Subscribe:

Labels

Wednesday 30 March 2016

Karena Cinta Butuh LOGIKA


Cinta tanpa logika,
kalau tidak bikin sakit, paling-paling bikin ‘’khilaf’’.
 (Hatake Niwa)

Seorang bijak pernah berkata “hidup itu pilihan.” Dalam pandangan filsafat, setiap orang memiliki apa yang disebut “kehendak bebas”. Kehendak bebas itulah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dengan kehendak bebas itu, setiap orang bebas memilih jalan hidupnya masing-masing. Karenanya, pada hakikatnya kehidupan ini hanya berisi pilihan-pilihan hidup. Tugas kita hanya memilih pilihan-pilihan itu. Dan untuk setiap pilihan yang kita pilih, selalu ada konsekuensi logis yang akan menentukan perjalanan hidup kita di masa depan.

Konsep kehendak bebas ini mencakup segala aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dalam hal cinta. Sebagai perasaan universal, cinta menyediakan berbagai macam pilihan bagi kita. Pacaran, menikah, LDR, HTS, jomblo, TTM, selingkuh, putus, dan cerai, adalah beberapa contoh pilihan dalam cinta. Tugas kita tidak lebih dari memilih pilihan-pilihan itu dan menerima segala konsekuensinya.

Jika kita memilih pacaran misalnya. Ok, well, mungkin kita akan merasakan betapa bahagianya memiliki kekasih. Kita bahagia, karena memiliki seseorang yang spesial yang tulus memberikan perhatian dan kasih sayangnya pada kita. Dengan pacaran, kita berpikir kita sudah mendapatkan calon pendamping hidup. Itu gambaran indahnya pacaran. Tapi di sisi lain, ada saja kemungkinan buruk saat kita memilih pacaran.

Kita tidak bisa naif mengatakan pacaran adalah cara terbaik mencari pasangan hidup. Di satu sisi pacaran memang terlihat indah, seperti cerita novel atau di film-film picisan. Tapi di dunia nyata, realitasnya tidak semudah itu. Bagaimana jika pacar kita ternyata orang yang cuek? Bagaimana jika pacar kita ternyata seorang maniak tukang selingkuh? Bagaimana jika pacar kita keburu jengah dan memilih putus ? Semua kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi saat pacaran.

Sama halnya dengan menikah. Betapa banyak orang yang mengompori para lajang untuk segera menikah tanpa mau mengungkap susah payahnya kehidupan berumah tangga. Itu berbahaya sekali. Orang akan berpikir menikah itu mudah. Kemudian tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk menikah meski persiapannya pas-pasan. Tahu-tahu setelah menikah, orang itu menyadari ternyata kehidupan rumah tangga tak seindah kata orang. Biduk rumah tangga pun berantakan.

*   *   *

Seperti yang saya katakan di atas, setiap pilihan hidup memiliki konsekuensi. Kita sendirilah yang harus bertanggung jawab atas setiap pilihan hidup yang kita ambil. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain, jika pilihan yang kita pilh ternyata keliru. Begitu juga dengan pilihan hidup orang lain. Kita tidak bisa menjamin pilihan hidup orang lain akan berdampak sama baiknya bagi kehidupan kita. Masing-masing orang menghadapi situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Karenanya, pilihan-pilihan yang diambil pun sudah pasti berbeda.

Sebagai contoh, jika ada orang yang pacarannya awet sampai menikah, itu tidak selalu berarti pacaran adalah pilihan terbaik untuk mendapat pasangan. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang pacaran sampai bertahun-tahun, tapi akhirnya putus sebelum ke pelaminan. Begitu juga dengan orang yang sudah menikah. Meski banyak orang mengaku bahagia setelah menikah, belum tentu setiap orang yang menikah akan bahagia. Ada saja segelintir orang yang rumah tangganya berantakan, meski sudah menikah bertahun-tahun lamanya.

Kita semua tahu, urusan cinta terkait dengan perasaan. Dan setiap perasaan akan selalu menyentuh emosi. Sementara emosi hanya bisa dikendalikan dengan LOGIKA. Cinta membutuhkan LOGIKA agar ia tetap berjalan dalam batas-batas hubungan yang semestinya. Menyikapi cinta tanpa logika, sama saja menyerahkan cinta pada dorongan nafsu dan pemenuhan ego pribadi.

Misalkan kita memiliki seorang pacar. Kita sangat mencintai pacar kita dan tidak bisa berpaling darinya. Karena hanya dia yang tahu cara membuat kita merasa nyaman. Tapi ketika pacar kita tak lagi perhatian dan berulang kali mengecewakan kita, logika kita akan bertanya, “Apakah pacar kita memberi cinta sebesar cinta yang kita berikan padanya? Apakah pacar kita berharap sebagaimana kita selalu berharap padanya?”

Jika saat itu kita memperturutkan perasaan kita, maka yang terjadi kemudian adalah kita “membenarkan” setiap perlakuan buruk dan kekecewaan yang kita terima. Kita selalu memaafkan pacar, dengan harapan suatu saat pacar kita akan sadar dan berubah. Kita yakin itu, karena cinta selalu memaafkan. Ya, memang benar cinta selalu memaafkan. Tapi ketika orang yang dimaafkan tidak kunjung memperbaiki diri, apa lagi yang bisa kita percaya dari cinta semacam itu? Tanpa sadar, kita justru "memperkosa" makna cinta itu sendiri, dan membiarkan orang lain “memanfaatkan” keluguan kita karena menyikapi cinta tanpa logika.

Contoh di atas hanya segelintir kasus di mana orang-orang terjebak dalam perasaan cinta sampai mengabaikan pertimbangan logika. Di luar itu, masih banyak kasus lain yang jauh lebih mengkhawatirkan, seperti kehamilan di luar nikah, aborsi, kawin lari, sampai pembunuhan berencana. Semua itu bisa terjadi, karena cinta disikapi dengan nafsu dan ego pribadi, hingga mengabaikan batas-batas logika.

*   *   *

Orang pacaran bisa saja putus. Orang menikah, bisa saja bercerai. Dan jomblo pun, tak selamanya berarti kebebasan. 

Dengan logika, kita belajar menerima segala konsekuensi hubungan cinta. Kita akan melihat cinta dari sisi yang berbeda—tidak hanya sisi indahnya, seperti di cerita novel atau film picisan, tapi juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Dengan memahami konsekuensi hubungan cinta, kita bisa menjaga cinta itu pada koridor-koridor hubungan yang sewajarnya. Kita pun lebih mudah menerima kenyataan untuk move on, ketika hubungan itu harus kandas. Karena bagi orang yang jatuh cinta, konsekuensi logisnya cuma dua: berujung derita atau berakhir bahagia. Demikian. []

Tuesday 29 March 2016

Batman vs Superman vs NOLAN


…why so serious?
(Joker)

Bagi saya, move on dalam urusan perasaan boleh jadi lebih mudah, daripada move on dalam urusan film superhero. Untuk film jenis ini, saya belum bisa move on sepenuhnya dari trilogi Batman-nya Christopher Nolan—terutama sekuel keduanya yang berjudul The Dark Knight. Film yang dirilis tahun 2008 itu terbilang sukses mengubah pespektif publik terhadap film superhero. Jika dulu kita menganggap film superhero adalah film pop corn penuh fantasi, maka The Dark Knight menampilkan sosok superhero yang lebih “manusiawi”.

Di film The Dark Knight, Batman bukanlah sosok superhero yang unbeatable. Batman tidak selalu dielu-elukan banyak orang. Alih-alih, Batman sempat dicap sebagai public enemy oleh warga Gotham City yang selama ini dibelanya. Batman pun sempat menerima kenyataan pahit saat wanita yang paling dicintainya justru memilih pria lain untuk dinikahi.

Tidak seperti film superhero lain yang plot ceritanya mudah ditebak. The Dark Knight menyajikan alur cerita yang lebih rumit dan dramatis. The Dark Knight tidak melulu mengumbar efek CGI dengan adegan “jeder...jeder” memekakkan telinga. Ada pesan moral dan intrik-intrik psikologis rumit yang terselip di film The Dark Knight. Semua itu disuguhkan dengan apik tanpa merusak jalan cerita. Singkatnya, The Dark Knight telah berhasil menciptakan paradigma baru dalam film superhero.

