Subscribe:

Labels

Monday 29 June 2015

Mahasiswa Salah Jurusan


Sungguh merugi orang yang menyesali masa lalunya yang tidak mungkin kembali dan mengkhawatirkan masa depan yang belum terjadi, hingga ia menyia-nyiakan 
penghidupannya hari ini.
(Hatake Niwa)

Memilih jurusan kuliah bukanlah perkara sepele. Betapa banyak mahasiswa yang setelah diterima di perguruan tinggi malah kecele—menyadari dirinya telah salah memilih jurusan. Akibatnya para mahasiswa yang salah jurusan menjadi kumpulan pesakitan di kampus. Kuliah tidak serius, skripsi terbengkalai, IPK mengkhawatirkan, hingga terancam kena drop out (DO) dari kampusnya.

Bagi mereka yang punya dana melimpah, bisa saja mereka pindah jurusan begitu pendaftaran mahasiswa baru dibuka kembali. Uang masuk puluhan juta yang kadung dibayarkan tak menjadi soal, yang penting bisa pindah jurusan sesuai passion yang diminati. Tapi bagaimana dengan mereka yang kadung salah jurusan tapi tidak memiliki pilihan lain selain menyelesaikan studi di jurusannya yang salah?

Sewaktu saya kuliah, beberapa teman saya sering nyeletuk telah salah memilih jurusan. Mereka tidak bahagia di jurusan yang diambilnya. Sebagian besar karena prospek jurusan yang dinilai tidak cukup bagus untuk mendapat pekerjaan yang layak. Maklum, jurusan saya adalah jurusan pendidikan yang prospek profesinya adalah menjadi tenaga pengajar (guru/dosen). Bukan rahasia lagi jika selama ini gaji guru tidak menjanjikan (kecuali guru yang sudah menjadi PNS dan mendapat sertifikasi beserta tunjangan-tunjangannya).

Bandingkan dengan jurusan-jurusan lain semisal jurusan berlatar kesehatan (perawat, bidan, dokter). Lowongan bagi jurusan-jurusan tadi cukup banyak, sehingga ketika masa studi berakhir lulusan dari jurusan tadi dapat segera terserap lapangan kerja dengan penghasilan yang lumayan (untuk ukuran fresh graduated).

Pertanyaan saya, kalau mereka tahu prospek jurusan pendidikan seperti itu, kenapa tidak segera pindah jurusan saja?

Saya yakin ada ribuan mahasiswa lain yang mengalami nasib serupa—menyesal telah salah memilih jurusan. Sebagian menyesali pilihannya begitu kuliah dijalani. Sebagian lagi menyesal ketika dirinya sudah lulus. Mereka pun terjebak pada penyesalan klise, “Seandainya dulu saya tidak kuliah di jurusan ini, pasti nasib saya lebih baik…”

Penyesalan memang selalu datang belakangan, tidak mungkin penyesalan hadir sebelum suatu peristiwa terjadi. Yang sudah terjadi biarkan terjadi. Keputusan sudah kita ambil. Di antara sekian pilihan, kita sudah memutuskan untuk memilih salah satunya yang kita anggap paling baik. Ketika kita memilih jurusan A, kita pasti sudah mempertimbangkannya masak-masak kenapa kita memilih jurusan itu—kecuali kalau kuliahnya sekedar untuk mencari titel sarjana. Karena pilihan yang kita ambil sudah didasarkan pertimbangan matang, kita pun harus konsekuen dengan segala resikonya. Menyalah-nyalahkan diri sendiri atau merutuk pilihan kita yang telah lalu sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Mahasiswa yang merasa salah jurusan harus tetap mengedepankan rasionalitasnya.

"Manusia tidak bisa pergi melintasi dimensi waktu. Kita hanya bisa bergerak mengikuti dinamika waktu itu sendiri yang bergerak sangat cepat."

Kalau mau jujur, orang yang bisa kuliah itu seharusnya bersyukur. Ada jutaan pelajar yang belum bisa mengenyam bangku perguruan tinggi. Giliran kita yang sudah menjadi mahasiswa malah ribut memikirkan jurusan yang salah pilih. Pikirkan pula bagaimana kedua orangtua kita yang telah bersusah payah membiayai kuliah dengan harapan anak kebanggaannya dapat meraih penghidupan yang lebih baik di masa mendatang.

Karena itu, saya sangat menyarankan terutama pada adik-adik calon mahasiswa. Pertimbangkan masak-masak jurusan apa yang ingin dipilih. Kenali passion kalian. Dan yang paling penting, jangan cuma ikut-ikutan teman. Dunia kuliah tidak sama dengan dunia sekolah. Kuliah menuntut kemandirian kalian dalam belajar dan belajar membuat keputusan. Nasib kalian ketika kuliah ditentukan oleh pilihan-pilihan yang kalian ambil. Maka berhati-hatilah dalam membuat keputusan.

Bagi kalian yang saat ini sedang menjalani kuliah dan merasa salah jurusan, saya sarankan untuk mempertimbangkan pilihan pindah jurusan (dengan catatan kondisi finansial dan dukungan orangtua memungkinkan). Jika tidak, maka ikhlaslah menjalani kuliah di jurusan itu. Suka atau tidak, pilihan yang tersisa tinggal menjalani kuliah di sana daripada DO (mubazir kan uang yang sudah dibayarkan). Ikuti berbagai kegiatan lain di luar kuliah yang sesuai dengan passion kalian. Dengan begitu setidaknya kalian tetap mendapat pengalaman baru di bidang yang sesuai passion kalian meski bukan dari ruang kuliah.

Dan bagi kalian yang menyesal ketika sudah lulus, maka belajarlah untuk ikhlas dan jangan pernah menyalahkan nasib. Keputusan sudah diambil. Nasib hari ini adalah buah dari keputusan yang kita tanam kemarin. Jangan terlalu terpengaruh oleh orang-orang yang rewel menanyakan: “Kenapa kemarin nggak kuliah di jurusan ini saja…?” Tidak ada gunanya meladeni pertanyaan mereka yang klise yang boleh jadi malah akan menambah penyesalan kita. Lebih baik segera mencari jalan keluar agar hidup kalian tetap survive meski salah jurusan. Jika memungkinkan tidak ada salahnya untuk mendaftar kuliah lagi di jurusan yang sesuai dengan minat kalian. Itu pun kalau urusan finansial tidak bermasalah dan kalian siap menghabiskan bertahun-tahun lagi di bangku kuliah.

Yang jelas pertimbangkanlah setiap pilihan yang kalian ambil dengan kepala dingin. Bijaklah memikirkan semua kemungkinan, peluang, dan resiko dari setiap pilihan. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama. Dan berhentilah menyesali keputusan di masa lalu yang boleh jadi tidak mengenakkanmu. Masa lalu tidak akan berubah dan masa depan kita belum ditulis. Karena kita hidup di hari ini, bukan hari kemarin, bukan juga esok. Maka berikanlah yang terbaik darimu untuk hari ini.

Sunday 28 June 2015

Untuk Hidup Kita Butuh Konsistensi

Kita tidak tahu pada usaha ke berapa usaha kita akan berhasil.
Kita juga tidak tahu doa ke berapa yang akan Tuhan kabulkan.
Satu hal yang bisa kita lakukan—memperbanyaknya.
(Anonim)

Setetes air memang tidak akan membuat perubahan berarti pada batu yang jauh lebih keras karena kerapatan molekulnya. Tapi ketika tetesan air semakin banyak dan terjadi dalam kurun waktu puluhan tahun, batu akan mengalami pengikisan. Pada akhirnya, konsistensi air yang menetes berhasil membuat lubang pada batu itu.

Sama halnya ketika kita ingin memecah batu. Pukulan palu pertama boleh jadi tidak berhasil. Kita pun memberikan pukulan kedua, ketiga, keempat, sampai akhirnya batu itu berhasil kita pecahkan. Kita berhasil karena konsistensi kita memukulkan palu. Tapi pertanyaannya, apakah kita bisa memastikan, pada pukulan ke berapa batu itu akan pecah?

Setiap orang tidak tahu tentang masa depannya. Seakan-akan Tuhan merahasiakan masa depan kita agar setiap diri lebih mengutamakan usaha. Kita juga tidak tahu pasti berapa hasil yang kita peroleh. Kita bisa saja membuat rencana—misal rencana bisnis—sampai mengkalkulasikan prospek laba sekian-sekian. Tapi kita tidak tahu pasti seperti apa prospek laba itu menjadi kenyataan. Begitu pula dengan orangtua yang bersusah payah membesarkan anaknya, menyekolahkannya tinggi-tinggi dan memberi bekal terbaik untuk masa depan si anak. Orangtua tidak bisa menggaransi kapan waktunya si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, meraih sukses dan hidup berkecukupan. Justru konsistensi usaha-lah yang menjadi kepastian itu sendiri.

"Orang-orang yang konsisten pada kerja keras tentu lebih mudah untuk sukses daripada mereka yang konsisten pada kemalasan."

