Subscribe:

Labels

Saturday 11 July 2015

Bahaya Salah Ketik


Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan,
selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya.
(Alexander Pope)

Jika ada survey tentang intensitas kesalahan ketik, saya yakin kalangan pengguna smartphone dan tablet layar sentuh akan berada di urutan teratas—lebih banyak daripada pengguna gadget dengan keyboard  konvensional. Sejak beralih menjadi pengguna smartphone, saya cukup sering menerima pesan yang salah ketik. Saking seringnya, salah ketik pun dianggap lumrah. Cukup tambahkan koreksi pada kata yang salah ketik, meminta maaf—persoalan selesai.

Bagi masyarakat awam, kesalahan ketik memang bisa dimaklumi. Tapi bagi sebagian orang, salah ketik bisa saja menjadi perkara besar yang tidak hanya merugikan diri sendiri tapi juga orang lain. Pegawai bank, petugas kasir, peracik obat, dan pembuat dokumen resmi adalah contoh profesi yang tidak boleh salah ketik saat bekerja. Tanggung jawab mereka berbeda dengan masyarakat awam karena menyangkut hajat hidup orang lain, kepentingan instansi tempatnya bekerja dan kelangsungan karir mereka. Peraturannya sih sederhana: tidak boleh salah ketik! Tapi dalam prakteknya, menghindari salah ketik tidaklah mudah.

Baru-baru ini di tempat saya tinggal juga terjadi kasus salah ketik. Surat keterangan hasil ujian sekolah (SKHUS) masal. Sekolah-sekolah (termasuk sekolah tempat saya bekerja) dibuat kelabakan  karena harus mengurus berbagai administrasi dan membuat surat keterangan tambahan yang harus dilampirkan bersamaan dengan SKHUS tersebut. Situasi semakin mendesak karena kekeliruan baru diumumkan beberapa hari menjelang pendaftaran siswa baru tahun ajaran 2015/2016.

Setelah saya cermati, kesalahan penulisan SKHUS terletak pada nomor ujian peserta, tepatnya pada  kode tahun. Agaknya si penulis SKHUS melakukan copy-paste dari dokumen tahun lalu, tapi lupa untuk mengganti kode tahunnya. Hasilnya, SKHUS yang keliru terlanjur dicetak dan diedarkan. Sayangnya, dalam dokumen resmi tidak mengenal fitur tip-ex dan coret. Kesalahan tulis dalam bentuk apapun hanya bisa ‘diampuni’ dengan penambahan surat keterangan resmi dari instansi yang menerbitkan dokumen tersebut. Padahal dalam kasus di tempat tinggal saya tadi, kesalahan ketik hanya terjadi pada satu angka saja.

Salah ketik terkesan menjadi perkara sepele. Tapi dalam dunia literasi, salah ketik tidak bisa ditoleransi. Salah ketik ibarat sebuah bisul bernanah yang akan segera menginfeksi jaringan tubuh lainnya. Sepele—tapi dampaknya bisa sangat menyakitkan. Karena itu, penerbit buku ternama sangat memperhatikan presisi pengetikan dalam setiap naskah yang akan diterbitkan. Tidak heran jika kita jarang menjumpai kesalahan ketik dalam buku-buku terbitan penerbit ternama.

Salah ketik juga pernah menjadi ‘dosa’ saya sehingga skripsi saya ngadat beberapa hari. Saat itu saya sedang khusyuk-khusyuknya mengerjakan revisi skripsi. Saya melakukan revisi dengan segenap kesungguhan yang saya miliki, memperbaiki kalimat, tata tulis, memperbanyak kajian pustaka, hingga memikirkan teori/prosedur yang mungkin akan ditanyakan dosen. Intinya, saya tidak mau skripsi saya dikembalikan dosen untuk direvisi lagi.

Setelah dirasa cukup, dengan penuh keyakinan, saya serahkan revisi skripsi saya pada dosen pembimbing. Kebetulan dosen saya sudah berada di ruangannya sehingga saya tidak perlu menunggu lama. Skripsi saya letakkan di meja dosen. Dalam hati, saya sangat yakin skripsi saya tidak akan revisi lagi.

“Apa sudah diteliti skripsinya?”

Sesaat saya mencemaskan pertanyaan dosen saya. Tidak biasanya dosen saya berbasa-basi seperti itu.

“Sudah, Pak,” jawab saya pelan.

“Kalau saya temukan lima saja kesalahan tulis, skripsi ini saya kembalikan!”

DEG!!! Saya sempat keder mendengar ultimatum dosen pembimbing saya. Sebelumnya saya memang kurang memperhatikan presisi dalam mengetik. Saya sering mengetik dengan prinsip sing penting rampung. Saya pikir kesalahan tulis adalah persoalan sepele yang selalu dimaafkan dalam skripsi. Saya terlalu risau dengan kajian teori, prosedur penelitian, instrumen penelitian, dan hal-hal teknis lainnya, sampai-sampai mengabaikan presisi pengetikan (yang bagi dosen saya adalah persoalan besar).