Apiknya Batman versi Nolan telah membuat para penonton kesulitan untuk move on. Mereka menjadikan Batman-nya Nolan sebagai tolak ukur bagi film-film Batman selanjutnya. Karenanya, tidak mengherankan jika Batman sempat vakum dari layar lebar semenjak trilogi Batman-nya Nolan berakhir tahun 2012. Sineas-sineas Hollywood tampaknya sangat berhati-hati dalam membuat film Batman berikutnya. Mereka harus berpikir keras agar film Batman berikutnya tidak melenceng jauh dari Batman-nya Nolan yang kadung dijadikan standar oleh para penggemarnya.

Awal Maret kemarin, Batman kembali hadir ke layar lebar dalam film Batman vs Superman. Melihat judulnya, kita bisa langsung menebak film ini akan menyajikan konflik horisontal antara Batman dan Superman—dua superhero komik DC yang paling banyak difilmkan. Konflik dasar itulah yang membuat film garapan sutradara Zack Snyder ini disambut dengan penuh antusias oleh para penggemarnya.

Meski terlihat cukup prospektif, film Batman vs Superman tidak akan mudah merebut hati penonton. Setidaknya ada dua tantangan yang harus dihadapi, yaitu:

(1) 
Karena melibatkan “Batman” di dalamnya, penonton akan selalu membanding-bandingkan sosok Batman di film “Batman vs Superman” dengan Batman versi Nolan. Para penonton tentu berekspektasi, Ben Affleck dapat membawakan sosok Batman dengan apik, seperti halnya Christian Bale. Belum lagi jika membandingkan plot yang dramatis ala Batman-nya Nolan. Batman vs Superman tentu tidak boleh terjebak dalam kemegahan CGI dan aksi “jeder…jeder” saja, tapi juga harus menyuguhkan scene-scene yang dramatis dan plot yang sulit ditebak.

(2)
Para penonton mungkin akan kesulitan memahami plot cerita di awal-awal film. Pertanyaan-pertanyaan seperti, bagaimana Superman bisa berkenalan dengan Batman, apa alasan keduanya berkonflik, dan siapa villain utama yang dihadapi, akan berputar-putar di otak penonton selama film tersebut ditayangkan. Hal ini tidak lain karena Batman vs Superman tidak membangun kontinuitas cerita melalui film-film sebelumnya. Film terakhir Batman (The Dark Knight Rises) maupun Superman (Man of Steel) bahkan tidak ada kaitannya sama sekali. Hal ini berbeda dengan film superhero adaptasi komik Marvel, yang telah membangun kontinuitas cerita secara paralel dari film-film superhero Marvel sebelumnya.

Dua hal itulah yang harus dijawab Zack Snyder dalam film Batman vs Superman. Kesuksesan film ini akan menjadi pondasi penting untuk prospek film-film superhero adaptasi komik DC selanjutnya, seperti Wonder Woman dan Justice League, yang akan dirilis tahun depan.

Tentu saja tulisan ini hanya sebatas penilaian subjektif semata. Saya tidak bermaksud mengatakan film Batman vs Superman itu buruk. Semuanya murni soal selera. Saya memiliki kriteria tertentu dalam menilai film superhero. Di sini, Saya hanya menggarisbawahi bahwa setiap film yang melibatkan Batman di dalamnya, akan selalu dibanding-bandingkan dengan trilogi Batman-nya Christopher Nolan. Para sineas Hollywood harus berhati-hati dalam menghadirkan sosok Batman karena penonton terlanjur menjadikan Batman versi Nolan sebagai tolak ukur film Batman berikutnya. Jika tidak, maka bersiaplah menerima kritikan pedas dari penonton yang belum bisa move on dari Batman-nya Nolan—termasuk saya.


NB:
Sementara orang-orang sibuk berjejalan di bioskop untuk mengantri tiket Batman vs Superman, saya lebih memilih bersabar menunggu film superhero yang lebih “humanis” seperti Batman-nya Nolan.

Monday 28 March 2016

UKS (Unit Kemalasan Siswa)


Bukannya aku malas belajar,
aku hanya merasa—jenuh.

Pada dasarnya, UKS adalah salah satu fasilitas sekolah yang dipakai untuk memberikan pertolongan pertama pada warga sekolah yang mengalami gangguan kesehatan ringan, seperti: pingsan, pusing, mual, lecet, memar, dan sejenisnya. Tapi bagi saya, UKS tidak jauh beda dengan “penginapan kelas melati” yang menyediakan fasilitas kasur, selimut, dan bantal gratis di sekolah. Dengan berbagai fasilitas penginapan, UKS pun dianggap sebagai tempat paling nyaman di sekolah.

Berbeda dengan ruang-ruang kelas yang terkesan horror, ruang UKS memiliki tingkat kenyamanan yang jauh lebih baik. Di UKS, kita bisa menikmati kasur yang empuk dan bantal yang nyaman. Jika cuaca dingin, kita cukup menggelar selimut untuk menghangatkan tubuh. Di UKS, kita bisa melupakan kepenatan belajar—meski hanya sejenak. Di UKS pula kita bisa mendapat segelas teh hangat dan kudapan gratis dari guru, yang jarang kita jumpai di kantin.

Sementara di kelas, fasilitas yang ada tidak pernah senyaman ruang UKS. Di kelas, kita tidak bisa merasakan kasur yang empuk atau bantal yang nyaman. Satu-satunya benda yang dianggap “paling nyaman” di kelas hanya sebuah bangku kayu, yang lebih sering membuat pantat murid menderita daripada merasa nyaman. Tidak mengherankan, jika ruang UKS kerap disalahgunakan para murid sebagai tempat “melarikan diri”.

Penyalahgunaan ruang UKS memang tidak bisa dibenarkan. Tapi di sisi lain, kita tidak bisa mengabaikan rasa jenuh dan kelelahan murid saat belajar. Metode pembelajaran yang monoton dan proses pembelajaran yang kaku seringkali membuat murid tidak betah berlama-lama di kelas. Pada akhirnya, rasa jenuh dan kelelahan itu terakumulasi, hingga para murid terdorong untuk membolos. Berhubung ruang UKS adalah satu-satunya tempat yang memungkinkan murid membolos tanpa harus meninggalkan sekolah, UKS pun terpilih sebagai “lokalisasi pelarian” paling strategis.

 Murid hanya perlu mengeluh sakit pada bagian tubuh tertentu, kemudian berpura-pura lemas dengan memasang wajah pucat. Seorang “pembolos profesional” biasanya sangat mahir memucatkan wajahnya hingga terlihat seperti seperti orang sakit betulan. Untuk mempermudah izin mbolos ke UKS, murid memakai gangguan kesehatan yang tidak bisa diketahui langsung, seperti: mual, pusing, dan sakit perut. Berbeda dengan gangguan kesehatan seperti “panas,” yang bisa diketahui langsung dengan termometer atau rabaan tangan—keluhan seperti pusing dan meriang tidak memiliki alat ukur tertentu untuk mengetahui seberapa parah sakit si penderita. Orang lain hanya bisa menyimpulkan berdasarkan keluhan-keluhan yang disampaikan si penderita.

Untuk itu, sekolah perlu membuat regulasi khusus untuk mengantisipasi penyalahgunaan ruang UKS. Sekolah perlu memiliki petugas UKS yang bertanggung jawab penuh terhadap penggunaan ruang UKS. Petugas UKS akan mencatat informasi tentang murid yang dirawat di ruang UKS, meliputi gangguan kesehatan yang dirasakan, tindakan perawatan, dan obat-obat apa saja yang dberikan. Petugas UKS juga berwenang dalam memberikan izin penggunaan ruang UKS dan menentukan apakah murid yang sakit perlu dirawat di UKS, diantar pulang, atau langsung dilarikan ke rumah sakit. Di sinilah peran petugas UKS menjadi sangat vital untuk mengantisipasi penyalahgunaan ruang UKS.

Petugas UKS perlu mencurigai keluhan murid yang tidak wajar. Keluhan-keluhan seperti pusing, mual, dan sakit perut patut diselidiki kebenarannya, sebelum memutuskan apakah murid itu benar-benar sakit atau hanya cari-cari alasan untuk membolos. Jika penjelasan murid rancu, petugas UKS bisa langsung mengantar murid ke rumah sakit atau layanan kesehatan terdekat untuk pemeriksaan medis yang lebih akurat.

Tulisan ini saya tujukan pada pihak sekolah agar mereka mengantisipasi penyalahgunaan ruang UKS. Jangan sampai iktikad baik ruang UKS ternodai ulah oknum murid yang menjadikannya tempat membolos. Jika sekolah kerepotan mengurus UKS, hapus saja ruang UKS. Jauh lebih baik jika sekolah menyediakan mobil ambulance atau kendaraan khusus yang bisa mengantarkan murid ke rumah sakit langsung. Gitu aja kok repot!


