Subscribe:

Labels

Monday 29 February 2016

Tentang Riski, Rizqy, dan Sebangsa Rizqi Lainnya


Kalau kalian ingin punya anak bernama Riski,
pastikan petugas Disdukcapil tidak salah membuat aktanya
(guyon maton)

Pagi itu, suasana bank masih sepi. Beberapa mobil tampak lalu–lalang di depan bank, tanpa satu pun yang bergerak memasuki halaman bank. Sejenak kemudian, seorang pemuda tampak tergopoh-gopoh memasuki halaman bank yang tak seberapa luas. Satpam di pos jaga memandang curiga ke arah pemuda itu, mencoba memastikan pemuda itu tidak hendak merampok.

Sesampainya di dalam bank, tidak ada antrian di sana. Pemuda itu langsung menuju ke bagian informasi.

“Selamat siang, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas informasi itu ramah.

“Ya, saya kehilangan kartu ATM saya. Saya ingin mengurusnya.”

“Baik, Bapak. Bisa Bapak sebutkan nama lengkapnya.”

Pemuda itu segera menjawab, “Nama saya Riski Serbaguna.”

Sejenak, petugas informasi sibuk mengecek komputernya. Raut mukanya menandakan sedikit kebingungan.

“Maaf, Bapak, ada sekitar selusin nama Riski Serbaguna di bank ini. Bapak termasuk Riski yang mana?”

Pemuda itu mengernyitkan dahi. “Ah, saya Riski yang itu. R-I-S-K-I. Dengan ‘i’ di huruf terakhirnya.”

“Pakai S atau Z, Bapak?” petugas itu bertanya lagi.

“Setahu saya pakai S.”

“Huruf keempatnya pakai K atau Q, Bapak?” lagi-lagi petugas itu bertanya.

“Pakai K.” pemuda itu mulai jengah.

“Huruf terakhirnya pakai I atau Y, Bapak?” dan petugas 'brengsek' itu masih belum selesai bertanya tentang nama.

Kesabaran pemuda itu habis. “Tak bisakah saya menuliskan nama di kertas dan menyudahi obrolan bertele-tele ini!? Tadi sudah saya bilang pakai ‘i’. Gimana sih?”

Petugas itu malah tersenyum ramah. “Hanya memastikan saja, Bapak. Terima kasih. Dan mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Harap maklum, banyak nasabah yang memakai nama serupa di sini.”

Dengan agak dongkol pemuda itu segera beringsut mengambil tempat duduk. Menunggu kartu ATM baru yang sedang diproses. “Semoga namanya tidak salah tulis.”—batinnya.

*   *   *

Nama Riski sebenarnya bukan nama yang buruk. Hanya sayangnya, perbedaan penulisan nama “Riski” di masyarakat membuat citra nama itu tercemar. Riski ditengarai menjadi salah nama yang kerap salah tulis. Wajar, karena setidaknya ada 7 kemungkinan penulisan nama Riski:
1.  Riski
2.  Risky
3.  Rizki
4.  Rizky
5.  Risqi
6.  Rizqi
7.  Rizqy

Yang membuat nama Riski bermasalah adalah perbedaan transliterasi dari bahasa Arab ke Indonesia. Kata Riski itu sendiri berasal dari bahasa Arab “razaqa” yang berarti karunia, anugerah, atau pemberian. Masyarakat kita mengartikannya dengan rezeki (riski) yang kemudian diadaptasi menjadi nama anak.

Perbedaan transliterasi huruf za dan qa pada kata “razaqa” ditengarai menjadi akar penyebab munculnya perbedaan nama Riski di masyarakat. Sebagian orang menuliskan huruf za dengan ‘s’ dan huruf qa dengan ‘k’ (mengikut kaidah kata serapan). Sebagian yang lain menuliskan huruf za dengan ‘z’ dan huruf qa dengan ‘q’ (mengikut transliterasi huruf hijaiyah ke huruf latin). Perbedaan-perbedaan itu berdampak pada munculnya banyak versi nama Riski di masyarakat—bahkan bisa dibuat sampai tujuh turunan versi nama Riski.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada kalian yang bernama Riski, saya rasa pemerintah perlu membuat standarisasi nama Riski untu semua bayi-bayi di Indonesia. Nama Riski perlu dibuatkan SNI-nya. Urusan sepele ini penting sekali agar reputasi nama Riski terjaga dan tidak mengakibatkan prahara rempong seperti salah tulis nama dalam ijazah, akta lahir, sampai salah nama di KTP. Bukankah itu menjengkelkan sekali?