Entah seberapa keruh air muka saya waktu itu. Baru sampai di halaman kata pengantar, dosen saya tidak sudi melanjutkan koreksi. Kesalahan tulis yang ditemukan sudah lebih dari lima biji. Saya pun beringsut meninggalkan ruangan, membawa skripsi dengan salah ketik yang tak termaafkan.

Sejak peristiwa memalukan itu, saya memutuskan untuk lebih memperhatikan presisi dalam mengetik. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan lama yang sering salah ketik, tapi memperbaiki diri adalah sebuah keharusan. Saya tidak mau mendapat malu untuk yang kesekian kalinya hanya karena kesalahan sepele seperti salah ketik.

Saya beruntung karena saya hidup ketika mesin ketik digital sudah jamak dipakai. Saya rasa, tombol backspace/delete adalah penemuan spetakuler—sama halnya dengan mesin cetak—karena boleh jadi keberadaannya telah berhasil menghemat jutaan lembar kertas yang terbuang akibat salah ketik. Saya tidak bisa membayangkan jika saya hidup ketika dunia literasi dipenuhi mesin ketik konvensional yang tidak memiliki tombol backspace/delete. Boleh jadi saat ini saya masih betah ‘menginap’ di kampus sambil melihat adik-adik kelas yang diwisuda.

Sedemikian pentingnya untuk mengetik dengan benar sampai-sampai menentukan kelanjutan karir seseorang. Seorang pegawai bank, misalnya, bisa saja dia dipecat/membayar ganti rugi karena salah menginput angka yang mengakibatkan kerugian bank dan nasabah. Salah ketik juga menjadi momok petugas kasir swalayan yang harus menghadapi ribuan barang belanjaan setiap harinya. Konsentrasi, teliti, dan tetap fokus pada pekerjaan sangat esensial agar salah ketik tidak terjadi.

Blog ini pun tidak lepas dari penyakit salah ketik. Betapapun saya mencoba teliti saat mengetik, kesalahan ketik kadang tetap terjadi. Agaknya saya harus menyerah pada pepatah lama bahwa “manusia memang tempatnya salah dan lupa.”

Dan bagi kalian yang masih merasa salah ketik adalah perkara sepele mungkin kalian perlu mengingat kapan terakhir kali kalian salah mengetik huruf U pada kata “TAHU” menjadi huruf I ??? Bukan wewenang saya untuk memastikannya. Kalian sendiri yang lebih tah* (sengaja saya sensor, takut kalau-kalau salah ketik lagi).

Wednesday 1 July 2015

Bocah-Bocah Usil di Langgar

Paklik, bawa anak kecil ke masjid hukumnya apa sih?”

“Lho, bukan wewenang saya memfatwa.”

“Walah, Paklik ini. Yasudah saya tanya pendapat Paklik saja. Saya mau nguda rasa ini.”

Paklik mengangguk pelan.

“Tahu sendiri kan Paklik, kalau tarawih di langgar* sebelah pasti ada anak kecil yang ramai di belakang.”

“Memangnya masalah?”

“Ya jelas mengganggu kekhusyukan beribadah to, Paklik. Terutama si Paidi. ‘Amin’-nya sengaja di-mbleyer-mbleyerke  ngalahin suara knalpot motor.”

“Lha wong Paidi masih bocah kok piye.”

Mosok nggak diingatkan to, Paklik.”

“Berarti kamu yang harus belajar khusyuk.”

“Gimana mau khusyuk kalau Paidi dan konco-konconya gojek sendiri di belakang?”

Mbok ya maklum saja. Mereka kan masih anak-anak, besok kalau sudah baligh juga sadar, nggak bakal rame lagi kalau di langgar.”

“Jadi saya harus nunggu mereka baligh, Paklik? Kenapa nggak sekalian dilarang aja itu Paidi cs ke langgar?”

“Wah, kalau sampe melarang saya ndak sependapat. Ditegur saja.”

“Nggak bakal kapok, Paklik. Minta dijewer itu bocah-bocah.”

“Halah, mbok ya wes ben, to Gus. Biarkan saja. Lagipula bocah-bocah yang rame pas sholat itu nggak beda jauh kayak kamu.”

“Kok saya, Paklik?”

“Lha iya to. Kalau anak-anak itu ramenya vulgar, blak-blakan. Kalau orang dewasa sholat, ramenya di sini.” Paklik menunjuk kepalanya yang mulai beruban.

“Orang dewasa sholat itu sebenarnya juga rame. Badannya di tempat sholat tapi pikirannya ngelayap ke urusan dunianya, pekerjaannya, duitnya, istrinya, anaknya. Nggak beda kan sama Paidi dan konco-konconya?”

Paklik menyeruput kopinya sambil membenahi letak kopiahnya. Sejurus kemudian ia sudah beringsut mentafakuri kitab yang dibawanya sejak tadi. Aku hanya mengangguk takzim, mengiyakan.


NB:
*langgar: surau, tempat sholat sederhana, masjid kecil yang biasa ada di perkampungan