“Sebaik-baiknya nasehat
adalah nasehat yang disampaikan dengan hikmah,
tanpa menyakiti perasaan mereka yang diberi
nasehat.”
(Hatake Niwa)
Tidak ada manusia yang tidak
pernah salah. Manusia adalah makhluk yang bisa salah dan lupa. Karena
mempunyai tabiat seperti itu, manusia diingatkan Tuhan untuk “saling menasehati dalam kebaikan, dan saling
menasehati dalam kesabaran”. Dengan kata lain, manusia didorong agar tidak
segan berbagi nasehat jika itu memang dibutuhkan.
Nasehat tidak harus berbentuk
petuah dengan untaian kata-kata mutiara ala motivator. Tidak harus berupa penjelasan panjang lebar yang membuat pendengarnya mengantuk. Sebagian
orang malah kurang respek jika si pemberi nasehat terkesan menggurui. Karena
itu, pemberi nasehat yang bijak akan berusaha menjaga perasaan orang yang dinasehatinya. Mereka selalu berusaha mencari jalan tengah agar nasehat mereka didengar tanpa menghakimi perbuatan orang yang diansihati.
Dalam hal ini, persoalan
nasehat-menasehati tidak sesederhana menilai perilaku orang, menjabarkan kesalahannya,
untuk kemudian mengakhirinya dengan nasehat. Tidak semudah itu. Kita harus tahu
bahwa ada dimensi psikologis dalam diri manusia di mana mereka tidak suka
disalahkan. Itu sebabnya, menghakimi atau menyalahkan
perbuatan orang lain bukanlah sikap yang bijak untuk mengawali sebuah nasehat. Bisa
saja orang yang ingin kita nasehati malah lebih dulu tersinggung dan tidak
menaruh respek pada kita, karena perbuatannya disalah-salahkan. Jika sudah
begitu, betapa pun benarnya nasehat kita, semua itu akan sia-sia karena orang
yang ingin dinasehati keburu menutup telinganya.
Jika kita ingin memberi
nasehat, maka “JANGAN MENGHAKIMI”
perbuatan orang yang ingin kita nasehati. Sebisa mungkin kita harus menjaga
perasaannya. Kita harus membuat orang
itu menyadari kesalahannya terlebih dahulu. Bukankah orang yang berbuat salah
seringkali tidak sadar jika perbuatannya salah?
Misalkan seorang bocah tidak mengerjakan sholat. Tanpa tahu duduk masalahnya, kita langsung memarahi bocah
itu, “Hei, kamu kok nggak sholat? Itu kan
dosa! Nanti kamu masuk neraka, lho! Besok lagi jangan diulangi ya!”
Ya, meninggalkan sholat itu berdosa. Semua orang juga tahu. Tapi kita tidak bisa langsung menghakimi bocah itu tanpa menyelidiki latar belakang masalahnya. Boleh jadi bocah itu belum memahami esensi sholat, sehingga dia tidak merasa harus bangun pagi untuk sholat. Atau boleh jadi bocah itu tidak sholat karena belum pernah diajari orangtuanya.
Ya, meninggalkan sholat itu berdosa. Semua orang juga tahu. Tapi kita tidak bisa langsung menghakimi bocah itu tanpa menyelidiki latar belakang masalahnya. Boleh jadi bocah itu belum memahami esensi sholat, sehingga dia tidak merasa harus bangun pagi untuk sholat. Atau boleh jadi bocah itu tidak sholat karena belum pernah diajari orangtuanya.
Dengan mengetahui latar
belakang masalah, kita bisa menentukan nasehat seperti apa yang dibutuhkan. Tidak
perlu sampai menyalahkan perbuatan orang lain. Sampaikan saja apa yang baik
baginya tanpa harus mengusik kesalahannya hingga membuat tidak nyaman. Biarkanlah nasehat kita menggugah
kesadaran orang itu. Selama niat dan penyampaian nasehat itu baik, insya Allah nasehat itu tidak akan
sia-sia.
Terlepas dari itu semua, apa
yang saya tulis di sini sifatnya idealis. Kenyataannya, kita harus menghadapi berbagai tipe karakter manusia. Ada tipe orang yang nurut-nurut saja dinasehati, ada yang cuek,
ada yang skeptis, ada pula yang tidak suka dinasehati, alih-alih malah memaki si
pemberi nasehat. Karena itu, kembali lagi pada esensi nasehat. Tuhan mendorong manusia
agar saling menasehati karena manusia adalah makhluk yang sering salah dan lupa. Tak peduli orang kaya, pejabat, maupun orang berilmu. Kita semua bisa saja khilaf dan harus diingatkan, harus dinasehati agar kembali ke jalan yang benar. Bayangkan kerusakan seperti apa yang akan terjadi jika orang salah dibiarkan salah, dan
orang lupa dibiarkan lupa tanpa pernah diingatkan?
Di sisi lain, Tuhan juga
membenci pemberi nasehat yang tidak mengerjakan nasehatnya sendiri. Tuhan
sangat membenci orang yang “omdo” dalam menasehati orang lain. Bagaimana
mungkin orang yang tidak pernah sholat menasehati orang lain untuk sholat? Bagaimana
mungkin orang yang suka korupsi menasehati orang lain untuk tidak korupsi? Dengan
kata lain, jika kita menasehati orang lain maka kita mempunyai tanggung jawab
moril untuk melakukan apa-apa yang kita nasehatkan. Bukankah konyol rasanya, jika
kita mengharuskan orang lain utnuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak
pernah kita lakukan? Begitulah. []
0 comments:
Post a Comment