Tetangga saya—sebut saja Pak Agus (bukan nama sebenarnya)—juga menerapkan prinsip konsistensi. Warung Pak Agus bisa dibilang warung modern pertama di desa saya. Pelayanannya ramah dan selalu menyediakan ruang khusus untuk mainan anak-anak secara lengkap. Sejak saya TK hingga sekarang lulus kuliah, warung Pak Agus masih tetap eksis dengan ruang khusus mainan anak-anak yang ikonik. Warung Pak Agus pun menjadi salah satu referensi utama bagi anak-anak yang ingin membeli mainan di desa saya. Munculnya warung baru dengan konsep swalayan lengkap dan murah di desa saya, memang berhasil membuat satu dua warung gulung tikar. Tapi tidak halnya dengan warung Pak Agus yang tetap konsisten beroperasi di tengah mencuatnya pesaing-pesaing baru.

Di tempat lain akan lebih sering kita jumpai orang-orang yang konsisten pada profesinya. Boleh jadi mereka adalah mamang tukang sayur yang setiap pagi mendorong gerobak sayurnya berkeliling komplek. Atau guru honorer yang konsisten mengajar meski gajinya tidak seberapa. Atau buruh tani yang senantiasa bekerja keras menggarap sawah tanpa pernah tahu pasti berapa benih padi yang akan berhasil dipanennya kelak. Penghasilan mereka memang tidak bisa dibandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan seperti dokter, PNS, atau polisi. Tapi konsistensi mereka pada usahanya menyentil kehidupan kita yang ‘lembek’ dan terlalu royal mengeluhkan sedikitnya hasil.

Segala kemudahan dan kecanggihan teknologi yang kita miliki membuat kita malas. Kita tak lagi menghargai kerja keras dan menginginkan segala sesuatu yang serba instan. Perlahan etos kerja kita menurun. Kita lebih sensitif meributkan sedikitnya gaji daripada memikirkan kualitas kerja kita selama ini. Tanpa sadar kita menjadi manusia-manusia yang lebih mementingkan hasil,daripada proses.

Sebaliknya, prinsip konsistensi melekat pada proses, bukan hasil. Betapa tidak tahu dirinya jika kita mengharap hasil yang konsisten tanpa menerapkan usaha yang konsisten pula. Jangan suka meremehkan usaha orang lain yang tampak kecil karena siapa tahu Tuhan akan mengganjar mereka dengan kesuksesan di masa depan. Lagipula bagaimana mungkin kita bisa menjalani hidup ini jika kita terlalu banyak mengeluh dan terlalu mudah menyerah pada kegagalan? Karena untuk hidup, kita memerlukan konsistensi dalam berusaha, tak peduli kapan usaha itu akan membuahkan hasil.

Apakah Biil Gates pernah berpikir untuk menjadi manusia terkaya ketika memulai usahanya di bilik garasi rumahnya? Pun dengan almarhum Bob Sadino—apakah dia tahu bisnis Kemchicks yang dimulainya dengan door to door akan menjadi sesukses sekarang? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu, mereka telah membuat rencana. Mereka telah mencoba segala sumber daya yang dimiliki. Dan mereka telah melakukan usaha terbaik secara konsisten setelah berulang kali menemui kegagalan. Dan lihatlah prestasi apa yang telah Tuhan beri pada mereka sejauh ini. Karena pada prinsipnya, tidak mungkin Tuhan akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang berusaha mengubah nasibnya sendiri. Tak tertolak!

Kebencian 'Setengah-Setengah'

Sungguh aku tak mau menghabiskan sisa umurku dalam dekapan kebencian.
Ikhlaslah engkau memaafkan dan biarkan aku berbaring dalam dekapan kedamaian
(Hatake Niwa)

“Jangan pernah membenci orangnya, bencilah sifatnya” kata AA Gym. Ketika saya menshare tentang hal tersebut di media sosial, seorang teman menanyakan kepada saya, Bagaimana caramu memisahkan kedua hal itu?”

Well, dalam interpretasi saya, apa yang dimaksudkan AA Gym adalah sebuah konsep membenci dengan  bijaksana. Membenci adalah respon wajar seseorang ketika menemui sesuatu yang tidak disukainya. Boleh jadi karena sesuatu itu bertentangan dengan standar-standar nilai atau moral yang kita anut. 

Misalnya kita punya standar moral bahwa tepat waktu adalah keharusan. Kemudian kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus bekerja dengan seseorang yang tidak menghargai standar nilai yang kita anut. Rekan kerja kita ini punya kebiasaan datang terlambat dan tidak peduli pada kejaran deadline. Sebut saja rekan kita ini Sukir (maaf jika ada kesamaan nama).

Sebagai orang yang memiliki standar moral tentang disiplin, kita pasti muak melihat kelakuan Sukir. Sekali dua kita pasti akan menegurnya. Tapi ketika teguran demi teguran tidak diindahkan, sangat wajar bila kita membenci Sukir yang semau gue tadi. Tapi, jika kita sudah membenci Sukir, selanjutnya apa? Di sisi lain kita satu kantor dengan Sukir. Suka atau tidak setiap hari kita pasti bertemu dengannya. Mungkin saja kita akan mengadu pada atasan perihal kinerja Sukir yang keterlaluan. Tapi karena kita segan dicap tukang ngadu, kita urungkan niatan mengadu.

Pada kondisi ini kita punya dua pilihan. Pertama, kita bisa membenci manusia yang bernama Sukir seutuhnya. Artinya di mana pun Sukir berada kita akan langsung memasang aura kebencian di wajah kita. Jangankan menyapa, berjabat tangan pun tidak ikhlas. Kedua, kita bisa membenci ketidakdisiplinan Sukir saja. Ketika bertemu dengan Sukir, kita tetap memperlakukannya sebagai orang baik-baik.

Kebencian yang pertama terlihat terang-terangan. Kita menampakkan kebencian pada Sukir dengan perilaku kasat mata. Boleh jadi semua orang di kantor—termasuk Sukir—juga tahu kita sangat membenci Sukir. Kebencian yang kedua agak munafik. Kita memang membenci Sukir tapi tidak sampai menampakkan kebencian itu dalam pergaulan sosial.

Kedua hal di atas adalah pilihan. Setiap orang berhak memilih kebencian seperti apa yang akan ditimpakan pada Sukir. Bagi yang suka terang-terangan menunjukkan emosinya, pilihan pertama adalah pilihan paling rasional. Sementara bagi mereka yang kadar sungkan atau pekewuh-nya di atas rata-rata, maka mereka pasrah pada pilihan kedua.

Dalam pemahaman saya, kebencian pertama yang terang-terangan cenderung berpotensi menjadi sesuatu yang destruktif. Okelah, Sukir memang salah. Sikapnya yang tidak disiplin lebih sering merugikan rekan kerjanya. Kita berhak membencinya. Tapi bisakah kita atur kadar kebencian itu sebatas pada sifatnya? Artinya seperti pilihan kedua, kita hanya membenci ketidakdisiplinan Sukir tapi dalam pergaulan kita tetap baik pada Sukir.

Tidak mudah menerapkan konsep membenci ‘setengah-setengah’ ini. Ketika kita sudah membenci, biasanya kebencian itu akan tampak lahir batin. Tidak hanya benci sifatnya tapi juga benci orangnya.

Tapi di sisi lain, kita pun harus memahami bahwa kita tidak akan pernah bisa memaksa setiap orang berlaku sesuai standar nilai dan moralyang kita anut. Sehebat apapun kita, kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang-orang sepenuhnya. Orang-orang akan selalu berperilaku sesuai standar mereka masing-masing. Bahkan para Nabi—manusia pilihan Tuhan—pun tidak mampu membuat seluruh penduduk bumi beriman. Yang bisa kita lakukan sebatas memberi peringatan, menegur, menuntut, dan memberi tindakan koersif (paksaan)—meski semua itu tetap tidak menjamin kepatuhan orang lain pada standar nilai dan moral yang kita anut.

Kembali pada kasus Sukir. Bisa saja kita memilih untuk membenci Sukir lahir batin, menggunjingkan tabiat buruknya dan membiarkan seluruh kantor tahu betapa kita sangat membenci Sukir. Boleh jadi Sukir pun tahu kita membencinya. Tidak mengherankan jika kelak pergaulan kita dengan Sukir lebih sering diwarnai perdebatan dan pertengkaran.

Untuk menghindari pertengkaran dan perdebatanyang tidak perlu itulah, alangkah bijaknya jika kita membatasi kebencian kita pada Sukir. Benci tetap benci, tapi sekedar pada sifatnya yang tidak disiplin di tempat kerja. Di luar itu kita bisa memilih untuk memaklumi pribadi Sukir dan memperlakukannya baik-baik. Untuk apa

Tapi perlu dicatat bahwa kebencian ‘setengah-setengah’ ini sifatnya terbatas. Hanya ditujukan untuk menjaga hubungan baik dengan orang-orang terdekat seperti keluarga, saudara, mertua, menantu, dan rekan kerja. Di luar itu, kita tidak bisa membenci ‘setengah-setengah’ pada orang yang jelas-jelas melakukan tindak kriminal dan melanggar konsensus umum masyarakat seperti para koruptor, pencuri, perampok dan pembunuh.

