boleh jadi kamu menyenangi sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu."

Hidup ini tak melulu soal materi. Hidup ini tak selalu tentang mendapatkan apa-apa yang kita inginkan. Hidup ini tak selalu tentang melakukan apa-apa yang kita senangi. Jika hidup hanya tentang melakukan apa-apa yang kita senangi dan mendapatkan apa-apa yang kita inginkan, bukankah kita tak jauh beda dengan bayi?

Maka, ikhlaslah. Belajarlah mensyukuri hal-hal kecil dalam hidup ini, sekalipun hanya helaan nafas atau seulas senyum dari bibir mungil anak-anak kita. Menjadi apapun dirimu sekarang, jalanilah itu, sebagai wujud "pengabdianmu". Hargai dirimu dan mulailah menebar manafat bagi sesama. Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak manfaatnya?