Dengan adanya standarisasi nama Riski, maka siapapun yang ingin memberi anaknya nama “Riski,” harus tunduk pada regulasi pemerintah. Yang mencatat nama pun tidak akan bingung menuliskan nama “Riski” karena sudah ada versi resmi dari pemerintah. Pemilik nama tinggal menyebut nama (Riski) dan petugas tidak perlu rempong bertanya “pakai huruf i atau y, pakai k atau q?”

Yakinlah, tidak ada orang yang mau terus-terusan dongkol, karena salah menulis nama Riski. Belum lagi jika si pemilik nama protes sambilmarah-marah karena namanya salah tulis. Padahal sebenarnya, siapa sih yang salah? Tolong, jangan paksa saya menyalahkan bapak mamak kalian karena telah memberi nama Riski. Sungguh, Riski bukan nama yang buruk. Hanya seringkali—membingungkan.

Sunday 28 February 2016

Kesabaran Menghadapi Anak Kecil


Hanya karena menumpahkan susu, seorang balita di Jakarta tewas dianiaya pengasuhnya sendiri. Si balita sempat 8 hari dirawat di rumah sakit sampai akhirnya nyawanya tidak tertolong.

Duh Gusti…

Saya tidak sampai hati melihat beritanya. Saya beringsut meninggalkan televisi dan memilih menuliskannya di sini. Saya tidak habis pikir kok ada ya manusia sesadis itu—tega membantai balita umur 2 tahun tanpa belas kasihan. Entah rasa kesal macam apa yang membuat pelakunya kalap.

Bayangkan, balita malang itu baru berumur 2 tahun! Masih lucu-lucunya, masih imut-imutnya. Kemudian, hanya karena salah menumpahkan susu, balita malang itu dihajar pengasuhnya sampai meregang nyawa.

Menghadapi anak kecil memang tidak pernah mudah. Kita harus telaten dan super sabar menghadapi segala perilaku dan permintaannya yang bagi orang dewasa dianggap absurd. Saya pun sering dibuat kesal oleh anak kecil (di bawah 6 tahun), entah karena berak sembarangan, ngompol, nangis nggak berhenti-berhenti, lapar, sampai “dipaksa” menemani bermain sampai puas.

Yang menjengkelkan dari anak kecil adalah “kecenderungan primitifnya” yaitu menangis keras-keras saat kemauannya tidak dituruti. Perilaku semacam ini sudah muncul sejak bayi, dan biasanya akan menghilang ketika rasa kemandiriannya tumbuh. Terkadang, kemauan si anak tidak bisa dipenuhi saat itu juga. Anak itu pun rewel dan menangis keras-keras. Saat itulah, kesabaran pengasuh (orangtua) akan diuji. Jika pengasuhnya tergolong temperamental, si anak bisa dibentak habis-habisan sampai tangisnya mereda. Lebih parah lagi si anak bisa “dihajar’ dalam artian sebenarnya.

Pada kasus balita 2 tahun di atas, pengasuhnya bukan orangtua kandung si anak. Kekesalan yang dirasakan tentu berbeda dengan kekesalan orangtua pada anak kandungnya. Ironisnya, kekesalan itu justru dilampiaskan dengan cara menganiaya si anak.

Jika kalian berminat menjadi pengasuh, guru TK, atau kebetulan diminta menjaga anak tetangga, atau sudah menjadi orangtua, maka ber-SABAR-lah menghadapi polah absurd anak kecil. Kita semua tahu, anak kecil bisa jadi sangat merepotkan. Karena itu, menghadapi anak kecil harus telaten—tidak semudah memberinya permen atau sekedar memenuhi semua keinginannya.

Saya sering menjumpai tipe-tipe orangtua yang tidak sabaran menghadapi kelakuan anaknya. Orangtua semacam ini suka sekali memberikan larangan kepada anaknya tanpa penjelasan yang jelas. Pokoknya tidak boleh ini, tidak boleh itu, jangan begini, jangan begitu. Padahal sebenarnya anak-anak hanya ingin memenuhi rasa ingin tahunya. Mereka ingin mengenal dunia di sekitarnya. Tugas orangtua adalah mengarahkan agar rasa ingin tahu anak berada pada tempatnya, pada hal-hal yang positif.