Poin penting yang ingin saya sampaikan dalam uraian ini adalah pentingnya sikap selektif dalam membenci sesuatu. Jangan sampai hubungan baik kita dengan orang lain rusak karena kebencian itu sendiri. Mau tak mau kita harus belajar memaklumi dan memaafkan tabiat buruk orang lain. Kalau pun kebencian itu harus ada, maka bencilah sekedar membenci sifatnya. Tidak perlu terang-terangan menampakkan kebencian itu yang boleh jadi dapat merusak hubungan kita dengan orang lain.

Lagipula, bagaimana mungkin kita bisa menjalani hidup dengan kebencian yang berlarut-larut? Bukankah hidup akan lebih indah jika kita mulai belajar untuk memaafkan dan berlapang dada?

Monday 22 June 2015

Alasan Kenapa Bersikap Ramah Itu Penting

Saya selalu menyukai orang-orang ramah. Dan selalu ada ungkapan terima kasih
bagi mereka yang ikhlas dalam keramah-tamahannya.
(Hatake Niwa)

Pegawai bank, pramugari, dan operator customer service adalah segelintir profesi yang mengharuskan pelayanan ramah kepada pelanggan. Prosedur pelayanan mewajibkan hal tersebut. Biasanya mereka akan memakai senyum, salam, dan sapa untuk menunjukkan keramahannya. Saking ramahnya, seringkali keramahan mereka disalahartikan oleh ‘pelanggan nakal,’ dari yang sekedar ke-GR-an, celetuk genit, sampai ajakan kencan.

Pegawai bank, misalnya. Saya sering bertanya-tanya, apakah keramahan pegawai bank itu sebatas standar pelayanan atau memang asli bagian dari karakter mereka. Tentu saja saya bersyukur jika dalam kesehariannya, para petugas bank memberi keramahan yang sama seperti yang ditunjukkan di tempat kerja. Artinya mereka tidak munafik. Mereka tetap menujukkan keramahannya dimana saja. Hal ini baik untuk kepercayaan (trust) dan citra diri mereka di mata pelanggannya.

Sikap ramah tidak hanya memudahkan kita diterima dalam pergaulan, tapi juga dapat menunjukkan perhatian dan kepedulian kita pada orang lain. Sikap ramah juga dapat menjauhkan kita dari berbagai prasangka buruk dan mengundang kepercayaan orang lain pada diri kita.

Di dekat rumah saya ada dua warung makan. Warung makan pertama memiliki sajian yang lengkap mulai dari sayur, laup-pauk dan kudapan. Meja-meja makan tertata rapi di ruangan yang cukup luas. Pelanggan pun betah jika harus berlama-lama makan di situ. Tak heran warung pertama selalu kebanjiran pembeli. Sementara warung kedua lebih sederhana. Tempatnya tidak begitu luas dan sajiannya tidak selengkap warung pertama. Pembelinya pun tidak seramai warung pertama. Tapi poin pentingnya, saya menyukai keramahan warung kedua.

Pemilik warung kedua selalu berusaha menjalin keakraban dengan pelanggannya. Pelayannya murah senyum dan tak risih membalas ucapan terima kasih. Meski jualannya kalah lengkap dibanding warung pertama, keramahan pemilik warung menjadi nilai jual tersendiri yang belum tentu bisa ditandingi pesaingnya. Di warung pertama, saya tidak menemukan keakraban khas pembeli dan pelanggan. Pelayanannya datar-datar saja. Ditambah lagi dengan bejubelnya pembeli. Luasnya ruangan tidak sebanding dengan luasnya keramahan pelayannya. Begitu transaksi selesai, pelanggan beringsut, habis perkara. Tidak ada basa-basi terima kasih atau sekedar mengulas senyum. Pelayan warung seakan-akan ‘meneriaki’ pelanggannya: “Ini makanannya, sudah—hush hush cepet pergi sana!”

Karena itu, dalam beberapa hal saya sering memilih untuk membayar (sedikit) lebih mahal demi sebuah pelayanan yang ramah daripada membayar murah tapi diperlakukan seperti binatang peliharaan yang mengantre vaksin. Saya tidak merasa rugi mengeluarkan banyak uang jika itu sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Saya risih jika harus menghadapi penjual yang mimik mukanya judes dan gaya bicaranya ketus. Terkadang saya harus melontarkan sedikit lelucon sekadar untuk memancing senyum ramah si penjual. Sayangnya tidak banyak usaha saya yang berhasil. Kebanyakan tetap keukeuh pada kejudesannya. Dalam hati saya berpikir, sayang sekali jika dagangan si penjual tidak laku hanya karena kurangnya keramahan penjual itu sendiri. Lebih baik tidak usah menjadi pedagang jka tidak murah senyum.

Bagi saya, keramahan ini persoalan serius. Saat kanak-kanak saya pernah mengalami trauma karena dibentak pengajar saya. Bukan apa-apa—saking trumanya, hingga sekarang saya sering mempersepsikan orang yang tidak ramah sebagai orang jahat. Begitu pula dengan orang yang keukeuh bersikap judes dan pelit senyum saat bertemu orang lain.

Sebaliknya, saya sangat menghargai orang-orang yang dengan sukarela mengulas senyum dan tidak ragu bertegur sapa. Orang-orang ini memiliki kendali emosi yang baik, tidak mudah tersulut amarahnya. Mereka tidak asing dengan bahasa keramahan karena keramahan sudah menjadi bagian dari karakternya. Siapapun pasti mudah bergaul dengan orang seperti ini.

Dari keramahan-keramahan yang saya temui, saya berpikir bagaimana seandainya keramahan itu ditransformasikan dalam lingkup yang lebih luas—di mana saja kita berada. Di rumah-rumah sakit, kantor-kantor polisi, pasar, sekolah, hingga ruas-ruas jalan raya. Semua orang di tempat itu berlaku ramah, tidak ada yang mengumbar emosi dan serapah caci-maki. Saya yakin dinamika kehidupan kita akan jauh lebih tertata dan terhindar dari kesemrawutan.

Sayangnya, kehidupan modern seringkali mengabaikan pentingnya bersikap ramah pada orang lain. Kesibukan kantor, target-target, deadline, dan rasa penat menghadapi klien, semua menjadi alat pembenaran untuk mengabaikan keramahan dalam pergaulan sosial. Begitu pula ketika di rumah. Kelelahan setelah seharian bekerja di kantor membuat orang malas bertegur sapa dengan tetangganya. Sekedar memberi senyum pun segan. Tak jarang, mereka sering asing dengan tetangga sebelah rumahnya sendiri.

Seperti yang disebut di atas, keramahan yang bermakna adalah keramahan yang ditunjukkan dengan ikhlas. Sulit untuk mempercayai orang ramah yang keramahannya penuh tipu-tipu. Orang-orang ini hanya menunjukkan keramahan ketika ada maunya saja. Senyum-senyum yang mereka tebar tak lebih dari seringai-seringai iblis. Basa-basi yang diutarakan terasa canggung—menjadi polusi bagi telinga para pendengarnya. Alih-alih keramahan justru  mereka jadikan alat untuk menjilat atasan, mencari muka, pencitraan, dan berbagai atribut kemunafikan lainnya. Keramahan yang tidak tulus adalah kesia-siaan. Kalau boleh memilih, lebih baik sikap judes yang apa adanya, daripada keramahan yang penuh kemunafikan.

Di profile akun Google+, saya tegaskan: “Saya menyukai orang-orang ramah.” Prinsip saya, keramahan adalah energi positif yang cepat atau lambat akan kembali pada kita dalam bentuk hal positif lainnya. Keramahan seorang pedagang akan mendatangkan lebih banyak pembeli dan pelanggan setia. Keramahan seorang guru akan mendatangkan kesan baik dari murid-muridnya. Sebuah senyum keramahan yang diberikan dengan tulus akan membawa kedamaian bagi siapapun yang melihatnya.

Bukan berarti keramahan yang  kita berikan demi pamrih tertentu. Melainkan kita harus meyakini bahwa keramahan yang tulus bukanlah perbuatan sia-sia. Dan di dunia ini, akan selalu ada tempat bagi orang-orang ramah untuk saling berbagi dengan sesama dalam bingkai kedamaian.

Friday 19 June 2015

Hanya Beruntung

Aku hanya beruntung,
Terlahir dari keluarga berada
Yang membuat semua pinta menjadi terlaksana
Yang membuat semua mimpi menjadi nyata

Tak usah kau iri, kawan
Aku hanya beruntung
Mendapat kesempatan menapak tangga belajar  tinggi-tinggi
Meski Tuhan menciptakanku ‘berbeda’

Tak usah kau dengki, kawan
Aku hanya beruntung
Bisa mengerjakan banyak hal
Meski diriku sendiri penuh dengan keterbatasan

Tak usah kau bersyak prasangka, kawan.
Aku hanya beruntung
Kebaikanmu dan kebaikanku sama dalam niat
Kepedulianmu dan kepedulianku sama dalam keikhlasan

Kuucap syukur pada-Nya atas takdir yang mempertemukan kita
Karena—mengenalmu—juga keberuntungan terbesar dalam hidupku

Mengapa Manusia Harus Saling Berbagi?

