Subscribe:

Labels

Wednesday 27 January 2016

Obrolan Bujang

.  .  .

“Satu dua teman kita sudah menikah. Pekan depan, Si Baik Hati itu yang akan menikah.”

“Yeah, kita semua tahu itu.”

“Bagaimana perasaanmu?”

“Biasa saja—selain fakta bahwa kita ‘kehilangan’ seorang teman lagi.”

“Pertemuan ini jadi kurang seru tanpa Si Baik Hati itu. Sejak sekolah dulu, kita sering menghabiskan waktu di kedai ini. Aku juga merasa ‘kehilangan.’ Apa kau juga akan segera menyusulnya?”

“Pertanyaanmu seperti kau tak mengenal diriku saja. Kita sudah bersama sejak SMP, termasuk Si Baik Hati itu. Kalau kau ingin tahu apakah pernikahannya membuatku gusar untuk segera menikah, tentu saja tidak.”

“Kau tidak berpikir untuk punya pacar?”

“Pacar? Jangan bodoh. Untuk apa punya pacar jika tidak ada rencana menikah dalam waktu dekat? Itu sama saja menyakiti pacarmu dengan harapan-harapan semu. Membuatnya menunggu tanpa kepastian dan janji yang belum tentu kau tepati.”

“Sepertinya kau mulai percaya pada ‘bualan’ Si Baik Hati itu. Tapi, bukankah banyak orang melakukannya?”

“Haha…peduli setan dengan orang-orang. Jika mereka melakukan itu hanya karena novel-novel picisan atau film-film roman, itu sangat disayangkan. Mereka tidak benar-benar memahami pilihan hidupnya. Tapi aku—prinsipku, keputusanku, ini semua berdasarkan pertimbangan nalar logikaku.”

Well, setiap kepala bisa berbeda. Aku tak ingin berdebat denganmu.  Lagipula, Si Baik Hati itu tak jauh beda denganmu. Wanita yang dinikahinya bukan bekas pacarnya.”

“Benarkah? Aku belum tahu soal itu. Dan bagaimana mereka bisa bertemu?”

“Mereka teman saat SMA. Saat Si Baik Hati pergi berbelanja di swalayan, dia bertemu wanita itu, terlibat obrolan dengannya dan……….. Yah, seperti di cerita-cerita picisan—pertemuan yang tidak sengaja, takdir, jodoh, kiranya kau sudah tahu kelanjutannya. Si Baik Hati itu benar-benar beruntung.”

“Oh, well, Si Baik Hati itu menohok banyak orang yang bertahun-tahun pacaran tapi belum kunjung menikah juga.”

“Jadi pekan depan, bisakah kau datang?”

“Tentu saja. Mana bisa aku mengecewakan karibku sekarang. Aku banyak berhutang budi padanya.”

“Ya. Dia memang selalu baik pada semua orang. Ngomong-ngomong, berapa banyak yang akan kau beri?”

“Sebanyak yang aku bisa. Haha…untuknya tidak ada diskon.”

“Kita tak akan tega memberinya amplop kosong, bukan?”

.  .  .


Derai tawa kami pecah di kedai itu. Dulu, kami bertiga sering menghabiskan waktu bersama di sana—melewati hingar bingar masa sekolah. Si Baik Hati itu sering menraktir kami, memberi banyak nasihat untuk tidak pacaran. Sempat aku berpikir dia membual. Tapi kini, Si Baik Hati itu benar-benar membuktikan ‘bualannya’.


Menikah adalah bagian dari ‘ritual hidup’ manusia yang memilih untuk menikah. Bagi kami yang masih bujang, tidak ada yang bisa disalahkan dari pernikahan, selain fakta bahwa kita ‘kehilangan’ seorang teman bermain. Toh, jika memang sudah waktunya, kita juga harus mulai memikirkan ‘sahabat hidup’ yang akan menemani sisa umur kita. Begitulah.

Sunday 17 January 2016

Siapa Bilang Meluruskan Niat itu Mudah?


