Subscribe:

Labels

Monday 7 December 2015

Lebih Baik Merasa Jelek


Dikotomi ganteng-jelek, cantik-jelek, bagiku tak jauh beda dengan perilaku rasis!
(Hatake Niwa)

Sudah lama saya jengah dengan dikotomi ganteng-jelek, cantik-jelek di tengah masyarakat. Mereka yang ganteng/cantik begitu mudah dielu-elukan, mendapat perlakuan istimewa, dan kemudahan karir. Seakan-akan yang ganteng dan yang cantik ditakdirkan lebih mulia di muka bumi. Sementara mereka yang wajahnya pas-pasan/jelek seakan terhinakan dan terbuang dari sengitnya percaturan hidup. Padahal ganteng, cantik, jelek, buruk rupa, itu semua hanya atribut artifisial kasat mata—sesuatu yang sifatnya subjektif di mana setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda.

Cantik misalnya. Kita menyebut seseorang cantik karena sejak kecil kita memiliki kecenderungan untuk membandingkan satu orang dengan orang lainnya. Kita bisa menilai wanita itu cantik hanya ketika kita telah membandingkannya dengan wanita lain. Di sinilah perbandingan cantik itu menjadi relatif. Sebagai contoh, banyak orang bilang Raisa itu cantiknya ampun-ampunan. Ya, memang dia cantik, kata saya. Tapi saya rasa biasa-biasa saja tuh. Alih-alih justru VJ Franda yang lebih cantik menurut saya. (no offense, buat fans-nya Raisa).

Orang bilang artis korea ganteng-ganteng. Ya tentu saja. Secara kasat mata mereka memiliki hidung mancung, mata yang sipit, kulit putih dan perawakan gagah. Berbeda dengan kebanyakan pria lokal yang berkulit gelap, sawo matang, hidung pesek dengan rambut poni lempar setengah dipaksakan. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Orang asing seringkali mendapat kesan istimewa bagi para pribumi. Tidak heran jika sebagian pribumi menginginkan menikahi pria asing/bule. Itung-itung memperbaiki keturunan katanya. Argumen yang sulit dibantah mengingat banyak artis top yang berpenampilan good looking karena berdarah campuran.

Kembali pada dikotomi cantik-jelek, ganteng-jelek. Saya bahkan menyamakan dikotomi ini dengan perilaku rasis yang membeda-bedakan warna kulit serta menganggap orang kulit putih lebih mulia daripada orang kulit gelap. Padahal seperti yang saya sebut di awal, ganteng, cantik, jelek, itu semua hanya atribut artifisial yang ada pada diri kita yang nampak secara kasat mata. Ketampanan dan kecantikan fisik sama sekali tidak ada kaitannya dengan tingkat kedudukan, kemuliaan derajat, atau indikator manusia yang lebih baik.

Bayangkan, apa jadinya jika surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang ganteng dan yang cantik berdasarkan ukuran manusia? Jika itu yang terjadi, maka akan terjadi gelombang protes besar-besaran dari para manusia yang di dunia dianggap jelek. Milyaran manusia jelek akan berteriak-teriak, berorasi meminta Tuhan untuk mencopot gelar Maha Adilnya. Mereka mempertanyakan kenapa Tuhan tega menciptakan mereka dengan wajah yang jelek? Sungguh keputusan yang tidak mencerminkan keadilan sama sekali.

Tidak mengherankan jika kemudian Tuhan menetapkan ukuran derajat manusia berdasarkan tingkat ketakwaannya. Dengan begitu, setiap manusia, baik yang kaya maupun yang miskin, yang ganteng maupun yang jelek, semua bisa masuk surga tergantung seberapa takwakah dia.

Normalnya, manusia memang mengagumi ketampanan, kecantikan, dan segala sesuatu yang dipandangnya indah. Artis yang berwajah ganteng/cantik tentu lebih mudah menggaet banyak penggemar. Sinetron dan film-film yang dibintangi artis ganteng/cantik menjadi komoditas yang laku keras. Sudah seperti hukum alam jika manusia lebih mudah mengagumi yang indah secara kasat mata.