Anak kecil adalah mesin fotocopy paling canggih. Dalam masa pertumbuhannya, anak kecil suka meniru hal-hal yang ada di sekitarnya. Mereka menggunakan inderanya untuk belajar. Jika kita mendidiknya dengan kasih sayang, mereka akan belajar mengasihi orang lain. Jika kita mendidiknya dengan kebencian, mereka akan belajar membenci orang lain. Jika kita mendidiknya dengan kejujuran, mereka akan belajar untuk tidak berbohong. Jika kita mendidiknya dengan penuh caci maki, mereka akan belajar mencaci orang lain. Karena anak kecil ibarat kertas kosong yang siap mencatat apapun perlakuan yang diterima dari lingkungannya.

Saturday 27 February 2016

Pengalaman Pertama Menginap di Hotel


“Malu bertanya sesat di jalan,
Bertanya terus—itu memalukan”


Quote saya di atas itu kata-kata guru SD saya. Intinya, jika kita tidak mengetahui suatu hal, maka segeralah bertanya. Dengan segala kepolosan saya sebagai bocah SD, saya mengamini kata-kata guru saya. Setiap kali mengingat pepatah “malu bertanya…” saya jadi teringat pengalaman saya ketika masih duduk di bangku SMA.

Saat itu, saya masih awal-awal SMA, kelas X. Sekolah saya mendapat undangan dari sebuah instansi pemerintah—sebut saja Dinas Rakyat Sejahtera (DRS). 

Kebetulan sekolah memilih saya untuk mendampingi ketua OSIS menghadiri seminar tersebut. Acara itu sendiri dilangsung kan di sebuah hotel bintang tiga di kawasan Yogyakarta. Peserta acara adalah perwakilan pelajar SMA dari tiap kabupaten di provinsi DIY. Saya merasa sangat beruntung bisa mengikuti seminar itu karena tidak semua pelajar mendapat kesempatan itu. Terlebih acara itu digelar di sebuah hotel bintang tiga di Yogyakarta. Itu berarti, saya akan mendapatkan pengalaman pertama menginap di hotel.

Sebelumnya, saya hanya melihat hotel di film-film. Hotel ditampilkan sebagai tempat yang mewah, kasur yang empuk, orang-orang berduit, tempat nginap James Bond, dan tempat “dolan” para lelaki hidung belang. Berhubung saya bukan lelaki hidung belang, saya tidak punya alasan untuk menginap di hotel. Saya bukan tipe pelajar SMA yang gemar dolan apalagi nginap di tertentu bersama lawan jenis—menyewa hotel kelas melati pun tidak pernah (sungguh!). Boleh jadi benar, gara-gara sering disalahgunakan, orang-orang kadung menstigma hotel sebagai tempat yang nggak beres.

Di hotel itu, saya sekamar dengan ketua OSIS—sebut saja Wawan. Kebetulan dia laki-laki. Jadi anggapan orang bahwa saya mengerjakan “sesuatu yang nggak beres” di hotel sudah terbantahkan (lagipula saya juga bukan penggiat LGBT). Dalam satu kamar, hanya ada satu kamar mandi minimalis yang berisi kloset duduk dan shower. Karena itu, saya dan Wawan harus bergantian memakai kamar mandi itu.

Setelah seminar sesi pertama, saya memutuskan untuk mandi.

Begitu masuk kamar mandi, saya 

DEG!!!

Shower di depan saya terlihat janggal. Tidak ada kenop di sana. Biasanya, kenop shower berbentuk kincir atau mirip bulatan besar yang mencolok agar pengguna bisa segera tahu jika benda itu adalah kenop shower. Tapi shower di hotel itu berbeda. Saya sudah menggerayangi shower “laknat” itu, mencoba menekan dan memutar-mutar setiap lekuknya. tapi hasilnya nihil. Shower itu tetap tidak mengeluarkan air—mungkin alatnya sudah rusak.

Di luar, Wawan sudah menunggu giliran mandinya. Sementara saya masih berkutat dengan shower “laknat” itu. Sebenarnya saya bisa bertanya pada Wawan, tapi ini kan cuma shower—masak nggak tahu caranya nyalain shower. Saya pun terjebak. Saya tidak bisa membiarkan Wawan lama menunggu. Saya harus segera mandi. Jika shower “laknat” itu tidak bisa memberi air, saya harus memikirkan cara lain untuk mandi.

Otak saya mulai bekerja. Pandangan saya beralih pada kloset yang ada di sebelah shower. Tentu saja saya tidak akan memakai air dari tombol flush untuk mandi. Tapi saya bisa memanfaatkan “pistol air” di dekat kloset itu.

Prroottt…proott….proottt….!!!