Jika ada yang bilang meluruskan niat itu mudah, mereka pasti berbohong.
(Hatake Niwa)

Saat sekolah dulu, guru agama saya sering memberi contoh tentang “sedekah” untuk menggambarkan perkara niat. Pertanyaan yang diberikan kurang lebih begini: “Lebih baik mana, sedekah seratus ribu tapi tidak ikhlas, atau sedekah seribu tapi ikhlas?” Jika kita memilih opsi kedua (sedekah seribu tapi ikhlas), itu sama saja mengakui bahwa kita tidak akan ikhlas jika kita sedekah seratus ribu. Bukankah berat bersedekah seratus ribu? Jujur saja-lah. Meskipun kita bersikeras bilang kita ikhlas, kita tidak bisa menjamin hati ini ikhlas. Apalagi jika penghasilan kita pas-pasan. Kehilangan uang seratus ribu di akhir bulan bisa jadi masalah. Sulit untuk bisa ikhlas dalam kondisi seperti itu.

Sebagian kita beranggapan bahwa sedekah tidak memberi keuntungan apapun. Alih-alih kita malah merugi karena kehilangan sejumlah uang tertentu. Tapi mendadak kita bisa jadi sangat ikhlas karena didorong motivasi tertentu, misalnya ketika sedang pencitraan pada calon mertua. Dalam kondisi inilah, keikhlasan kita patut dipertanyakan.

Terus terang manusia adalah makhluk yang selalu menuntut ‘kompensasi’ atas setiap tindakan yang dilakukannya. Kita hanya mau melakukan sesuatu yang jelas-jelas memberi untung bagi kita. Kita selalu mensyaratkan sesuatu di luar diri kita sebagai alat motivasi dalam bertindak. Jika kita tidak menemukannya, kita cenderung ogah melakukan apapun.

Sebagai contoh, apakah kita mau berkotor-kotor mengambil sampah satu kampung tanpa bayaran? Apakah kita mau memperbaiki jalan puluhan kilometer tanpa diupah sepeser pun? Kebanyakan tidak. Tapi bagaimana jika kita dijanjikan mendapat satu juta rupiah setiap kali mengambil sampah-sampah di kampung? Bagaimana jika kita akan mendapat seratus dollar setiap selesai memperbaiki satu ruas jalan? Kita pun mulai berubah pikiran.

Pada prakteknya perkara niat tidak semudah lisan berucap. Meluruskan niat selama melakukan perbuatan baik selalu mendapat godaan. Pamer dan keinginan dilihat orang adalah salah satu godaan terberat. Kita lebih senang jika hasil pekerjaan kita dihargai dan mendapat pujian banyak orang. Tapi jika kita menjadikan itu sebagai alasan berbuat baik maka keikhlasan kita patut dipertanyakan.

Butuh proses panjang untuk mencapai taraf ikhlas. Biasanya, perasaan riya, pamer, dan ingin dipuji muncul karena kebaikan-kebaikan yang kita lakukan masih sedikit. Kita perlu melakukan lebih banyak kebaikan agar bisa mencapai taraf ikhlas. Analoginya seperti orang mencangkul di sawah. Seseorang yang tidak terbiasa mencangkul di sawah tentu tidak bisa menikmati aktivitas mencangkul. Dia belum terbiasa melakukannya. Beda halnya dengan mereka yang setiap hari mencangkul sawah. Meski badan bermandikan peluh, mereka tetap menikmati aktivitas mencangkul.

Perkara niat ini urgen sekali karena menyangkut nasib amal-amal kita. Setiap amal yang tidak diiringi keikhlasan bisa saja dicampakkan Tuhan. Secara tersurat Tuhan meminta kita untuk ikhlas dalam beramal. Bukankah semua perbuatan bergantung pada niatnya. 

Jika kita meniatkan untuk meraih balasan-Nya, maka itulah yang akan kita dapatkan. Sebaliknya jika kita meniatkan sesuatu untuk pamer, mencari pujian, atau sekedar pencitraan, maka yang kita peroleh hanya sebatas itu—tidak akan ada balas kebaikan dari Tuhan di Hari Perhitungan. Bukankah ini mengerikan? Hanya karena niatnya salah, tumpukan kebajikan kita tidak bernilai di sisi Tuhan.

Maaf, saya tidak sedang menggurui. Saya hanya sedang berbagi uneg-uneg dan kegelisahan akut yang saya rasakan. Catatan ini juga saya tujukan bagi diri saya sendiri sebagai self reminder  karena urusan niat ini urgent sekali. 

