Subscribe:

Labels

Monday 30 May 2016

Merayakan Kehidupan


Ijinkan aku bertanya padamu,

Jika kamu seorang guru, apakah kamu menjadi guru karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa menjalaninya?

Jika kamu seorang perawat, apakah kamu menjadi perawat karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa menjalaninya?

Jika kamu seorang sopir ojek, petani, pedagang, tukang sapu, atau profesi apapun, apakah kamu menjalani semua itu karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa melakukannya?

Jika dalam hidup ini kamu bisa memilih, tentu kamu akan memilih apa-apa yang kamu senangi. Pada dasarnya kamu lebih senang menjadi hartawan, menjadi orang penting, pejabat, atau setidaknya pegawai negeri. Kamu inginkan semua yang menurutmu bisa membuatmu bahagia. Kamu inginkan kehidupan ini berjalan sesuai keinginanmu. Bahkan diriku pun ingin begitu.

Nyatanya tidak. Kehidupan ini, tidak melulu soal melakukan apa-apa yang kita senangi. Kehidupan ini tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Justru sebaliknya, seringkali kita harus melakukan apa-apa yang tidak kita senangi. Seringkali kita harus menghadapi situasi yang tidak pernah kita harapkan terjadi. Tapi pada hal-hal yang demikian itulah, Tuhan mengajak kita untuk merenungi dan menyelami hakikat kehidupan ini.

Menjadi pedagang, misalnya. Boleh jadi kamu akan berpkir "Oh tidak, menjadi pedagang? Pedagang itu susah, serba tidak pasti, serba prihatin. Lebih banyak rugi daripada untung. Kalau ketemu kawan lama, bisa gengsi aku mengakuinya. Inginku ya jadi pegawai saja, lebih bermartabat, lebih berpangkat, kerja juga enak, tiap bulan dapat gaji dan tunjangan segala macam."

Tapi pernahkah kamu berpikir, bahwasanya justru karena berdaganglah, tanpa sadar kamu memberi lebih banyak manfaat.

Dengan berdagang itu, kamu cukupi kebutuhan banyak orang yang membutuhkan. Kamu beri kemudahan pada banyak orang untuk mengenyangkan perutnya. Kamu ringankan beban mereka yang "papa" dengan sengaja mengambil laba yang sedikit. Bahkan sekali dua, kamu rela dihutangi, saat pelangganmu kehabisan uang sementara anak-anaknya menangis kelaparan di rumah. Jika kamu ikhlas melakukan semua itu, boleh jadi ada lebih banyak "kebaikan" yang kamu peroleh, yang belum tentu kamu terima jika kamu memilih menjadi pegawai.

"Karena dalam hidup ini, boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu amat baik bagimu. Pun boleh jadi kamu menyenangi sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu."

Hidup ini tak melulu soal materi. Hidup ini tak selalu tentang mendapatkan apa-apa yang kita inginkan. Hidup ini tak selalu tentang melakukan apa-apa yang kita senangi. Jika hidup hanya tentang melakukan apa-apa yang kita senangi dan mendapatkan apa-apa yang kita inginkan, bukankah kita tak jauh beda dengan bayi?

Maka, ikhlaslah. Belajarlah mensyukuri hal-hal kecil dalam hidup ini, sekalipun hanya helaan nafas atau seulas senyum dari bibir mungil anak-anak kita. Menjadi apapun dirimu sekarang, jalanilah itu, sebagai wujud "pengabdianmu". Hargai dirimu dan mulailah menebar manafat bagi sesama. Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak manfaatnya?


Wednesday 11 May 2016

Menasehati tanpa Menghakimi


Sebaik-baiknya nasehat adalah nasehat yang disampaikan dengan hikmah,
tanpa menyakiti perasaan mereka yang diberi nasehat.
(Hatake Niwa)

Tidak ada manusia yang tidak pernah salah. Manusia adalah makhluk yang bisa salah dan lupa. Karena mempunyai tabiat seperti itu, manusia diingatkan Tuhan untuk “saling menasehati dalam kebaikan, dan saling menasehati dalam kesabaran”. Dengan kata lain, manusia didorong agar tidak segan berbagi nasehat jika itu memang dibutuhkan.