“Eureka”—seperti kata Archimedes saat menemukan konsep berat jenis. Saya berhasil mendapatkan air untuk mandi. Ternyata kloset itu serbaguna. “Pistol air” yang biasa dipakai menyemprot lubang kloset bisa dimanfaatkan menjadi pengganti shower rusak. Saya pun segera menuntaskan keperluan mandi dengan guyuran air dari semprotan kloset.

Setelah keluar, saya katakan pada Wawan kalau showernya rusak. Wawan pun mencoba menyalakan shower itu. Dan ternyata…….Wawan juga tidak berhasil menyalakan shower itu. Saya pun semakin yakin jika shower itu rusak. Wawan pun bertanya-tanya (kira-kira begini):

“Terus kowe mau aduse nganggo opo ?” (terus kamu tadi mandinya pakai apa?)

Sambil nyengir saya bilang saya mandi pakai semprotan kloset. Dan tawa kami pecah saat itu juga. Siapa sangka, semprotan kloset bisa menjadi sedemikian berguna. Wawan pun menuruti “ajaran sesat” saya—mandi memakai semprotan kloset!

Selesai urusan mandi, saya berpikir untuk menelpon resepsionis, Saya katakan bahwa shower di kamar saya rusak. Beberapa saat kemudian, seorang Mas-Mas pegawai hotel datang. Mas-mas itu segera mengecek shower di kamar mandi (tentu saja Wawan sudah tidak ada di sana). Tangannya meraba-raba sebuah panel kotak di bawah shower itu, memutarnya, kemudian ………

“Seerrrr…….”

Shower “laknat” itu mengeluarkan air. Shower itu tidak rusak. Saya saja yang tidak tahu cara menyalakannya. Sejenak saya tercenung. Saya pikir panel kotak itu termasuk bagian penyangga shower, bukan sebuah kenop. Rasa heran saya bercampur dengan rasa malu. Heran, karena saya tidak pernah menyangka panel kotak di bawah shower itu bisa diputar. Dan malu—karena merasa dirinya payah, menyalakan shower saja nggak bisa.

Malamnya, setelah saga dengan shower “laknat“ usai, saya dan Wawan ngongkrong dengan beberapa pelajar SMA lain di beranda hotel. Saya urung bertanya, apakah mereka juga bermasalah dengan shower “laknat” di kamar mandi. Boleh jadi, mereka juga tidak tahu cara menyalakan shower. Entahlah. Jika memang begitu, saya yakin mereka juga akan berpikir untuk mandi dengan memanfaatkan—“pistol air” penyemprot kloset. Case closed !

*   *   *

Poin cerita:
Jika sejak awal tidak tahu, maka segeralah bertanya, bukan malah berlagak sok tahu. Menjadi orang sok tahu itu menjengkelkan sekali. Berlagak bisa mengerjakan semua hal, merasa paham segala disiplin ilmu—sampai-sampai “nekat” menceramahi orang dengan kedangkalan ilmunya. Padahal boleh jadi orang yang diceramahi malah jauh lebih berilmu daripada dirinya.

Pada kasus saya, meski harus menanggung malu, setidaknya saya mendapat ilmu baru karena saya jadi tahu bahwa ada jenis shower yang knenop pembuka airnya berbentuk panel kotak. Karena memang begitulah hakikat belajar, terkadang salah, terkadang malu. Tapi yakinlah, buah bagi mereka yang mau belajar akan manis.

Friday 26 February 2016

Hutang Mayat Hidup


Hutang budi dibawa mati,
hutang duit dibawa lari
(guyon maton)

Dalam keseharian, hutang adalah sesuatu yang wajar. Mulai dari bocah, orang tua, pedagang kaki lima, pejabat elit, sampai hubungan bilateral antarnegara, semuanya tidak luput dari hutang. Hutang negara kita saja per Juli 2015 lalu sudah mencapai lebih dari 4.376 triliun. Itu berarti, setiap bayi yang lahir di Indonesia, memiliki beban hutang setidaknya 8,5 juta!!! Edan !

Saking banyaknya orang berhutang, sampai-sampai hutang dijadikan ladang bisnis. Bank—kini tidak lagi diartikan sebagai tempat menyimpan uang, tapi juga bisa dijadikan tempat ngutang (kredit). Koperasi—kini malah lebih sering dianggap sebagai “klinik alternatif” penyedia jasa ngutang dengan suku bunga rendah. Begitu juga dengan orang-orang yang bergelut dalam bisnis penyedia utang. Saya sering menjumpai iklan-iklan liar mereka di pepohonan pinggir jalan:

Cukup Bawa BPKB, Kredit 1 jam Cair.”—kira-kira begitu bunyi iklannya.