Semua orang bisa berbuat baik, tapi tidak semuanya bisa menjaga niatnya tetap lurus. Dengan memperbanyak kebajikan, semoga kita segera dikaruniai hati yang bening yang senantiasa diliput keikhlasan agar setiap kebajikan yang kita lakukan mendapat keridhaan dari sisi-Nya.

Wednesday 6 January 2016

Mumpung Masih Hidup di Dunia


Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu,
terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah,
dan  terlalu pendek bagi yang bahagia.  Tapi bagi yang selalu mengasihi,
 waktu adalah keabadian.
(Henry van Dyke)

Semua orang tahu betapa pentingnya waktu. Ada yang bilang “waktu adalah uang.” Saya lebih suka menyebut waktu sebagai “modal.” Jika waktu dipersepsikan sebagai “uang,” maka kita akan cenderung untuk menghambur-hamburkannya—sebagaimana hakikat uang yang tak pernah cukup memenuhi keinginan kita. Beda halnya jika waktu dipersepsikan sebagai “modal.” Kita akan berusaha menginvestasikan “modal” tersebut sebaik-baiknya agar tidak merugi di kemudian hari.

Waktu adalah “musuh” yang selalu menang. Kita tidak memiliki kuasa sedikit pun atas waktu. Waktu tetap terus berjalan meski peradaban dunia ini tidak pernah mengenal arloji. Begitu berharganya waktu sampai-sampai banyak orang berimajinasi memiliki mesin waktu. Dengan mesin itu manusia bisa pergi ke mana saja melewati dimensi waktu. Ada yang pergi ke masa depan untuk melihat dunia yang penuh keajaiban. Ada pula yang pergi ke masa lalu hanya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

Waktu adalah “pedagang” yang tidak pernah rugi, tapi kehadirannya bisa membuat rugi banyak orang. Tentu saja orang-orang yang merugi di sini adalah  orang-orang yang tidak memahami esensi waktu. Alih-alih mereka justru menyia-nyiakan waktu yang dimiliki untuk melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat.

Kita sadar bahwa waktu yang kita miliki di dunia ini terbatas. Manusia bukan makhluk yang kekal karena memiliki jatah umur tertentu. Jika umurnya habis, maka berakhir pula kehidupan manusia di dunia ini. Keterbatasan ini seharusnya membuat kita bersikap arif. Kita tidak akan mampu memenuhi semua keinginan kita dengan umur yang terbatas itu. Kita harus memilih cara-cara terbaik untuk menghabiskan umur agar kelak kita menuai berkah kebaikan.

Saya jadi teringat sebuah kisah tentang seorang pemuda yang hidupnya berubah setelah menyadari esensi waktu. Saya lupa di mana pertama kali membaca cerita ini. Di sini, akan saya ceritakan ulang cerita tersebut dalam cerita versi saya sendiri.

*   *   *

Alkisah seorang pemuda mengeluhkan hidupnya yang serba susah dan dipenuhi berbagai masalah keluarga. Suatu hari pemuda ini menemui seorang ‘Guru’ dan mengadukan segala penderitaannya. Si Pemuda bahkan terang-terangan mengaku ingin mengakhiri hidupnya. Sang Guru mengangguk takzim menyimak penuturan Si Pemuda. Setelah Si Pemuda selesai bicara, Sang Guru memberikan sebotol air padanya.

“Cairan bening dalam botol ini adalah racun. Cukup kau minum sekali, maka besok pagi kau akan mati tanpa rasa sakit.”

Muka Si Pemuda mendadak berseri-seri. Ia begitu gembira menerima racun dari Sang Guru. Dia lega karena besok pagi dia bisa mati tanpa harus menghadapi rasa sakit. Tanpa banyak ba-bi-bu Si Pemuda itu langsung menenggak racun yang diberikan Sang Guru.

“Terima kasih, Guru. Sampai jumpa di surga,” kata Si Pemuda sambil beranjak pergi meninggalkan rumah Sang Guru.

Sesampainya di rumah, pemuda itu mendapati istri dan anaknya yang tengah tertidur pulas. Si Pemuda sadar bahwa inilah hari terakhirnya di dunia. Ia merasa perlu melakukan sesuatu agar besok ia bisa mati dengan tenang. Ia pun bergegas menuju pasar. Didatanginya para pedagang di pasar itu. Si Pemuda meminta untuk dipekerjakan. Ia mengaku bersedia melakukan pekerjaan apapun agar memperoleh uang.

