Subscribe:

Labels

Saturday 27 February 2016

Pengalaman Pertama Menginap di Hotel


“Malu bertanya sesat di jalan,
Bertanya terus—itu memalukan”


Quote saya di atas itu kata-kata guru SD saya. Intinya, jika kita tidak mengetahui suatu hal, maka segeralah bertanya. Dengan segala kepolosan saya sebagai bocah SD, saya mengamini kata-kata guru saya. Setiap kali mengingat pepatah “malu bertanya…” saya jadi teringat pengalaman saya ketika masih duduk di bangku SMA.

Saat itu, saya masih awal-awal SMA, kelas X. Sekolah saya mendapat undangan dari sebuah instansi pemerintah—sebut saja Dinas Rakyat Sejahtera (DRS). 

Kebetulan sekolah memilih saya untuk mendampingi ketua OSIS menghadiri seminar tersebut. Acara itu sendiri dilangsung kan di sebuah hotel bintang tiga di kawasan Yogyakarta. Peserta acara adalah perwakilan pelajar SMA dari tiap kabupaten di provinsi DIY. Saya merasa sangat beruntung bisa mengikuti seminar itu karena tidak semua pelajar mendapat kesempatan itu. Terlebih acara itu digelar di sebuah hotel bintang tiga di Yogyakarta. Itu berarti, saya akan mendapatkan pengalaman pertama menginap di hotel.

Sebelumnya, saya hanya melihat hotel di film-film. Hotel ditampilkan sebagai tempat yang mewah, kasur yang empuk, orang-orang berduit, tempat nginap James Bond, dan tempat “dolan” para lelaki hidung belang. Berhubung saya bukan lelaki hidung belang, saya tidak punya alasan untuk menginap di hotel. Saya bukan tipe pelajar SMA yang gemar dolan apalagi nginap di tertentu bersama lawan jenis—menyewa hotel kelas melati pun tidak pernah (sungguh!). Boleh jadi benar, gara-gara sering disalahgunakan, orang-orang kadung menstigma hotel sebagai tempat yang nggak beres.

Di hotel itu, saya sekamar dengan ketua OSIS—sebut saja Wawan. Kebetulan dia laki-laki. Jadi anggapan orang bahwa saya mengerjakan “sesuatu yang nggak beres” di hotel sudah terbantahkan (lagipula saya juga bukan penggiat LGBT). Dalam satu kamar, hanya ada satu kamar mandi minimalis yang berisi kloset duduk dan shower. Karena itu, saya dan Wawan harus bergantian memakai kamar mandi itu.

Setelah seminar sesi pertama, saya memutuskan untuk mandi.

Begitu masuk kamar mandi, saya 

DEG!!!

Shower di depan saya terlihat janggal. Tidak ada kenop di sana. Biasanya, kenop shower berbentuk kincir atau mirip bulatan besar yang mencolok agar pengguna bisa segera tahu jika benda itu adalah kenop shower. Tapi shower di hotel itu berbeda. Saya sudah menggerayangi shower “laknat” itu, mencoba menekan dan memutar-mutar setiap lekuknya. tapi hasilnya nihil. Shower itu tetap tidak mengeluarkan air—mungkin alatnya sudah rusak.

Di luar, Wawan sudah menunggu giliran mandinya. Sementara saya masih berkutat dengan shower “laknat” itu. Sebenarnya saya bisa bertanya pada Wawan, tapi ini kan cuma shower—masak nggak tahu caranya nyalain shower. Saya pun terjebak. Saya tidak bisa membiarkan Wawan lama menunggu. Saya harus segera mandi. Jika shower “laknat” itu tidak bisa memberi air, saya harus memikirkan cara lain untuk mandi.

Otak saya mulai bekerja. Pandangan saya beralih pada kloset yang ada di sebelah shower. Tentu saja saya tidak akan memakai air dari tombol flush untuk mandi. Tapi saya bisa memanfaatkan “pistol air” di dekat kloset itu.

Prroottt…proott….proottt….!!!

“Eureka”—seperti kata Archimedes saat menemukan konsep berat jenis. Saya berhasil mendapatkan air untuk mandi. Ternyata kloset itu serbaguna. “Pistol air” yang biasa dipakai menyemprot lubang kloset bisa dimanfaatkan menjadi pengganti shower rusak. Saya pun segera menuntaskan keperluan mandi dengan guyuran air dari semprotan kloset.

Setelah keluar, saya katakan pada Wawan kalau showernya rusak. Wawan pun mencoba menyalakan shower itu. Dan ternyata…….Wawan juga tidak berhasil menyalakan shower itu. Saya pun semakin yakin jika shower itu rusak. Wawan pun bertanya-tanya (kira-kira begini):

“Terus kowe mau aduse nganggo opo ?” (terus kamu tadi mandinya pakai apa?)

Sambil nyengir saya bilang saya mandi pakai semprotan kloset. Dan tawa kami pecah saat itu juga. Siapa sangka, semprotan kloset bisa menjadi sedemikian berguna. Wawan pun menuruti “ajaran sesat” saya—mandi memakai semprotan kloset!

Selesai urusan mandi, saya berpikir untuk menelpon resepsionis, Saya katakan bahwa shower di kamar saya rusak. Beberapa saat kemudian, seorang Mas-Mas pegawai hotel datang. Mas-mas itu segera mengecek shower di kamar mandi (tentu saja Wawan sudah tidak ada di sana). Tangannya meraba-raba sebuah panel kotak di bawah shower itu, memutarnya, kemudian ………

“Seerrrr…….”

Shower “laknat” itu mengeluarkan air. Shower itu tidak rusak. Saya saja yang tidak tahu cara menyalakannya. Sejenak saya tercenung. Saya pikir panel kotak itu termasuk bagian penyangga shower, bukan sebuah kenop. Rasa heran saya bercampur dengan rasa malu. Heran, karena saya tidak pernah menyangka panel kotak di bawah shower itu bisa diputar. Dan malu—karena merasa dirinya payah, menyalakan shower saja nggak bisa.

Malamnya, setelah saga dengan shower “laknat“ usai, saya dan Wawan ngongkrong dengan beberapa pelajar SMA lain di beranda hotel. Saya urung bertanya, apakah mereka juga bermasalah dengan shower “laknat” di kamar mandi. Boleh jadi, mereka juga tidak tahu cara menyalakan shower. Entahlah. Jika memang begitu, saya yakin mereka juga akan berpikir untuk mandi dengan memanfaatkan—“pistol air” penyemprot kloset. Case closed !

*   *   *

Poin cerita:
Jika sejak awal tidak tahu, maka segeralah bertanya, bukan malah berlagak sok tahu. Menjadi orang sok tahu itu menjengkelkan sekali. Berlagak bisa mengerjakan semua hal, merasa paham segala disiplin ilmu—sampai-sampai “nekat” menceramahi orang dengan kedangkalan ilmunya. Padahal boleh jadi orang yang diceramahi malah jauh lebih berilmu daripada dirinya.

Pada kasus saya, meski harus menanggung malu, setidaknya saya mendapat ilmu baru karena saya jadi tahu bahwa ada jenis shower yang knenop pembuka airnya berbentuk panel kotak. Karena memang begitulah hakikat belajar, terkadang salah, terkadang malu. Tapi yakinlah, buah bagi mereka yang mau belajar akan manis.

0 comments:

Post a Comment