Subscribe:

Labels

Thursday 31 December 2015

Akhir 2015, Postingan ke-100, dan Catatan 'Payah' Blog Ini


Orang payah akan tetap payah selama dia masih bersikap lemah
dan tak punya arah dalam hidupnya.
Hatake Niwa

Sepanjang 2014 lalu, jumlah postingan saya di blog ini hanya 49 tulisan. Postingan absurd yang sedang kalian baca ini, adalah postingan saya ke-51 di tahun 2015. Artinya jumlah postingan saya mengalami peningkatan dibanding tahun lalu—meski cuma dua biji. Bisa dikatakan tidak ada peningkatan berarti pada aktivitas blogging saya di tahun ini. Meski artikel ini adalah artikel saya yang ke-100, rasanya tidak ada yang istimewa dari pencapaian itu, mengingat dua bulan yang lalu, saya sempat hiatus. So lame.

Saya jadi tidak PeDe menuliskan tetek bengek akhir tahun seperti resolusi 2016, kaleidoskop 2015, atau menulis tentang pengalaman berkesan di tahun 2015 mengingat tidak ada yang bisa dibanggakan dari blog ini. Sepanjang 365 hari, blog ini hanya mampu menjaring satu follower. Kolom komentar juga masih kosong meski saya sudah berpeluh-peluh memutar otak untuk membuat artikel yang sekiranya tidak berguna. Jumlah pengunjung? Stagnan di angka dua ribuan.

Entah aib apalagi yang bisa saya tuliskan di sini. Blog ini hanya berawal dari keletihan saya mengerjakan skripsi. Saat itu saya butuh pelampiasan bagi ide-ide yang berkelindan di otak liar saya. Dan sekarang, lebih dari setahun sejak hingar bingar skripsi berlalu, saya masih belum mampu menunjukkan passion membara untuk blogging. Benar-benar milestone yang payah.

Dari segi isi tulisan, kebanyakan postingan saya adalah hasil interpretasi dan perenungan saya pribadi terhadap fenomena yang saya jumpai di lingkungan sehari-hari. Karena itu, tulisan-tulisan saya di blog ini hanya bersifat berbagi pemikiran. Kalian harus bisa memilah sendiri mana yang berguna perlu diambil, mana yang keliru, tidak berguna sehingga perlu ditinggalkan. Itu hak kalian sebagai pembaca. Yang jelas jangan pernah menjadikan konten blog ini sebagai sumber referensi pelajaran lebih-lebih referensi tugas kuliah.

Jika kalian memaksa saya membuat resolusi tahun 2016 untuk blog ini, saya hanya berharap tahun depan saya tidak berlama-lama hiatus ngeblog. Setidaknya saya harus menulis satu artikel sebulan, agar jumlah bulan di side bar  genap dua belas. Lebih dari itu, semoga saya segera menemukan passion membara untuk mengisi blog ini dengan artikel-artikel yang tidak berguna di masa mendatang. Oh iya, mungkin saya juga harus mulai memikirkan artikel bertema “cinta” untuk mengisi blog ini tahun depan. Sudah terlalu lama saya tidak menulis artikel tentang itu (sedang hiatus  untuk menulis topik itu juga).

Akhir kata, untuk siapapun yang pernah “nyasar” di blog ini, saya haturkan terima kasih atas kunjungannya. Saya malah tidak yakin kalian akan nyasar ke sini lagi dan membaca catatan ini. Sampai jumpa lagi tahun depan nggih… ( ngomong-ngomong, besok pagi sudah tahun depan kan ya? )


Dari aku yang payah,
Salam

H. N , December 31th, 2015

Orang Bodoh yang Sebenarnya


Orang pintar yang benar-benar “pintar” justru selalu merasa dirinya masih bodoh,
 sementara  orang bodoh yang benar-benar “bodoh” justru merasa dirinya sudah pintar,
tak peduli betapa banyak keburukan yang telah dilakukannya.
—Hatake Niwa

Sebut saja murid ini Kendo (huruf “E” dibaca seperti huruf “E” dalam kata “emas”). Kendo bukanlah tipe murid yang mudah memahami pelajaran. Perbaikan ulangan sudah biasa buatnya. Suatu ketika Kendo terpilih mewakili sekolahnya dalam lomba bulutangkis antarpelajar SMA. Kendo memang aktif menggeluti ekstra bulutangkis. Sementara di rumah dia rutin berlatih bersama ayahnya yang seorang guru olahraga. Kendo memang ‘terbelakang’ dalam urusan nilai akademis. Tapi soal bulutangkis, tidak ada satu pun murid yang lebih baik daripada Kendo di sekolahnya.

Sebagian guru sempat meragukan Kendo yang terkenal suka bikin onar di kelas dan penghuni tetap ranking paling buncit. Mereka beranggapan paling-paling Kendo hanya akan sampai babak pertama. Dengan segala talenta yang dimilikinya, Kendo membungkam semua keraguan gurunya. Kendo terus melaju hingga akhirnya berhasil menggondol juara tingkat provinsi. Kisah yang utopis memang, mengingat ranking Kendo di kelas yang selalu paling buncit. Poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah jika kita berposisi sebagai guru Kendo, akankah kita tega melabeli Kendo sebagai murid bodoh?

Saya pernah merasakan betapa sulitnya mengajar murid dengan daya tangkap rendah. Saat itu saya mengampu les matematika. Ada seorang murid yang mengalami ketertinggalan materi dengan temannya. Hal ini sempat menghambat jalannya proses pembelajaran karena di sisi lain saya tidak bisa meninggalkan murid itu begitu saja. Saya pikir murid ini memang lemah dalam matematika dan butuh diberi les secara privat.

Pada hari lain saya mengajar Bahasa Indonesia. Sebagai permulaan saya sengaja memberi tugas “menulis cerita berdasarkan gambar” untuk mengetahui kemampuan menulis para murid. Murid yang tempo hari saya vonis lemah dalam matematika ternyata mampu menulis lebih baik dibanding kebanyakan murid di kelas itu. Bahkan jauh lebih baik. Well, murid itu memang tidak  terlalu berhasil dalam matematika, tapi boleh jadi kecerdasan linguistiknya tidak tertandingi di kelasnya.

Dewasa ini, saya semakin meyakini bahwa tidak ada orang yang benar-benar bodoh di dunia ini. Selama fisik kita normal, tidak idiot, tidak mengalami keterbelakangan mental, kita tidak berhak menganggap siapapun sebagai “orang bodoh” termasuk diri kita sendiri. Frasa “orang bodoh” justru terdengar seperti sebuah penghinaan tak termaafkan. Faktanya, pintar dan bodoh seringkali menjadi sangat subjektif tergantung perspektif mana yang dipakai dan siapa yang menilai.

Boleh jadi Lionel Messi tidak terlalu ahli dalam hal balap kuda, tapi kita tidak mungkin melabelinya “bodoh” karena faktanya dia adalah jenius sepakbola dengan raihan tiga Ballon D’Or selama tiga tahun berturut-turut. Kita bisa saja meragukan kemampuan Lin Dan dalam hal bermain basket. Tapi kita tidak bisa menganggapnya “bodoh” hanya karena dia tidak bisa bermain basket. Faktanya dia termasuk salah satu pebulutangkis terhebat abad ini.

Dari sini kita bisa melihat bahwa setiap manusia memiliki spesialisasi, keahlian tertentu yang belum tentu dimiliki semua orang. Setiap manusia dikaruniai potensi yang berbeda-beda. Belajar hanyalah sarana untuk mengembangkan potensi itu untuk kemudian ditransformasikan menjadi keahlian yang digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Saya jadi heran, untuk apa bertahun-tahun sekolah mempelajari seabrek bahan pelajaran jika itu semua tidak mendukung keahlian ingin kita geluti di masa depan?

Dalam proses belajar, “bodoh” dan “pintar” adalah dikotomi yang sangat naif dan kekanak-kanakan—sama halnya dengan dikotomi “ganteng/cantik”dan “jelek.” Guru yang bijak pasti paham bahwa potensi dan konstruksi pengetahuan para murid tidak sama. Tapi entah kenapa masih ada sebagian guru yang melabeli muridnya “bodoh” hanya karena nilai akademis yang buruk. Padahal boleh jadi murid yang dikiranya “bodoh” tadi malah jauh lebih ahli mengoperasikan komputer daripada si guru. Bukankah itu fakta yang menggelikan.

Karena itu, sejatinya yang membedakan prestasi setiap orang adalah kemauannya untuk belajar. Kemauan untuk belajar harus kita jaga karena itulah satu-satunya bahan bakar kita agar tetap merasa haus ilmu pengetahuan. Orang yang dalam hidupnya sudah “merasa pintar,” sudah merasa cukup ilmunya, mereka akan berhenti belajar—sebuah kesalahan yang sangat fatal!

Kehidupan di dunia ini berjalan sangat dinamis. Segala sesuatunya berubah sangat cepat. Saat saya SMA, telepon genggam masih mendominasi pasaran. Selang 4-5 tahun kemudian telepon genggam telah bertransformasi menjadi telepon pintar yang saat ini menjamur. Selama saya sekolah, hanya satu dua guru yang membawa laptop. Kini karena tuntutan pekerjaan, setiap guru harus belajar mengoperasikan laptopnya sendiri.

Alam memaksa kita untuk selalu belajar agar bisa survive menghadapi perubahan zaman, sebagaimana ungkapan “Belajarlah dari buaian sampai liang lahat.” Artinya, selama kita hidup di dunia, kita harus selalu belajar! Tak tertolak! Awalnya, manusia bepergian dengan berjalan kaki, kemudian memakai hewan sebagai kendaraan, hingga beralih menciptakan mesin sederhana yang digabungkan dengan roda. Mobilitas manusia semakin cepat hingga akhirnya mampu menciptakan sesuatu yang bisa membawanya terbang mengudara.