NB:

Untuk ‘kalian’ yang merasa pernah membolos ke ruang UKS, saya harap kalian tidak tersindir.

Sunday 20 March 2016

Melecehkan Lambang Negara, Gundulmu!


.   .   .

Dari kejauhan, seorang pemuda tampak terbirit-birit menuju halaman rumah Pak RT. Pagar rumah yang tak seberapa tinggi dilompatinya. Sejurus kemudian, pemuda itu sudah berteriak memanggil si empunya rumah keras-keras.

“Pak RT, Pak RT…!!!”

Yang diteriaki segera membuka pintu. “Owalah…Trimbil!”

“Gawat Pak RT, gawat!”

“Gawat kenapa? Nggak usah kemrungsung begitu to! Pelan-pelan ngomongnya!”

Pemuda bernama Trimbil itu mencoba mengatur nafasnya. Setelah tenang, ia meneruskan kata-katanya. “Barusan saya jatuh Pak RT.”

“Jatuh? Kamu nabrak orang?” mata Pak RT membelalak.

“Bukan, Pak. Saya barusan jatuhin kaos saya ke jamban,” Trimbil berkata sambil mengacungkan sebuah kaos warna merah dari kresek yang dibawanya.

Ladalah…Jabang bayi!  Kok pesing tenan Mbil!” Dengan refleks, Pak RT menutup hidung.

“Maaf Pak. Soalnya saya takut, keburu dicari Polisi.”

“Lho, memangnya kamu salah apa?” Dahi Pak RT berkerut.

“Pak RT nggak lihat? Di kaos ini ada lambang Garudanya, Pak.” Trimbil menunjukkan lambang Garuda yang dibordir di kaos merah itu.

“Pak RT kan tahu, ‘Garuda’ itu lambang negara. Kalau saya menjatuhkan kaos ini ke jamban, berarti saya telah melecehkan lambang negara dong, Pak. Iya to? Kemarin saya lihat di TV ada artis ditangkap polisi gara-gara melecehkan lambang negara. Katanya diancam hukuman 5 tahun penjara, lho, Pak. Aduh, saya nggak mau dipenjara, Pak. Tolong Pak RT, tolong saya. Sumpah saya nggak sengaja…”

Pak RT menghela napas panjang. “Owalah…Mbil...Trimbil. Apanya yang melecehkan lambang negara? Gundulmu! Mbok berita di TV jangan diikuti mentah-mentah. Kasus kaosmu itu jelas beda.“

“Beda gimana, Pak RT?”

“Lha iya to. Yang namanya kaos jatuh di kamar mandi, itu biasa. Cuma kebetulan di kaosmu itu ada lambang Garudanya. Tapi dalam hal ini, kamu kan tidak sengaja. Beda soal kalau kamu nginjak-injak bendera merah-putih, misalnya, terus rekamannya kamu unggah ke Yutub. Itu baru jadi masalah.”

Trimbil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Memangnya yang artis itu gimana, Pak RT?”

Sambil berkacak pinggang, Pak RT kembali menjelaskan. “Walah…tadi kan sudah saya bilangin, berita di TV jangan kamu telan mentah-mentah. Tidak semua ‘pelecehan’ dianggap melecehkan lambang negara. Anak SD yang keliru mengurutkan sila Pancasila, misalnya, tidak bisa serta merta dianggap melecehkan lambang negara. Lagipula kalau dipikir-pikir, apa untungnya sih melecehkan lambang negara?”

Trimbil menggelengkan kepalanya. “Nggak ada Pak RT. Warga negara yang baik, tentu tidak akan menjadikan atribut negaranya sendiri sebagai bahan bercandaan.”

“Nah, iya to. Buat saya, yang ‘melecehkan’ itu malah orang-orang yang ngaku hapal Pancasila, tapi kelakuannya tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Dia ngaku berketuhanan Yang Maha Esa, tapi ibadah saja jarang-jarang. Katanya paham kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi kok tega nilep subsidi orang lain? Waktu kampanye, janji memperjuangkan keadilan sosial. Tapi setelah terpilih, kok ya masih tega melakukan korupsi. Apa nggak melecehkan itu namanya? Saya malah lebih setuju orang-orang semacam itu yang diperkarakan.”

Trimbil manggut-manggut. “Betul juga Pak RT. Saya yang wong cilik ini juga nggak mungkin sengaja melecehkan lambang negara. Lalu saya harus gimana ini, Pak RT?”

Wis kamu pulang saja. Kaose dicuci sampai bersih. Kalau perlu dikasih pewangi biar hilang pesingnya.”

“Saya nggak bakal dicari Polisi to Pak?” Trimbil masih agak ragu.

“Iyo,,,iyo…Ora bakal digoleki Polisi wis. Nyatane kowe yo ora salah. Buruan dicuci kaos. Ora nguwati tenan ambune!

“Hehe…injih, Pak RT.” Trimbil malah nyengir.


*   *   *

Friday 18 March 2016

TAKONO HANI: Mbahas Ujian Nasional



- 001 -

Korban_UN: “Tinggal beberapa minggu lagi ujian. Mbok aku dikasih motivasi gitu lah Bang. Rasanya kok keder juga walau sudah banyak latihan dan ikut try out.”

Bg_Hani: “Oh…sudah mau ujian to? Berarti sebentar lagi lulus dong.”

Korban_UN: “Iya, lulus—kalau ujiannya juga lulus, Bang.”

Bg_Hani: “Optimis saja. Kayaknya kamu phobia banget sama ujian?”

Korban_UN: “Ya iyalah, Bang. Mana ada murid yang nggak keder waktu mau ujian? Lagian gondok  juga Bang, tiap hari isinya latihan soal melulu.”

Bg_Hani: "Namanya juga mau ujian. Dulu aku juga begitu.”

Korban_UN: "Boleh diceritain, Bang, dulu kayak gimana?"

Bg_Hani: “Dulu, menjelang ujian, murid-murid pasti diminta mempeng belajar. Semuanya disuruh berlatih soal dengan porsi yang tidak wajar. Pagi-pagi sekali, sudah disuruh berangkat sekolah untuk les pagi. Sorenya, pergi ke bimbel untuk les lagi. Waktu bermain hampir tidak ada. Guru-guru bilang semua murid harus banyak berlatih soal supaya lulus. Waktu itu, aku berharap ada guru yang mau menyiapkan mental murid yang telranjur down melihat hasil tryout. Tapi sampai hari-H ujian, hal semacam itu tidak pernah terjadi. “Siraman rohani” yang diberikan tidak lebih dari kegiatan doa bersama dan ritus ibadah sunah yang akan segera ditinggalkan murid begitu ujian selesai.”

Korban_UN: “Wah….yang terjadi sekarang juga masih seperti itu, Bang.”

Bg_Hani: “Kadang aku kasihan sama kalian. Sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya cuma disuruh ikut ujian. Belasan tahun sekolah, ujung-ujungnya ditentukan dari 3 hari ujian.”

Korban_UN: “Maka dari itu, Bang? Siapa yang nggak keder tiap mau UN begini? Ini mah Ujian Nasional Nasib!”

Bg_Hani: “Ya, bagaimanapun kamu tinggal menjalaninya saja kan. Cepat atau lambat kamu tetap tidak bisa mengelak dari ujian.”

Korban_UN: “Itu sih jelas Bang. Yang lainnya apa lagi? Takutnya itu lho, Bang. Serba pesimis. Takut-takut kalau hasil ujian tidak memuaskan. Apalah saya ini, Bang, cuma pelajar cupu yang mengira bulan April sama kayak Halloween.”

Bg_Hani: “Kamu itu cuma kurang percaya diri saja. Kalau belajarmu sudah tekun, rutin latihan soal, ikut les/privat, banyak membaca, ikhlas berdoa, semua itu sudah cukup. Sampai di situ asal kamu menikmati prosesnya, maka tidak ada yang salah. Biasanya, yang jadi masalah itu “hutang materi di kelas sebelumnya.” Misalnya, dulu kamu kurang menguasai materi aljabar. Ada baiknya kamu fokus mempelajari materi itu dengan semua sumber daya yang kamu punya, entah buku, internet, teman, atau tanya langsung ke guru les.”

Korban_UN: “Kalau yang itu sudah, Bang.”

Bg_Hani: “Baguslah, anggap saja itu sudah separuh perjalanan. Kalau soal pesimisme, mungkin kamu perlu meng-upgrade cara berpikirmu menjadi lebih kekinian.”

