Subscribe:

Labels

Tuesday 27 October 2015

Belajar Memandang Masalah secara Positif


“Jangan meributkan hal-hal sepele.
Jangan biarkan hal-hal kecil—rayap kehidupan—merusak kebahagiaan Anda.”
(Dale Carnegie)

Ini adalah sebuah nasehat lama yang hampir selalu saya temukan dalam buku-buku motivasi. Nasehat ini mengatakan bahwa diri kita sendiri adalah penentu kebahagiaan atau kesengsaraan hidup. Kita selalu dihadapkan pada dua pilihan, merespon suatu kejadian secara positif atau negatif.

Misalkan suatu ketika kita kehilangan data penting dari flashdisk. Saking banyaknya data penting yang hilang membuat kita frustasi. Normalnya, kita akan memandang permasalahan tersebut secara negatif. Kita akan merutuki nasib dan menyalah-nyalahkan diri kita sendiri. Tapi di sisi lain, betapa pun buruknya keadaan kita masih bisa menanggapi kejadian buruk secara positif. Setelah kejadian itu, kita mencoba untuk lebih berhati-hati menyimpan data. Kita yang sebelumnya malas melakukan back up data, mulai merajinkan diri membuat back up data. Pad akhirnya, kita pun belajar menjadi pribadi lebih teliti dan bertanggung jawab.

Merespon segala kejadian buruk secara positif bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kerja keras, komitmen, kesabaran, dan kelapangan diri untuk mau berubah. Hal ini dikarenakan kecenderungan pikiran kita yang lebih mudah melihat sisi buruk daripada sisi baiknya. Bukankah kita lebih mudah melihat noda hitam di tengah-tengah kertas putih daripada melihat bagian lain kertas yang masih putih bersih.

Alangkah sengsaranya diri ini, jika kita terlampau sering meributkan kekurangan, kelemahan diri, kesialan nasib, dan kelakuan buruk orang lain tanpa sekalipun mencoba berpikir ke luar dan mencari cara mendamaikan hati kita dengan pikiran positif. Padahal mendamaikan hati ketika dilanda masalah adalah poin terpenting agar kita mampu bersabar menghadapi masalah itu.

Jika sejak awal kita sudah terbelenggu dalam penyesalan, kekhawatiran, perasaan serba salah, putus asa, maka sekecil apapun masalah yang kita hadapi akan terlihat jauh lebih rumit. Segala jalan keluar seakan-akan telah tertutup. Padahal pikiran negatif kitalah yang menutup jalan keluar itu.

Sejak kecil kita diingatkan bahwa selalu ada hikmah di balik setiap musibah dan selalu ada jalan keluar dalam setiap masalah. Dua hal itulah yang harus kita temukan dalam setiap masalah atau kejadian buruk yang dialami. Untuk itu, mulailah belajar menyikapi segala permasalahan secara positif dengan merenungi hikmahnya sambil berikhtiar mencari jalan keluar terbaik.

Keberhasilan kita dalam menyikapi masalah secara positif tidak hanya menjadikan kita pribadi yang lebih dewasa. Lebih dari itu, kita akan mampu bersabar dan tegar dalam menghadapi masalah apapun. Dengan begitu, kita akan lebih mudah untuk menggapai kehidupan yang lebih berbahagia. Bukankah tujuan hidup kita adalah untuk meraih hidup yang bahagia?

Monday 26 October 2015

Tentang Cinta dari Dunia Maya


“Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun.
Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada,  cinta tak akan pernah tercipta
dalam hitungan tahun bahkan abad.
(Kahlil Gibran)

Hari sudah semakin sore. Lorong-lorong kampus sudah sepi. Kebetulan ini hari Jumat, hanya beberapa jurusan yang membuka kelas sore. Aku tercenung sendirian di lantai 2, di depan ruang penyimpanan barang. Tempat yang selalu kupilih untuk menyendiri karena kesunyiannya. Begitu sunyinya, membuatku menerawang jauh mengingat fragmen-fragmen masa laluku. Masa lalu yang seharusnya tidak pernah kuingat.

Seperti sebuah film hitam putih—kenangan-kenangan itu terputar begitu saja. Rasa-rasanya, kejadiannya baru kualami kemarin. Tanpa terasa semua itu telah berlalu. Ya, waktu memang berlalu begitu cepat dan hanya menyisakan dua hal: kenangan atau—penyesalan.

“Masih mencoba untuk melupakan masa lalu?” Suara temanku membuyarkan nostalgiaku.

“Eh…apa?” aku beringsut menoleh setengah kaget.

“Yang kau lakukan itu.” Agaknya temanku hafal membaca pikiranku.

“Bukan urusanmu!” Aku mendengus sebal.

“Ah, sikapmu selalu saja begitu. Sok tegar, meski hatimu tak pernah damai.”