Banyaknya orang yang bisa memberi hutang mengharuskan kita bijak memilih. Jika kita berhutang pada badan-badan resmi yang memiliki payung hukum—seperti bank, maka pengurusannya bisa lebih terstruktur dan akuntabel. Konsekuensinya, kita harus menyediakan berbagai macam jaminan sebagai syarat pengajuan pinjaman. Belum lagi jika memikirkan banyaknya bunga, tenggat waktu pelunasan hutang, sampai kemungkinan dikejar-kejar wanita debt collector. Sebagian orang cenderung segan jika ngutang dengan jalur formal seperti itu.

Di sisi lain, jika kita ngutang pada sembarang orang, yang ada malah kita menjadi korban pemerasan dan penipuan. Alih-alih mendapat untung, jumlah hutang yang harus kita bayar malah meroket karena bunga yang dibayarkan berubah seenak perut. Aset-aset kita pun ludes disita. Jika nekat melawan, kita harus berurusan dengan para debt collector.

Setelah menimbang, mengingat, dan mempusingkan kondisi di atas, kita mulai memikirkan cara alternatif ngutang yang bebas resiko. Kita perlu ngutang pada orang yang tidak meminta prosedur berbelit-belit. Kita juga perlu ngutang pada orang  yang sudah kita kenal baik agar waktu pelunasan bisa dinegosiasikan. Dan kita pun memilih—ngutang pada “teman.

Berhutang pada teman jelas berbeda dengan sistem kredit yang mensyaratkan cicilan pembayaran dengan sejumlah bunga. Berhutang pada teman lebih didasarkan pada asas solidaritas. Karena itu, hutang jenis ini jauh lebih mudah dan tidak butuh prosedur berbelit-belit. Setidaknya ada 4 kemudahan berhutang pada teman, yaitu:

1. Mudah Cair
Tidak perlu pusing memikirkan nasib BPKB, emas, Surat Tanah, atau barang berharga lain yang biasa dipakai sebagai jaminan. Cukup dengan beberapa kata pemanis dan mimik memelas saat meminta, dan pinjaman pun akan segera cair. Jika kalian cowok, maka prosesnya jauh lebih simpel. Cukup ngomong: “Bro, pinjem duitnya dong (sebut nominal), besok gue kembaliin deh.”—dan pinjaman pun bisa segera dicairkan.

2. Tidak Ada Tenggat Pembayaran
Karena sejak awal hanya didasarkan pada asas solidaritas, maka tenggat pembayaran pun menjadi fleksibel. Biasanya, teman yang dihutangi merasa sungkan menagih hutang, karena yang ngutang adalah temannya sendiri. Dalam posisi seperti itu, tidak jarang si penghutang “lupa diri,” dan sengaja mengulur-ulur waktu pembayaran. Padahal, temannya yang dihutangi sedang fakir-fakirnya, sampai-sampai cuma makan ind*mie dua kali sehari.

3. Tidak Ada Bunga
Saya rasa, tidak ada orang yang cukup tega membebani temannya dengan sejumlah bunga saat berhutang. Sekali lagi, semua ini karena asas solidaritas! Lagipula kalau mau yang lurus-lurus, bunga bisa menjadi riba yang dilarang dalam agama samawi manapun.

4. Kebal Hukum
Lagi-lagi karena asas solidaritas, hampir tidak ada orang yang memperkarakan hutang temannya sampai melaporkannya ke polisi. Bagaimana tidak, lha wong  nominal hutangnya saja cepek. Belum pernah saya membaca berita seorang mahasiswa diadili karena hutang pulsa 50ribu (misalnya). Lebih “wajar” jika judul headline-nya ditulis begini: “Gara-Gara Hutang Pulsa 50ribu, Seorang Mahasiswa Dianiaya Temannya.” (?)

Melihat keempat alasan di atas, tidak heran jika banyak orang “tega” ngutang pada temannya dan memanfaatkan segala kemudahan yang diberikan—misalnya dengan mengulur-ngulur waktu pelunasan, mendadak lupa jika ditagih, dan sebagainya. Pada akhirnya, persoalan hutang itu menjadi berlarut-larut—tidak sesederhana pinjam-ambil-bayar-lunas.