Korban_UN: “Maksudnya Bang?”

Bg_Hani: “Di dunia ini kita bisa merugi karena tiga hal:
1) Terlalu sibuk mencemaskan masa depan yang belum terjadi;
2) Terlalu lama menyesali masa lalu yang tidak mungkin kembali; dan
3) Menyia-nyiakan penghidupannya hari ini.
Coba kamu pikirkan! Ketinggalan materi—itu masa lalu. Biarkan saja ia berlalu, jangan terlalu lama disesali. Yang bisa kamu lakukan HARI INI hanya meminimalisir ketertinggalan itu dengan mempelajari materi itu kembali. Sedangkan hasil ujian—itu perkara masa depan. Yang bisa kamu lakukan HARI INI adalah mempersiapkannya sebaik mungkin, dengan semua sumber daya yang kamu punya.
Kita hanya bisa mengontrol tindakan kita SAAT INI. Masa lalu dan masa depan berada di luar kontrol kita. Karena itu, kita malah akan ‘tertekan’ saat mencemaskan masa depan atau menyesali masa lalu—karena dua hal itu berada di luar kendali kita.”

Korban_UN: “Kuncinya, fokus pada yang dihadapi saat ini, ya Bang?”

Bg_Hani: “Ya. Untuk apa buang-buang waktu memikirkan hal-hal yang tidak jelas, tidak pasti, yang bahkan belum tentu terjadi?”

Korban_UN: “Oke, hadapi yang ada di depan mata, pikirkan hari ini, urusan masa depan dipikir belakangan. Pasrah saja. Begitu?”

Bg_Hani: “Hati-hati dengan kata PASRAH. Pasrah jangan kamu artikan bermalas-malasan, tanpa melakukan apa-apa. Pasrah harus didahului dengan UPAYA. Jika kamu pasrah sebelum berupaya, itu ‘bodoh’ namanya! Logikanya, mana yang lebih baik; belajar dulu sebelum ujian, kemudian pasrah apapun hasilnya nanti, atau malah pasrah duluan, tanpa belajar sama sekali?”

Korban_UN: “Ya jelas lebih baik yang belajar duluan, Bang.”

Bg_Hani: “Sampai sini sudah paham kan maksudku?”

Korban_UN: “Sudah, Bang. Aduh, makasih banget wejangan gratisnya. Kapan-kapan kalau teman saya ada masalah, saya ajak main ke sini deh, Bang?”

Bg_Hani: Anytime. Asal tidak minta yang aneh-aneh seperti minta cara cepat kaya, minta jodoh, apalagi minta bocoran nomor togel. Good luck ya buat ujiannya. Dan tolong, itu nickname-nya diganti. Masak terus-terusan jadi Korban_UN?”

Korban_UN: “Siplah, Bang!”



NB:
“TAKONO HANI” adalah rubrik semifiksi yang berisi tanya-jawab seputar masalah remaja. Rubrik ini sifatnya terbuka. Bagi siapapun yang ingin berkonsultasi seputar masalah remaja, langsung saja mengirimkan ‘pertanyaan’-nya via email: bennysapien@gmail.com
Pertanyaan terpilih akan saya posting di rubrik “TAKONO HANI” dengan privasi (semua nama tempat, nama orang, nama merk, akan disamarkan). GRATIS

Thursday 17 March 2016

Tiga Bayi Kucing di Sebelah Rumah


Semua pemberian Tuhan itu gratis.
Hanya pemberian manusia yang minta bayaran,
pakai ‘syarat dan ketentuan’ pula!?—repotnya.
(Hatake Niwa)

Mak…maaak…maakkk…” Beberapa waktu yang lalu saya mendengar erangan dari bangunan sebelah rumah. Awalnya, saya pikir itu suara tikus yang mencicit di loteng rumah. Setelah saya telusuri, ternyata suara itu bukan suara tikus, melainkan predatornya tikus—“kucing”. Saya mendapati ada tiga ekor bayi kucing di bangunan sebelah rumah. Dari kondisi tubuhnya, sepertinya bayi-bayi kucing itu baru lahir beberapa hari yang lalu. Anehnya, tidak ada induk kucing di sana. Mungkin si induk sedang sibuk mencari makanan di luar. Saya pun membiarkan bayi kucing itu di tempatnya.

Selang beberapa jam, tidak ada tanda-tanda induk kucing itu kembali. Agaknya si induk kucing itu sudah pergi, entah karena tidak mau mengasuh bayinya atau malah sudah mati di luar sana. Karena induknya pergi, rengekan ketiga bayi kucing itu semakin menjadi. Saat saya melongoknya, mereka mulai terlihat kelaparan. Demi memenuhi rasa “peri-ke-hewan-an”, mau tak mau saya pun mengacuhkan ketiga binatang malang itu.

Masalahnya, saya belum pernah memelihara seekor kucing pun di rumah. Rumah saya boleh dibilang steril dari kucing. Keluarga saya juga tidak terlalu senang memelihara binatang jenis mamalia, seperti kucing. Mereka lebih senang memelihara unggas seperti ayam atau burung. Karenanya, saya cukup kelabakan ketika memutuskan untuk mengurus tiga bayi kucing itu.

Saya pun mencari informasi tentang cara merawat bayi kucing di internet. Dari sekian banyak artikel dan tips yang saya peroleh, setidaknya saya harus menyiapkan perlengkapan dasar merawat bayi kucing, seperti kandang, dot (tempat susu), lampu pemanas, dan tentu saja susu kucing.

Seperti halnya bayi manusia, kebutuhan pokok bayi kucing adalah SUSU. Jika bayi manusia butuh ASI, maka bayi kucing butuh ASK (Air Susu Kucing). Idealnya, bayi kucing yang ditinggal induknya harus disusukan ke kucing lain yang mau berbagi ASK. Tujuannya, agar bayi kucing tetap mendapat pasokan nutrisi demi kelangsungan hidupnya.

Sayangnya, saya tidak melihat tetangga kanan kiri memelihara kucing. Saya terpaksa mencari susu kucing di petshop yang ada di kota. Di petshop itusaya sempat berkonsultasi dengan seorang karyawan tentang perawatan bayi kucing. Menurutnya, bayi kucing perlu diberi susu setiap 2-3 jam. Porsinya tidak perlu banyak, tapi sering.

Dengan kata lain, dalam sehari, seekor bayi kucing rata-rata harus diberi susu sebanyak 6-8 kali. Jika saya libur panjang, mungkin saya bisa melakukannya. Tapi seringkali, saya tidak selalu berada di rumah. Ada saja kepentingan yang mengharuskan saya keluar rumah selama berjam-jam. Karena itu, beberapa kali saya terpaksa melewatkan “jam makan” dan membuat bayi-bayi kucing itu kelaparan. (Maafin aku, ya, Cing…)

Urusan susu ini ternyata rempong sekali. Andai bayi-bayi kucing itu tinggal bersama induknya, maka masalahnya akan jauh lebih mudah. Semesta sudah menyiapkan “fasilitas” khusus untuk kelangsungan hidup bayi kucing. Dari tetek induknya, bayi kucing bisa langsung minum susu murni yang kaya colostrum—sebuah zat yang sangat penting bagi pertumbuhan bayi kucing. Susu kucing murni tentu jauh lebih aman dan bernutrisi dibanding susu “pabrik” yang diproses dari susu sapi. Terkadang, susu bikinan pabrik malah membuat bayi kucing mencret karena kadar laktosanya berbeda.

Tidak hanya soal susu, keberadaan induk kucing juga dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar bayi kucing, misalnya dalam urusan pencernaan. Biasanya, induk kucing akan menjilati daerah genital dan anus bayinya, agar bayi kucing itu bisa ngeden sampai akhirnya nge-pup dan pipis sendiri. Jika induk kucing tidak ada, maka si perawat bayi kucing-lah yang harus melakukan “pembersihan” itu (kita bisa memakai tisu atau kapas yang diberi air hangat untuk mengusap daerah genital dan anus si anak kucing).

Dengan segala kerempongan itu, tidak heran jika banyak bayi kucing yang sengaja dibuang pemiliknya. Biasanya bayi kucing dibuang di tempat-tempat pembuangan sampah. Jika pemiliknya “berbaik hati,” bayi kucing akan dipaketi dalam kardus, kemudian diletakkan di depan rumah orang—siapa tahu pemilik rumah akan merasa iba dan sudi merawat si bayi kucing. Yang paling sadis, bayi kucing akan dibuang ke jalanan, dan dibiarkan mati terlindas kendaraan yang lewat.