Nasehat tidak harus berbentuk petuah dengan untaian kata-kata mutiara ala motivator. Tidak harus berupa penjelasan panjang lebar yang membuat pendengarnya mengantuk. Sebagian orang malah kurang respek jika si pemberi nasehat terkesan menggurui. Karena itu, pemberi nasehat yang bijak akan berusaha menjaga perasaan orang yang dinasehatinya. Mereka selalu berusaha mencari jalan tengah agar nasehat mereka didengar tanpa menghakimi perbuatan orang yang diansihati. 

Dalam hal ini, persoalan nasehat-menasehati tidak sesederhana menilai perilaku orang, menjabarkan kesalahannya, untuk kemudian mengakhirinya dengan nasehat. Tidak semudah itu. Kita harus tahu bahwa ada dimensi psikologis dalam diri manusia di mana mereka tidak suka disalahkan. Itu sebabnya, menghakimi atau menyalahkan perbuatan orang lain bukanlah sikap yang bijak untuk mengawali sebuah nasehat. Bisa saja orang yang ingin kita nasehati malah lebih dulu tersinggung dan tidak menaruh respek pada kita, karena perbuatannya disalah-salahkan. Jika sudah begitu, betapa pun benarnya nasehat kita, semua itu akan sia-sia karena orang yang ingin dinasehati keburu menutup telinganya.

Jika kita ingin memberi nasehat, maka “JANGAN MENGHAKIMI” perbuatan orang yang ingin kita nasehati. Sebisa mungkin kita harus menjaga perasaannya. Kita harus membuat orang itu menyadari kesalahannya terlebih dahulu. Bukankah orang yang berbuat salah seringkali tidak sadar jika perbuatannya salah?

Misalkan seorang bocah tidak mengerjakan sholat. Tanpa tahu duduk masalahnya, kita langsung memarahi bocah itu, “Hei, kamu kok nggak sholat? Itu kan dosa! Nanti kamu masuk neraka, lho! Besok lagi jangan diulangi ya!” 

Ya, meninggalkan sholat itu berdosa. Semua orang juga tahu. Tapi kita tidak bisa langsung menghakimi bocah itu tanpa menyelidiki latar belakang masalahnya. Boleh jadi bocah itu belum memahami esensi sholat, sehingga dia tidak merasa harus bangun pagi untuk sholat. Atau boleh jadi bocah itu tidak sholat karena belum pernah diajari orangtuanya.

Dengan mengetahui latar belakang masalah, kita bisa menentukan nasehat seperti apa yang dibutuhkan. Tidak perlu sampai menyalahkan perbuatan orang lain. Sampaikan saja apa yang baik baginya tanpa harus mengusik kesalahannya hingga membuat tidak nyaman. Biarkanlah nasehat kita menggugah kesadaran orang itu. Selama niat dan penyampaian nasehat itu baik, insya Allah nasehat itu tidak akan sia-sia.

Terlepas dari itu semua, apa yang saya tulis di sini sifatnya idealis. Kenyataannya, kita harus menghadapi berbagai tipe karakter manusia. Ada tipe orang yang nurut-nurut saja dinasehati, ada yang cuek, ada yang skeptis, ada pula yang tidak suka dinasehati, alih-alih malah memaki si pemberi nasehat. Karena itu, kembali lagi pada esensi nasehat. Tuhan mendorong manusia agar saling menasehati karena manusia adalah makhluk yang sering salah dan lupa. Tak peduli orang kaya, pejabat, maupun orang berilmu. Kita semua bisa saja khilaf dan harus diingatkan, harus dinasehati agar kembali ke jalan yang benar. Bayangkan kerusakan seperti apa yang akan terjadi jika orang salah dibiarkan salah, dan orang lupa dibiarkan lupa tanpa pernah diingatkan?