Di lowongan-lowongan pekerjaan pun jamak kita jumpai persyaratan “berpenampilan menarik.” Pertanyaannya, bagaimana jika sejak lahir kita tidak ditakdirkan mendapat wajah yang menurut bahasa manusia disebut “tampan” atau “cantik”? Dan ketika kita menyadari diri kita tidak ganteng atau tidak cantik, bukankah syarat “berpenampilan menarik” menjadi menjengkelkan? Seakan-akan ada diskriminasi pekerjaan bagi mereka yang ditakdirkan berwajah tidak ganteng/tidak cantik (berdasarkan pandangan subjektif manusia). Itulah kenapa saya katakan pembeda-bedaan ganteng-jelek cantik-jelek tak ubahnya dengan perilaku rasis!

Ketika dunia sudah terlalu memuja ketampanan dan kecantikan fisik, maka bertebaranlah produk-produk kosmetik, krim-krim pemutih, klinik-klinik kecantikan, salon-salon, perawatan tubuh, spa, operasi plastik, sampai aplikasi permak foto wajah digital macam kamera 360! Muaranya sama, agar setiap diri menjadi lebih tampan, lebih cantik secara kasat mata dalam penilaian lingkungannya, Lagipula siapa sih di dunia ini yang tidak senang saat dipuji berwajah tampan/cantik?

Begitulah manusia. Tidak ada yang bisa dipersalahkan dari kecenderungan semacam ini. Hanya saja kita perlu bersikap bijak dan membatasi diri. Pada hakikatnya ada orang dikatakan ganteng, karena ada orang-orang yang lebih jelek di sekitarnya. Ketika si ganteng berkumpul di lingkungan orang-orang yang lebih ganteng, maka kegantengannya menjadi biasa-biasa saja.

Sebaliknya ada orang dikatakan jelek, lebih karena ada orang-orang yang lebih ganteng di sekitarnya. Jika si jelek ini berkumpul dengan orang-orang yang lebih jelek, ada kemungkinan si jelek tadi dilabeli yang paling ganteng. Jadi perkara ganteng/cantik/jelek, itu semua hanya persoalan sudut pandang yang sifatnya sangat relatif dan subjektif.

Karena itu akan lebih aman jika kita merasa diri kita jelek. Ketika kita merasa diri kita jelek tetapi orang-orang beranggapan diri kita ganteng, maka kita tergolong orang yang rendah hati dan tidak sombong. Di sisi lain ketika kita merasa diri kita jelek, dan orang-orang beranggapan kita memang jelek, berarti kita termasuk orang yang tahu diri.

Bayangkan jika ada orang yang berbangga diri merasa dirinya ganteng. Jika orang-orang menilai dirinya memang ganteng, boleh jadi ada sebagian orang yang tidak suka dan menganggapnya arogan. Di sisi lain ketika orang merasa dirinya ganteng tapi orang-orang melihat dirinya jelek, maka betapa hina dan tidak tahu dirinya orang itu.

Syukurilah setiap pemberian Tuhan. Tak pelu membeda-bedakan karunia fisik yang dianugerahkan-Nya. Bukankah menghina atau menganggap rendah fisik seseorang sama saja dengan menghina ciptaan Tuhan Yang Maha Sempurna.

Beruntunglah jika kita bisa menjadi orang yang sadar diri, merasa dirinya tidak sempurna, merasa dirinya masih bodoh, merasa dirinya tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, karena kesadaran-kesadaran semacam itulah yang akan mendorong kita untuk selalu belajar, selalu meningkatkan kualitas diri, memperbaiki diri, mengasihi dan menolong sesama, serta senantiasa ingat untuk mendekatkan diri pada Tuhannya. Karena jika tanpa kuasa-Nya, maka kehidupan kita takkan pernah ada. Belajarlah mensyukuri segala hal yang Tuhan berikan.

1 comments:

Suhadi said...
This comment has been removed by the author.

Post a Comment