Saat saya kuliah dulu, saya punya teman yang jualan pulsa. Sebut saja teman saya ini Sarah. Boleh jadi, Sarah ini adalah teman saya yang paling teraniaya karena sering “dimintai pulsa gratis.” Sebagian orang memanfaatkan asas solidaritas pertemanan untuk ngutang pulsa pada Sarah dengan batas waktu pembayaran yang tidak jelas.

Memangnya hutang pulsa bisa sampai seberapa banyak sih? Untuk satu orang, rata-rata akan ngutang 10-20 ribu atau paling banyak 50 ribu. Tapi jika semua orang melakukan hal yang sama, kemudian “berkonspirasi” menunda pembayaran, maka orang-orang seperti Sarah bisa tekor (bangkrut).

Beberapa kali Sarah sampai harus terang-terangan mengingatkan para pelanggannya agar segera melunasi hutang pulsanya. Jika tidak begitu, para pelanggannya lebih memilih bungkam. Bukan karena mereka tidak punya uang, tapi lebih karena mereka enggan mengalokasikan uang untuk melunasi hutangnya. Sikap semacam inilah yang sering membuat kesal pihak yang dihutangi.

Saya tidak bermaksud sok suci dengan bilang saya tidak pernah ngutang. Saya pun pernah berhutang seperti halnya hutang pulsa pada Sarah. Tapi setidaknya, saya akan berusaha memperhatikan waktu pelunasannya. Memang Sarah adalah teman saya. Tapi saya tidak bisa memastikan kondisi keuangan Sarah. Apa jadinya jika Sarah ternyata sedang butuh uang—sementara orang-orang yang berhutang padanya tidak sadar untuk segera melunasi hutangnya? Bukankah itu keterlaluan?

Seorang teman—seorang sahabat yang baik—akan selalu berusaha menjaga sebuah persahabatan. Meminjami beberapa lembar rupiah tidak akan menjadi soal, karena dilakukan atas dasar solidaritas dan kepedulian antarteman. Karena itu, berhutang pada teman menjadi tampak lebih “menguntungkan.”

Teman yang baik akan memberi kelonggaran saat kita berhutang padanya. Mereka juga akan memaafkan kita, jika tidak bisa melunasi hutang tepat waktunya. Tapi, justru karena orang yang kita hutangi adalah teman kita sendiri, rasanya tidak etis jika kita malah membalas segala kebaikan dan kemurahannya dengan menunda-nunda pembayaran hutang. Lebih-lebih jika saat itu kita sudah bisa melunasi hutang-hutang kita padanya. Sebelum ditagih, kita seharusnya SADAR DIRI. Kita harus tahu bagaimana kondisi teman yang kita hutangi, apakah dia sedang lapang atau sedang sempit.

Tidak bijak jika kita ingat berhutang, tapi tidak sadar untuk segera melunasinya. inilah yang saya sebut sebagai “hutang mayat hidup.” Penghutang tahu dirinya punya hutang, tapi entah karena malas, enggan, atau karena eman-eman, hutang yang seharusnya bisa segera lunas malah tak kunjung dilunasinya.

Saya berdoa, semoga di masa depan kita semua bisa bebas dari hutang. Jika pun kita harus berhutang, maka saya berdoa, semoga kita segera diberi kemampuan finansial untuk segera melunasinya. Aamiin


*   *   *

Thursday 25 February 2016

Klinik Mbah Brojol


.   .   .

Klinik itu tak seberapa luas. Bangunannya hanya satu atap. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu dan hanya bagian depannya saja yang berlapis semen. Klinik itu tampak lenggang. Sejak tadi sore, tak ada seorang pasien pun yang datang. Mungkin karena mendung, orang-orang malas keluar rumah. Cericit burung prenjak terdengar bersahut-sahutan di kerimbunan pohon waru. Menjadi selingan dalam kelenggangan klinik itu.

Gemuruh halilintar memecah suasana. Seorang pemuda tergopoh-gopoh memasuki halaman klinik yang ditumbuhi rumput kering. Resepsionis klinik memicingkan mata melihat pemuda itu,
“Permisi. Mbah Brojolnya ada?”
“Ya, ada. Beliau sedang tidak ada pasien sekarang. Mas-nya ada keperluan apa? Mau periksa?”
Pemuda itu mengangguk.
“Silahkan masuk saja, Mas. Beliau ada di ruangannya, di ujung lorong, pintu cat merah.”
“Terima kasih.”
Pemuda itu beringsut pergi meninggalkan meja resepsionis. Langkah kakinya gontai menuju ruangan berpintu merah tempat Mbah Brojol berada.