Di sisi lain, Tuhan juga membenci pemberi nasehat yang tidak mengerjakan nasehatnya sendiri. Tuhan sangat membenci orang yang “omdo” dalam menasehati orang lain. Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah sholat menasehati orang lain untuk sholat? Bagaimana mungkin orang yang suka korupsi menasehati orang lain untuk tidak korupsi? Dengan kata lain, jika kita menasehati orang lain maka kita mempunyai tanggung jawab moril untuk melakukan apa-apa yang kita nasehatkan. Bukankah konyol rasanya, jika kita mengharuskan orang lain utnuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah kita lakukan? Begitulah. []

Tuesday 10 May 2016

Blog yang Sepi


…tulislah apa yang harus dibaca orang,
bukan apa yang ingin dibaca orang.
(Tere Liye)

Bagi mereka yang memakai blognya untuk mencari uang, jumlah pengunjung merupakan salah isu yang sensitif. Seperti yang kita tahu, meski tidak selalu menjadi faktor penentu, jumlah pengunjung blog bisa mempengaruhi trafik sebuah blog. Semakin sering blog dikunjungi, semakin sering duit masuk rekening.

Itu cerita mereka yang sudah memonetisasi blog-nya. Sementara saya, dengan blog ini, tidak terlalu memusingkan urusan semacam itu. Boleh dibilang, saya cuma ngeblog untuk sambilan saja. Boleh juga dikatakan saya ngeblog dengan malas. Saking malasnya, saya sering menelantarkan blog ini dalam kondisi hiatus selama berminggu-minggu.

Jika saya memonetisasi atau menguangkan blog ini, maka saya akan terbebani dengan berbagai tuntutan seperti tuntutan menyajikan konten yang berkualitas, tekun meng-update informasi, menjaga trafik dan jumlah pengunjung, serta mengurus berbagai hal lain yang berkaitan dengan blog. Tentu saja hal-hal semacam itu merepotkan saya yang sejak awal hanya menjadikan blog sebagai “pelarian penyakit”.

Karena itu, daripada pusing-pusing memikirkan trafik dan tetek bengek lainnya, saya lebih memilih menjadikan blog ini sebagai kumpulan catatan pribadi saya. Karena sifatnya catatan pribadi, maka sebagian besar konten blog ini berbicara tentang saya, atau membahas sesuatu dari perspektif saya. Niatnya, sih, blog ini bisa bermanfaat bagi pembacanya (meski sejujurnya masih jauh dari harapan).

Saya tertarik untuk mengabadikan pemikiran-pemikiran saya melalui blog. Hal ini jauh lebih mudah dibanding kita menuangkannya dalam bentuk buku. Untuk membuat buku, terkadang kita harus melewati serangkaian prosedur pelik, mulai dari menyerahkan naskah, bertemu editor, ngedit, menunggu berbulan-bulan sampai ke konfirmasi penertiban penerbitan. Bandingkan dengan blog yang memberi banyak kemudahan serta efisiensi waktu dan biaya. Blog dapat menghapus batas-batas Sebuah buku boleh jadi rusak, hilang, atau tidak dikembalikan teman yang meminjam. Sementara blog, selama blog itu tidak diretas, tidak diblok, atau tidak dihapus pemiliknya, maka selama itu pula blog akan menetap dan bisa ditemukan di internet via mesin pencari.

Karena tujuannya ingin mengabadikan pemikiran-pemikiran kita melalui blog, maka kita tidak bisa sembarangan membuat kontennya. Prinsipnya: “Kalau kau ingin menjadi penulis, maka tulislah apa yang harus dibaca orang, bukan apa yang ingin dibaca orang.

Menulis apa yang harus dibaca orang tentu berbeda dengan menulis apa yang ingin dibaca orang. Menulis apa yang harus dibaca orang mengharuskan kita untuk menulis sesuatu yang memang penting untuk diketahui dan dibaca orang lain. Itu berarti, tulisan kita harus mampu memberikan nilai manfaat bagi pembacanya.