Anugerah terbesar dalam hidup ini adalah kehidupan itu sendiri,
dan kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah dekatnya hati dengan rasa syukur
(Hatake Niwa)

Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan di mana, siapa orangtua kita, bagaimana keadaan kita ketika lahir, dan semacamnya. Kita lebih tepat dianalogikan sebagai ‘barang jadi’ yang ketika lahir sudah ditentukan garis hidupnya. Karenanya ada bayi yang dianugerahi fisik normal, kecerdasan, dan bakat tertentu. Tapi ada pula bayi yang terlahir dengan kekurangan tertentu, baik dari segi fisik maupun psikisnya. Ada bayi yang terlahir di rumah-rumah sakit kelas satu. Tapi tidak sedikit bayi-bayi yang terlahir di bilik-bilik bidan, dukun beranak, kolong jembatan, hingga lokalisasi tempat pelacuran.

Benang merah dari semua itu—kita tidak bisa memilih kondisi ketika kita dilahirkan. Kita adalah ‘barang jadi’ dengan segala kelebihan dan kelemahan yang Tuhan beri. Kita tidak punya kuasa menolak kehendak Tuhan. Apa yang Tuhan beri maka harus kita terima. Karena itu, salah satu prinsip mendasar agar kehidupan kita bahagia adalah ‘rasa syukur.’

Tapi bagaimana kita akan memahami rasa syukur jika kita dilahirkan dengan berbagai ketidakberuntungan? Misalkan ada seorang yang terlahir dengan disabilitas tertentu. Kondisi fisiknya yang serba terbatas membuatnya selalu membuthkan pertolongan orang lain. Sementara keluarganya adalah golongan kurang mampu sehingga tidak ada cukup uang untuk biaya pengobatannya. Jika kita berada pada kondisi semacam ini, bagaimana cara kita untuk bersyukur?

Sebagian kita mungkin bisa bersyukur karena terlahir dengan kemapanan tertentu. Semua kebutuhan pokok dapat terpenuhi. Kita bisa bebas melakukan apa saja tanpa terhambat disabilitas tertentu. Kita bisa bersekolah tinggi-tinggi tanpa harus menghadapi stigma. Kita bisa makan teratur dengan asupan gizi yang baik. Hidup kita terasa sangat layak dibandingkan dengan mereka yang bahkan untuk makan sehari saja sulit.

Karena itu, agama mengajarkan umatnya untuk ‘berbagi.’ Berbagi rezeki adalah sebuah manifestasi spiritualitas manusia dalam pergaulan sosial. Bisa dikatakan, ibadah seseorang belum lengkap jika dirinya tidak pernah bersedekah. Kesadaran untuk berbagi ini pula yang menjadi pembeda derajat manusia dan binatang.

Perhatikan ayam ketika diberi makan. Ayam-ayam itu saling berkelahi, berebut makanan. Ketika seekor ayam mematuk makanan, makanan yang diperoleh dibawanya pergi menjauh dari kejaran ayam lain yang berusaha merebutnya. Boleh jadi ayam-ayam itu makan bersama, tapi tidak ada ayam yang dengan sukarela memberikan makanannya untuk ayam lain. Pengecualian pada induk ayam yang memberi makan pada anak-anaknya. Di luar itu, naluri binatang tidak mengenal konsep berbagi dengan sesamanya.

Dengan berbagi, kita akan merasa kehidupan kita menjadi lebih berarti. Kita merasa bahagia ketika apa yang kita berikan dapat bermanfaat bagi orang lain. Dengan berbagi, kita menyadari bahwa ada banyak orang yang tidak seberuntung kita. Dari sanalah hati kita akan lebih dekat dengan rasa syukur.

Bandingkan dengan orang yang mementingkan dirinya sendiri. Segala usaha dilakukan hanya demi kepentingan perutnya sendiri. Tak peduli meski usahanya menyengsarakan orang lain. Prinsipnya, yang penting hidup saya enak. Yang penting duit saya banyak. Yang penting saya yang selamat—peduli setan dengan orang-orang. Orang semacam ini akan sulit meraih kedamaian dalam hidup. Alih-alih ia akan lebih rentan terkena depresi, kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan terhadap masa depannya sendiri.

Banyak orang yang terpaku pada tujuan dan ambisi pribadinya kemudian mengabaikan spiritualitasnya. Yang terjadi kemudian, orang-orang ini mengalami kegelisahan dan keresahan karena hidupnya tak kunjung bahagia meski segala keinginannya sudah terpenuhi.

Semua hal dalam hidup ini sudah kumiliki. Harta, uang, rumah, mobil, anak, jabatan, pangkat, hidup yang berkelimpahan, semua sudah kuperoleh, lalu apa selanjutnya?

Pertanyaan ini boleh jadi menggelisahkan mereka yang sering mengabaikan kondisi spiritualitasnya. Tujuan-tujuan pribadinya memang tercapai. Tapi tujuan hakiki dalam hidupnya justru belum terentuh dan menjadi kepingan puzzle yang hilang dalam dinamika kehidupannya. Karena itu, tidak heran jika orang-orang terkaya di planet ini—seperti Bill Gates—mendermakan sebagian kekayaannya untuk kegiatan amal. Mereka membutuhkan sesuatu untuk menggenapi puzzle kehidupannya dan menjawab pertanyaan “lalu apa selanjutnya?

Berbagi tidak bisa dimaknai sebagai pengurangan jatah rezeki dari Tuhan. Jika kita menyedekahkan uang kita, secara fisik uang kita memang berkurang. Tapi secara spiritual, derajat kemanusiaan kita terangkat. Berbagi dapat menjadi jalan untuk berempati pada mereka yang tidak seberuntung kita. Sebuah jalan terindah bagi kita untuk belajar mensyukuri segala pemberian dari Tuhan.

Wednesday 17 June 2015

Tips Agar Skripsi Cepat Selesai

Semenit yang kau gunakan untuk mengeluh adalah
semenit yang seharusnya kau gunakan untuk berupaya.
(Mario Teguh)

Ujian adalah keniscayaan hidup. Di mana pun tempatnya, ujian adalah sarana untuk mengetahui sejauh mana kepantasan seseorang untuk naik ke level pendidikan berikutnya. Jika di kalangan siswa sekolah dasar hingga menengah ada ujian nasional (UN), maka di kalangan mahasiswa ada skripsi.

Sudah terlalu banyak cerita ngenes di buku-buku harian, media sosial, blog, gara-gara skripsi yang tak kunjung kelar. Karena itu tulisan ini tidak bermaksud menambah kadar kengenesan kalian yang mungkin saat ini sedang berkutat dengan skripsi. Saya hanya ingin menshare pengalaman saya yang juga menjadi korban ‘skripsi karet.’

Saya menyebutnya begitu karena gara-gara skripsi, masa studi saya yang seharusnya cukup 4 tahun, molor sampai 4 bulan berikutnya. Ya, masih mending molornya 4 bulan. Ada yang molornya hingga satu, dua, bahkan tiga tahun berikutnya (itu kuliah ato mau kredit rumah?).

Well, ibarat dokter yang ingin melakukan operasi, maka dia harus tahu dulu tentang anatomi tubuh manusia. Skripsi pun tak jauh berbeda dengannya. Sebelum membahas tips menangani skripsi agar cepat selesai, penting untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi kelancaran skripsi.

Adapun beberapa tips yang bisa saya berikan agar skripsi cepat selesai yaitu:

1.Kerjakan!
Tidak ada nasihat yang lebih baik untuk mempercepat penyelesaian skripsi selain “KERJAKAN sekarang juga!” Skripsi itu bisa selesai jika dan hanya jika kita kerjakan. Tidak ada jalan lain. Agar lebih mudah, pengerjaan skripsi harus dicicil per bab dengan tenggat waktu tertentu. Dan jangan lupa untuk terus bersabar menghadapi coretan merah dosen pembimbing yang ‘kalap’.

2.Baca lagi Poin Satu!
Ini serius. Baca lagi poin nomor satu. Tak cuma dibaca, tapi juga dipatuhi. Betapa banyak mahasiswa semester akhir yang sadar harus segera menyelesaikan skripsi, tapi sikapnya mengalah pada kemalasan? Ingat, semenit menunda skripsi = sehari menunda wisuda! “Kerjakan—SEKARANG JUGA!!!”

3.Kejarlah Dosbing, Skripsi-Ku-Garap
Jangan biasakan bersikap lembek pada dosbing. Jangan cuma menjawab nggih, njih, ya, paham, atau baik Pak. Kita harus berani menyampaikan inisiatif perbaikan. “Kalau saya tulis begini bagaimana, Pak? Kalau saya buat begitu bagaimana?” Dosen akan menghargai mahasiswa seperti itu. Kuatlah terhadap kritik, saran, bahkan cercaan dosbing. Anggaplah mentalmu sedang dilatih agar sast sidang tidak kelabakan.

4.Bersekutulah
Tidak ada salahnya jika kita bertanya pada kakak tingkat yang sudah lebih dulu lulus. Pengalaman mereka saat mengerjakan skripsi sangat penting. Apalagi jika jenis penelitian atau dosbingnya sama. Kita bisa mengorek banyak hal dari kakak tingkat—termasuk meminjam buku-buku referensi yang dipakainya. Selain dengan kakak tingkat, bersekutulah dengan teman sekelas/sejurusan. Ajak teman untuk mengerjakan skripsi bersama-sama. Tapi pastikan fokus kita tetap pada pengerjaan skripsi, tidak beralih menjadi kesibukan ngerumpi bersama teman kita.