Segala pencapaian teknologi manusia saat ini merupakan akumulasi proses belajar yang konsisten di masa lalu. Semua inovasi dan hasil karya menakjubkan manusia tidak akan terwujud jika manusia merasa “sudah cukup pintar”. Manusia yang telah sampai pada tingkatan menyenangi proses belajar tidak akan pernah berhenti belajar. Manusia ini akan selalu melakukan inovasi dalam pekerjaannya demi perbaikan derajat hidup di masa depan. Sementara orang yang berhenti belajar karena sudah “merasa cukup pintar” akan tertinggal tergilas laju perubahan zaman. Jika sudah begitu, bukankan orang-orang yang berhenti belajar karena merasa dirinya “sudah cukup pintar” adalah orang bodoh yang sebenarnya…?

Kotoran Ayam dan Toleransi Bertetangga


Selama kita hidup bertetangga, ada hak-hak tetangga yang harus kita tunaikan.
Hatake Niwa

Belakangan saya sering dikesalkan dengan perilaku ayam tetangga yang sering keluyuran di halaman rumah. Saya tidak tahu jalan pikiran si ayam kenapa lebih suka menyatroni halaman rumah saya daripada halaman rumah pemilik ayam itu sendiri. Biasanya, ayam itu akan nangkring di pagar rumah saya atau mengais-ngais sesuatu di tumpukan sampah di ujung halaman. Seringkali ayam itu juga nangkring di jok motor saya. Jika saya lagi ‘hoki’ si ayam akan berbaik hati memberi ‘oleh-oleh’ yang aromanya sulit hilang walau dibasuh dengan sabun motor sekalipun. Agaknya, ayam ini bermaksud meninggalkan kenangan yang memorable, berkesan dan juga tahan lama sampai-sampai bekasnya sulit dihilangkan. Benar-benar dramatis!

Jujur saja, saya bukan pecinta binatang. Sekalipun orangtua saya memiliki ternak ayam di kampung, saya tidak pernah menyukai ayam sepenuhnya—kecuali untuk konsumsi. Kalaupun harus memelihara binatang, saya lebih memilih memelihara kucing daripada ayam. Menurut saya, kucing lebih memiliki nilai estetika dan ke-imut-an tersendiri untuk dijadikan peliharaan. Beda halnya dengan ayam yang tidak ada lucu-lucunya sama sekali. Bagi saya, ayam tidak lebih dari bayangan daging goreng dan sate dengan baluran saus kacang.

Bagian tersulit saat memelihara ayam adalah mengurus residu pencernaannya. Aroma tengik khas kotoran ayam adalah ‘polutan tak termaafkan’ bagi hidung manusia. Begitu tengiknya kotoran ayam sampai-sampai para pengendara motor akan melesat kabur jika di depannya ada mobil pick up yang membawa sekawanan ayam. Menghilangkan residu pencernaan ayam juga tidak selalu mudah. Secara kasat mata, kotorannya sudah hilang, tapi tengiknya masih ada. Boleh jadi ungkapan “hangat-hangat tahi ayam” akan lebih pas jika diganti menjadi “tengik-tengik tahi ayam!

Di kampung kakek saya, hampir setiap kepala keluarga memelihara ayam. Dalam area 300x300 meter, jumlahnya bisa mencapai puluhan ekor. Lahan di kampung masih cukup luas sehingga membebaskan ayam peliharaan di sana adalah hal yang lumrah—selama si ayam tidak masuk ke dalam rumah dan buang kotoran di beranda. Tak heran jika kemudian muncul ‘ranjau kotoran’ di ruas-ruas jalan kampung kakek saya. Jika ada tetangga yang kebetulan apes terkena ‘ranjau’, mereka tidak pernah marah-marah pada pemilik ayam. Kesal sih iya, tapi menyelidiki anus ayam siapa yang baru saja mengotorinya adalah hal yang mustahil.

Beda halnya dengan rumah saya di kota. Jarak antarrumah begitu dekat, sementara lahan kosong yang tersedia tidak luas. Membebaskan ayam peliharaan di kota adalah petaka bagi tetangga-tetangga di sekitarnya. Kawanan ayam akan cenderung mendatangi tempat yang sekiranya banyak makanan, terbuka, dan memiliki ‘fasilitas’ untuk nangkring. Sialnya, rumah saya memenuhi semua persyaratan untuk menjadi ‘tempat nongkrong’ para ayam. Tak heran jika kawanan ayam rajin mendatangi halaman rumah saya untuk kemudian berbagi ‘oleh-oleh’ di jok motor saya.

Jika saya tipe orang yang hobi berkonfrontasi, tetangga sebelah rumah sudah pasti saya sembur (karena memang hanya dia yang memelihara ayam di sepanjang gang itu). Saya akan berterus terang memintanya untuk mengandangkan ayam-ayamnya. Saya ultimatum jika ada seciprit kotoran ayam di jok motor saya lagi, saya berhak mengeksekusi sendiri ayam-ayamnya.

Tapi konfrontasi bukan gaya saya. Dalam kehidupan bertetangga kita tidak bisa serta merta mengabaikan hak-hak tetangga. Dalam batas-batas tertentu kita harus memberikan toleransi pada tetangga. Kita tidak seharusnya melarang tetangga jika mereka ingin numpang menjemur kayu bakarnya. Kita juga tidak sepatutnya memaki-maki tetangga yang menumpang mandi karena kamar mandi di rumahnya sedang direnovasi. Toleransi dalam kehidupan bertetangga semacam ini sangat penting agar tercipta keharmonisan dalam masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari tetangga. Setiap bepergian, kita akan melewati rumah-rumah tetangga—berpapasan satu sama lain. Betapa pun egoisnya kita, tidak sepatutnya kita mengabaikan tetangga tanpa membina kontak dan komunikasi dengannya. Dalam kamus hidup saya, hal itu TIDAK SENORMALNYA MANUSIA.

Sampai batas tertentu, kita memang mampu mengurusi semuanya sendiri tanpa bantuan tetangga. Tapi sekuat-kuatnya kita, akan ada saat di mana hanya tetangga kita yang bisa menolong. Apa jadinya jika seumur hidup kita menjadi orang yang egois, acuh, merasa dirinya paling hebat, seakan-akan tidak membutuhkan tetangga? Saya malah khawatir tidak akan ada tetangga yang datang melayat dan membantu prosesi pemakaman kita—alih-alih mendapati mayat kita membusuk di rumah akibat ketertutupan kita sendiri.

Selama kita hidup bertetangga, akan selalu ada hak-hak tetangga yang harus kita penuhi. Tidak mungkin kita akan diam saja jika rumah tetangga terbakar. Tidak mungkin kita akan mengabaikan tetangga yang tengah sekarat karena kelaparan. Pun ketika tetangga kita meninggal. Kita tidak bisa menolak untuk melayat dan membantu pemakaman jenazahnya.

Yang jadi masalah adalah ketika kita bertetangga dengan orang yang tidak tahu diri dan bertingkah seenaknya sendiri. Keseharian kita tidak akan jauh berbeda dengan Squidward yang setiap hari dibuat kesal gara-gara ulah abnormal tetangganya—Spongebob dan Patrick. Tetangga semacam ini biasanya akan menyalahgunakan kelonggaran yang kita beri. Misalnya kita mengizinkan tetangga untuk memarkir motornya di halaman rumah kita saat dia mengadakan hajatan. Setelah hajatan berakhir, seharusnya tetangga kita kembali memarkirkan motor di rumahnya. Alih-alih kembali memarkirkan motor di rumahnya sendiri, setiap kali ada tamu yang datang, dia menyilahkan tamunya untuk parkir di halaman rumah kita. Bukankah itu mengesalkan?

Dalam kasus ayam tetangga, saya tidak bisa menimpakan kesalahan pada tetangga saya sepenuhnya. Saya memang tahu betul bahwa anus ayam miliknyalah yang sering mengotori jok motor saya. Tapi di sisi lain saya mafhum bila lahan di kota tidak luas. Tetangga saya juga tidak punya cukup ruang untuk membangun kandang ayam sendiri di rumahnya. Karena itu, selama saya masih punya lahan, saya tidak akan membatasi hak-hak tetangga untuk memanfaatkan lahan rumah saya. So, silahkan saja menumpang menjemur baju, memarkir motor, atau bermain bersama cucu di halaman rumah saya—selama itu semua masih berada dalam konteks kewajaran dan tidak melanggar batas-batas etika.

Saya akui saya memang kesal dengan kotoran ayamnya. Saya kesal karena harus membersihkan jok motor di saat saya tengah terburu-buru. Tapi tidak sepatutnya saya menaruh kekesalan yang sama pada si pemilik ayam. Bagaimanapun juga saya harus belajar menjadi ‘tetangga yang baik.’

Lebih Baik "Merasa Bodoh"


Seringkali orang-orang pintar lupa bahwa dulunya mereka adalah orang-orang bodoh.
Hatake Niwa

“A-K-U.” Itulah kata pertama yang berhasil saya tulis. Saya ingat betul ketika saya menggoreskan kapur di kusen pintu rumah saya dan menuliskan kata “AKU”. Awalnya saya tidak berniat membuat kata apapun karena saat itu saya baru belajar mengeja. Saya hanya asal menjejerkan huruf A, K, dan U. Ibu saya pun memberi pujian karena saya sudah bisa menulis. Untuk beberapa saat saya malah tidak sadar dengan apa yang saya lakukan.