Sementara menulis apa yang ingin dibaca orang, mengharuskan kita menulis sesuatu yang bersesuaian dengan selera pembacanya. Dengan prinsip ini, boleh jadi tulisan kita akan laris manis, tapi di sisi lain, penulis terkesan “disetir” oleh selera pembacanya. Jika selera pembacanya menye-menye, maka tulisan yang dihasilkan akan menye-menye. Sebaliknya, jika selera pembacanya keren, bermutu, edukatif, maka tuntutan untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas pun menjadi sebuah keharusan.

Sejauh saya blogwalking, saya sering menjumpai artikel blog yang bagus. Artikel tersebut tidak hanya informatif tapi juga mampu menginspirasi pembacanya. Blog yang berisikan artikel semacam itu (bagi saya) cenderung lebih berkesan. Saya juga pernah nyasar ke blog-blog komedi yang kebanyakan bercerita tentang pengalaman kocak penulisnya. Beberapa artikel di blog itu memang bisa membuat pembaca terhibur, tapi efeknya temporer sekali—sekedar “Hahaha” tanpa kesan dan hilang begitu saja.

*   *   *

Jika saya mau, bisa saja saya mempermak blog ini menjadi blog remaja, yang membahas tema “percintaan.” Tentu saja tema semacam itu lebih ramai di kalangan remaja. Karena topiknya tentang “percintaan”, boleh jadi saya akan menulis tentang pengalaman saya jatuh cinta, mulai dari yang romantis sampai yang absurd. Mungkin juga saya akan menulis artikel-artikel nyeleneh seperti: Tips-Tips Mencari Gebetan, Taktik Nembak yang Benar, Tips Kencan Menyenangkan, Cara Nikung Pacar Orang, sampai Tips Pedekate Sama Kakak Kelas. Jika sudah begitu, hanya menunggu waktu sampai archive blog saya dijejali artikel-artikel “nakal” yang menggoda pengunjung untuk meng-klik-nya (tentu saja topik semacam ini tidak akan saya ambil, karena saya khawatir akan disalahartikan).

Ada kemungkinan, blog saya akan jauh lebih ramai jika saya menulis tentang konten-konten remaja semacam itu. Tapi karena blog ini hanya bersifat “selingan”, saya tidak terlalu terobsesi untuk memonetisasinya (menjadikan blog ini sebagai “mesin uang”). Karenanya, saya tidak akan terlalu khawatir seandainya blog ini sepi pengunjung. Ada atau tidaknya pengunjung tidak akan mempengaruhi kebebasan saya dalam menulis.

Andai blog saya bermanfaat bagi pembacanya, maka saya anggap itu bonus. Setidaknya saya senang karena blog saya masih eksis, sampai-sampai orang dari antah berantah bisa nyasar ke blog ini. Sekalipun saya sudah tiada, pemikiran-pemikiran saya telah terdokumentasi melalui blog ini. Dan seperti yang saya katakan sebelumnya, selama blog ini eksis di internet, selama itu pula tulisan-tulisan saya bisa dibaca siapapun.


Bukankah menyenangkan jika tulisan kita bisa menginspirasi banyak orang sekalipun kita sudah tidak lagi di dunia? Sekali lagi, seperti kata Tere Liye:  “…..tulislah apa yang harus dibaca orang, bukan apa yang ingin dibaca orang.” Dengan begitu, iktikad kita dalam menulis menjadi lebih bermakna dan tidak sia-sia. []

Sunday 8 May 2016

Masalah Saya dengan Aplikasi Chatting


Apalah artinya punya WeChat, Kakao, Line, BBM, Whatsapp,
jika kau tak punya teman ngobrol yang menyenangkan?
(Hatake Niwa)

Sejujurnya, saya bukan tipe orang yang doyan gonta-ganti gadget. Selama sebuah gadget masih berfungsi dan tidak terlalu ketinggalan zaman, maka saya akan terus memakainya. Seperti dulu ketika saya kuliah semester awal. Saat itu, Blackberry tengah menjamur di kalangan anak muda. Beberapa teman saya juga ikut memakai Blackberry dan mulai bergerilya bertukar pin BBM (Blackberry Messenger). Di sisi lain, saya malah masih betah ngutak-atik HP konvensional yang pin default –nya: “1-2-3-4”.