Hari menjelang sore, pemuda itu kembali ke rumahnya. Ia membawa sebuah keranjang yang penuh dengan makanan. Istrinya terheran-heran. Tidak biasanya Si Pemuda pulang menenteng keranjang makanan. Sore itu, untuk pertama kalinya istri dan anak Si Pemuda bisa makan dengan kenyang.

Malam harinya, Si Pemuda mengajak istri dan anaknya berjalan-jalan ke bukit. Istrinya bertambah heran karena selama ini Si pemuda hampir tidak pernah mengajaknya berjalan-jalan. Ketika ditanya, Si Pemuda hanya membalasnya dengan senyum.

Di atas bukit keluarga kecil Si Pemuda menikmati hiasan bintang di langit sambil membuat ikan bakar. Si Pemuda tampak asyik mengobrol dan bercanda dengan istri dan anaknya. Gelak tawa mereka menggema memecah kesunyian bukit itu. Sekembalinya di rumah, Si Pemuda tidur bersisian dengan istri dan anaknya. Saat itu, Si Pemuda benar-benar merasa bahagia. Ia ingin merayakan momen bahagia itu lebih lama.

Tiba-tiba Si Pemuda tersentak. Ia ingat bahwa ia sudah meminum racun dari Sang Guru. Besok pagi ia akan mati. Buru-buru Si Pemuda mendatangi rumah Sang Guru dengan panik.

Sang Guru tampak masih duduk-duduk di beranda rumahnya sambil minum teh. Sambil terengah-terengah Si Pemuda berusaha mengatur nafasnya. Setelah tenang, ia meminta penawar racun pada Sang Guru. Si Pemuda tidak mau mati besok pagi. Ia sadar bahwa ternyata hidup ini sangat berharga. Sang Guru pun tersenyum mendengarnya.

“Botol yang aku berikan tadi pagi hanyalah air biasa. Tak usah khawatir. Besok kau masih bisa bekerja seperti biasa. Kembalilah pulang. Jangan biarkan istri dan anakmu mengkhawatirkanmu.” Si Pemuda menangis mendengar jawaban Sang Guru. Dipeluknya Sang Guru erat-erat. Si Pemuda pun kembali ke rumahnya dengan sebongkah kelegaan dan kesadaran baru. Hari-hari esok Si Pemuda pun berubah menjadi lebih berarti.

*   *   *

Kita tahu bahwa kematian adalah kepastian. Meski begitu, kita tidak pernah tahu berapa jatah umurnya di dunia. Ketidaktahuan ini membuat kita sering lalai mengingat kematian. Kita selalu merasa “masih ada hari esok” atau “nanti sajalah.” Akhirnya, kita pun merasa fine-fine saja menunda berbuat kebajikan. Alih-alih kita malah menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna dan merusak diri sendiri. Urusan mati pun terlupakan.

Waktu adalah modal kita yang paling berharga. Sadar bahwa umur kita terbatas, alangkah baiknya jika kita selalu merenung “bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku di dunia?” Dengan begitu, kita akan terlecut untuk menggunakan waktu yang kita punya untuk melakukan kebajikan. Kesadaran kita akan tergugah untuk meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan merusak diri sendiri.

Kita harus bergegas, umur kita terbatas. Bergegaslah bekerja, bertindak nyata, seakan hidup ini akan berakhir esok. Bergegaslah, jangan sampai ada sesal di kemudian hari. Bergegaslah, agar lebih banyak kesempatan yang bisa kita peroleh. Kesempatan untuk belajar lebih banyak hal baru, kesempatan untuk menolong sesama, kesempatan untuk menemani orang-orang yang kita kasihi, dan kesempatan untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan—Dzat Yang Maha Tahu kapan kita akan “pulang” menuju lembah keabadian.

Tuesday 5 January 2016

Bahaya Perasaan Takut Salah


Jika kita tidak pernah salah,
maka kita tidak akan pernah tahu hakikat kebenaran.
(Hatake Niwa)

Apa jadinya jika seorang dokter tak kunjung mengoperasi pasiennya hanya karena takut melakukan malpraktek? Apa jadinya jika seorang pilot takut salah saat mengemudikan pesawatnya? Dan apa jadinya jika seorang ibu enggan memasak hanya karena takut salah mengiris hingga jarinya terluka?

