Subscribe:

Labels

Wednesday 11 May 2016

Menasehati tanpa Menghakimi


Sebaik-baiknya nasehat adalah nasehat yang disampaikan dengan hikmah,
tanpa menyakiti perasaan mereka yang diberi nasehat.
(Hatake Niwa)

Tidak ada manusia yang tidak pernah salah. Manusia adalah makhluk yang bisa salah dan lupa. Karena mempunyai tabiat seperti itu, manusia diingatkan Tuhan untuk “saling menasehati dalam kebaikan, dan saling menasehati dalam kesabaran”. Dengan kata lain, manusia didorong agar tidak segan berbagi nasehat jika itu memang dibutuhkan.

Nasehat tidak harus berbentuk petuah dengan untaian kata-kata mutiara ala motivator. Tidak harus berupa penjelasan panjang lebar yang membuat pendengarnya mengantuk. Sebagian orang malah kurang respek jika si pemberi nasehat terkesan menggurui. Karena itu, pemberi nasehat yang bijak akan berusaha menjaga perasaan orang yang dinasehatinya. Mereka selalu berusaha mencari jalan tengah agar nasehat mereka didengar tanpa menghakimi perbuatan orang yang diansihati. 

Dalam hal ini, persoalan nasehat-menasehati tidak sesederhana menilai perilaku orang, menjabarkan kesalahannya, untuk kemudian mengakhirinya dengan nasehat. Tidak semudah itu. Kita harus tahu bahwa ada dimensi psikologis dalam diri manusia di mana mereka tidak suka disalahkan. Itu sebabnya, menghakimi atau menyalahkan perbuatan orang lain bukanlah sikap yang bijak untuk mengawali sebuah nasehat. Bisa saja orang yang ingin kita nasehati malah lebih dulu tersinggung dan tidak menaruh respek pada kita, karena perbuatannya disalah-salahkan. Jika sudah begitu, betapa pun benarnya nasehat kita, semua itu akan sia-sia karena orang yang ingin dinasehati keburu menutup telinganya.

Jika kita ingin memberi nasehat, maka “JANGAN MENGHAKIMI” perbuatan orang yang ingin kita nasehati. Sebisa mungkin kita harus menjaga perasaannya. Kita harus membuat orang itu menyadari kesalahannya terlebih dahulu. Bukankah orang yang berbuat salah seringkali tidak sadar jika perbuatannya salah?

Misalkan seorang bocah tidak mengerjakan sholat. Tanpa tahu duduk masalahnya, kita langsung memarahi bocah itu, “Hei, kamu kok nggak sholat? Itu kan dosa! Nanti kamu masuk neraka, lho! Besok lagi jangan diulangi ya!” 

Ya, meninggalkan sholat itu berdosa. Semua orang juga tahu. Tapi kita tidak bisa langsung menghakimi bocah itu tanpa menyelidiki latar belakang masalahnya. Boleh jadi bocah itu belum memahami esensi sholat, sehingga dia tidak merasa harus bangun pagi untuk sholat. Atau boleh jadi bocah itu tidak sholat karena belum pernah diajari orangtuanya.

Dengan mengetahui latar belakang masalah, kita bisa menentukan nasehat seperti apa yang dibutuhkan. Tidak perlu sampai menyalahkan perbuatan orang lain. Sampaikan saja apa yang baik baginya tanpa harus mengusik kesalahannya hingga membuat tidak nyaman. Biarkanlah nasehat kita menggugah kesadaran orang itu. Selama niat dan penyampaian nasehat itu baik, insya Allah nasehat itu tidak akan sia-sia.

Terlepas dari itu semua, apa yang saya tulis di sini sifatnya idealis. Kenyataannya, kita harus menghadapi berbagai tipe karakter manusia. Ada tipe orang yang nurut-nurut saja dinasehati, ada yang cuek, ada yang skeptis, ada pula yang tidak suka dinasehati, alih-alih malah memaki si pemberi nasehat. Karena itu, kembali lagi pada esensi nasehat. Tuhan mendorong manusia agar saling menasehati karena manusia adalah makhluk yang sering salah dan lupa. Tak peduli orang kaya, pejabat, maupun orang berilmu. Kita semua bisa saja khilaf dan harus diingatkan, harus dinasehati agar kembali ke jalan yang benar. Bayangkan kerusakan seperti apa yang akan terjadi jika orang salah dibiarkan salah, dan orang lupa dibiarkan lupa tanpa pernah diingatkan?

Di sisi lain, Tuhan juga membenci pemberi nasehat yang tidak mengerjakan nasehatnya sendiri. Tuhan sangat membenci orang yang “omdo” dalam menasehati orang lain. Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah sholat menasehati orang lain untuk sholat? Bagaimana mungkin orang yang suka korupsi menasehati orang lain untuk tidak korupsi? Dengan kata lain, jika kita menasehati orang lain maka kita mempunyai tanggung jawab moril untuk melakukan apa-apa yang kita nasehatkan. Bukankah konyol rasanya, jika kita mengharuskan orang lain utnuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah kita lakukan? Begitulah. []

0 comments:

Post a Comment