Saya mencoba mengingat kembali masa-masa awal saya sekolah dari TK sampai kelas 2 SD. Dalam rentang waktu itu, saya tidak merasa belajar sebagai sebuah beban. Saya hanya didorong oleh rasa ingin tahu sehingga manggut-manggut saja disuruh belajar. Saya juga belum mengalami kesulitan belajar yang membuat saya takut pergi ke sekolah. Pelajaran di sekolah bagi saya tak ubahnya permainan. Tak ada beban, tak ada paksaan, hanya ada perasaan gembira bisa berkumpul dengan teman-teman di sekolah.

Menginjak kelas 3 SD, saya mulai menyadari ada beberapa materi pelajaran yang sulit dipahami, salah satunya materi pecahan. Meski sudah berulang kali diberi penjelasan, saya tak kunjung mengerti. Alih-alih guru saya malah sewot karena saya terlalu banyak bertanya. Saya pun menyerah, beringsut mundur kembali ke tempat duduk dan mulai mengerjakan soal sebisanya. Saat itu saya benar-benar “merasa bodoh.”

“Merasa bodoh” tidak sama artinya dengan mengatakan “Saya bodoh.” Merasa bodoh hanyalah sebuah persepsi kita pada diri sendiri yang belum tentu menunjukkan fakta yang ada. Sementara ungkapan “saya bodoh” lebih menjurus pada ungkapan kekesalan pada diri sendiri atau bisa juga menjadi labelisasi—sebuah perendahan diri akibat ketidakberdayaan menghadapi suatu masalah. Biasanya orang akan menyebut dirinya bodoh ketika muncul persepsi bahwa dia merasa dirinya bodoh (tidak bisa melakukan sesuatu).

Ketika saya tidak kunjung paham materi pecahan, saya “merasa bodoh.” Tapi saya tidak sampai menyebut diri saya bodoh. Saya pun mencoba berbagai upaya agar tidak terus-menerus “merasa bodoh” dalam pecahan. Beruntung saya memiliki ibu yang juga seorang guru SD sehingga dengan bantuannya saya bisa mengejar setiap ketertinggalan materi pelajaran di sekolah.

Beda halnya jika saya buru-buru mengatakan “saya bodoh.” Ungkapan semacam itu adalah labelisasi yang jika dilakukan terus-menerus akan menjadi sebuah afirmasi negatif yang membuat alam bawah sadar berpikir “saya memang bodoh beneran.” Jika saat itu saya mengatakan diri saya bodoh, maka saya akan berhenti mengurusi tetek bengek tentang pecahan. Saya enggan mengerjakan soal yang ada pecahannya. Sangat mungkin ketika saya menemui kesulitan lagi saat belajar matematika, saya menjadi malas berpikir bahkan membenci pelajaran matematika.

Untungnya, skenario mengerikan iitu tidak terjadi. Saya sangat beruntung memiliki guru-guru kelas yang hebat yang bisa membuat para muridnya menguasai sebagin besar materi pelajaran. Saya juga beruntung memiliki orangtua dengan profesi guru. Semua itu memungkinkan saya untuk selalu BELAJAR setiap kali saya “merasa bodoh.” Pada akhirnya, persepsi saya yang “merasa bodoh” tidak sampai menjelma menjadi labelisasi “saya bodoh.”

Dalam dosis tertentu, “merasa bodoh” adalah faktor internal yang akan mendorong kita untuk mau belajar. Dengan “merasa bodoh” kita menyadari bahwa kita harus mempelajari sesuatu untuk melenyapkan kebodohan yang kita rasakan. Sama halnya ketika saya tidak kunjung paham dengan materi pecahan, saya justru terdorong untuk belajar tentang materi tersebut. Saya pun berhasil melenyapkan kebodohan saya dalam materi pecahan.

Hal serupa tidak akan terjadi pada orang yang “merasa pintar.” Orang yang sudah merasa pintar tidak butuh belajar. Mereka sudah melabeli diri mereka sebagai orang pintar yang berderajat tinggi. Orang semacam ini cenderung meremehkan orang lain yang sekiranya lebih bodoh.

Ada dua kemungkinan bagi orang yang merasa pintar. Yang pertama orang itu memang benar-benar pintar, yang kedua orang itu hanya berlagak sok pintar dengan kedangkalan ilmunya. Orang yang merasa pintar akan berbicara panjang lebar memamerkan pengetahuan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Jika orang ini benar-benar pintar, beberapa kali ia berhasil membuat orang berdecak kagum meski sebagian lain menganggapnya angkuh.

Sebaliknya jika orang ini tidak benar-benar pintar, maka ocehannya tidak lebih dari omong kosong yang membuat dahi berkerut dan membuat tertawa orang-orang yang benar-benar pintar. Siapapun yang lebih percaya kulit daripada isi akan cenderung mempercayai ‘orang sok pintar’ semacam ini (entah kenapa penampilan orang yang sok pintar cenderung lebih meyakinkan daripada orang yang pintar beneran).

Orang yang merasa pintar ibarat teko yang telah penuh terisi air—percuma memasukkan cairan apapun ke dalamnya karena hanya akan membuat isinya tumpah. Kritik dan saran dari orang lain tidak akan mengubah idealisme dan pendiriannya. Pribadinya menjadi keras kepala dan otoriter. Tidak mudah menghadapi orang yang sudah merasa pintar, setidaknya sampai dia termakan sendiri oleh ucapannya yang ternyata keliru.

Karena itu, jika kita ingin belajar kita harus “mengosongkan teko” kita dahulu. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa diri kita tidak sempurna. Pemikiran setiap kepala belum tentu sama. Dengan begitu, kita bisa berpikir terbuka untuk memahami dan menerima ide-ide orang lain.

Harus diakui ada kecenderungan dalam diri kita untuk sombong ketika ilmu yang dimiliki sudah mumpuni. Jika itu terjadi, ada baiknya kita membiasakan diri untuk “merasa bodoh” (bukan berarti menyebut diri kita bodoh dalam artian sebenarnya). Saat bertemu orang lain, tanyakan pada diri kita sendiri “Apa yang bisa aku pelajari darinya.” Dengan sikap semacam itu, akan lebih mudah bagi kita untuk bersikap rendah hati setinggi apapun ilmu yang sudah kita miliki.

Ya, Anda benar, Tuan. Saya memang bodoh. Tapi karena saya merasa bodoh, saya ingin belajar banyak hal dari Tuan. Karena saya bukan tipe orang yang suka berlama-lama dalam penjara kebodohan…

Tuesday 8 December 2015

Gara-Gara Sulit Fokus


Mengapa sebuah kaca pembesar dan sinar matahari mampu melubangi kertas?
Sederhana. Kaca pembesar hanya memfokuskan sinar matahari pada satu titik pada kertas itu hingga membuatnya terbakar.
(Memory—Sains di SD)

Salah satu hal tersulit bagi saya adalah menjaga fokus. Saya tergolong orang yang sulit memusatkan pikiran pada suatu objek dalam waktu yang lama. Pikiran saya terlalu mudah teralihkan atau mengalami distraksi (distraction). Biasanya penyebab distraksi pikiran tersebut adalah hilangnya kendali atas pikiran saya sendiri. Akibatnya, pikiran saya mudah teralih untuk memikirkan objek lain yang muncul dalam pikiran saya secara bersamaan. Saya menyebut ini sebagai gejala Over-Thinking alias kebanyakan mikir.

Gara-gara saya sulit menjaga fokus, beberapa kali pekerjaan saya mangkrak. Ketika satu pekerjaan belum selesai, pikiran saya beralih untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang lain. Begitu pekerjaan itu belum selesai, pikiran saya lagi-lagi teralih untuk mengerjakan hal lain. Demikian seterusnya hingga saya terkesan begitu lamban menyelesaikan suatu pekerjaan.

Saya rasa hampir semua orang mengalami distraksi pikiran dalam bekerja karena pikiran kita memang cenderung ‘independen,’ bebas bergerak melanglang buana memikirkan hal apapun yang ingin dipikirkannya. Hanya bedanya setiap orang memiliki kendali yang berbeda terhadap pikiran-pikirannya. Ada yang mampu bersikap keras pada pikirannya dan memaksanya untuk fokus, ada pula yang malah terjebak dalam pikirannya sendiri yang dinamis—seperti halnya saya—hingga kesulitan untuk fokus pada satu pekerjaan atau objek.

Pada dasarnya kita selalu punya pilihan dalam menghadapi seabrek pikiran yang berkecamuk di kepala kita. Kita bisa memilih untuk cuek tak ambil pusing dengan pikiran-pikiran yang melintas. Atau sebaliknya, memikirkannya dalam-dalam hingga menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat penting. Misalnya, suatu ketika saya sedang sibuk mengerjakan tugas. Di tengah kekhusyukan itu, muncul pikiran lain dalam benak saya untuk menonton film yang baru saja didownload. Awalnya saya hanya ingin mengecek film yang saya download. Tapi akhirnya saya malah keterusan hingga akhirnya lebih memilih menanggapi ‘selingan’ untuk menonton film tersebut. Tugas saya pun terbengkalai. Begitu saya ingin kembali mengerjakan tugas, pikiran saya tidak bisa segera fokus. Butuh waktu agar saya mendapatkan mood dan fokus seperti di awal pengerjaan tugas. Hal ini karena pikiran saya mengalami distraksi, fokus saya terbagi, dan saya masih terbawa alur cerita dan ruang imajinasi dari film yang saya tonton.