Perasaan “takut salah” tidak lebih dari hasil persepsi pikiran kita. Saat kita khawatir tindakannya keliru, kita cenderung merasa takut salah. Kita juga bisa takut salah saat tidak yakin pada kemampuannya sendiri.

Perasaan takut salah adalah salah satu penghalang terbesar bagi siapapun yang ingin sukses. Perasaan ini membuat kita “ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.” Misalnya seorang akuntan yang takut salah dalam menghitung. Sekian lama si akuntan mengecek angka-angka yang tertera di layar komputernya. Dia sibuk memastikan angka-angka yang dimasukkannya tidak keliru. Pekerjaannya pun tak kunjung selesai.

Rasa takut salah adalah hal yang normal dimiliki setiap orang. Pada dosis tertentu, rasa takut salah akan mendorong kita bersikap hati-hati. Misalnya, kita takut salah saat mengetik sehingga kita lebih cermat saat mengetik. Atau saat mengiris sayuran—kita takut kita akan salah dalam mengiris sehingga kita lebih berhati-hati agar tidak melukai jari kita. Sebaliknya, rasa takut salah yang berlebihan justru akan membuat kita plin-plan dalam melakukan sesuatu. Kita akan sulit berkembang jika kita tidak pernah berani mengambil langkah perubahan hanya karena takut disalahkan orang lain.

Dalam proses pembelajaran, kita tidak semestinya merasa takut salah. Ketakutan melakukan kesalahan hanya akan membuat kita tidak berani mencoba. Padahal, salah satu aspek penting dalam belajar adalah learning by doing. Kita tidak perlu khawatir dimarahi guru/dosen gara-gara salah mengerjakan soal. Salah adalah bagian dari proses belajar. Karena dari kesalahan itu kita akan belajar memperbaikinya hingga sampai pada kebenaran.

Saat bayi dulu, kita tidak pernah takut salah. Begitu kita bisa menggerakkan tangan dan kaki, kita akan selalu aktif melatih otot-otot kita untuk bergerak. Mulanya kita berguling-guling, merangkak, mencoba berjalan hingga akhirnya kita bisa berjalan dan berlari. Dalam proses pertumbuhan itu, kita tidak pernah takut ada orang yang menyalahkan. Kita juga tidak terlalu mengkhawatirkan “bagaimana kalau nanti saya jatuh.” Yang kita tahu hanya belajar, berusaha, dan berani mencoba.

Kita perlu berkaca dari masa kecil kita ketika proses belajar dijalani tanpa takut salah. Kita menjadi saksi bagi diri kita sendiri, bahwa proses belajar yang bebas rasa takut akan jauh lebih berhasil.

Dari sini, saya sering heran dengan suasana ruang-ruang kelas yang begitu dingin. Ruang kelas yang seharusnya menyenangkan justru tidak beda dengan tempat-tempat uji nyali. Di sisi lain, guru yang mengajar malah tidak ada ramah-ramahnya. Murid yang salah mengerjakan soal dianggap tidak becus dan “bodoh.” Padahal gurulah yang bertanggung jawab menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi murid-muridnya.

Karena itu, agar proses belajar yang kita jalani bertahun-tahun tidak sia-sia, kita harus melenyapkan rasa takut salah yang membuat kita segan melangkah. Selama apa yang kita jalani benar dan tujuan kita mulia, maka tidak seharusnya kita merasa takut salah. Jika pekerjaan kita dinilai salah oleh orang lain, maka cukuplah kita jadikan hal itu sebagai sebuah bentuk pembelajaran. Karena seringkali dari “yang salah”, kita jadi mengerti bagaimana “yang benar.”

Perlu diingat bahwa catatan ini saya tujukan untuk konteks kegiatan yang positif seperti karir dan proses belajar di sekolah. Jangan sampai sikap tidak takut salah malah ditujukan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang negatif dan merusak seperti mencoba minum-minuman keras, narkoba, seks bebas, dan perilaku kriminal lainnya.

Monday 4 January 2016

Karena TIDAK Semua Kritik Itu Buruk


Seringkali kesuksesan seseorang terhambat hanya karena 
terlalu sibuk mengkhawatirkan kritikan dari orang lain.
(Hatake Niwa)

Terkadang, orang yang mengkritik kita tidak tahu bagaimana perasaan kita selaku objek kritikannya. Orang yang mengkritik kerap tak peduli apakah kritikannya terdengar menyakitkan atau tidak. Boleh jadi kita merasa “dibantai ” saat hasil kerja kita dikritik. Karena kritik, terkadang kita menjadi inferior—merasa semua usaha kita sia-sia dan tidak dihargai.