Semua kerepotan itu membuat saya memilih untuk tidak memelihara binatang seperti kucing. Bukan karena saya membenci kucing, melainkan lebih karena saya merasa tidak cukup telaten mengurusnya. Daripada ke-kurang-telaten-an saya malah menyiksa si kucing, lebih baik saya tidak usah memeliharanya saja (kasus tiga bayi kucing yang saya ceritakan di atas termasuk pengecualian).

Dari pengalaman merawat kucing, saya menyadari betapa sempurnanya sistem alam semesta. Sistem itu didesain khusus oleh Penciptanya demi menjaga kelangsungan hidup makhluk-makhluk-Nya. Seperti halnya air susu tadi, kuasa-Nya menjadikan air susu yang mengalir di antara darah dan kotoran. Air susu itu mudah ditelan dan “diformulasikan” khusus untuk menopang hidup si jabang bayi. Daya nalar dan teknologi manusia memang memungkinkan kita membuat susu formula. Meski begitu, kandungan nutrisi susu formula bikinan manusia masih tetap kalah jauh dibanding air susu alami ciptaan Tuhan.

Memikirkan hal ini, seharusnya membuat manusia merasa malu. Sebagai manusia, kita menikmati berbagai fasilitas gratis ciptaan Tuhan, tapi kenapa sedikit sekali di antara kita yang mau bersyukur? Kita tidak pernah membayar Tuhan untuk bernapas. Kita juga tidak pernah membayar-Nya untuk sekedar melihat. Sementara di rumah sakit, orang-orang bahkan harus membayar milyaran hanya untuk bisa bernafas atau melihat.

Lebih dari itu, Tuhan tetap bermurah hati memberikan fasilitas hidup, tanpa pandang bulu. Orang baik maupun orang jahat sekali pun, bisa tetap mendapat rahmat-Nya. Sekarang, tinggal bagaimana manusia mensyukuri dan memanfaatkan fasilitas itu—apakah ia akan memakainya demi menebar kebaikan atau untuk merusak tatanan semesta.


Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? ” []

Wednesday 16 March 2016

Motivator Kok Dipisuhi


Jika motivator cuma modal ngomong,
kenapa tidak semua orang sukses jadi motivator?
(Hatake Niwa)

Dulu, saat saya masih sering galau, saya rajin mengikuti acara motivasi di sebuah televisi swasta. Acara tersebut ditayangkan setiap pekan. Bukan acara live sih, tapi bagi saya acara itu lumayan efektif untuk menyentil nalar dan menggugah nurani.

Setiap pekannya, si motivator membahas topik yang beragam. Biasanya, dalam acara itu si motivator melakukan dialog interaktif dengan audience yang ada di studio. Di sela-sela dialog itu, si motivator akan menyitir banyak nasehat bijak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Apapun pertanyaan dan keluhannya, si motivator selalu memiliki jawaban logisnya—seakan-akan dirinya adalah “doraemon” yang bisa mengatasi segala masalah.

Si motivator tidak hanya terkenal di layar kaca. Di dunia maya, ia juga dikenal luas oleh para netizen. Fanspage-nya di media sosial terbilang sukses. Jumlah followers-nya mencapai jutaan. Dengan fanspage itu, si motivator sering membagikan nasehat-nasehat bijaknya. Kebanyakan nasehatnya bertutur tentang kebijaksanaan hidup, hubungan antarpribadi, percintaan, dan pengembangan diri. Semuanya dikemas dalam bahasa “tingkat tinggi” yang sengaja dipilih demi menggugah motivasi para pembacanya.

Anehnya, tidak semua orang menyukai nasehat si motivator. Ada saja segelintir netizen yang nyinyir bilang si motivator cuma “omdo” (omong doang). Ada juga yang sibuk ngeles, mencoba memelintir nasehat si motivator dengan argumen dangkal. Komentar andalan yang sering mereka pakai kurang lebih begini: “Kalau cuma ngomong doang sih gampang, prakteknya susah, Pak!

Hadeeeh… Saya tidak habis pikir. Namanya juga motivator, tidak salah kalau dia rajin membagi kata-kata mutiara. Ibaratnya, motivator itu penjual roti. Bukankah wajar jika penjual roti berkeliling kampung sambil berseru menjajakan dagangannya. Begitu juga motivator. Bagaimanapun seorang motivator dihargai karena keahliannya memotivasi orang lain. Menggelikan sekali jika kita malah nyinyir misuhi si motivator sampai berani berkomentar miring seakan-akan kita lebih berpengetahuan dibanding si motivator.

Jangan kira seorang motivator cuma waton ngomong. Sekedar ngomong memang gampang. Tapi “ngomong baik-baik” untuk menggugah kesadaran orang lain, mustahil bisa dilakukan sembarang orang. Setiap kata yang dipilih harus kata-kata yang “bertenaga” dan bisa membangkitkan motivasi. Kemampuan itu membutuhkan persiapan yang panjang, penguasaan teori yang mumpuni, dan latihan intens selama bertahun-tahun. Karenanya, tidak semua orang bisa menjadi motivator sukses.

Seorang motivator tidak cukup hanya piawai memahami seluk beluk psikologi. Lebih dari itu, mereka harus memiliki kecerdasan intrapersonal yang tinggi. Semua itu didukung dengan kecakapan public speaking dan pancaran aura kewibawaan yang membuat siapapun tertarik untuk menyimak kata-kata si motivator.

Jika yang dilakukan motivator itu tidak salah, kenapa ia malah punya haters ?

Well, kita tahu, di dunia ini ada tipe-tipe orang yang bebal terhadap nasehat. Orang-orang semacam ini menginginkan kehidupannya bebas dari kritik. Nasehat apapun yang ditujukan pada mereka lebih sering mental dan diabaikan. Orang-orang bebal ini hanya meyakini “kebenaran” versi mereka sendiri. Mereka baru akan “sadar” manakala kebenaran yang mereka yakini ternyata keliru. Jika belum kena batunya, mereka tetap keukeuh mempertahankan idealismenya, tanpa mempedulikan nasehat orang lain. Boleh jadi, orang-orang bebal semacam itulah yang sering nyinyir berkomentar miring terhadap nasehat si motivator.

Terlepas dari itu semua, pada dasarnya “mengkonsumsi” nasehat secara berlebihan bisa berdampak buruk bagi rohani kita. Itu bisa terjadi jika kita tidak mengimbangi nasehat dengan tindakan nyata dan perbaikan diri.

Sebuah nasehat bijak seharusnya menggugah kesadaran kita untuk segera melepaskan diri dari masalah. Tapi terkadang, nasehat itu malah menjadi “candu” yang membuat kita berpikir masalah kita akan selesai karena nasehat itu. Padahal, masalah akan tetap ada sampai kita tergerak untuk mencari solusinya. Karena itu, harus ada keseimbangan antara nasehat yang kita dengar dan tindakan rasional kita di dunia nyata.


Pada akhirnya, jika kalian termasuk salah satu orang yang jengah dengan nasehat motivator, maka saran saya, berhentilah menonton atau membaca nasehatnya. Jika kita merasa tidak setuju atau jengah dengan nasehat itu, tidak perlu repot-repot menjadi haters atau berkomentar miring padanya. Karena sebuah nasehat tetaplah nasehat. Jika bukan untuk kita, boleh jadi nasehat itu bisa bermanfaat bagi orang lain. Toh tugas motivator tetap sama: MEMOTIVASI ORANG AGAR MELIHAT “TERANG” DALAM SETIAP MASALAH YANG DIHADAPINYA.


NB:
* dipisuhi, misuh-misuh = semacam marah-marah/ngedumel dengan tidak jelas

Tuesday 15 March 2016

Long Distance Relationship Tak Selamanya Buruk


Yang nikah saja bisa kandas gara-gara LDR,
apalagi yang cintanya sebatas pacar, TTM, 
atau hubungan lain  yang tidak jelas statusnya.
(Hatake Niwa)

Saya sering kasihan pada orang yang LDR. Gara-gara LDR, mereka tidak bisa menghabiskan malam minggu bersama. Gara-gara LDR, mereka harus membunuh tega setiap kerinduan yang muncul ke permukaan. Gara-gara LDR pula, mereka sibuk berharap-harap cemas, takut pasangannya mencari “ban serep di perantauan. Saking beratnya LDR, sampai-sampai banyak hubungan percintaan yang kandas di tengah jalan.