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa tidak konsistennya saya dalam menghadapi distraksi pikiran saya. Fokus saya seharusnya terjaga untuk tetap mengerjakan tugas. Tapi akhirnya saya memilih menyerah dan menuruti keinginan untuk menonton film. Dalam menyikapi kasus ini, kita seharusnya memiliki kendali penuh dan sikap tegas terhadap pikiran-pikiran kita sendiri. Kita harus mampu menyeleksi, pikiran mana yang perlu ditindaklanjuti, dan mana yang perlu ditanggapi secara serius. Kita akan stres jika memaksa memikirkan banyak hal sekaligus secara bersamaan. Karena itu, ada baiknya kita membuat skala prioritas untuk menindaklanjuti setiap pikiran yang berkecamuk di pikiran kita.

Jika kita sadang mengerjakan tugas, yasudah curahkan fokus kita untuk mengerjakan tugas. Singkirkan segala sesuatu yang bisa membuat pikiran kita terdistraksi. Jika perlu, jauhkan diri kita dari benda-benda seperti HP, televisi, majalah-majalah, dan benda-benda lain yang rawan mendistraksi pikiran kita. Abaikan juga segala jenis gangguan yang muncul dari luar. Mulailah menata pikiran untuk total dalam mengerjakan tugas. Saat kita bisa memfokuskan pikiran pada satu pekerjaan, maka hasil yang akan kita peroleh tentu lebih baik.

Tentu di antara kita ada yang masih ingat percobaan membakar kertas dengan bantuan lup (kaca pembesar) saat SD. Kita semua tahu jika kertas bisa terbakar karena sinar matahari difokuskan oleh lup pada satu titik di kertas. Panas matahari menjadi terkumpul pada satu titik, memanaskannya hingga terbakar. Beda halnya jika kita menjemur kertas itu seharian. Kertas memang menjadi panas karena paparan sinar matahari, tapi tidak akan sampai terbakar.

Sama halnya dengan orang yang menebang pohon dengan kapak. Jika orang itu mengayunkan kapaknya serampangan pada beberapa sisi pohon sekaligus, pohon tidak akan kunjung tumbang. Beda halnya jika kita mengayunkan kapak hanya pada salah satu sisi pohon. Semakin sering kita mengayunkan kapak pada sisi pohon yang sama, maka batang pohon akan lebih mudah terkoyak hingga tak lagi mampu menopang berat pohon. Tak lama kemudian, pohon pun tumbang.

Aktivitas saya membuat artikel ini juga membutuhkan fokus. Karena seperti halnya membaca, menulis adalah aktivitas berpikir yang kompleks. Saat menulis kita perlu fokus agar setiap ide yang muncul di kepala bisa terangkai dan tercurahkan dalam bentuk tulisan yang sistematis dan koheren satu sama lain. Jika fokus ini terdistraksi, maka sangat mungkin tulisan kita melantur keluar dari topik utama yang dibahas (out of topic).

Menjaga fokus dalam bekerja memang tidak mudah. Kita harus melatihnya jika tidak ingin mudah kehilangan fokus. Hal ini tentu membutuhkan kesabaran, terutama bagi orang seperti saya yang pikirannya mudah sekali terdistraksi/teralihkan. Jika kita memiliki kecenderungan mudah terdistraksi atau teralihkan pikirannya, maka kita harus lebih bersabar dalam menyikapinya sambil terus mengupayakan latihan untuk melatih fokus kita.


Aktivitas membaca dan menulis adalah beberapa contoh latihan yang baik untuk mengasah fokus dan kemampuan berpikir. Dengan membaca dan menulis, kita mendorong otak kita untuk aktif berpikir dan menginterpretasi sebuah objek. Lambat laun, kita dapat lebih mudah memfokuskan pikiran kita pada segala sesuatu yang sedang kita kerjakan. Bukankan salah satu kunci kesuksesan adalah fokus dalam bekerja?

Monday 7 December 2015

Lebih Baik Merasa Jelek


Dikotomi ganteng-jelek, cantik-jelek, bagiku tak jauh beda dengan perilaku rasis!
(Hatake Niwa)

Sudah lama saya jengah dengan dikotomi ganteng-jelek, cantik-jelek di tengah masyarakat. Mereka yang ganteng/cantik begitu mudah dielu-elukan, mendapat perlakuan istimewa, dan kemudahan karir. Seakan-akan yang ganteng dan yang cantik ditakdirkan lebih mulia di muka bumi. Sementara mereka yang wajahnya pas-pasan/jelek seakan terhinakan dan terbuang dari sengitnya percaturan hidup. Padahal ganteng, cantik, jelek, buruk rupa, itu semua hanya atribut artifisial kasat mata—sesuatu yang sifatnya subjektif di mana setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda.

Cantik misalnya. Kita menyebut seseorang cantik karena sejak kecil kita memiliki kecenderungan untuk membandingkan satu orang dengan orang lainnya. Kita bisa menilai wanita itu cantik hanya ketika kita telah membandingkannya dengan wanita lain. Di sinilah perbandingan cantik itu menjadi relatif. Sebagai contoh, banyak orang bilang Raisa itu cantiknya ampun-ampunan. Ya, memang dia cantik, kata saya. Tapi saya rasa biasa-biasa saja tuh. Alih-alih justru VJ Franda yang lebih cantik menurut saya. (no offense, buat fans-nya Raisa).

Orang bilang artis korea ganteng-ganteng. Ya tentu saja. Secara kasat mata mereka memiliki hidung mancung, mata yang sipit, kulit putih dan perawakan gagah. Berbeda dengan kebanyakan pria lokal yang berkulit gelap, sawo matang, hidung pesek dengan rambut poni lempar setengah dipaksakan. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Orang asing seringkali mendapat kesan istimewa bagi para pribumi. Tidak heran jika sebagian pribumi menginginkan menikahi pria asing/bule. Itung-itung memperbaiki keturunan katanya. Argumen yang sulit dibantah mengingat banyak artis top yang berpenampilan good looking karena berdarah campuran.

Kembali pada dikotomi cantik-jelek, ganteng-jelek. Saya bahkan menyamakan dikotomi ini dengan perilaku rasis yang membeda-bedakan warna kulit serta menganggap orang kulit putih lebih mulia daripada orang kulit gelap. Padahal seperti yang saya sebut di awal, ganteng, cantik, jelek, itu semua hanya atribut artifisial yang ada pada diri kita yang nampak secara kasat mata. Ketampanan dan kecantikan fisik sama sekali tidak ada kaitannya dengan tingkat kedudukan, kemuliaan derajat, atau indikator manusia yang lebih baik.

Bayangkan, apa jadinya jika surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang ganteng dan yang cantik berdasarkan ukuran manusia? Jika itu yang terjadi, maka akan terjadi gelombang protes besar-besaran dari para manusia yang di dunia dianggap jelek. Milyaran manusia jelek akan berteriak-teriak, berorasi meminta Tuhan untuk mencopot gelar Maha Adilnya. Mereka mempertanyakan kenapa Tuhan tega menciptakan mereka dengan wajah yang jelek? Sungguh keputusan yang tidak mencerminkan keadilan sama sekali.

Tidak mengherankan jika kemudian Tuhan menetapkan ukuran derajat manusia berdasarkan tingkat ketakwaannya. Dengan begitu, setiap manusia, baik yang kaya maupun yang miskin, yang ganteng maupun yang jelek, semua bisa masuk surga tergantung seberapa takwakah dia.

Normalnya, manusia memang mengagumi ketampanan, kecantikan, dan segala sesuatu yang dipandangnya indah. Artis yang berwajah ganteng/cantik tentu lebih mudah menggaet banyak penggemar. Sinetron dan film-film yang dibintangi artis ganteng/cantik menjadi komoditas yang laku keras. Sudah seperti hukum alam jika manusia lebih mudah mengagumi yang indah secara kasat mata.

Di lowongan-lowongan pekerjaan pun jamak kita jumpai persyaratan “berpenampilan menarik.” Pertanyaannya, bagaimana jika sejak lahir kita tidak ditakdirkan mendapat wajah yang menurut bahasa manusia disebut “tampan” atau “cantik”? Dan ketika kita menyadari diri kita tidak ganteng atau tidak cantik, bukankah syarat “berpenampilan menarik” menjadi menjengkelkan? Seakan-akan ada diskriminasi pekerjaan bagi mereka yang ditakdirkan berwajah tidak ganteng/tidak cantik (berdasarkan pandangan subjektif manusia). Itulah kenapa saya katakan pembeda-bedaan ganteng-jelek cantik-jelek tak ubahnya dengan perilaku rasis!

Ketika dunia sudah terlalu memuja ketampanan dan kecantikan fisik, maka bertebaranlah produk-produk kosmetik, krim-krim pemutih, klinik-klinik kecantikan, salon-salon, perawatan tubuh, spa, operasi plastik, sampai aplikasi permak foto wajah digital macam kamera 360! Muaranya sama, agar setiap diri menjadi lebih tampan, lebih cantik secara kasat mata dalam penilaian lingkungannya, Lagipula siapa sih di dunia ini yang tidak senang saat dipuji berwajah tampan/cantik?

Begitulah manusia. Tidak ada yang bisa dipersalahkan dari kecenderungan semacam ini. Hanya saja kita perlu bersikap bijak dan membatasi diri. Pada hakikatnya ada orang dikatakan ganteng, karena ada orang-orang yang lebih jelek di sekitarnya. Ketika si ganteng berkumpul di lingkungan orang-orang yang lebih ganteng, maka kegantengannya menjadi biasa-biasa saja.

Sebaliknya ada orang dikatakan jelek, lebih karena ada orang-orang yang lebih ganteng di sekitarnya. Jika si jelek ini berkumpul dengan orang-orang yang lebih jelek, ada kemungkinan si jelek tadi dilabeli yang paling ganteng. Jadi perkara ganteng/cantik/jelek, itu semua hanya persoalan sudut pandang yang sifatnya sangat relatif dan subjektif.