Begitu tren Blackberry meredup, datanglah smartphone dengan OS Androidnya. Seperti halnya tren Blackberry, teman-teman saya mulai beralih memakai smartphone yang terkesan lebih futuristik. Sementara saya, masih bertahan dengan HP konvensional yang kameranya tak lebih dari 2MP. Alasannya sederhana, gadget lama saya masih layak pakai kok.

Sejujurnya, saya melakukan itu karena prinsip “mengedepankan FUNGSI daripada GENGSI” (yah, walaupun lebih terdengar seperti ‘mengenaskan’ dan ‘tidak bermodal’). Dengan prinsip itu, selama sebuah barang masih bisa dipakai dan tidak terlalu ketinggalan zaman, saya akan terus memakainya. Lagipula saat itu saya merasa belum membutuhkan smartphone. Komunikasi saya dengan teman-teman saya juga tidak terganggu meski tanpa smartphone ataupun Blackberry.

“Iman” saya baru mulai terusik ketika fitur chatting berjejalan di Playstore. Keberadaan aplikasi tersebut membuat pengiriman pesan konvensional via SMS mulai ditinggalkan. Banyak teman saya yang memakai aplikasi pesan berbasis internet (seperti Whatsapp dan BBM) untuk berkomunikasi. Dalam kondisi itu, mau tak mau, saya harus menyesuaikan diri. HP konvensional saya tidak lagi mencukupi untuk mengikuti dinamika teknologi dan tren saat itu. Pada akhirnya, dengan sedikit niat ikut-ikutan, saya pun tergoda membeli sebuah smartphone.

*   *   *

Sejak memiliki smartphone, saya mulai bergerilya menginstal berbagai aplikasi chatting. Mulai dari WeChat, Kakao, BeeTalk, Line, BBM, Whatsapp, sampai aplikasi random seperti Scout dan Friendstalk pernah saya instal. Berhubung kapasitas RAM saya kecil, saya memberlakukan sistem “bongkar pasang” saat mencoba berbagai aplikasi tersebut. Harapannya, aplikasi-aplikasi tersebut akan mempermudah saya dalam berkomunikasi dengan teman-teman saya.

Sayangnya, di antara sekian banyak aplikasi chatting  yang saya instal, hanya segelintir saja yang bertahan di smartphone saya. Sebagian besar aplikasi malah terasa mubadzir karena jarang atau tidak pernah saya pakai. Bahkan aplikasi sekaliber Whatsapp pun terpaksa saya uninstal karena memang tidak berguna (bagi saya). Sampai saya menuliskan ini, aplikasi chatting yang bertahan di smartphone saya hanya Line Messenger dan BBM. Itu pun saya pakai karena ada fitur groupchat di dalamnya. Jika groupchat sepi, maka praktis smartphone saya ikut-ikutan sepi.

Karena itu, tidak mengherankan jika saya bisa tidak menerima pesan apapun dalam sehari. Saya memang jarang berkirim pesan di luar groupchat kecuali saat ada acara atau urusan penting. Terkadang saya merasa teralienasi dari pergaulan di dunia smartphone—meski itu bukan hal yang buruk. Alih-alih mencari kesenangan dengan chatting, smartphone saya justru lebih berguna untuk keperluan browsing  di internet.

Ada beberapa alasan logis untuk menjelaskan kenapa saya jarang menerima pesan langsung dari orang lain. Alasan-alasan itu antara lain:

1. Saya bukan orang penting karena saya bukan bukan artis, aktivis, apalagi pebisnis.
2. (Karena alasan nomor 1) Tidak ada yang perlu menghubungi saya.
3. (Alasan nomor 2 terjadi karena) Saya bukan orang yang asyik diajak ngobrol.
4. (Mungkin juga karena) Saya segan untuk flirting pada anak gadis orang.
5. (Keempat alasan di atas menjelaskan kenapa) Saya enggan mencari pacar.