Bagaimana tidak. Sampai batas-batas tertentu, LDR bisa mengurangi, bahkan meniadakan jalinan interaksi dan komunikasi dengan pasangan. Padahal interaksi dan komunikasi intens dengan pasangan merupakan elemen penting dalam membangun hubungan percintaan. Minimnya interaksi dan komunikasi bisa mendorong kita untuk mencari kompensasi lain demi memenuhi rasa ingin diperhatikan dan disayang. Karena itu, jangan heran jika banyak cerita LDR yang endingnya ditinggal selingkuh atau ditinggal nikah.

Terlepas dari semua itu, LDR tidak melulu terlihat buruk. Bagi pasangan yang sudah di ambang perceraian, misalnya, LDR malah dilihat sebagai jalan terbaik untuk memperlancar urusan cerai. Alih-alih mereka memang “sepantasnya” menjaga jarak dengan mantan istri atau suami demi menjaga martabat dan harga diri.

Tapi bagi pasangan muda yang baru saja menikah, LDR jelas sebuah mimpi buruk. Malam-malam di saat mereka seharusnya berbulan madu, malah diisi dengan dinginnya harapan dan penantian. Setan pun leluasa membuka prasangka, “Jangan-jangan laki-mu sedang ‘main gila’ dengan wanita lain di seberang.

LDR bagi mereka yang sudah nikah tentu terasa berbeda daripada LDR-nya mereka yang belum nikah. Setelah menikah, kita menanggung tanggung jawab dan konsekuensi yang lebih besar dalam setiap keputusan yang diambil. Ikatan pernikahan mengharuskan sebuah hubungan percintaan mengikuti tatanan formal hukum yang berlaku. 

Orang yang sudah nikah akan berpikir dua kali untuk selingkuh, lebih-lebih jika mereka ingin kawin lagi di perantauan. Andai nekat meminta cerai karena tidak betah LDR, mereka harus mengurus seabrek berkas gugatan ke pengadilan agama. Belum lagi berbicara seputar hak asuh, hubungan dengan mertua, sampai uang ganti rugi.

Sementara pada pasangan yang belum nikah, tanggung jawab yang diemban tidak sebesar mereka yang sudah nikah. Orang pacaran yang LDR lebih leluasa untuk minta putus dan berpaling, tanpa harus menanggung konsekuensi seperti halnya orang minta cerai. Orang pacaran bisa saja minta putus dalam semenit. Dan LDR bisa menjadi alasan paling wajar untuk minta putus. Jika itu yang terjadi, tidak akan ada satu pengadilan pun yang sudi mengurus gugatan kita. Yang bisa kita lakukan paling-paling ‘cuma’ mengurung diri di kamar dan mewek—menangis semalaman.

Saya bukan bermaksud menakut-nakuti apalagi mendoakan yang buruk-buruk. LDR-nya mereka yang belum menikah boleh jadi lebih berpotensi “merusak hubungan” daripada mereka yang sudah nikah. Semua ini simply karena mereka yang belum nikah hanya menyandarkan hubungan mereka pada “kontrak lisan” yang berupa janji-janji—entah janji untuk setia, janji untuk tetap mencinta, atau janji untuk menikahinya kelak saat kembali. Karena tidak ada “hitam di atas putih”, pada akhirnya lebih banyak orang yang memilih ingkar daripada setia.

Melihat beratnya menjalani LDR, kita tidak bisa memutuskan LDR dengan mengabaikan keinginan pasangan kita. Kita harus memiliki pembenaran logis sebelum memutuskan untuk menjalani LDR. Setiap pasangan harus memahami alasan mereka memilih LDR. Mereka juga harus siap menerima segala konsekuensi dan skenario terburuk dari hubungan jarak jauh.

Kita juga tidak bisa naif mempasrahkan urusan LDR pada “kontrak emosional” seperti komitmen, kepercayaan, dan janji setia seperti yang ada dalam novel-novel picisan. Apalagi jika kita masih belum bisa percaya sepenuhnya pada pasangan kita. Dalam konteks ini, boleh dibilang kita belum siap menjalani hubungan jarak jauh. Karena itu, ada baiknya kita mengutarakan masalah tersebut di awal, daripada menelan pil pahit belakangan. Dengan begitu, kita bisa mendiskusikan win-win solution sebelum memutuskan menjalani LDR.

LDR memang tidak selamanya buruk. Kita bisa memaknai "jarak" sebagai sebuah variabel untuk menguji kesetiaan pasangan kita. Dengan jarak, kita akan mengerti apakah cinta yang selama ini kita rasakan semakin besar atau malah sebaliknya—berubah hambar. Dengan jarak pula, kita akan belajar untuk bersabar, mentafakuri kesetiaan dan menyelami agungnya pengharapan. Karena yakinlah, ada saat di mana kita harus merelakan orang yang kita kasihi pergi—menuju kehidupan lain yang lebih abadi. Tak tertolak!

Saturday 5 March 2016

Filosofi Ketiadaan Ikon "Reply" di Blog


*   *   *

Kenapa blog meniadakan fasilitas “REPLY”? Kenapa blog membuat kita repot untuk membalas setiap komentar dari pengunjung? 

Urusan ini terkadang membingungkan sekali. Sejak pertama kali membuat blog, saya belum menemukan penjelasannya. Saya pikir blog berbeda dengan media sosial. Sebuah blog memang bisa digunakan sebagai media “pamer” dan “iklan”seperti media sosial. Tapi dalam tampilan default-nya, blog membatasi feedback yang bisa dilakukan penulis blog dengan pembacanya. Salah satunya dengan ditiadakannya ikon reply.

Bagaimana jika kita merasa perlu berinteraksi dengan pembaca blog? Kenapa blog malah tidak menyediakan fasilitas “reply” di sana?

Biasanya, seorang penulis blog akan mengedit template dan mengutak-atik HTML script di blog untuk memunculkan ikon “reply.“ Tujuannya, agar si penulis blog lebih mudah membalas komentar yang ditinggalkan pengunjungnya. Komentar balasan dari si penulis blog biasanya akan muncul tepat di bawah komentar dari pengunjung.  Sayangnya, tampilan default sebuah blog tidak menyediakan fitur semacam itu. Blog hanya menyediakan ikon add comment (seperti di blog saya) yang dirasa kurang praktis untuk menjalin interaksi dua arah dengan pembaca blog.

Boleh jadi, begitulah filosofi sebuah blog. Blog tidak ubahnya sebuah buku catatan tak terbatas yang dipakai sebagai media berekspresi penulisnya. Segala sesuatu dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan bisa dimasukkan ke dalam blog. Dan dari sekian tumpuk informasi di blog, semua itu akan mengundang tanggapan yang berbeda dari pengunjungnya. Karena itu, secara default blog hanya menyediakan fasilitas add comment—yang secara filosofis diartikan sebagai kebebasan berkomentar bagi para pembaca blog.

Lantas bagaimana dengan ikon reply

Tidak adanya ikon reply di tampilan default blog mengajarkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana. Kita harus sadar bahwa tidak semua komentar butuh balasan. Bukankah sering kita jumpai komentar-komentar “sampah” yang tidak berarti apa-apa, out of topic, penuh kritik sarkas, penuh ketidaksetujuan, mengajak debat kusir, dan disampaikan dengan gaya bahasa yang emosional?

Komentar-komentar itu sering menyulut emosi kita, sampai-sampai mood ngeblog hilang. Karenanya, blog mengajarkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana dalam menghadapi setiap komentar yang masuk. Tidak ada untungnya nyolot membalas komentar buruk dari pendatang.

Lihatlah di media sosial, betapa banyak perdebatan melelahkan yang terjadi di kolom komentar. Jika perdebatan semacam itu terjadi di blog kita, bukankah itu sama saja “mengotori” blog kita?

Blog dianggap terlalu “suci” untuk menjadi tempat berdebat kusir seperti itu. Karena hemat saya, seorang blogger adalah manusia yang setingkat lebih dewasa daripada pengguna media sosial. Tidak semua orang bisa memiliki blog dan konsisten menulis di sana.

Bagi mereka yang ngeblog karena menyenangi aktivitas menulis, blog adalah simbol kebebasannya. Mereka bebas memakai blog untuk menulis apapun yang mereka inginkan, sepanjang itu bisa berguna bagi orang banyak. Ada dan tidaknya komentar tidak berpengaruh pada motivasi mereka ngeblog.