5.Rajin BackUp
Mem-backup data skripsi itu penting. Gunakan berbagai media penyimpanan untuk membackup data. Jangan menyimpan file skripsi di satu harddisk, simpanlah di partisi hardisk yang lain (yang jelas jangan sekali-kali menyimpan di drive C). Gunakan pula media penyimpanan yang bersifat eksternal seperti flashdisk atau aplikasi Google Drive. Intinya, gunakan segala media penyimpanan untuk membackup data. Lebih-lebih data yang memuat hasil penelitian. Jangan malas membackup datamu! Kehilangan di luar tanggung jawab dosen pembimbing.

Itu saja 5 tips sederhana untuk mempercepat pengerjaan skripsi. Tips-tips lainnya bisa menyusul karena saya agak illfeel kalau blog ini mengekor On The Sp*t yang konsisten dengan tujuh fakta uniknya. Dan sekali lagi, ini hanya didasarkan pada pengalaman saya dulu semasa kuliah, Jangan digeneralisasikan sebagai hujjah yang boleh jadi bisa menyesatkan mahasiswa lain. Sekian dan semoga skripsi kita dilancarkan. Aamiin

Hal-Hal yang Bisa Menentukan Kelancaran Skripsi (2)

*Artikel ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya (bisa dibaca di sini)

. . .

4. Subjek Penelitian
Subjek penelitian tidak kalah pentingnya karena dari merekalah data diperoleh. Usahakan subjek penelitian (responden) kita bisa diajak kerjasama, bersikap proaktif, jujur, dan tidak memasang tarif (yang terakhir ini demi kebaikan isi dompet kita). Bersekutulah dengan setan kakak tingkat tentang daerah penghasil responden terbaik sesuai dengan jenis penelitian kita.

5. Teman Satu Jenis Penelitian
Berbahagialah jika kita memiliki teman yang sama jenis penelitian/dosbingnya. Teman kita bisa diajak sharing, bertanya, dan bahu-membahu mengerjakan skripsi. Selain itu selama menjalani bimbingan kita tidak akan sendirian dengan adanya teman kita. Semua bisa terealisasi asalkan teman kita tidak keburu lulus duluan.

6. Perizinan ’Bermasalah’
Harus diakui birokrasi di negara ini sering mempersulit urusan. Ada yang bilang kalau nggak pake pelicin, nggak bakal diurus. Tapi tidak penting mengeluhkan birokrasi yang ada. Berprasangka baiklah bahwa masih banyak pegawai amanah yang tidak tergoda dengan pelicin. Buatlah jadwal untuk mengurus administrasi dan perizinan jauh-jauh hari sebelumnya agar tidak berlarut-larut. Nasihat bijaknya: “Jangan menunda urusan perizinan yang bisa kau kerjakan hari ini karena kau tidak pernah tahu kapan urusan perizinan itu terselesaikan esok.

7. Mahasiswa Itu Sendiri
Faktor terakhir yang menentukan kelancaran skripsi adalah diri kita sendiri. Kita adalah ‘motor’-nya skripsi. Segala keputusan berada di tangan kita. Dosen pembimbing, buku, teman-teman, dan warung makan hanya fasilitas pendukung. Sehebat apapun fasilitas pendukungnya, jika kita malas maka tidak akana ada artinya. Tak perlu banyak keluh kesah. Jalani saja. Biasakan berkaca pada diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain.

Itu tadi ketujuh faktor yang bisa menjadi penentu kelancaran skripsi (berasa nyimak On The Sp*t). Setelah tahu faktor-faktor yang menentukan kelancaran skripsi, apa yang harus dilakukan agar skripsi cepat selesai? Artikelnya bisa dibaca di sini (Tips Agar Skripsi Cepat Selesai).

Tulisan ini saya dedikasikan khusus untuk para mahasiswa semester akhir yang masih berjuang dengan skripsinya di mana pun kalian berada. Silahkan jika ada yang mau menambahkan faktor yang lainnya. Share please.

Hal-Hal yang Bisa Menentukan Kelancaran Skripsi (1)

Aku perlu tahu musuh seperti apa yang kuhadapi agar aku bisa mencari tahu
bagaimana cara mengalahkannya sebelum dia mengalahkanku…
(Hatake Niwa)

*Penting diketahui bahwa tulisan ini tidak bermaksud memberikan pendangan ilmiah. Semua murni hasil interpretasi dan pengalaman penulis (saya) sendiri saat berkutat dengan skripsi. Karenanya, jangan sampai tulisan saya ini ditelan bulat-bulat tanpa disaring dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu. Jangan pula dicomot untuk menambah daftar pustaka karena blog adalah referensi paling rendah dalam strata kesahihannya. Ambil positifnya, buang negatifnya. Simpel.

Seorang dokter yang ingin melakukan operasi tentu harus belajar tentang anatomi tubuh manusia terlebih dahulu. Begitu pula Seorang arsitek yang ingin membuat bangunan pencakar langit, harus memiliki banyak data tentang profil tanah dan lokasi tempat bangunan yang akan dibangunnya.  Tujuannya sama, agar dokter dan arsitek dapat membuat rencana terbaik demi keberhasilan pekerjaannya.

Dalam menghadapi tugas akhir skripsi, mahasiswa semester akhir pun begitu (agar lebih mudah saya akan memakai sudut pandang ‘kita’).

Mengerjakan skripsi tidak sama dengan membangun candi semalam jadi. Perencanaan yang matang dan usaha keras yang konsisten dapat menjadi katalisator yang mempercepat penyelesaian skripsi. Seperti halnya dokter dan arsitek di atas, kita pun membutuhkan rencana matang agar skripsi kita tidak menjadi biang penunda  haid  hari wisuda kita.

Setidaknya ada 7 hal/faktor yang bisa menjadi penentu kelancaran skripsi. Kelima faktor itu yaitu:

1. Dosen Pembimbing
Memahami karakteristik dosen pembimbing (dosbing) adalah keharusan. Cari tahu jadwal kerjanya, jam berapa beliau ngantor, bagaimana cara menemuinya, tipikal bimbingannya bagimana, perfeksionis atau iso diajak santai, dan yang terpenting jenis penelitian apa yang disukainya. Bukan berarti kita harus mengkepo dosen pembimbing (dosbing) hingga menyadap smartphone-nya. Tak perlu sejauh itu. Cukup mengkepo hal-hal yang terkait langsung dengan skripsi. Dalam hal ini, ada baiknya kita bersekutu dengan kakak angkatan yang sudah lebih dulu mengenal dosbing. Semakin banyak informasi yang kita tahu tentang dosbing kita, semakin siap kita menghadapi berbagai ‘bencana mental’ selama mengerjakan skripsi kelak.

2. Jenis Penelitian
Di poin 1 sudah disebutkan penting utuk mengorek informasi tentang jenis penelitian apa yang disukai dosbing. Buat apa? Masing-masing dosbing memiliki idealisme yang berbeda. Dosen yang satu sangat mungkin berbeda dengan dosen lainnya. Jika kita mengajukan jenis/judul penelitian yang disukai dosbing, kita akan lebih mudah mendapat support darinya. Ini modal penting kita saat menghadapi sidang nanti. Dosbing kita bisa berperan menjadi ‘pengacara’ ketika argumen kita mengalami kebuntuan. Alih-alih jika kita ‘ngeyel’ memakai jenis penelitian yang tidak direstui dosbing. Sudah dikasih tahu penelitian kita bermasalah, kita malah kepala batu. Alhasil skripsi ditelantarkan, saat sidang dosbing memilih pasang badan. Salah siapa?

3. Ketersediaan Referensi
Pastikan judul skripsi yang kita pilih memiliki referensi yang cukup. Referensi ini bisa berupa buku ataupun contoh-contoh skripsi kakak kelas. Hati-hati dengan skripsi yang belum jelas ketersediaan referensinya. Boleh jadi judul skripsi kita keren, original, belum pernah dibuat mahasiswa lain sebelumnya—tapi giliran ditanya referensi malah kelabakan. Sadar diri-lah dengan kemampuan kita. Jika kita merasa punya cukup amunisi referensi dan otak yang encer, take it. Tapi jika kita mahasiswa kupu-kupu yang asing dengan perpustakaan, bermain aman bukanlah dosa. Tak usah sungkan jika ingin ganti judul. Daripada permasalahan referensi mengakibatkan sembelit di kemudian hari. Ini serius. Beberapa teman saya terkendala referensi hingga beberapa kali ganti judul. Putuskan di awal, agar tidak menyesal belakangan.
.
.
.
lanjut ke sini

Monday 15 June 2015

Percaya pada Kekuatan Doa


"Apa kau percaya pada kekuatan doa?"
"Ya, tentu saya meyakininya."
"Lantas kenapa kau berhenti melakukannya?"