Alasan-alasan itu mungkin terdengar mengada-ada (lebih tepatnya saya hanya mengira-ngiranya saja). Toh bagaimanapun juga, muara dari permasalahan jarangnya orang yang nge-chat saya tidak lepas dari prinsip saya untuk memilih “sendiri”. Prinsip tersebut membuat saya tidak terlalu tertarik untuk flirting dengan anak gadis orang (baca: gebetan). Lagipula, saya bukan tipe-tiper orang yang mudah percaya dengan cinta di dunia maya.

Lho apa hubungannya chatting sama urusan asmara?

Tentu saja ada. Maraknya aplikasi chatting seperti sekarang, berbanding lurus dengan perkembangan cara-cara pedekate dan tebar pesona. Kita tidak bisa naif jika sejak jaman dahulu, orang-orang sibuk bertukar pesan untuk mencari pasangan, pacar, kekasih, suami, istri, atau apapun istilahnya. Dengan adanya aplikasi chatting, urusan semacam itu tentu menjadi lebih mudah. Segala sesuatu bisa disampaikan dengan lebih cepat.

Bandingkan dengan fitur SMS dan telepon yang (pada masa jayanya) penuh dengan “cerita heroik”—mulai dari membuat pesan tanpa spasi, menyingkat pesan agar tidak melebihi batas karakter, nelpon secukupnya, sampai begadang semalaman demi mendapat tarif nelpon gratis. Dan ujung dari semua perjuangan itu lagi-lagi sama—“mencari pasangan”, entah itu disebut pacar, kekasih, suami, istri, atau apapun istilahnya.

Tapi tentu saja, tidak semua orang memakai aplikasi chatting untuk mencari pasangan semata. Banyak juga yang memakainya untuk keperluan akademis, seperti janjian dengan dosen pembimbing atau untuk kepentingan bisnis seperti jualan online. Sangat disayangkan jika kemajuan teknologi komunikasi saat ini hanya dimanfaatkan sebatas untuk memenuhi insting mencari pasangan. Ada hal-hal lain yang lebih penting dan lebih layak diperjuangkan daripada sekedar mencari kekasih yang ditikung atau sekedar berebut gebetan.

Terlepas dari semua itu, sampai batas-batas tertentu, aplikasi chatting memudahkan kita berkomunikasi dengan orang lain—melebihi fasilitas SMS dan telepon. Aplikasi chatting via smartphone memungkinkan kita untuk berkirim pesan sebanyak dan sesering mungkin tanpa terhambat batasan karakter dan biaya pulsa per pesan. Tidak mengherankan jika orang jaman sekarang lebih memilih nge-chat daripada menekan tombol “Kirim SMS”.


Meski begitu, karena tidak semua orang memakai smartphone dan koneksi internet di tiap daerah berbeda-beda, fitur SMS dan telepon masih akan tetap survive. Saat ini pun saya masih memakai HP konvensional untuk berkirim pesan. Setidaknya, hal itu mengantisipasi kalau-kalau orang yang saya tuju tidak memiliki smartphone atau tengah bermasalah dengan koneksi internetnya (lost signal  atau kuota habis). Jika sudah begitu, maka tidak ada salahnya untuk tetap setia memakai cara-cara lama untuk berkirim pesan. []

Friday 6 May 2016

Bulan yang Hilang


“Terkadang, sesuatu yang benar di matamu,
belum tentu benar di mata orang lain.

Cukup lama blog ini mengalami hiatus (lagi). Untuk kesekian kalinya, ada bulan yang hilang di archive blog ini. Ya, di bulan yang hilang itu, saya sibuk dengan “pencarian.” Ada banyak sekali pertanyaan yang mengusik saya dalam beberpaa minggu terakhir. Tentang cinta, tentang karya, tentang karir, tentang mati, tentang hidup, tentang manusia, tentang kepedulian, tentang ego, tentang panggilan hidup, sampai-sampai tidak bisa saya sebutkan satu per satu di sini.