“Hey, sejak kapan kau berubah menjadi pria yang peduli?” kataku ketus.

“Sejak kita berkenalan.”

“Sudah basa basinya? Ada perlu apa kau menemuiku? Tak biasanya.”

“Baiklah, aku hanya ingin bertanya. Menurutku kau yang paling tahu di antara teman-temanku yang lain.” Wajah pria di hadapanku menjadi serius.

“Kalau kau ingin menanyakan tentang keburukan seseorang, kau salah tempat.”

“Bukan itu. Aku hanya minta tanggapanmu. Apa kau percaya cinta dari dunia maya?”
Aku mengernyitkan dahi.

“Maksudmu?”

“Itu…Cinta yang muncul karena komunikasi yang intens di dunia maya.”

“Hm…aku belum pernah mengalaminya.” Jawabku pendek.

“Anggaplah kau sedang mengalaminya sekarang.” Temanku mencoba membujukku bicara.

Sebenarnya aku malas membahas persoalan perasaan. Jika pria yang berdiri di hadapanku bukan teman baikku, tak sudi kulanjutkan percakapan itu.

“Hei, bukankah sudah lama kau tahu kalau aku seorang yang sangat rasional? Lantas bagaimana mungkin aku bisa merasakan cinta hanya dari komunikasi dunia maya? Aku bukan lelaki gampangan semacam itu.”

“Ini bukan perkara gampangan atau tidak. Aku hanya menanyakan, apa kau percaya bahwa cinta bisa muncul dari dunia maya?”

“Tentu saja bisa. Tapi itu tak lebih dari proses bertemunya “perhatian” dengan “perhatian.”

“Maksudnya?” giliran temanku yang mengernyitkan dahi.

“Sederhananya, siapa sih yang tidak gembira jika  mendapat perhatian dari seseorang? Apalagi jika perhatian itu berlangsung secara intens. Padahal kau tahu, rumus agar orang bisa jatuh cinta itu sederhana. Berikan ‘perhatian dan kepedulian’ Jika yang kau cinta orang yang waras nuraninya, lama-lama dia akan luluh juga.”

“Segampang itukah? Kalau begitu, bisakah perasaan dari dunia maya menjadi cinta sejati?”

“Apa kau tidak salah orang menanyakan hal itu pada seorang lajang yang bahkan tidak punya pacar sepertiku?”

“Oh, ayolah. Aku malah lebih percaya pada kata-katamu karena jawabanmu murni dari rasionalitas pikiran yang tidak terecoki sisi emosional tertentu. Sekali lagi kutanya, bisakah perasaan dari dunia maya menjadi cinta sejati?”

“Tergantung. Setiap diri kita tidak pernah bisa memastikan masa depan. Cinta sejati, jodoh, urusan perasaan, semuanya jauh lebih rumit dari relativitas Einstein. Kau tak akan mendapat jawaban jika kau menggunakan pendekatan rasional untuk memahami urusan perasaan. Memangnya kau sedang jatuh cinta dengan gadis di dunia maya?”

“Entahlah, kukira begitu.”

“Sudah pernah bertemu?”

“Belum.” Temanku menggeleng.

“Saranku, berhentilah berangan-angan. Jangan simpulkan apapun tentangnya sampai kau menemuinya. Urusan perasaan terlalu rumit jika kau jadikan meja taruhan.”

“Bagaimana denganmu?”

“Hah? Aku? Jangan konyol. Pembicaraan ini tidak menyinggung tentangku melainkan dirimu.”

“Aku dengar kau sempat bertemu dengan gadis yang kau kenal dari dunia maya. Teman chatmu?”

“Entahlah. Aku malas membicarakannya. Dia orang yang berbeda dengan ‘dia’ yang kukenal di dunia maya.”

“Kau menyukainya?” Temanku malah menginterogasiku.

“Bodoh! Sudah lama aku tak mempercayai dongeng-dongeng cinta di masa kecil. Omong kosong jika kita membahas cinta tanpa membahas komitmen! Sudah, pembicaraan ini sampai di sini.”


Aku beringsut pergi. Temanku hanya melongo. Terpaku di tempat yang sama ketika aku menerawang mengingat-ingat masa lalu. Pria yang tengah berdiri di sana, mungkin jauh lebih menderita daripada aku.

Pokoknya Kerja…! Kerja…! Kerja…!


Saking sibuknya aku bekerja, hingga aku lupa
untuk siapa sebenarnya aku bekerja…
(Anonym)

Rutinitas kerja yang seakan tidak pernah berhenti seringkali membuat kita lalai memikirkan tentang hakikat bekerja. Seiring berjalannya waktu kita lebih mirip robot yang hidupnya disetir oleh deskjob, target, gaji, deadline hingga sisi kemanusiaan kita sendiri terabaikan. Kesibukan bekerja membuat kita serba lupa diri. Lupa akan rindunya anggota keluarga di rumah. Lupa mencari waktu untuk makan semeja bersama anak istri. Lupa menjaga kesehatan. Bahkan lupa tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya di dunia ini.