— Self Reminder 

Menyoal Status Mahasiswa Bermasalah

Kebanggaan apa yang kau peroleh selama kau menjadi mahasiswa, Nak?
Saya tidak bangga, Tuan, saya justru—prihatin…
(Hatake Niwa)

Saya bingung dengan senior saya saat ospek empat tahun lalu. Mahasiswa-mahasiswa baru (maba)—termasuk saya—diminta meneriakkan pekik “Hidup Mahasiswa!” Konon pekik sakral itulah yang membuka jalan reformasi di negeri ini (terlepas dari peran politisi-politisi busuk dan isu kosnpirasi di dalamnya). Saya dan ratusan maba lainnya seakan didoktrin untuk membangga-banggakan status ‘mahasiswa.’ Mungkin para senior menganggap junior-juniornya adalah makhluk setoran pilihan yang berhasil memenangkan persaingan masuk ke almamater kebanggaannya—mengalahkan ratusan ribu pendaftar lainnya.

Kedengarannya hebat. Tapi seiring berjalannya waktu, saya terus menemui paradoks demi paradoks dalam kehidupan mahasiswa yang kehilangan jati dirinya.

Ah, Mahasiswa. Ketikkan saja kata “mahasiswa” di kotak pencarian Google, maka suggestions yang akan muncul justru kasus-kasus hitam tentang mahasiswa. Bunuh diri, tewas (di/mem)bunuh, pencurian, hilang, tenggelam, dan semacamnya. Saya curiga kata “mahasiswa” telah mengalami peyorasi (penurunan makna). Sama halnya dengan kata “video” yang dulunya bermakna: segala citra audio-visual dari mesin perekam, berubah menjadi citra audio-visual yang memuat konten porno dan adegan dewasa. Karena telah mengalami peyorasi, setiap kali mendengar kata “mahasiswa,” yang terbayang di benak kita tidak jauh dari aksi demonstrasi, kerusuhan massal, pengrusakan fasilitas publik dan seabrek berita kriminal yang menyeret nama mahasiswa.

Ah, mahasiswa. Saya sering tidak enak dengan penambahan kata ‘maha’ di depannya. Saya lebih afdhal menyebutnya ‘siswa’ saja. Saya rasa penambahan kata ‘maha’ adalah sebuah arogansi. Kata ‘maha’ identik dengan objek yang powerful, memiliki kecerdasan dan kekuatan di atas rata-rata—misalnya mahaguru dan maharaja. Dengan adanya “maha”+”siswa”, maka seorang mahasiswa dapat kita definisikan sebagai jenis pelajar powerful yang dapat melakukan banyak hal ajaib yang tidak bisa dilakukan pelajar biasa.

Analoginya, jika pelajar biasa terlibat tawuran dengan geng sekolah lain, ‘minimal’ mahasiswa tawuran dengan aparat kepolisian (greget!). Jika pelajar biasa harus curi-curi kesempatan untuk bikin ‘adegan 3gp’ di semak-semak, mahasiswa bisa terang-terangan berzina di kos-kosannya sendiri—‘direkam’ tetangga kos yang mendadak lupa dengan ajaran amr ma’ruf nahi munkar. Ya, segala sesuatu tentang perilaku mahasiswa harus selalu dan selalu lebih powerful dibanding perilaku pelajar biasa. Absurd!

Well, maafkan bila saya terkesan menjelek-jelekkan mahasiswa. Saya hanya mencoba bersikap kritis dengan sedikit guyon satire. Kalaupun saya menjelek-jelekkan mahasiswa, saya juga menjelek-jelekkan diri saya sendiri setahun yang lalu. Saya tidak lebih dari mahasiswa biasa dari ‘genus kupu-kupu’ yang rutinitas hariannya: kuliah-pulang-kuliah-pulang (karena kalau tidak pulang tidak dapat uang). Terlihat tidak ada yang bisa dibanggakan dari saya ketika menjadi mahasiswa. Uang saku masih bergantung upeti orangtua, kerja part-time tak mau, lulus pun mesti tertunda setengah semester.

Kondisi berbeda seratus delapan puluh derajat dengan mahasiswa aktivis yang selalu sibuk. Kalau tidak kuliah ya sibuk ngurus organisasi. Kalau tidak ngurus organisasi ya ke luar ikut demonstrasi. Mahasiswa-mahasiswa tipe aktivis selalu tampak menonjol dibanding mahasiswa umumnya. Mereka sadar betul peran yang harus diambil. Mereka mengambil kesempatan-kesempatan yang ada demi meningkatkan kualitas dirinya. Ya, kualitas pribadilah yang membuat mahasiswa aktivis berbeda dengan mahasiswa rata-rata.

Lalu di kubu manakah kita sekarang?

Kubu yang mengemban amanah sebagai “Agent of Change” yang kehadirannya selalu membawa perubahan positif bagi masyarakat. Atau malah kubu yang membawa perubahan positif pada tespack pacar yang menuntut pertanggungjawaban? So lame, dude.

Padahal kita (mahasiswa) seharusnya menyadari besarnya harapan dan espektasi masyarakat kepadanya. Dalam kegiatan KKN misalnya. Seringkali kedatangan mahasiswa ke desa-desa akan disambut dengan permohonan warga agar para mahasiswa membuat proposal begini begitu lalu membuat proyek ini itu. Sederhananya, mahasiswa diminta ikut serta membangun desa. Kenapa? Karena mereka percaya bahwa mahasiswa memiliki kapasitas lebih untuk membawa perubahan positif bagi lingkungannya.

Belum lagi jika kita menerawang jauh ribuan kilometer ke kampung halaman. Berjuta-juta doa para orangtua berpilin ke langit. Mengharapkan putra-putrinya beroleh takdir terbaik setelah menjadi mahasiswa kelak. Tidakkah kita—para mahasiswa—tergerak hatinya untuk menjadi penjawab doa-doa orangtua kita?

Jadi, ijinkan saya menulis uraian panjang ini sebagai refleksi kehidupan saya saat masih menjadi mahasiswa tempo dulu. Saya tidak ingin adik-adik mahasiswa menyia-nyiakan empat tahun studinya di bangku perkuliahan. Saya ingin agar mereka menyadari esensi “menjadi mahasiswa.” Karena menjadi mahasiswa bukan persoalan gaya-gayaan. Karena menjadi  mahasiswa bukan pula persoalan ikut-ikutan. Menjadi mahasiswa adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Jangan sampai kuliah bertahun-tahun hanya menyisakan penyesalan. Merutuki nasib kenapa dulu saya memilih jurusan ini? Jangan sia-siakan kesempatan menjadi mahasiswa. Apapun jurusanmu, aktiflah dalam berbagai kegiatan organisasi. Galilah pengalaman sebanyak-banyaknya dari sana. Selalu bangun budaya kritis dalam perkuliahan. Akrabilah perpustakaan, jadilah kutu buku yang sebenarnya. Mulailah melakukan segala sesuatunya dengan benar berdasar pada nurani. Dengan begitu, masa-masa kuliah yang dijalani akan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat—tidak akan menyesal di kemudian hari.

Saran-saran di atas tidak hanya ditujukan bagi peningkatan kualitas diri mahasiswa, tapi juga untuk membuka kesadaran menjadi mahasiswa agar lebih bertanggung jawab. Agar nantinya mahasiswa bisa mengenakan toga dan selempang di dada karena mereka memang pantas menerimanya. Agar nantinya mereka memang pantas diberi amanah sebagai agen perubahan. Juga agar nantinya mereka pantas menjadi penjawab doa-doa dan harapan orangtua mereka selama ini.

Sunday 14 June 2015

Berempati pada Kaum Difabel (2)

*Artikel ini adalah kelanjutan artikel sebelumnya Berempati pada Kaum Difabel (1)

.   .   .

Kerja keras Danang menjadikannya siswa berprestasi di sekolah. Ia pun mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Jepang. Di sana, kaum difabel berprestasi seperti dirinya mendapat apresiasi lebih. Orang-orang lebih menghargai kualitas kerja daripada meributkan persoalan fisik. Selama kinerjamu bagus, maka akan selalu ada tempat untukmu.

Beberapa bulan tinggal di negeri orang, Danang memutuskan pulang. Danang tak sampai hati hidup jauh dari orangtuanya. Karena itu, ketika ia kembali mendapat tawaran ke Jepang, ia menolaknya. Ia pun mencoba mendaftar kuliah di perguruan tinggi lokal.

Masalah baru muncul di sini. Keterbatasan fisik Danang membuatnya dipandang sebelah mata. “Kamu nggak akan bisa…” begitu kata orang-orang yang meremehkannya. Padahal secara kecerdasan, saya yakin Danang tidak kalah. Ketika mahasiswa lain masih sibuk mengejar beasiswa ke Jepang, Danang malah sudah lebih dulu menjejakkan kursi rodanya ke negeri Sakura. Seharusnya mereka malu pada diri mereka sendiri.

Cerita tentang Danang menujukkan masih rendahnya penerimaan masyarakat kita pada kaum difabel. Kesadaran untuk memberi ruang bagi kaum difabel masih harus dibangun. Tidak banyak fasilitas umum yang didesain sedemikian rupa hingga mengakomodasi kemudahan bagi kaum difabel. Jarang-jarang kita jumpai gedung-gedung yang menyediakan bidang miring atau jalur khusus bagi pemakai kursi roda misalnya. Begitu pula di halte dan trotoar-trotoar di pinggir jalan yang masih dibuat dengan standar kompatibilitas manusia normal.