Pemuda itu sedikit kikuk memasuki ruangan Mbah Brojol. Dilihatnya seorang wanita tua sedang duduk menghadap meja kerjanya. Umurnya mungkin sekitar enam puluhan tahun. Rambutnya sudah memutih, meski berusaha ditutupi pewarna rambut.

“Ada apa, Cah Bagus, kok buru-buru?” Mbah Brojol menyapa pemuda itu ramah. Dari sorot matanya, seakan-akan dia sudah tahu maksud kedatangan pemuda itu.

“Saya…saya mau aborsi, Mbah. Saya mau gugurin kandungan saya.”

“Yang mau aborsi itu siapa? Pacarmu? Istrimu? Atau simpananmu?”

“Bukan, Mbah. Saya sendiri yang mau aborsi.”

“Eh…maksudnya?” Mbah Brojol membenahi letak duduknya.

“Saya sendiri, Mbah, yang mau aborsi.” Kata pemuda itu lirih.

“Maaf, Le. Klinik ini tidak menampung pasien gangguan jiwa. Silahkan coba klinik sebelah”

“Saya waras, Mbah.”

Walah!  Kamu itu laki-laki, masak ya minta aborsi. Ada-ada saja.”

“Sungguh, Mbah. Belakangan saya sering mual sampai muntah. Perut saya rasanya kebas. Saya coba belikan test pack dan ternyata hasilnya positif. Tolonglah, Mbah. Ini sudah tak tertahankan lagi.”

Pemuda itu mengeluarkan test pack bertanda positif dari sakunya. Perut pemuda itu memang tampak membesar secara tak wajar. Mbah Brojol terperanjat melihatnya. Entah bagaimana caranya, pemuda di depannya benar-benar hamil. Ia pun berusaha untuk tetap tenang. Segelas Martini  di meja kerjanya diteguknya sampai habis.

“Tolonglah, Mbah. Mengertilah kondisi saya. Saya malu sama keluarga saya. Saya malu sama emak saya. Saya malu, Mbah. Saya masih ingin punya masa depan.” Cowok itu memelas.

“Ya…ya…akan saya bantu semampunya. Kalau boleh tahu, kok bisa sampai meteng itu bagaimana?

“Ini gara-gara pacar saya, Mbah. Dia khilaf semalam. Kami pacaran kebablasan. Tapi, saya juga ndak tahu, tiba-tiba setelah bangun bukannya dia yang hamil tapi malah saya yang hamil.”

Mbah Brojol menghela napas panjang. Gurat wajahnya menyiratkan kebingungan yang teramat sangat. Baru kali ini ia menangani pasien laki-laki yang minta aborsi. Dan anehnya laki-laki itu juga tidak tahu kenapa dia bisa hamil.

“Kamu itu laki-laki, orok-nya nanti mau dikeluarin dari mana? Kan nggak ada jalan keluar.” Mbah Brojol menanyai pemuda di depannya.

“Aduh…Mbah. Tempuh segala caralah. Pakai obat kek, pakai minyak urut kek. Kalau perlu nanas, saya bisa ambil dari kebun Bapak saya, Mbah. Butuh berapa banyak? Kebetulan Bapak saya juragan nanas.”

“Baik, Nanti coba saya urut saja.”

Pemuda itu memasuki sebuah bilik bertirai di ruangan Mbah Brojol. Dia diminta tidur telentang. Sementara Mbah Brojol menumbuk-numbuk sesuatu di belakang, menyiapkan obat untuk pemijatan.

Tak lama kemudian, Mbah Brojol datang bersama seorang pelayannya. Minyak urut, obat, dan segelas air putih diletakkan di sudut ruangan oleh si pelayan. Mbah Brojol pun mulai memijat. Perut pemuda itu diurut-urut.

 “Aduh…Mbah…sakit…” pemuda itu merintih kesakitan.

“Ditahan, Le. Sebentar lagi juga keluar.” Mbah Brojol masih terus memijat dan mengurut perut pemuda itu.

“Arrgh….! Perut saya panas, Mbah.”

Selang beberapa saat, tubuh pemuda itu bergetar. Darah segar mengalir dari kedua pahanya. Pemuda itu mengerang kesakitan. Suaranya memekik memenuhi seisi ruangan. Mbah Brojol dan Si Pelayan kewalahan memegangi tubuh pemuda itu.  Keduanya tampak panik. Pemuda itu pun tak sadarkan diri.

.   .   .