Tidak ada yang salah jika kita ‘khusyu’ bekerja. Yang salah adalah ketika ke-khusyu’-an itu justru membuat kita lalai dari berbagai momen penting dalam hidup ini.  Seorang ayah yang sibuk bekerja hingga lupa meluangkan waktu untuk anaknya tidak jauh beda dengan ayah yang tidak bertanggung jawab. Berapapun uang saku yang bisa diberikan untuk anak, semua itu akan percuma jika kebersamaan keluarga tak lagi diprioritaskan. Karena sebagai anak, perhatian orangtua jauh lebih berharga dan tidak bisa diukur dengan lembaran-lembaran rupiah.

Tapi kehidupan di zaman (yang katanya) modern ini seakan menghendaki kita untuk menjadi robot. Jamak kita jumpai orangtua yang harus bekerja di luar kota/luar negeri sehingga jarang bertemu keluarga di rumah. Nasib anak atau anggota keluarga lain dititipkan pada kerabat atau tetangga. Saking sibuknya dengan pekerjaan, orang jadi lupa untuk menyapa tetangga kanan kirinya. Bahkan kenal pun tidak.

Kehidupan sosial menjadi serba individualis. Kepekaan sosial kita terhadap penderitaan orang lain, perlahan memudar. Kita lebih sering mementingkan diri sendiri. Pada kasus yang parah, kita tak lagi peduli jika kita harus merampas hak orang lain asalkan diri sendiri mendapat untung. Sadar atau tidak, dengan cara itulah roda kehidupan modern telah memperbudak kita dan memisahkan kita dari sisi-sisi kemanusiaan kita sendiri.

Sesibuk apapun kita bekerja, kita juga manusia yang memiliki kemerdekaan dalam bertindak. Kita adalah makhluk-makhluk Tuhan yang merdeka—yang tidak seharusnya diperbudak oleh hal-hal duniawi seperti uang, pangkat, target bulanan, deadline, yang semuanya justru mencerabut kita untuk menikmati esensi kemanusiaan kita sendiri.


Kesibukan bekerja bukanlah penghalang bagi kita untuk tetap menjadi manusia dengan segala kemanusiaannya. Kita bisa saja sibuk bekerja tapi tetap harus ingat “untuk siapa aku bekerja?” Karena itu, tidak usah sungkan memasang foto keluarga di meja kerja, jika itu bisa mengingatkan kita tentang keluarga yang ada di rumah. Pun tidak usah pekewuh dianggap sok suci ketika harus izin meminta waktu beribadah. Semua itu memang perlu kita lakukan semata agar kehidupan yang serba semrawut ini tidak mengikis habis sisi-sisi kemanusiaan kita sendiri. Agar kita tetap eling lan waspada bahwa kehidupan ini tak lain adalah kesenangan yang memperdayakan—tidak kekal. Dan bahwasanya setiap diri akan menjumpai Tuhannya kelak dalam kehidupan yang lebih hakiki—kehidupan di akhirat.

Sunday 25 October 2015

Menjadi Guru Honorer: Antara Profesi dan Panggilan Nurani


“Guru bukanlah sebuah profesi—melainkan sebuah peran yang seharusnya diemban
oleh setiap orang yang memahami esensi belajar.”
(Hatake Niwa)

Sebagai lulusan jurusan pendidikan, saya sering prihatin dengan nasib para guru honorer. Sudah jamak kita jumpai berbagai paradoks di mana kesejahteraan para guru honorer terabaikan—terutama persolan gaji. Tidak peduli di kota-kota besar atau di daerah terpencil, nominal salary yang diterima para guru honorer acapkali membuat miris. Jangankan mendekati UMR, gaji sebulan bisa saja habis hanya untuk biaya transportasi. Belum lagi jika pembayaran gaji tertunda. Gaji beberapa bulan ditangguhkan untuk kemudian dibayarkan kontan pada bulan berikut.

Tetangga saya beda kampung—seorang guru honorer di SD negeri, malah hanya mendapat 300 ribu rupiah per bulannya! Nilai itu tidak lebih dari sepertiga UMR provinsi yang berkisar antara 1,1-1,3 juta. Di sekolah-sekolah swasta, gaji yang diterima biasanya lebih besar tergantung kondisi dan dukungan finansial yang dimiliki sekolah.