Inferior—merasa rendah diri hanya karena hasil kerjanya dikritik adalah sebuah pemikiran yang keliru. Hal itu menunjukkan betapa lemahnya mental kita dalam menghadapi kritikan. Terkadang kesuksesan seseorang terhambat karena dirinya terlalu mengkawatirkan kritik yang membuatnya berhenti berinovasi dan takut melangkah.

Dalam hidup ini, kritik akan selalu ada. Akan tetapi kita selalu memiliki pilihan untuk menyikapi kritik secara positif. Kritik bisa kita jadikan sebuah motivasi eksternal untuk meningkatkan kinerja kita—termasuk memperbaiki sikap kita yang keliru.

Setiap orang tak bisa lepas dari kritik. Jangankan orang awam, para penemu hebat seperti Alva Edisson, James Watt, bahkan Einstein sekalipun tak luput dari kritik. Karena itu, kritik tidak selalu berkonotasi negatif, tergantung konteks dan penyikapan kita terhadapnya.

Jika kita mendapat kritik, kita harus mencoba untuk berdamai dengannya. Berdamailah dengan orang yang mengatakan “hasil kerjamu jelek.” Belum tentu orang itu bermaksud mencela. Boleh jadi orang itu malah sedang memotivasi kita agar meningkatkan kualitas kerja—karena dia yakin pada kemampuan kita. 

Di sisi lain kita juga harus belajar untuk mengkritik orang lain secara konstruktif. Artinya jika kita mengkritik orang lain, maka pastikan kritikan kita tidak melukai perasaan mereka yang kita kritik. Selain itu usahakan agar kritikan kita dapat memberi dampak positif bagi mereka yang kita kritik. Jangan malah sebaliknya, mencecar seseorang dengan kritikan-kritikan pedas sampai-sampai membuat pihak yang dikritik merasa malu dan hilang kepercayaan dirinya.

Friday 1 January 2016

Karena Cinta Tak Selalu tentang Cantik


Where there is love, there is life
(Mahatma Gandhi)

Saya tidak mau munafik. Sebagai pria normal, saya akui bahwa kecantikan menempati kriteria pertama dalam menilai wanita. Saya sendiri tidak tahu mengapa. Kebanyakan pria juga berpikir begitu. Sulit dibantah jika pria adalah ‘makhluk visual’ yang mudah tergoda oleh penampilan. Meski kenyataannya banyak wanita yang kurang suka jika kecantikannya dibanding-bandingkan dengan wanita lain.

Karena pria cenderung melihat tampilan luar, jauh lebih mudah bagi mereka untuk jatuh hati pada wanita cantik. Tak peduli pria itu ganteng atau jelek, seleranya satu suara—suka yang ‘cantik-cantik.’

Di Instagram misalnya. Akun yang berisi foto-foto wanita cantik cenderung memiliki banyak followers dan feedback yang notabene berasal dari netizen pria. Foto-foto cantik tersebut akan segera kebanjiran like dan komentar bernada pujian seperti “wah…cantiknya,” “ayu tenan…,” “kamu cantik,” dan komentar sejenis lainnya. Di sisi lain, hasrat pria untuk menikmati sajian yang ‘cantik-cantik’ semakin mudah karena banyak sekali wanita yang tak ragu memamerkan foto-foto pribadi di akun sosial media miliknya.

Wanita juga memiliki kecenderungan untuk tertarik pada tampilan fisik pria. Hanya saja, wanita tidak seagresif pria dalam mengungkapkan ketertarikan visualnya. Hampir tidak pernah saya dapati wanita yang terang-terangan memuji foto pria sambil nyinyir bilang “iihh…kamu ganteng banget deh.” Wanita cenderung lebih kalem dalam mengekspresikan ketertarikan visualnya.