Kesadaran untuk lebih berempati dan peduli terhadap kaum difabel seharusnya tersosialisasikan dengan baik melalui pendidikan. Ironisnya, tidak semua lembaga pendidikan membuka pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Padahal peranan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif sangat penting agar kaum difabel mendapatkan hak-hak pendidikannya. Jika tidak begitu, maka stigma, diskriminasi, dan skeptisme terhadap potensi kaum difabel—seperti yang dialami Danang—selamanya akan selalu ada di tengah masyarakat kita.

Kaum difabel memang kelompok minoritas. Setidaknya populasi mereka hanya 10 persen dari total penduduk bumi. Tapi bukan berarti karena mereka minoritas, kita bisa memaksa mereka mengikuti aturan main masyarakat mayoritas. Karena kesesatan pola pikir ini, sebagian kita memilih tutup mata ketika seorang buta hendak menyeberang jalan. Sebagian kita risih jika harus mendorong saudara kita di kursi roda. Kita kurung para penyandang disabilitas di ruang-ruang rehabilitasi—seakan-akan menyamakan mereka dengan para pecandu narkotik.

Mengembangkan empati terhadap kaum difabel memang tidak mudah. Itu berarti, kita harus melawan idiom “normalisme” yang terlanjur mengakar dalam masyarakat. Melawan arus stigma dan diskriminasi yang ada. Apa yang kita beri boleh jadi selalu membekas di hati mereka yang penuh kasih. Karena mereka juga manusia seutuhnya seperti kita. Hanya Tuhan menciptakannya—berbeda.

Berempati pada Kaum Difabel (1)

Dalam setiap keindahan selalu ada mata yang memandang, dalam setiap kebenaran selalu ada telinga yang mendengar, dan dalam setiap kasih selalu ada hati yang menerima.
(Helen Keller)

Cerita tentang kehidupan Helen Keller hanyalah satu di antara potret kaum difabel yang melampaui keterbatasan fisiknya. Ia membuka mata dunia bahwa penyandang disabilitas (kaum difabel) bukanlah produk gagal dari Tuhan. Dengan segala keterbatasan fisiknya, Helen Keller menjadi mahasiswa buta-tuli pertama yang sanggup menyelesaikan studi hingga perguruan tinggi di Universitas Radcliffe. Bukunya—“The Story of My Life”—telah menjadi literatur klasik di Amerika, ditulis dalam huruf biasa dan braille dan diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. Helen Keller juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan terutama dalam rangka menggalang dana bagi orang-orang buta dan tuli—meskipun dirinya sendiri adalah seorang difabel.

Selain Helen Keller, tentu kita mengenal Beethoven dan Stevie Wonder—komposer dan musisi masyhur—yang karya-karyanya begitu menginspirasi hingga sekarang. Membaca kisah sukses kaum difabel seperti mereka seharusnya membuka mata kita—bahwa kaum difabel bukanlah ‘produk gagal’ dari Tuhan. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan diciptakan dengan tujuan.

Lantas bagaimana dengan kaum difabel di sekitar kita? Menurut data Susenas tahun 2000 saja jumlah kaum difabel di Indonesia mencapai 1,46 juta penduduk. Itu baru data lama (15 tahun yang lalu). Berdasarkan data Kemenkes tahun 2011 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 6,7 juta jiwa atau sekitar 3,11 persen dari populasi. Well, soal angka statistik (selalu) bisa diperdebatkan. Namun sulit membantah tren kenaikan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia.

Yang menjadikannya ironis, peningkatan jumah kaum difabel di negara ini tidak diikuti peningkatan kesadaran masyarakat mengakomodasi kaum difabel. Para difabel masih akrab dengan stigma dan diskriminasi. Para difabel seakan menjadi penghuni tetap kasta pariya yang terbuang dari pergumulan sosial. Implikasinya, hak-hak para difabel pun sering terabaikan.

Konsensus umum masyarakat kita adalah “normalisme.” Segala sesuatu dipandang dari kacamata kenormalan. Sesuatu yang tidak normal identik dengan ketidakwajaran. Dan ketidakwajaran lebih mudah dikonotasikan menjadi suatu keburukan. Misalnya, manusia normal memiliki dua kaki. Jika ada yang hanya memiliki satu kaki, itu tidak wajar dan mengerikan. Karena mengerikan, tidak wajar, dan alasan-alasan klise lainnya, pengucilan dan diskriminasi menjadi konsekuensi logis para penyandang disabilitas.

Saya sendiri pernah berkenalan dengan seorang penyandang disabilitas, sebut saja Danang (bukan nama sebenarnya). Karena sebuah insiden medis saat imunisasi, Danang mengalami kelumpuhan pada kakinya. Hari-harinya yang panjang pun terpaksa dilalui di atas kursi roda. Cita-citanya hanya satu—menjadi seorang dokter—kemudian menciptakan vaksin agar tidak ada lagi balita-balita malang yang bernasib sama sepertinya.

*Lanjutannya itu di sini.

Saturday 13 June 2015

Anonimitas dalam Berkarya

Kau ini siapa? Perkenalkan—namaku—Anonym
(H. N.)

Entahlah saya tak tahu harus memulai dari mana karena saya memang selalu nyaman menulis dengan anonimitas. Jadi tulisan kita tanpa pengarang, tidak dikenal. Anonim. Bagi saya anonimitas adalah cara teraman untuk menghindarkan diri dari sifat bangga diri dan mengatasi rasa takut terhadap kiritik orang lain pada tulisan kita.

Bagi saya yang sedang ingin-inginnya menulis seperti yang Anda baca sekarang, anomimitas adalah cara teraman agar saya tidak disangka sedang menggurui dengan tulisan ini (terlepas dari jurusan kuliah saya dulu tentunya). Karena seringkali ketika tulisan kita selesai kemudian ktia publikasikan, ada saja komentar-komentar bernada tidak setuju, kritik, atau bahkan mencela langsung tulisan kita jelek. Daripada terlibat konfrontasi lebih lanjut, maka dipilihlah jalan anonimitas. Anonim. Tulisan tanpa nama pengarangnya.

Lagipula esensi dari sebuah tulisan adalah isi dari tulisan itu sendiri, bukan siapa yang menulisnya (pengarangnya). Kita tentu akan lebih familiar dengan isi pembukaan UUD 1945 daripada pusing-pusing memikirkan siapa saja tokoh-tokoh yang membuatnya.

Kita akan lebih mudah mengingat jalan cerita cerpen Robohnya Surau Kami (dalam buku Bahasa Indonesia) daripada mengingat siapa pengarangnya. Karena itulah yang membedakan penulis dan artis.

Jarang-jarang kita temui novelis, atau penulis yang menjadi sosok idola remaja pada umumnya (semoga esok lusa situasinya berubah). Karena sejujurnya, penulis yang ikhlas menulis tak akan memusingkan urusan ‘publikasi diri’-nya. Asalkan tulisannya terpublikasi saja itu sudah cukup membuatnya puas. Syukur-syukur tulisannya menginspirasi dan membawa kebaikan bagi orang banyak.

Sementara saya? Entahlah. Saya rasa jalan anonim memang cukup aman sekedar untuk mengasah keberanian kita menulis. Karena saya masih penulis pemula saya pun begitu.

Well, sebagai penutup ada nasihat lama yang patut kita renungkan: "Dunia ini akan lebih indah jika banyak orang pintar berkarya dan menulis, bukan banyak bicara."

Demikian.

Thursday 11 June 2015

Hartamu Kau Dapat Dari Mana Kau Belanjakan Untuk Apa

Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba sehingga ia ditanya tentang umurnya—untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya—untuk apa ia amalkan, tentang hartanya—darimana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan tentang badannya untuk apa ia gunakan.
(Al-Hadis)

Motivator bilang, punya uang banyak bukanlah penentu kebahagiaan. Harta benda bukanlah sumber kebahagiaan yang hakiki. Tapi sulit menyangkal logika “jika punya uang banyak, hati akan bahagia.” Seteguh apapun sang motivator menguatkan hati mereka yang fakir, harta benda adalah sekelumit pesona dunia yang selalu diidentikkan dengan kebahagiaan. Dan karenanya, milyaran manusia pun berlomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.

Berbagai cara ditempuh untuk mengumpulkan harta. Pola dasarnya sama—dengan bekerja. Sebagian orang bekerja keras membanting tulang pagi-malam. Sebagian yang lain sibuk melayani pelanggan sambil sesekali menghitung laba. Sebagiannya lagi duduk manis menunggu setoran bulanan tiba. Dan ada sebagian lagi yang menadahkan tangan, mengharap uluran tangan para dermawan di jalanan. Harta yang terkumpul kemudian ditukar dengan benda lain yang dibutuhkan—sesuap nasi misalnya. Sistem bakunya selalu begitu.