Karena itu akan lebih aman jika kita merasa diri kita jelek. Ketika kita merasa diri kita jelek tetapi orang-orang beranggapan diri kita ganteng, maka kita tergolong orang yang rendah hati dan tidak sombong. Di sisi lain ketika kita merasa diri kita jelek, dan orang-orang beranggapan kita memang jelek, berarti kita termasuk orang yang tahu diri.

Bayangkan jika ada orang yang berbangga diri merasa dirinya ganteng. Jika orang-orang menilai dirinya memang ganteng, boleh jadi ada sebagian orang yang tidak suka dan menganggapnya arogan. Di sisi lain ketika orang merasa dirinya ganteng tapi orang-orang melihat dirinya jelek, maka betapa hina dan tidak tahu dirinya orang itu.

Syukurilah setiap pemberian Tuhan. Tak pelu membeda-bedakan karunia fisik yang dianugerahkan-Nya. Bukankah menghina atau menganggap rendah fisik seseorang sama saja dengan menghina ciptaan Tuhan Yang Maha Sempurna.

Beruntunglah jika kita bisa menjadi orang yang sadar diri, merasa dirinya tidak sempurna, merasa dirinya masih bodoh, merasa dirinya tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, karena kesadaran-kesadaran semacam itulah yang akan mendorong kita untuk selalu belajar, selalu meningkatkan kualitas diri, memperbaiki diri, mengasihi dan menolong sesama, serta senantiasa ingat untuk mendekatkan diri pada Tuhannya. Karena jika tanpa kuasa-Nya, maka kehidupan kita takkan pernah ada. Belajarlah mensyukuri segala hal yang Tuhan berikan.

Solidaritas Bagi yang Sakit


Tuna sathak bathi sanak
(Peribahasa Jawa)

Akhirnya blog ini vakum juga. Inkonsistensi menulis masih saja terjadi. Maklum beberapa minggu terakhir saya disibukkan oleh penyakit aneh yang tidak jelas muasalnya. Saya sempat dibuat jengkel karena gejala dan keluhan dari penyakit ini sangat tidak konsisten.

Singkatnya, penyakit ini seperti flu. Saya meriang. Saya pikir beberapa vitamin akan memulihkan saya. Tapi kondisi tubuh saya malah melemah. Saya terserang demam tinggi berkepanjangan. Ada sekitar seminggu saya berkutat dengan demam. Ruam-ruam merah pun muncul di beberapa bagian tubuh saya.

Setelah dicek darah, ada indikasi saya terserang demam berdarah. Kadar trombosit saya mengalami penurunan, meski tidak drastis. Setelah diberi beberapa macam obat saya pikir saya akan segera pulih. Nyatanya, penyakit saya hanya hilang sesaat setelah mengkonsumsi obat. Jika efek obat sudah habis, gejala seperti demam dan sakit kepala muncul kembali. Saya pun menderita demam hampir setiap sore dan sepanjang malam. Pagi sampai siang demam saya menurun.

Saya kemudian disarankan cek darah lagi untuk memastikan apakah saya terserang malaria. Beruntung hasil lab menyatakan negatif. Tapi yang membingungkan, kadar trombosit saya malah sudah pulih di atas normal. Padahal saya masih demam tinggi dan sakit kepala.

Saya mulai berpikir yang aneh-aneh karena sudah berminggu-minggu sakit saya tak kunjung sembuh. Dokter kembali berargumen saya terkena gejala tipus. Dalam hati, saya sedikit ragu, kok bisa jadi tipus lha wong perut saya tak pernah terasa sakit seperti penderita tipus lainnya. Akhirnya saya pun diminta untuk dirawat inap di sebuah klinik. Meski saya ragu saya sakit tipus, saya mengiyakan saja dirawat inap. Toh kondisi tubuh saya memang lemah dan suhu tubuh tidak stabil.

Ini adalah kali kedua saya dirawat inap di klinik itu. Seperti biasa, jika ada orang sakit maka beberapa kerabat, tetangga, dan rekan kerja akan datang menjenguk. Awalnya saya menganggap hal tersebut biasa saja. Saya beramah-tamah dengan para tamu yang membesuk saya. Jika kebetulan ada ayah atau ibu yang menunggu, maka mereka yang akan menemani tau mengobrol.
Yang membuat saya tak habis pikir, setiap kali para penjenguk hendak pulang mereka selalu mengulurkan amplop putih pada saya. "Hey…apa-apaan ini?” batin saya.

Sebagai seorang yang jauh dari sempurna, saya telah berulang kali membuat repot orang lain, terutama orangtua saya. Saya tidak mamu menambah kerepotan itu bagi orang lain di luar lingkaran keluarga inti saya. Bukan apa-apa, rata-rata satu amplop putih setara untuk membeli 3 sampai 4 bungkus rokok kretek. Jika saya berada di posisi sebagai pembesuk yang memberi amplop putih, maka sejujurnya saya pasti keberatan karena perkara nominal isi amplop tersebut. Saya berpikir, bagaimana jika katakanlah dalam waktu seminggu ada 10 orang yang harus dibesuk sekaligus. Maka nominal amplop putih yang harus disiapkan sekitar setengah juta lebih!?

Ibu saya bahkan ‘sengaja’ tidak membocorkan informasi bahwa saya dirawat inap karena tahu konsekuensi sosial yang mungkin terjadi. Ibu saya juga merasa tidak enak pada para pembesuk terutama berkaitan dengan urusan amplop tadi. Tapi nyatanya informasi tetap bocor dan saya pun kebanjiran amplop putih layaknya mendapat surat dari penggemar.

Entahlah saya tidak begitu paham asal muasal tradisi ‘amplop putih’ saat menjenguk orang sakit. Om saya pernah berkata bahwa itu memang sudah tradisi. Dan seperti masyarakat desa lain yang masih komunal dengan ikatan kekeluargaan yang dekat, sekedar memberikan ‘amplop’ bagi si sakit adalah hal mulia yang pantas dilestarikan. Tak jauh beda dengan memberi amplop di acara kematian.

Syukurlah saya tidak perlu berlama-lama di klinik. Setelah 3 hari saya sudah diizinkan pulang. Dalam hati saya juga lega karena tidak akan ada lagi amplop-amplop putih yang mampir. Saya betul-betul tidak enak menerima hal semacam itu.

Setibanya di rumah, saya pun bisa menikmati segelas susu cokelat panas. Meski badan saya belum pulih benar, selera makan saya sudah membaik. Baru beberapa jam menikmati kesembuhan, sudah ada tetangga yang mengunjungi rumah saya.

Para pembesuk yang tidak lain adalah tetangga-tetangga saya juga turut menghaturkan prihatin atas kondisi saya. Sama seperti yang di klinik, sesaat sebelum berpamitan para pembesuk memberi saya amplop putih lagi. Nominalnya sama—setara dengan 4 bungkus rokok.

Boleh jadi saya tidak akan begitu meributkan hal remeh seperti perkara amplop jika sakit yang saya derita tergolong berat seperti gagal ginjal, diabetes melistus, meningitis, atau kanker stadium IV. Mereka yang mengidap penyakit-penyakit tersebut lebih pantas mendapatkan amplop putih. Setidaknya isi amplop akan lebih berdayaguna bagi mereka yang memang perlu dibantu karena biaya pengobatan yang tidak sedikit.

Sementara saya? Baru dinyatakan gejala tipus saja respon tetangga sudah seperti melihat saya terkena penyakit ganas.

Maaf, saya menulis ini bukan untuk mengkritik budaya ‘ngamplop’ orang sakit. Saya menghargai para pembesuk saya yang berniat baik dan ikhlas menunjukkan solidaritas dan keluhuran budaya srawung antarwarga. Saya hanya tak habis pikir kenapa. Bukankah isi amplop itu tergolong lumayan? Bukankah dengan isi amplop itu bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarga selama beberapa hari ke depan? Kenapa hanya karena alasan srawung , etika, atau karena tradisi, amplop-amplop itu ringan saja diberikan?

Mungkin benar bahwa dalam kultur Jawa, ada ungkapan “tuna sathak bathi sanak” yang artinya kurang lebih “tak mengapa jika kita merugi sedikit, yang penting dapat membina hubungan baik dengan sesama/saudara.” Dan apa yang para pembesuk dan tetangga-tetangga saya lakukan hanyalah segelintir penjabaran nyata ungkapan tersebut.

Bertahun-tahun saya tinggal di masyarakat yang kultur ke-kotaannya kental sejak SMP sampai perguruan tinggi. Rumah berpagar tinggi-tinggi, interaksi yang jarang, hingga minimnya even-even sosial antarwarga adalah pemandangan yang sering saya temui ketika di kota. Di kota ketika ada tetangga sakit, boro-boro ngamplop, tahu saja tidak. Biasanya si sakit akan dibawa sendiri oleh keluarganya ke rumah sakit. Tak perlu babibu dengan tetangga sebelah.

Bahkan saya sering tidak mengetahui kabar lelayu dari tetangga. Tahu-tahu sudah ada acara pemakaman yang entah siapa yang meninggal. Solidaritas antarwarga rendah sekali.

Walhasil saya menjadi canggung ketika saya pulang kampung, menemui masyarakat desa yang komunal dengan iklim kekerabatan yang intim. Saya serba tidak enak mendapat perlakuan akrab dari tetangga kanan kiri. Apalagi dalam ‘insiden amplop’ saat saya sakit kemarin. Saya benar-benar tidak habis pikir. Saya merasa perlu belajar lagi dari awal untuk bisa beradaptasi dengan masyarakat yang memiliki solidaritas tinggi dan memandang tetangga layaknya kerabat sendiri.