Saya pernah berkunjung ke sebuah blog yang penulisnya sengaja meniadakan kotak komentar di setiap artikelnya. Bagi blogger itu, banyaknya komentar bukan tujuan utamanya ngeblog. Dia hanya ngeblog karena menyukai aktivitas menulis, tidak lebih dan tidak kurang. Lagipula seperti yang terjadi di media sosial, adanya kotak komentar seringkali malah memicu perdebatan berlarut-larut antara si pemilik akun dengan pembacanya, lebih-lebih “debat kusir” antarsesama pembaca.

Terlepas dari semua itu, mengutak-atik blog untuk menambahkan ikon reply di kotak komentar adalah pilihan semua orang. Begitu juga dengan meniadakan kotak komentar di blog—Itu juga pilihan semua blogger. Boleh jadi kita ingin membalas setiap komentar yang masuk di blog kita agar tidak terkesan jaim dengan pengunjung. Boleh-boleh saja. Konsekuensinya, kita perlu bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi komentar-komentar yang masuk di blog kita. Karena sekali lagi, tidak semua komentar meminta kita untuk memberi balasan. []

Friday 4 March 2016

Sandal Cantik di Kos-Kosan Cowok


.   .   .

Sebenarnya tidak ada perbedaan fungsional antara kos-kosan cowok dan kos-kosan cewek. Keduanya sama-sama tempat hunian sementara yang tidak menyediakan hidangan khusus bagi pelanggannya. Boleh jadi, satu-satunya yang membedakan kos-kosan cowok dengan kos-kosan cewek adalah soal kebersihannya. Jangan heran jika kebanyakan orang memilih rumahnya dijadikan kos-kosan cewek daripada kos-kosan cowok. Salah satunya karena alasan kebersihan tadi.

Ngomong-ngomong soal kos-kosan, saya “beruntung” bisa merasakan kehidupan anak kos. Meski cuma dua semester, cukup banyak pengalaman berkesan yang saya temui di sana, mulai dari ngantri toilet, kejatuhan kucing gila, sampai sandal cantik di kamar sebelah. Nah, hal yang terakhir itulah yang akan saya bahas di sini.

Saat itu saya masih kuliah semester awal—masih cupu-cupunya. Saya juga tergolong awam dengan dunia kos-kosan. Yang saya tahu (dari buku yang pernah saya baca), kehidupan kos-kosan dikesankan sebagai kehidupan yang binal (itu persepsi awal saya). Lingkungan kos-kosan yang sepi dan tanpa pengawasan sering menjadi wahana bermain untuk ber-nananina dengan kekasih tanpa risau digrebek satpol PP. If you know what I mean.

Persepsi awal saya tentang kehidupan binal di kos-kosan membuat saya selalu menaruh curiga. Saya akan berpurbasangka jika ada tetangga kos yang menaruh “sandal cantik” di depan kamarnya. Ini kos-kosan cowok dan tidak ada seorang pun yang terindikasi banci atau transgender di sini. Lalu sandal cantik di depan kamar cowok itu apaan???

Dalam posisi itu, rasanya sulit untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Dua orang lain jenis pasti sedang berduaan di dalam kamar diiringi suara gaduh yang tidak wajar. Kalau pintunya terbuka sih mending, orang luar akan segera tahu mereka yang di dalam kamar sedang ngapain. Tapi bagaimana kalau pintunya sampai gorden ditutup rapat?

Suasana kos-kosan memang strategis untuk dijadikan ajang baku hantam syahwat dengan partner terkasih. Sepi, bebas razia, dan privasi dijamin tetangga kos. Menggelikan memang. Seringkali orang-orang cuek jika ada tetangga kosnya yang kedapatan ngamar dengan lawan jenis. Alasannya boleh jadi karena tidak mau ikut campur urusan orang, atau terjebak sikap permisif yang dilandasi rasa solidaritas sesama teman. “Ah…itu udah biasa, kayak nggak tahu anak kos-kosan aja.” Boleh jadi begitu.

Memang benar, dalam hidup ini setiap orang memiliki kebebasan berkehendak. Setiap orang memiliki hak asasinya sendiri. Meski begitu, ada seperangkat aturan dan hukum-hukum alam yang membatasi kebebasan bertindak manusia. Semesta menganugerahkan kita “nurani” untuk menilai baik dan buruk. Jika ditanya tentang fenomena sandal cantik di kos-kosan cowok, maka takono atimu?  Tanyakan itu pada nuranimu yang selalu jujur dalam menilai.

Sementara itu, otak saya sedang berpikir keras mencari pembenaran logis kenapa ada sandal cantik di kos-kosan cowok. Oh, eureka! Beberapa kemungkinan yang saya pikirkan antara lain:

1. Boleh jadi kemarin ada “kunjungan negara” dari emaknya Si Fulan. Itu sandal cantik pasti punya emaknya Si Fulan yang tertinggal. But, wait…! Emaknya Si Fulan kan di pulau seberang. Untuk apa repot-repot ke kosan anaknya pakai sandal cantik?

2. Boleh jadi itu sandal teman kuliahnya yang tertinggal saat belajar kelompok. Ya, ya, sepertinya benar begitu. Tapi, kerja kelompok seperti apa? Kenapa harus sampai menutup pintu kamar?

3. Oh, boleh jadi mereka berdua ahli fotografi. Kemarin mereka sibuk mencetak foto sehingga butuh ruangan gelap. Karena itu pintu kamar kos ditutup rapat. Kebetulan Si Fulan kan masih amatir pakai DLSR. Si cewek bakal bantuin fulan membahas fotografi. Ya, ya, bekerja sama di kamar yang tertutup.

4. But, wait…!  Jika mereka sibuk mencetak foto, kenapa harus ada kegaduhan di sana? Suara-suara itu tidak sewajarnya orang mencuci foto. Lalu sebenarnya mereka ngapain? Pasti si cewek adalah korban kejahatan yang barusan ditolong Si Fulan. Karena si cewek tidak punya hunian, si cewek terpaksa dilarikan ke kamar kos Si Fulan karena kondisi tubuhnya kritis. Wah, mulia sekali Si Fulan. Seperti kisah kepahlawanan di film-film.

5. Tapi jika Si Fulan menyelamatkan si cewek dari ancaman kejahatan, kenapa Si Fulan tidak memanggil bantuan teman-teman kosnya? Kenapa Si Fulan memilih mengatasi masalahnya sendiri sampai mempertaruhkan keselamatannya? Kenapa pula si cewek tidak kunjung keluar kamar? Sandal cantik di depan pintu menjadi saksi bisu ada apa sebenarnya di kamar Si Fulan…

.   .   . 


Dan begitulah, saya sering kesulitan mencari pembenaran logis ketika sepasang sandal cantik menyembul di depan pintu kamar kos cowok. Saya terjebak pada persepsi awal saya, tentang kebilanan duna kos-kosan. Entahlah, saya tidak pernah bisa memastikannya apalagi—merekamnya. []

Thursday 3 March 2016

Menjadi Pekerja Seks Sukarela


Ada siswi SMA hamil di-DO sekolahnya.
Giliran mahasiswi hamil kok tidak di-DO kampusnya?
Oh, betapa ‘adilnya’ si pembuat peraturan
(Hatake Niwa)

Sebelumnya, saya mohon maaf, jika judul di atas terlalu vulgar. Tapi yakinlah, tulisan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan Kalijodo atau penertiban lokalisasi sejenisnya. Kasus yang ingin saya utarakan di sini berbeda.

Ilustrasi :
Ceritanya, ada seorang mahasiswi—sebut saja Neneng—yang kedapatan hamil di luar nikah. Neneng mengaku khilaf saat berpacaran dengan kekasihnya yang bernama Blengur. (sebut saja begitu). Neneng terpikat bujuk rayu dan janji manis Blengur yang mengaku akan segera menikahinya. Blengur juga mengaku akan bertanggung jawab setelah “menyebar benih” di perut Neneng.

Tapi setelah tahu perihal kehamilan Neneng, Blengur ingkar janji. Bukannya segera bertanggung jawab, Blengur malah kabur. Blengur tidak kunjung menikahi Neneng. Neneng pun tidak terima. Neneng mencoba membawa persoalan ini ke jalur hukum. Neneng ingin menggugat Blengur dengan tuduhan penipuan, perkosaan, dan serangkaian tindak asusila. Harapannya, Blengur akan dijerat pasal berlapis dan “mampus” dipenjarakan.