Menjadi ironis ketika kebutuhan manusia tidak lagi didasarkan pada skala prioritas melainkan dilandasi kebutuhan rasa ingin yang dibumbui gengsi serta spekulasi krisis ekonomi masa depan. Manusia menjadi kalap dalam mengumpulkan harta. Tidak ada lagi istilah bekerja demi sesuap nasi. Manusia harus bekerja demi se-kuintal beras. Untuk cadangan logistik beberapa bulan ke depan katanya. Tapi manusia lupa bahwa dunia sudah cukup sesak dengan 7 milyar penghuni. Setiap anak Adam harus bersaing—selalu bersaing mencari harta. Naluri primitifnya pun bereaksi. “Kalau tidak cepat, tidak akan kebagian. Apapun caranya yang penting dapat duit.

Begitulah kehidupan manusia modern yang terlanjur diperbudak dunia. Ketakutan manusia akan kurangnya harta mendorongnya menghalalkan segala cara. Yang terlanjur gelap mata memilih ‘pasrah’ menjual diri sebagai pelacur, korupsi, mencuri, merampok, hingga membunuh sesamanya. Yang ‘setengah sadar’ mencari harta dengan lurus—tapi sekali waktu ikut mengintip celah untuk menilap uang proyek. Sementara yang tansah eling lan waspada mencoba tegar mencari harta yang halal dan thayyib meski terkadang jumlahnya tak seberapa.

Nurani kita meyakini bahwa akan ada kehidupan setelah kematian. Akan ada pertanggungjawaban atas semua tindakan kita di dunia. Dan tentu saja akan ada balasan atas kejahatan dan segala nista kita di dunia. Tak tertolak. Begitu pula dengan harta kita. Semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. Tidak hanya dari mana harta diperoleh, tapi juga untuk apa harta itu kita belanjakan. Ada dua pertanyaan untuk harta—sedangkan umur, masa muda, dan badan masing-masing hanya dijatah satu pertanyaan dari Tuhan. Ini adalah pertanda bahwa urusan mencari dan membelanjakan harta bukan perkara sepele.

Situasinya sama ketika kita menjadi bendahara di kantor. Urusan keuangan menjadi perkara penting yang menuntut pertanggungjawaban. Sekali waktu bos kita datang untuk melihat laporan keuangan bulanan. Bos tidak mungkin hanya menanyakan pemasukannya, tapi juga alokasi anggarannya untuk apa saja. Jika bos mendapati adanya manipulasi atau menyadari sesen uang kantornya kita ambil, maka tunggulah sampai ‘azab’ pemecatan itu datang dengan tiba-tiba.

Jika kita sadar setiap harta yang kita kumpulkan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan, mengapa kita masih mencari harta dengan cara yang batil? Mengapa kita masih berani menukar harta demi seteguk nikmat maksiat yang boleh jadi hanya sebentar?

Ah, dasar manusia! Saya tidak berani memfatwa macam-macam dalam tulisan ini. Saya tahu diri. Saya juga tidak mau munafik. Saya masih ‘hijau’ dalam urusan mencari harta. Saya belum pernah merasakan kegetiran pelacur yang terpaksa melacur karena desakan kebutuhan ekonomi keluarganya. Saya belum pernah merasakan pahitnya lapar dan dahaga anak jalanan yang terpaksa mencuri makanan di warung setelah berhari-hari tidak makan. Saya juga belum pernah merasakan menjadi seorang ayah yang dihajar massa karena mencuri demi pengobatan putranya yang kritis di meja operasi. Tapi apapun alasannya, Tuhan akan tetap bertanya: “Hartamu kau dapatkan dari mana dan kau belanjakan untuk apa?” Dan seketika itu pula kita tertunduk di hadapan-Nya, bergidik ngeri membayangkan balasan-Nya dengan penyesalan yang teramat dalam.

Urusan harta ini, entah bagaimana selalu membuat saya khawatir. Begitu pula dengan jutaan umat manusia lain di bumi yang bahkan tidak tahu esok masih ada makanan atau tidak. Seorang bijak pernah menasehati saya untuk belajar dari seekor burung. Setiap pagi burung terbang dari sarangnya mencari makan—sama halnya dengan manusia bekerja mencari nafkah. Hanya bedanya tidak ada cerita burung mati karena kelaparan layaknya manusia. Burung mati karena limbah pabrik atau karena tersengat listrik mungkin banyak. Tapi burung yang mati karena kelaparan rasa-rasanya tidak pernah ada.

Rezeki sudah ada yang mengatur, tinggal ikhtiar kita bagaimana menjemput rezeki itu dengan cara-cara yang baik. Akan lebih mulia jika kita mensyukuri rezeki yang diperoleh dengan menyisihkan sebagiannya untuk diberikan kepada mereka yang kekurangan. Dengan begitu, semoga Tuhan Yang Maha Kaya melapangkan rezeki hamba-hamba-Nya yang setia mencari harta di jalan yang halal dan thayyib. Aamiin.

Keikhlasan dalam Tindakan (Cerita Penambal Jalan Sukarela)

Tak bisakah kita melakukan kebajikan (hanya) karena kita ingin melakukannya?
Tak bisakah kita menolong sesama (hanya) karena kita sadar manusia harus saling menolong?
Tak bisakah kita menata niat (hanya) untuk-Nya semata tanpa terbujuk pujian dunia?
Ajarkan padaku, Tuan, apa itu—KEIKHLASAN
Hatake Niwa

Namanya Abdul Syukur.. Boleh jadi orang-orang hanya mengenalnya sebagai tukang becak biasa yang sehari-hari mangkal di depan ITC Mega Grosir Surabaya. Profesinya tergolong berat untuk kakek-kakek 65 tahun seusianya. Mungkin itulah yang membuat sebagian orang menaruh iba padanya. Tapi siapa sangka, selama 10 tahun kakek tua inilah yang berbaik hati menambal lubang-lubang di jalanan depan ITC. Dan selama itu pula dia melakukannya tanpa dibayar sepeser pun—tanpa sorot kamera wartawan yang akrab dengan para artis pencari sensasi.

Tiap pukul 22.00 berbekal palu dan karung berisi gragal (sisa bongkaran bangunan) di sekitar Pasar Atom (daerah Tambak Adi Surabaya), Abdul Syukur menambal lubang jalan yang ditemuinya. Beberapa rekannya terkadang berseloroh mengomentari Abdul Syukur yang mereka anggap kurang kerjaan. Buat apa susah-susah nambal jalan, Mbah. Orang-orang juga peduli setan. Biar saja itu jalan diurus sama pemerintah. Itu kan tanggung jawab mereka.

Ketika ditanya wartawan mengapa Abdul Syukur berpayah-payah menambal jalan, ia menjawab: “Saya nggak tega beberapa kali lihat orang jatuh karena menghindari lubang. Di situ minggu lalu malah ada yang sampai meninggal.” Masya Allah. Ya, hanya karena alasan tidak tega melihat sesamanya celaka ia menambal jalan. Sesederhana itu. Apakah Abdul Syukur menambal jalan hanya demi mendapat uang? Kalau iya, kenapa ia menolak tawaran petugas Dinas PU yang menawarinya pekerjaan sebagai pengawas?

Dilandasi rasa tidak tega, Abdul Syukur rela menyingsingkan lengan baju, malam-malam ia bawa berkarung-karung gragal, kemudian mulai menambal lubang-lubang di jalanan dengan palu seadanya. Ketika orang-orang telah menyebutnya ‘pahlawan’ dan sorotan media berhenti meliputnya, Abdul Syukur masih melakukan aktivitasnya menambal jalan sukarela. Masya Allah.

Terkadang saya berpikir tidak mungkin seorang manusia berbuat baik tanpa pamrih. Sebagian melakukan ini itu demi pencitraan, agar diliput media dan mendulang rupiah dari sana. Sebagian lagi ‘berlomba-lomba’ memberi sumbangan hanya karena gengsi tetangganya menyumbang lebih banyak. Terkadang orangtua pun memberikan kasih sayang dengan pamrih anaknya kelak membalas segala jasa baiknya dengan kasih sayang yang serupa. Pun dengan mereka yang berbuat baik, beramal sholeh siang-malam hanya karena ingin meraih surga yang Tuhan janjikan dalam firman-firman-Nya.

Tapi Abdul Syukur? Tindakannya menambal jalan secara sukarela menohok kita semua dengan pertanyaan: “Tak bisakah kau lakukan kebajikan hanya karena kau ingin melakukannya?” Ya, tak bisakah kita melakukan amal sholeh hanya karena kita ingin? Hanya karena kita sadar tugas kita di dunia sebagai manusia adalah mengabdi kepada Tuhannya?

Di sudut-sudut perkampungan yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota, sering saya jumpai orang-orang renta yang memanggul barang dagangan ke pasar. Turut serta berpayah-payah menggelar dagangannya di pasar penuh sesak. Di kaki-kaki perbukitan hijau beberapa orang renta mencari kayu bakar di tengah belukar. Diikat lalu dipikulnya kayu bakar-kayu bakar itu dengan perkasa. Langkahnya tertatih, tapi alam semesta yakin pada setiap keikhlasan tindakan mereka. Untuk apa bersusah payah, Mbah? Saya melakukannya hanya karena saya “ingin” melakukannya. Sesederhana itu.