Dan semoga yang membesuk saya kemarin diberikan kesehatan dan penghidupan yang penuh berkah dari Tuhan. Saya hanya bisa menghaturkan terima kasih atas pembelajaran yang berharga ini. Ngaturaken agenging panuwun.

Tuesday 27 October 2015

Belajar Memandang Masalah secara Positif


“Jangan meributkan hal-hal sepele.
Jangan biarkan hal-hal kecil—rayap kehidupan—merusak kebahagiaan Anda.”
(Dale Carnegie)

Ini adalah sebuah nasehat lama yang hampir selalu saya temukan dalam buku-buku motivasi. Nasehat ini mengatakan bahwa diri kita sendiri adalah penentu kebahagiaan atau kesengsaraan hidup. Kita selalu dihadapkan pada dua pilihan, merespon suatu kejadian secara positif atau negatif.

Misalkan suatu ketika kita kehilangan data penting dari flashdisk. Saking banyaknya data penting yang hilang membuat kita frustasi. Normalnya, kita akan memandang permasalahan tersebut secara negatif. Kita akan merutuki nasib dan menyalah-nyalahkan diri kita sendiri. Tapi di sisi lain, betapa pun buruknya keadaan kita masih bisa menanggapi kejadian buruk secara positif. Setelah kejadian itu, kita mencoba untuk lebih berhati-hati menyimpan data. Kita yang sebelumnya malas melakukan back up data, mulai merajinkan diri membuat back up data. Pad akhirnya, kita pun belajar menjadi pribadi lebih teliti dan bertanggung jawab.

Merespon segala kejadian buruk secara positif bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kerja keras, komitmen, kesabaran, dan kelapangan diri untuk mau berubah. Hal ini dikarenakan kecenderungan pikiran kita yang lebih mudah melihat sisi buruk daripada sisi baiknya. Bukankah kita lebih mudah melihat noda hitam di tengah-tengah kertas putih daripada melihat bagian lain kertas yang masih putih bersih.

Alangkah sengsaranya diri ini, jika kita terlampau sering meributkan kekurangan, kelemahan diri, kesialan nasib, dan kelakuan buruk orang lain tanpa sekalipun mencoba berpikir ke luar dan mencari cara mendamaikan hati kita dengan pikiran positif. Padahal mendamaikan hati ketika dilanda masalah adalah poin terpenting agar kita mampu bersabar menghadapi masalah itu.

Jika sejak awal kita sudah terbelenggu dalam penyesalan, kekhawatiran, perasaan serba salah, putus asa, maka sekecil apapun masalah yang kita hadapi akan terlihat jauh lebih rumit. Segala jalan keluar seakan-akan telah tertutup. Padahal pikiran negatif kitalah yang menutup jalan keluar itu.

Sejak kecil kita diingatkan bahwa selalu ada hikmah di balik setiap musibah dan selalu ada jalan keluar dalam setiap masalah. Dua hal itulah yang harus kita temukan dalam setiap masalah atau kejadian buruk yang dialami. Untuk itu, mulailah belajar menyikapi segala permasalahan secara positif dengan merenungi hikmahnya sambil berikhtiar mencari jalan keluar terbaik.

Keberhasilan kita dalam menyikapi masalah secara positif tidak hanya menjadikan kita pribadi yang lebih dewasa. Lebih dari itu, kita akan mampu bersabar dan tegar dalam menghadapi masalah apapun. Dengan begitu, kita akan lebih mudah untuk menggapai kehidupan yang lebih berbahagia. Bukankah tujuan hidup kita adalah untuk meraih hidup yang bahagia?

Monday 26 October 2015

Tentang Cinta dari Dunia Maya


“Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun.
Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada,  cinta tak akan pernah tercipta
dalam hitungan tahun bahkan abad.
(Kahlil Gibran)

Hari sudah semakin sore. Lorong-lorong kampus sudah sepi. Kebetulan ini hari Jumat, hanya beberapa jurusan yang membuka kelas sore. Aku tercenung sendirian di lantai 2, di depan ruang penyimpanan barang. Tempat yang selalu kupilih untuk menyendiri karena kesunyiannya. Begitu sunyinya, membuatku menerawang jauh mengingat fragmen-fragmen masa laluku. Masa lalu yang seharusnya tidak pernah kuingat.

Seperti sebuah film hitam putih—kenangan-kenangan itu terputar begitu saja. Rasa-rasanya, kejadiannya baru kualami kemarin. Tanpa terasa semua itu telah berlalu. Ya, waktu memang berlalu begitu cepat dan hanya menyisakan dua hal: kenangan atau—penyesalan.

“Masih mencoba untuk melupakan masa lalu?” Suara temanku membuyarkan nostalgiaku.

“Eh…apa?” aku beringsut menoleh setengah kaget.

“Yang kau lakukan itu.” Agaknya temanku hafal membaca pikiranku.

“Bukan urusanmu!” Aku mendengus sebal.

“Ah, sikapmu selalu saja begitu. Sok tegar, meski hatimu tak pernah damai.”

“Hey, sejak kapan kau berubah menjadi pria yang peduli?” kataku ketus.

“Sejak kita berkenalan.”

“Sudah basa basinya? Ada perlu apa kau menemuiku? Tak biasanya.”

“Baiklah, aku hanya ingin bertanya. Menurutku kau yang paling tahu di antara teman-temanku yang lain.” Wajah pria di hadapanku menjadi serius.

“Kalau kau ingin menanyakan tentang keburukan seseorang, kau salah tempat.”

“Bukan itu. Aku hanya minta tanggapanmu. Apa kau percaya cinta dari dunia maya?”
Aku mengernyitkan dahi.

“Maksudmu?”

“Itu…Cinta yang muncul karena komunikasi yang intens di dunia maya.”

“Hm…aku belum pernah mengalaminya.” Jawabku pendek.

“Anggaplah kau sedang mengalaminya sekarang.” Temanku mencoba membujukku bicara.

Sebenarnya aku malas membahas persoalan perasaan. Jika pria yang berdiri di hadapanku bukan teman baikku, tak sudi kulanjutkan percakapan itu.

“Hei, bukankah sudah lama kau tahu kalau aku seorang yang sangat rasional? Lantas bagaimana mungkin aku bisa merasakan cinta hanya dari komunikasi dunia maya? Aku bukan lelaki gampangan semacam itu.”

“Ini bukan perkara gampangan atau tidak. Aku hanya menanyakan, apa kau percaya bahwa cinta bisa muncul dari dunia maya?”

“Tentu saja bisa. Tapi itu tak lebih dari proses bertemunya “perhatian” dengan “perhatian.”

“Maksudnya?” giliran temanku yang mengernyitkan dahi.

“Sederhananya, siapa sih yang tidak gembira jika  mendapat perhatian dari seseorang? Apalagi jika perhatian itu berlangsung secara intens. Padahal kau tahu, rumus agar orang bisa jatuh cinta itu sederhana. Berikan ‘perhatian dan kepedulian’ Jika yang kau cinta orang yang waras nuraninya, lama-lama dia akan luluh juga.”

“Segampang itukah? Kalau begitu, bisakah perasaan dari dunia maya menjadi cinta sejati?”

“Apa kau tidak salah orang menanyakan hal itu pada seorang lajang yang bahkan tidak punya pacar sepertiku?”

“Oh, ayolah. Aku malah lebih percaya pada kata-katamu karena jawabanmu murni dari rasionalitas pikiran yang tidak terecoki sisi emosional tertentu. Sekali lagi kutanya, bisakah perasaan dari dunia maya menjadi cinta sejati?”

“Tergantung. Setiap diri kita tidak pernah bisa memastikan masa depan. Cinta sejati, jodoh, urusan perasaan, semuanya jauh lebih rumit dari relativitas Einstein. Kau tak akan mendapat jawaban jika kau menggunakan pendekatan rasional untuk memahami urusan perasaan. Memangnya kau sedang jatuh cinta dengan gadis di dunia maya?”

“Entahlah, kukira begitu.”

“Sudah pernah bertemu?”

“Belum.” Temanku menggeleng.

“Saranku, berhentilah berangan-angan. Jangan simpulkan apapun tentangnya sampai kau menemuinya. Urusan perasaan terlalu rumit jika kau jadikan meja taruhan.”

“Bagaimana denganmu?”

“Hah? Aku? Jangan konyol. Pembicaraan ini tidak menyinggung tentangku melainkan dirimu.”

“Aku dengar kau sempat bertemu dengan gadis yang kau kenal dari dunia maya. Teman chatmu?”

“Entahlah. Aku malas membicarakannya. Dia orang yang berbeda dengan ‘dia’ yang kukenal di dunia maya.”

“Kau menyukainya?” Temanku malah menginterogasiku.

“Bodoh! Sudah lama aku tak mempercayai dongeng-dongeng cinta di masa kecil. Omong kosong jika kita membahas cinta tanpa membahas komitmen! Sudah, pembicaraan ini sampai di sini.”


Aku beringsut pergi. Temanku hanya melongo. Terpaku di tempat yang sama ketika aku menerawang mengingat-ingat masa lalu. Pria yang tengah berdiri di sana, mungkin jauh lebih menderita daripada aku.

Pokoknya Kerja…! Kerja…! Kerja…!