Akan tetapi dalam hal kriteria jodoh, wanita tidak seperti pria yang mudah tertarik pada citra visual pasangannya. Memang ada sebagian wanita yang mempertimbangkan fisik pria—seperti postur tinggi atau kulit putih—dengan dalih ‘memperbaiki keturunan.’ Tapi bagi wanita, komitmen dan tanggung jawab seorang pria jauh lebih penting sebagai prasyarat membina hubungan yang serius. Jangan heran jika kemudian seorang wanita cantik menikahi pria yang (kata orang) jelek. Boleh jadi yang kata orang ‘jelek’ itu malah lebih jelas komitmen dan tanggung jawabnya daripada yang ganteng tapi brengsek nan plin-plan sikapnya.

Dari sini muncul pertanyaan, jika pria ‘jelek’ masih mungkin mendapat wanita cantik, bagaimana jika wanitanya yang ‘jelek’? Mungkinkan wanita ‘jelek’ mendapat pria yang ganteng? (mengingat kaum pria lebih tertarik pada tampilan fisik wanita).

Tentu saja cinta tidak se-kekanak-kanakan itu. Seringkali cinta yang kita kenal di dunia ini tidak mengenal sekat-sekat logika ataupun nilai-nilai artifisial manusia. “Cinta” yang benar-benar cinta tidak akan naif dengan hanya melihat tampilan fisik yang sifatnya sesaat. Alih-alih cinta akan mewujud dalam bentuk ikatan emosional yang lebih abadi seperti kesetiaan, kepedulian, kepercayaan, perhatian, ketulusan, dan pengorbanan.

Di Amerika Serikat, seorang pria bernama Mark Lukac harus menjalani hari-hari yang panjang bersama istrinya—Giulia—yang mengidap bipolar disorder. Bukan hal mudah mendampingi seorang pengidap gangguan kejiwaan semacam itu. Mark mengaku sempat putus asa, sampai-sampai Mark pernah berpikir untuk bunuh diri di jembatan Golden Gate.

Saat ditanya kenapa Mark masih mau menjadi istri Giulia, dia menyebutkan dua alasan: CINTA-nya yang banyak dan KOMITMEN yang telah Mark jalin dengan Giulia.
Mark sadar, tidak ada seorang pun yang menginginkan gangguan kejiwaan itu—termasuk istrinya. Tapi ketika takdir menuliskan bahwa istrinya mengidap bipolar disorder, maka tidak ada yang bisa mencegahnya.

Tentu saja meninggalkan Giulia adalah pilihan paling realistis bagi Mark. Godaan untuk menceraikan istrinya pun sangat besar. Tapi Mark mencoba bertahan dengan CINTA dan KOMITMEN-nya pada sang istri. Mark pun memutuskan untuk setia membersamai Giulia—karena Mark percaya—hanya kasih sayang-lah yang bisa membuat istrinya lebih kuat untuk menjalani hidupnya.

Dalam keseharian, sering kita jumpai sepasang kakek-nenek yang meneladankan nilai-nilai cinta yang agung. Keduanya sudah puluhan tahun menikah dan saling membersamai dalam manis-getirnya kehidupan. Si Kakek sudah pikun dan berkurang pendengarannya. Setiap kali Si Kakek kurang paham dengan lawan bicaranya, maka istrinya akan membantu menjelaskan. Ketika Si Kakek mulai sakit-sakitan, istrinya tetap bersabar merawatnya, menyuapinya, dan mengurusi segala kebutuhannya. Hingga ketika ajal menjemput Si Kakek, istrinya masih turut serta mengiring jenazahnya menuju pembaringan terakhirnya.

Kakek dan nenek itu tidak lagi memiliki ketampanan maupun kecantikan fisik seperti saat keduanya masih muda. Mereka menua bersama-sama, mendapati keriput yang sama, dan mengalami kerentaan yang sama. Tapi bukan fisik yang menyatukan mereka melainkan benih-benih cinta yang selalu mereka jaga hingga tetap tumbuh meski telah puluhan tahun berlalu.

Cinta adalah anugerah terindah Sang Pencipta. Tak sepatutnya anugerah itu terbatasi oleh sekat-sekat artifisial manusia yang naif seperti tampilan fisik semata. Karena cinta sejati tak pernah mensyaratkan apapun dan takkan habis terurai dalam bait-bait pujangga. Cinta sejati hanya akan mewujud dalam kesetiaan, kepedulian, kepercayaan, perhatian, ketulusan, dan pengorbanan—yang ditujukan demi orang yang selalu dikasihi.