Sayang seribu sayang, gugatan Neneng tidak dikabulkan. Neneng tidak bisa membuktikan adanya unsur kekerasan atau paksaan yang mengakibatkan dirinya hamil. Padahal dalam pasal 285 KUHP (pasal yang biasa dipakai untuk kasus perkosaan), harus ada unsur kekerasan atau ancaman yang memaksa korbannya. Sementara dalam kasus Neneng, perbuatannya dilakukan atas dasar suka sama suka.

Neneng tidak putus asa. Dia mencoba menggugat Blengur dengan tuduhan lain, yakni pencabulan. Neneng yakin, Blengur bisa dijerat pasal pencabulan atas dirinya. Tapi sekali lagi, gugatan Neneng tidak dikabulkan. Alasannya, Neneng sudah berumur 21 tahun saat terlibat “hubungan terlarang” dengan Blengur. Neneng tidak masuk kategori “anak di bawah umur” sebagaimana yang disyaratkan pasal 81 dan 82 Undang-Undang Perlindungan Anak (pasal yang biasa dipakai menjerat pelaku pencabulan).

Kasus Neneng pun menjadi benang kusut yang tidak bisa diurai oleh hukum. Neneng ingin menggugat Blengur dengan pasal 287 KUHP (pasal tentang perzinahan) tapi urung, karena pasal itu diperuntukkan khusus bagi mereka yang sudah menikah (memiliki pasangan sah). Neneng pun hanya bisa menyesali perbuatannya. Ia benar-benar khilaf saat berpacaran dengan Blengur. Tapi itulah harga yang harus dibayar untuk cinta yang tidak semestinya, sampai-sampai kehormatan diri pun telah tergadaikan.

*   *   *

Seperti yang pernah saya bilang di sini, saya tidak berani menyarankan orang lain untuk pacaran. Resiko terjadinya kasus seperti Neneng terlalu besar. Di luar sana, boleh jadi ada banyak Neneng-Neneng lain yang mengalami nasib serupa—kedapatan hamil lantas ditinggal kabur pacarnya. Jika sudah begitu, apa yang bisa dilakukan?

Pacaran sudah menjadi aktivitas jamak di kalangan remaja. Pacaran dinilai sebagai “jalan terbaik” menemukan cinta sejati. Banyak pelaku pacaran yang berharap pacarnya akan setia sehidup semati, hingga mengikat janji suci, bla bla bla. Karena itu, banyak orang rela mengorbankan apapun demi mempertahankan hubungan cintanya (atau mungkin egonya).

Masalahnya, aktivitas pacaran tidak bisa lepas dari interaksi intens antara dua orang berlainan jenis (LGBT di luar konteks). Interaksi intens tersebut bisa menimbulkan stimulus emosional bagi pelakunya, entah berupa perasaan nyaman, keakraban, rasa damai, bahkan sampai……..dorongan seksual.

Itu benar. Kita tidak bisa naif mengabaikan variabel itu saat membahas aktivitas pacaran. Kita juga tidak bisa menganggap sepele dengan berkata: “saya pacarannya nggak ngapa-ngapain kok.” Saat remaja, manusia akan merasakan dorongan seksual yang tinggi. Hal itu sudah menjadi semacam “hukum alam,” yang dialami semua orang.

Adanya dorongan seksual itulah yang kemudian meracuni aktivitas pacaran. Pacaran yang semula dianggap jalan mencapai cinta sejati, malah menjadi ajang “memberi servis” pada pasangan. Boleh jadi awalnya cuma pegangan tangan—(tapi kok) lamaaaa…banget. Kemudian mulai berani cipika-cipiki, pelukan, cium bibir (maaf), hingga berlanjut pada perbuatan tidak senonoh yang lebih “dewasa.”

Sekali lagi, jangan naif membaca urusan ini dengan mengabaikan realitas yang terjadi!

Memang ada orang yang pacarannya safe banget, cuma ngobrol, tidak pernah kencan, dan sebagainya. Tapi berapa banyak yang seperti itu? Lebih banyak mana dengan yang melakukan peluk-cium dan perbuatan tidak senonoh lainnya?

Seseorang yang rela memberikan tubuhnya untuk digerayangi pacarnya, entah karena penasaran atau alasan suka sama suka, tidak jauh beda dengan (maaf) “seorang pekerja seks” yang menjajakan kenikmatan pada pelanggannya. Boleh jadi pekerja seks malah lebih "bermartabat" karena mereka dibayar untuk itu. Sementara seseorang yang dibutakan oleh bujuk rayu dan dalih pembuktian cinta, dengan sukarela memberikan tubuhnya pada pacar yang entah kapan dinikahinya. (Ironis!)

Jika kalian masih memiliki kepedulian untuk menjaga kehormatan diri dan tidak ingin disamakan dengan pekerja seks, maka kalian harus melakukan sesuatu untuk menghentikan pacar kalian yang bertindak sembrono—bukannya malah menikmati “servis gratis” dari pacar kalian.

*   *   *

Dari kacamata hukum, remaja yang belum genap 18 tahun masih tergolong “anak di bawah umur.” Golongan tersebut masih bisa mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang Perlindungan Anak. Jadi, jika kalian merasa diperlakukan tidak senonoh oleh pacar kalian, dicium, dipeluk, atau digerayangi yang aneh-aneh, maka kalian bisa memperkarakan pacar kalian ke pengadilan dengan tuduhan pencabulan.

Ini serius. Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya pasal 81 dan 82, dibuat untuk melindungi anak di bawah umur dari ancaman kekerasan seksual dan tindak pencabulan. Pasal-pasal itu ampuh sekali untuk menjerat orang-orang cabul di sekitar kita. Nggak percaya? Buktinya, tuh ada artis ngetop yang baru saja terjerat pasal 81 dan 82 setelah terbukti mencabuli remaja cowok di bawah umur.

Sekali lagi, jika kalian masih peduli pada kehormatan diri, peduli pada batas-batas nilai agama, dan peduli pada masa depan, maka kalian tidak akan membiarkan seorang pun “menodai” kalian. Tak peduli siapa pelakunya, kalian berhak memperkarakan setiap perilaku mesum yang kalian terima melalui jalur hukum. Itu jika kalian memilih untuk peduli.

Tapi jika kalian memilih tidak peduli lagi, menyerah pada alasan klise “suka sama suka” maka kalian akan pasrah saja “di-anu-anuin” sama pacar. Alih-alih merasa berdosa, boleh jadi kalian malah sibuk menikmati “servis” dari pacar kalian. Suka tidak suka, kalian berhasil membuat pacar kalian senang karena mendapat layanan seks gratis tanpa harus membayar. Itulah yang saya sebut sebut menjadi “pekerja seks” sukarela.

Sampai di sini mungkin kalian akan nyinyir bilang, “Apa salahnya kalau cuma ciuman, pelukan, kan nggak sampai melakukan hubungan ranjang..Well, itu hak kalian bicara. Asal kalian tahu saja, kebanyakan “hubungan terlarang yang kebablasan” berawal dari kata “cuma.” Ah,kita cuma pegangan tangan kok. Ah, kita cuma cipika-cipiki kok. Ah, kita cuma bla bla bla. Pada akhirnya, ketika yang “cuma-cuma” itu berlanjut, maka kehormatan diri tidak bisa dikembalikan dan waktu tidak bisa kalian putar.

*   *   *

Sebagian orang merasa pacaran tidak akan seru jika cuma ngobrol dan kencan tanpa ada “servis” lain yang lebih menggairahkan. Lebih-lebih jika pelakunya masih remaja dengan dorongan seks yang tinggi. Dengan dalih pembuktian cinta, seseorang bisa meminta pacarnya untuk memberikan “servis gratis“. Bujuk rayu dan janji manis—seperti kasus Nenengseringkali digunakan untuk meluluhkan "iman" pasangannya. Tidak jarang permintaan itu disertai unsur paksaan dan ancaman pemutusan hubungan.

Di sisi lain, kita tidak bisa memaksakan pacaran gaya Barat yang menganggap pacar hamil sebagai hal yang biasa. Dalam budaya Timur, hamil di luar nikah tetap saja aib yang tidak termaafkan dan menodai citra diri kita di mata masyarakat.

Jika memang pacaran adalah jalan yang sudah kalian pilih saat ini, maka jagalah kehormatan diri kalian baik-baik. Jangan pernah mau dijadikan “pekerja seks sukarela” demi memuaskan birahi pacarmu. Sungguh, jika pacarmu itu beneran baik, dia tidak akan berani menggerayangimu. Dia akan memilih untuk segera menseriusi hubungan kalian dalam ikatan yang dicatat negara dan direstui agama. Pikirkanlah! []