Saking sibuknya aku bekerja, hingga aku lupa
untuk siapa sebenarnya aku bekerja…
(Anonym)

Rutinitas kerja yang seakan tidak pernah berhenti seringkali membuat kita lalai memikirkan tentang hakikat bekerja. Seiring berjalannya waktu kita lebih mirip robot yang hidupnya disetir oleh deskjob, target, gaji, deadline hingga sisi kemanusiaan kita sendiri terabaikan. Kesibukan bekerja membuat kita serba lupa diri. Lupa akan rindunya anggota keluarga di rumah. Lupa mencari waktu untuk makan semeja bersama anak istri. Lupa menjaga kesehatan. Bahkan lupa tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya di dunia ini.

Tidak ada yang salah jika kita ‘khusyu’ bekerja. Yang salah adalah ketika ke-khusyu’-an itu justru membuat kita lalai dari berbagai momen penting dalam hidup ini.  Seorang ayah yang sibuk bekerja hingga lupa meluangkan waktu untuk anaknya tidak jauh beda dengan ayah yang tidak bertanggung jawab. Berapapun uang saku yang bisa diberikan untuk anak, semua itu akan percuma jika kebersamaan keluarga tak lagi diprioritaskan. Karena sebagai anak, perhatian orangtua jauh lebih berharga dan tidak bisa diukur dengan lembaran-lembaran rupiah.

Tapi kehidupan di zaman (yang katanya) modern ini seakan menghendaki kita untuk menjadi robot. Jamak kita jumpai orangtua yang harus bekerja di luar kota/luar negeri sehingga jarang bertemu keluarga di rumah. Nasib anak atau anggota keluarga lain dititipkan pada kerabat atau tetangga. Saking sibuknya dengan pekerjaan, orang jadi lupa untuk menyapa tetangga kanan kirinya. Bahkan kenal pun tidak.

Kehidupan sosial menjadi serba individualis. Kepekaan sosial kita terhadap penderitaan orang lain, perlahan memudar. Kita lebih sering mementingkan diri sendiri. Pada kasus yang parah, kita tak lagi peduli jika kita harus merampas hak orang lain asalkan diri sendiri mendapat untung. Sadar atau tidak, dengan cara itulah roda kehidupan modern telah memperbudak kita dan memisahkan kita dari sisi-sisi kemanusiaan kita sendiri.

Sesibuk apapun kita bekerja, kita juga manusia yang memiliki kemerdekaan dalam bertindak. Kita adalah makhluk-makhluk Tuhan yang merdeka—yang tidak seharusnya diperbudak oleh hal-hal duniawi seperti uang, pangkat, target bulanan, deadline, yang semuanya justru mencerabut kita untuk menikmati esensi kemanusiaan kita sendiri.


Kesibukan bekerja bukanlah penghalang bagi kita untuk tetap menjadi manusia dengan segala kemanusiaannya. Kita bisa saja sibuk bekerja tapi tetap harus ingat “untuk siapa aku bekerja?” Karena itu, tidak usah sungkan memasang foto keluarga di meja kerja, jika itu bisa mengingatkan kita tentang keluarga yang ada di rumah. Pun tidak usah pekewuh dianggap sok suci ketika harus izin meminta waktu beribadah. Semua itu memang perlu kita lakukan semata agar kehidupan yang serba semrawut ini tidak mengikis habis sisi-sisi kemanusiaan kita sendiri. Agar kita tetap eling lan waspada bahwa kehidupan ini tak lain adalah kesenangan yang memperdayakan—tidak kekal. Dan bahwasanya setiap diri akan menjumpai Tuhannya kelak dalam kehidupan yang lebih hakiki—kehidupan di akhirat.

Sunday 25 October 2015

Menjadi Guru Honorer: Antara Profesi dan Panggilan Nurani


“Guru bukanlah sebuah profesi—melainkan sebuah peran yang seharusnya diemban
oleh setiap orang yang memahami esensi belajar.”
(Hatake Niwa)

Sebagai lulusan jurusan pendidikan, saya sering prihatin dengan nasib para guru honorer. Sudah jamak kita jumpai berbagai paradoks di mana kesejahteraan para guru honorer terabaikan—terutama persolan gaji. Tidak peduli di kota-kota besar atau di daerah terpencil, nominal salary yang diterima para guru honorer acapkali membuat miris. Jangankan mendekati UMR, gaji sebulan bisa saja habis hanya untuk biaya transportasi. Belum lagi jika pembayaran gaji tertunda. Gaji beberapa bulan ditangguhkan untuk kemudian dibayarkan kontan pada bulan berikut.

Tetangga saya beda kampung—seorang guru honorer di SD negeri, malah hanya mendapat 300 ribu rupiah per bulannya! Nilai itu tidak lebih dari sepertiga UMR provinsi yang berkisar antara 1,1-1,3 juta. Di sekolah-sekolah swasta, gaji yang diterima biasanya lebih besar tergantung kondisi dan dukungan finansial yang dimiliki sekolah.

Minimnya gaji para guru honorer sedikit banyak bisa dimaklumi karena alokasi dana BOS untuk gaji mereka dibatasi—maksimal 15 persen. Sebagai catatan, jumlah dana BOS yang dibagikan disesuaikan dengan jumlah murid di sekolah itu. Semakin banyak murid yang bersekolah di sekolah itu, semakin banyak pula dana BOS yang diterima. Misal dalam satu sekolah terdapat 100 murid dan hanya mempekerjakan satu guru honorer, gaji yang diperoleh bisa lebih.

Tapi bayangkan sebuah sekolah dengan sedikit murid—satu kelas tak lebih dari 10 orang, dan mempekerjakan dua atau lebih guru honorer. Alokasi 15 persen dana BOS jelas tak mencukupi untuk menunjang kesejahteraan para guru honorer. Gaji yang sebenarnya sudah sedikit, masih harus dibagi lagi sehingga jatah per guru honorer semakin sedikit. Karena itu, atas dasar ‘perikemanusiaan’ terhadap guru honorer, tidak mengherankan jika kemudian muncul praktek ‘sulap’ dalam pengelolaan dana BOS (saya tidak menulis ini sebagai sebuah saran).

Bertahun-tahun guru honorer menyuarakan keluhannya pada pemerintah, tapi situasi yang ada malah semakin dilematis. Mengangkat guru honorer menjadi PNS mungkin terdengar utopis karena berseberangan dengan arah kebijakan moratorium pegawai dari pemerintah (meski beberapa waktu yang lalu kebijakan ini diambil dengan beberapa syarat dan ketentuan ketat). Menetapkan upah minimum bagi guru honorer tentu tidak mudah, karena berpotensi membuat alokasi dana BOS membengkak. Di sisi lain, kebutuhan sekolah terhadap guru kelas semakin mendesak karena masalah kekurangan guru. Hal ini pula yang memaksa sekolah mempekerjakan guru honorer agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terus berlangsung.

Sekolah memang bukan rumah sakit yang memiliki lebih banyak peluang pemasukan untuk menghidupi instansinya, seperti biaya rawat inap, layanan laboratorium, obat, dan berbagai layanan kesehatan lainnya. Analoginya, orang-orang tentu lebih rela membayar 10 juta agar nyawa anaknya tertolong daripada membayarkan uang yang sama agar anaknya bisa naik kelas. Karenanya, sulit disangkal jika tenaga honorer di rumah sakit bisa lebih makmur daripada guru honorer di sekolah. Ah, seandainya persoalan kesejahteraan tidak melulu dikaitkan dengan gaji…

*  *  *

Suatu hari saya mengantar ibu saya mengunjungi mantan rekan kerjanya yang baru saja melahirkan—sebut saja Bu Yatmi. Bu Yatmi juga seorang guru honorer di sebuah SD negeri (sekolah yang dulu dikepalai ibu saya). Sudah 10 tahun lamanya Bu Yatmi menjadi guru honorer di sana. Dari penuturan-penuturannya, saya semakin heran kenapa beliau tidak memutuskan pindah kerja saja? Apalagi statusnya sekarang adalah seorang ibu satu anak, sehingga kebutuhan rumah tangganya pun lebih banyak. Saya rasa, gaji bulanannya sebagai guru honorer tidak akan mencukupi.

Menjadi guru honorer memang pilihan. Setiap diri bebas menentukan pilihan, ingin menjadi apa dirinya saat ini. Semua itu tak lebih dari perwujudan ‘kebebasan berkehendak’ manusia. Yang saya tangkap dari raut wajah Bu Yatmi, mengajar bukan cuma persoalan banyak atau sedikitnya gaji yang diperoleh. Lebih dari itu, Bu Yatmi menikmati proses mengajar itu sendiri. Boleh jadi beliau merasakan kebahagiaan tersendiri melihat wajah-wajah polos siswanya yang riuh saat belajar, penuh tawa, keceriaan, sesekali cemberut tapi kemudian melonjak-melonjak kegirangan karena mendapat nilai tertinggi di kelas. Bu Yatmi menikmati semua itu—dan saya melihat itu dari gurat di wajahnya.

Boleh jadi, Bu Yatmi merasa bahwa mengajar adalah panggilan hidupnya. Sebuah amanah tak tertulis yang entah kenapa terbesit begitu saja dalam benaknya. Bu Yatmi nyata sudah mencintai profesinya sebagai guru. Dan ketika seseorang sudah mencintai profesinya, jangankan digaji sedikit, tak digaji pun tak akan menjadi soal.


Dan Bu Yatmi pun memutuskan menjadi guru dengan segala manis pahitnya. Tak peduli berapa gaji yang diperoleh, honorer atau pegawai, murid-murid akan tetap memanggilnya—”guru”—pahlawan tanpa tanda jasa yang akan selalu dihargai, dihormati, dan mendapat tempat tersendiri dalam kenangan murid-muridnya.