Saya merasakan begitu banyak pertentangan dalam kehidupan ini. Sesuatu yang berjalan seharusnya, tidak berlaku dalam realitas. Seringkali realitas yang ada justru menyeleweng dari tataran yang seharusnya. Orang bilang rajinlah beribadah agar terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Tapi kenyataannya, ada juga orang yang rajin beribadah tapi kata-kata dan perilakunya menyakiti pihak lain. Orang bilang bersabarlah dalam menghadapi kemiskinan, padahal yang memberi nasihat tidak pernah sekalipun merasakan kelaparan. Orang bilang sekolah-lah tinggi-tinggi, agar kelak menjadi orang sukses. Realitasnya, tidak sedikit lulusan perguruan tinggi yang menganggur.

Semuanya serba kontradiktif. Penuh pertentangan. Tidak ada pencerahan di sana. Yang ada malah keruwetan yang semakin kusut untuk dipikirkan. Saking ruwetnya, sampai-sampai saya harus menegaskan: “BERHENTILAH mendengarkan omongan orang!” Ya, sampai taraf tertentu kita tidak bisa melulu mendengarkan kata-kata orang lain. Sebuah nasihat, atau sesuatu yang dianggap orang baik, belum tentu benar-benar baik. Kita perlu mengolah nasihat itu, mencocokkannya dengan realitas yang ada, barulah kemudian kita refleksikan, apakah nasihat itu relevan dengan masalah kita atau tidak.

Kita lihat dunia ini dipenuhi kata-kata bijak, petuah, nasihat, motivasi. Sebagian orang malah menjadikan “nasihat” sebagai barang dagangannya. Mereka berkeliling dari satu forum ke forum lain, bercakap tentang keadilan, tentang kesetaraan, tentang iman, perjuangan, dan dengan berapi-api mengobarkan motivasi serta harapan dalam benak “para jamaahnya.” Ironisnya, apa-apa yang mereka omongkan secara berapi-api itu justru tidak dipraktekkan dalam kesehariannya. Mereka hanya menjual “nasihat” pada “para jamaah” yang merasa butuh nasihat. Padahal hakikatnya, nasihat atau motivasi yang diberikan orang lain sama halnya dengan “candu” jika tidak diimbangi dengan tindakan dan usaha nyata! Untuk sesaat, mendengarkan nasihat atau meminta motivasi dari orang lain membuat kita merasa lega. Beban yang menghimpit bahu terasa lebih ringan. Tapi itu hanya efek temporer. Sekembalinya dengan rutinitas dan realitas kehidupan nyata, apa-apa yang diomongkan tidak semudah yang dilakukan.

Di bulan yang hilang, saya berkeliling mencari “kebenaran.” Saya berharap akan menemukan penjelasan tentang kebenaran itu di suatu tempat. Pada akhirnya saya sadar bahwa kebenaran bukan monopoli manusia. “Kebenaran” mutlak milik Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Bagi manusia, seringkali kebenaran menemui relativitasnya sendiri. Apa yang kita anggap benar, belum tentu benar di mata orang lain. Begitu juga apa yang orang lain anggap benar, belum tentu benar di mata kita. Relatif. Tergantung dari sudut mana kita melihat.


Dan karena itu, bisa saja manusia melakukan kekeliruan dalam hal yang mereka anggap benar. Itu sebabnya manusia disarankan untuk terus-menerus saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Karena bagaimanapun sebuah nasihat tetap penting dalam kehidupan sosial manusia. Hanya saja, dibutuhkan kearifan dan keterbukaan pemikiran dalam menyikapi nasihat itu. Di samping kerendahan hati untuk melihat nasihat dari berbagai sudut pandang. Saya rasa itulah jalan terbaik daripada sibuk berkonfrontasi di tengah kebenaran yang semakin rancu di masyarakat. []