Minimnya gaji para guru honorer sedikit banyak bisa dimaklumi karena alokasi dana BOS untuk gaji mereka dibatasi—maksimal 15 persen. Sebagai catatan, jumlah dana BOS yang dibagikan disesuaikan dengan jumlah murid di sekolah itu. Semakin banyak murid yang bersekolah di sekolah itu, semakin banyak pula dana BOS yang diterima. Misal dalam satu sekolah terdapat 100 murid dan hanya mempekerjakan satu guru honorer, gaji yang diperoleh bisa lebih.

Tapi bayangkan sebuah sekolah dengan sedikit murid—satu kelas tak lebih dari 10 orang, dan mempekerjakan dua atau lebih guru honorer. Alokasi 15 persen dana BOS jelas tak mencukupi untuk menunjang kesejahteraan para guru honorer. Gaji yang sebenarnya sudah sedikit, masih harus dibagi lagi sehingga jatah per guru honorer semakin sedikit. Karena itu, atas dasar ‘perikemanusiaan’ terhadap guru honorer, tidak mengherankan jika kemudian muncul praktek ‘sulap’ dalam pengelolaan dana BOS (saya tidak menulis ini sebagai sebuah saran).

Bertahun-tahun guru honorer menyuarakan keluhannya pada pemerintah, tapi situasi yang ada malah semakin dilematis. Mengangkat guru honorer menjadi PNS mungkin terdengar utopis karena berseberangan dengan arah kebijakan moratorium pegawai dari pemerintah (meski beberapa waktu yang lalu kebijakan ini diambil dengan beberapa syarat dan ketentuan ketat). Menetapkan upah minimum bagi guru honorer tentu tidak mudah, karena berpotensi membuat alokasi dana BOS membengkak. Di sisi lain, kebutuhan sekolah terhadap guru kelas semakin mendesak karena masalah kekurangan guru. Hal ini pula yang memaksa sekolah mempekerjakan guru honorer agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terus berlangsung.

Sekolah memang bukan rumah sakit yang memiliki lebih banyak peluang pemasukan untuk menghidupi instansinya, seperti biaya rawat inap, layanan laboratorium, obat, dan berbagai layanan kesehatan lainnya. Analoginya, orang-orang tentu lebih rela membayar 10 juta agar nyawa anaknya tertolong daripada membayarkan uang yang sama agar anaknya bisa naik kelas. Karenanya, sulit disangkal jika tenaga honorer di rumah sakit bisa lebih makmur daripada guru honorer di sekolah. Ah, seandainya persoalan kesejahteraan tidak melulu dikaitkan dengan gaji…

*  *  *

Suatu hari saya mengantar ibu saya mengunjungi mantan rekan kerjanya yang baru saja melahirkan—sebut saja Bu Yatmi. Bu Yatmi juga seorang guru honorer di sebuah SD negeri (sekolah yang dulu dikepalai ibu saya). Sudah 10 tahun lamanya Bu Yatmi menjadi guru honorer di sana. Dari penuturan-penuturannya, saya semakin heran kenapa beliau tidak memutuskan pindah kerja saja? Apalagi statusnya sekarang adalah seorang ibu satu anak, sehingga kebutuhan rumah tangganya pun lebih banyak. Saya rasa, gaji bulanannya sebagai guru honorer tidak akan mencukupi.

Menjadi guru honorer memang pilihan. Setiap diri bebas menentukan pilihan, ingin menjadi apa dirinya saat ini. Semua itu tak lebih dari perwujudan ‘kebebasan berkehendak’ manusia. Yang saya tangkap dari raut wajah Bu Yatmi, mengajar bukan cuma persoalan banyak atau sedikitnya gaji yang diperoleh. Lebih dari itu, Bu Yatmi menikmati proses mengajar itu sendiri. Boleh jadi beliau merasakan kebahagiaan tersendiri melihat wajah-wajah polos siswanya yang riuh saat belajar, penuh tawa, keceriaan, sesekali cemberut tapi kemudian melonjak-melonjak kegirangan karena mendapat nilai tertinggi di kelas. Bu Yatmi menikmati semua itu—dan saya melihat itu dari gurat di wajahnya.

Boleh jadi, Bu Yatmi merasa bahwa mengajar adalah panggilan hidupnya. Sebuah amanah tak tertulis yang entah kenapa terbesit begitu saja dalam benaknya. Bu Yatmi nyata sudah mencintai profesinya sebagai guru. Dan ketika seseorang sudah mencintai profesinya, jangankan digaji sedikit, tak digaji pun tak akan menjadi soal.


Dan Bu Yatmi pun memutuskan menjadi guru dengan segala manis pahitnya. Tak peduli berapa gaji yang diperoleh, honorer atau pegawai, murid-murid akan tetap memanggilnya—”guru”—pahlawan tanpa tanda jasa yang akan selalu dihargai, dihormati, dan mendapat tempat tersendiri dalam kenangan murid-muridnya.