Saturday 11 July 2015

Bahaya Salah Ketik


Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan,
selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya.
(Alexander Pope)

Jika ada survey tentang intensitas kesalahan ketik, saya yakin kalangan pengguna smartphone dan tablet layar sentuh akan berada di urutan teratas—lebih banyak daripada pengguna gadget dengan keyboard  konvensional. Sejak beralih menjadi pengguna smartphone, saya cukup sering menerima pesan yang salah ketik. Saking seringnya, salah ketik pun dianggap lumrah. Cukup tambahkan koreksi pada kata yang salah ketik, meminta maaf—persoalan selesai.

Bagi masyarakat awam, kesalahan ketik memang bisa dimaklumi. Tapi bagi sebagian orang, salah ketik bisa saja menjadi perkara besar yang tidak hanya merugikan diri sendiri tapi juga orang lain. Pegawai bank, petugas kasir, peracik obat, dan pembuat dokumen resmi adalah contoh profesi yang tidak boleh salah ketik saat bekerja. Tanggung jawab mereka berbeda dengan masyarakat awam karena menyangkut hajat hidup orang lain, kepentingan instansi tempatnya bekerja dan kelangsungan karir mereka. Peraturannya sih sederhana: tidak boleh salah ketik! Tapi dalam prakteknya, menghindari salah ketik tidaklah mudah.

Baru-baru ini di tempat saya tinggal juga terjadi kasus salah ketik. Surat keterangan hasil ujian sekolah (SKHUS) masal. Sekolah-sekolah (termasuk sekolah tempat saya bekerja) dibuat kelabakan  karena harus mengurus berbagai administrasi dan membuat surat keterangan tambahan yang harus dilampirkan bersamaan dengan SKHUS tersebut. Situasi semakin mendesak karena kekeliruan baru diumumkan beberapa hari menjelang pendaftaran siswa baru tahun ajaran 2015/2016.

Setelah saya cermati, kesalahan penulisan SKHUS terletak pada nomor ujian peserta, tepatnya pada  kode tahun. Agaknya si penulis SKHUS melakukan copy-paste dari dokumen tahun lalu, tapi lupa untuk mengganti kode tahunnya. Hasilnya, SKHUS yang keliru terlanjur dicetak dan diedarkan. Sayangnya, dalam dokumen resmi tidak mengenal fitur tip-ex dan coret. Kesalahan tulis dalam bentuk apapun hanya bisa ‘diampuni’ dengan penambahan surat keterangan resmi dari instansi yang menerbitkan dokumen tersebut. Padahal dalam kasus di tempat tinggal saya tadi, kesalahan ketik hanya terjadi pada satu angka saja.

Salah ketik terkesan menjadi perkara sepele. Tapi dalam dunia literasi, salah ketik tidak bisa ditoleransi. Salah ketik ibarat sebuah bisul bernanah yang akan segera menginfeksi jaringan tubuh lainnya. Sepele—tapi dampaknya bisa sangat menyakitkan. Karena itu, penerbit buku ternama sangat memperhatikan presisi pengetikan dalam setiap naskah yang akan diterbitkan. Tidak heran jika kita jarang menjumpai kesalahan ketik dalam buku-buku terbitan penerbit ternama.

Salah ketik juga pernah menjadi ‘dosa’ saya sehingga skripsi saya ngadat beberapa hari. Saat itu saya sedang khusyuk-khusyuknya mengerjakan revisi skripsi. Saya melakukan revisi dengan segenap kesungguhan yang saya miliki, memperbaiki kalimat, tata tulis, memperbanyak kajian pustaka, hingga memikirkan teori/prosedur yang mungkin akan ditanyakan dosen. Intinya, saya tidak mau skripsi saya dikembalikan dosen untuk direvisi lagi.

Setelah dirasa cukup, dengan penuh keyakinan, saya serahkan revisi skripsi saya pada dosen pembimbing. Kebetulan dosen saya sudah berada di ruangannya sehingga saya tidak perlu menunggu lama. Skripsi saya letakkan di meja dosen. Dalam hati, saya sangat yakin skripsi saya tidak akan revisi lagi.

“Apa sudah diteliti skripsinya?”

Sesaat saya mencemaskan pertanyaan dosen saya. Tidak biasanya dosen saya berbasa-basi seperti itu.

“Sudah, Pak,” jawab saya pelan.

“Kalau saya temukan lima saja kesalahan tulis, skripsi ini saya kembalikan!”

DEG!!! Saya sempat keder mendengar ultimatum dosen pembimbing saya. Sebelumnya saya memang kurang memperhatikan presisi dalam mengetik. Saya sering mengetik dengan prinsip sing penting rampung. Saya pikir kesalahan tulis adalah persoalan sepele yang selalu dimaafkan dalam skripsi. Saya terlalu risau dengan kajian teori, prosedur penelitian, instrumen penelitian, dan hal-hal teknis lainnya, sampai-sampai mengabaikan presisi pengetikan (yang bagi dosen saya adalah persoalan besar).

Entah seberapa keruh air muka saya waktu itu. Baru sampai di halaman kata pengantar, dosen saya tidak sudi melanjutkan koreksi. Kesalahan tulis yang ditemukan sudah lebih dari lima biji. Saya pun beringsut meninggalkan ruangan, membawa skripsi dengan salah ketik yang tak termaafkan.

Sejak peristiwa memalukan itu, saya memutuskan untuk lebih memperhatikan presisi dalam mengetik. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan lama yang sering salah ketik, tapi memperbaiki diri adalah sebuah keharusan. Saya tidak mau mendapat malu untuk yang kesekian kalinya hanya karena kesalahan sepele seperti salah ketik.

Saya beruntung karena saya hidup ketika mesin ketik digital sudah jamak dipakai. Saya rasa, tombol backspace/delete adalah penemuan spetakuler—sama halnya dengan mesin cetak—karena boleh jadi keberadaannya telah berhasil menghemat jutaan lembar kertas yang terbuang akibat salah ketik. Saya tidak bisa membayangkan jika saya hidup ketika dunia literasi dipenuhi mesin ketik konvensional yang tidak memiliki tombol backspace/delete. Boleh jadi saat ini saya masih betah ‘menginap’ di kampus sambil melihat adik-adik kelas yang diwisuda.

Sedemikian pentingnya untuk mengetik dengan benar sampai-sampai menentukan kelanjutan karir seseorang. Seorang pegawai bank, misalnya, bisa saja dia dipecat/membayar ganti rugi karena salah menginput angka yang mengakibatkan kerugian bank dan nasabah. Salah ketik juga menjadi momok petugas kasir swalayan yang harus menghadapi ribuan barang belanjaan setiap harinya. Konsentrasi, teliti, dan tetap fokus pada pekerjaan sangat esensial agar salah ketik tidak terjadi.

Blog ini pun tidak lepas dari penyakit salah ketik. Betapapun saya mencoba teliti saat mengetik, kesalahan ketik kadang tetap terjadi. Agaknya saya harus menyerah pada pepatah lama bahwa “manusia memang tempatnya salah dan lupa.”

Dan bagi kalian yang masih merasa salah ketik adalah perkara sepele mungkin kalian perlu mengingat kapan terakhir kali kalian salah mengetik huruf U pada kata “TAHU” menjadi huruf I ??? Bukan wewenang saya untuk memastikannya. Kalian sendiri yang lebih tah* (sengaja saya sensor, takut kalau-kalau salah ketik lagi).

Wednesday 1 July 2015

Bocah-Bocah Usil di Langgar

Paklik, bawa anak kecil ke masjid hukumnya apa sih?”

“Lho, bukan wewenang saya memfatwa.”

“Walah, Paklik ini. Yasudah saya tanya pendapat Paklik saja. Saya mau nguda rasa ini.”

Paklik mengangguk pelan.

“Tahu sendiri kan Paklik, kalau tarawih di langgar* sebelah pasti ada anak kecil yang ramai di belakang.”

“Memangnya masalah?”

“Ya jelas mengganggu kekhusyukan beribadah to, Paklik. Terutama si Paidi. ‘Amin’-nya sengaja di-mbleyer-mbleyerke  ngalahin suara knalpot motor.”

“Lha wong Paidi masih bocah kok piye.”

Mosok nggak diingatkan to, Paklik.”

“Berarti kamu yang harus belajar khusyuk.”

“Gimana mau khusyuk kalau Paidi dan konco-konconya gojek sendiri di belakang?”

Mbok ya maklum saja. Mereka kan masih anak-anak, besok kalau sudah baligh juga sadar, nggak bakal rame lagi kalau di langgar.”

“Jadi saya harus nunggu mereka baligh, Paklik? Kenapa nggak sekalian dilarang aja itu Paidi cs ke langgar?”

“Wah, kalau sampe melarang saya ndak sependapat. Ditegur saja.”

“Nggak bakal kapok, Paklik. Minta dijewer itu bocah-bocah.”

“Halah, mbok ya wes ben, to Gus. Biarkan saja. Lagipula bocah-bocah yang rame pas sholat itu nggak beda jauh kayak kamu.”

“Kok saya, Paklik?”

“Lha iya to. Kalau anak-anak itu ramenya vulgar, blak-blakan. Kalau orang dewasa sholat, ramenya di sini.” Paklik menunjuk kepalanya yang mulai beruban.

“Orang dewasa sholat itu sebenarnya juga rame. Badannya di tempat sholat tapi pikirannya ngelayap ke urusan dunianya, pekerjaannya, duitnya, istrinya, anaknya. Nggak beda kan sama Paidi dan konco-konconya?”

Paklik menyeruput kopinya sambil membenahi letak kopiahnya. Sejurus kemudian ia sudah beringsut mentafakuri kitab yang dibawanya sejak tadi. Aku hanya mengangguk takzim, mengiyakan.


NB:
*langgar: surau, tempat sholat sederhana, masjid kecil yang biasa ada di perkampungan