Begitu terbangun, pemuda itu mendapati dirinya di rumah sakit. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengembalikan kesadaran. Dilihatnya ruangan itu penuh sesak dengan orang-orang berpakaian serba putih. Mereka berjalan mondar-mandir penuh kepanikan. Dari kejauhan, tampak seorang lelaki paruh baya mendatanginya.

Plak!!! 

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi pemuda itu.

“Saya tidak pernah menyangka kamu setega itu pada Rina.”

“Maksud, Bapak?”

“Kamu ini buta apa!? Rina sedang sekarat sekarang! Dia kehabisan banyak darah saat tiba di sini. Semua ini gara-gara kamu! Kamu nekat menyuruhnya aborsi! Kamu pikir kamu siapa! Bangsat! Kamu yang harus bertanggung jawab sekarang!”

Deg!

Jantung pemuda itu serasa berhenti. Ruangan rumah sakit tampak berputar-putar. Keping-keping ingatannya mulai kembali, dari pergumulannya dengan Rina, isak tangis Rina saat dia hamil, hingga jeritan Rina di klinik itu. Semuanya berkelindan menjadi serangkaian film hitam putih yang tidak terhapus—menetap dalam dimensi perjalanan waktunya.

Tapi…semua ini sudah sangat terlambat. Ya, terlalu terlambat untuk menyesal. Pemuda itu berharap dirinya tidak pernah dilahirkan saja. Dalam kegamangannya, pemuda itu melihat siluet bayangan Mbah Brojol menari-nari di depannya—terkekeh-kekeh menertawakannya dengan bibir melengkung mewujud seringai iblis.


*   *   *

Wednesday 24 February 2016

Ini Blog Apaan???


.   .   .

Prolog *
Suatu hari, seorang ABG nyasar ke blog saya. Dia mendapati konten blog saya tidak wajar. ABG itu banyak bertanya tentang blog ini. Agar tidak salah paham, saya merasa perlu menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Saya tuliskan di sini untuk kalian yang mungkin juga memiliki pertanyaan yang sama.

*   *   *

1.  Barusan saya blogwalking  terus nemu blog ini. Sebenernya, ini blog apaan?
Singkatnya, genre blog saya ini gado-gado. Ibarat kamu dulu sekolah cuma bawa satu buku. Buku itu kamu pakai nulis pelajaran matematika, fisika, kimia, bahasa, geografi, santet, sampai pertahanan terhadap ilmu hitam. Blog ini juga begitu. Saat saya sedang ‘waras,’ saya akan menulis tentang hal-hal yang bisa menginspirasi orang lain. Jika saya mengalami peristiwa berkesan, saya akan menulis cerita tentangnya. Jika saya sedang mendapat ide dari membaca buku, saya akan menuliskannya juga. Sesimpel itu, tergantung mood.


2.  Bisa Anda ceritakan saat pertama kali membuat blog ini?
Perlu kamu tahu, blog ini awalnya saya buat untuk ‘pelampiasan’ ketika saya mengerjakan skripsi. Saat itu, saya sering kesulitan untuk fokus dalam menulis. Saya terlalu banyak memikirkan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu saya pikirkan dalam-dalam. Jangan heran jika banyak tulisan saya di tahun 2014 yang tata bahasanya acak-acakan, salah ketik di sana sini, dan pilihan katanya amburadul. Semua itu tidak lain karena saya masih menulis dengan emosi, tanpa editing, dan hanya berprinsip yang penting beban pikiran saya terlampiaskan. Beruntung, untuk saat ini hal semacam itu sudah banyak berkurang—berkat jasa blog ini.


3.  Jadi ini bukan personal blog ya?
Tentu saja bukan. Setelah urusan dengan tetek-bengek skripsi selesai, saya memang mulai memikirkan blog ini akan dibawa ke mana. Jika saya memilih menjadikan blog ini sebagai personal blog, saya malah inferior karena saya tidak punya cukup amunisi membuat cerita komedi. Hidup saya miskin drama dan tidak banyak hal yang bisa saya tertawakan dari pengalaman sehari-hari. Saya juga enggan menulis satu topik yang spesifik, seperti fotografi, desain grafis, komputer, atau semacamnya. Saya paling malas membuat tulisan how to terus-terusan.


4.  Jadi, apa yang Anda tulis di blog ini?
Apapun. Saya menulis apapun terutama yang sekiranya bisa bermanfaat untuk orang lain. Saya mengikuti prinsip novelis favorit saya: “Tulislah apa yang HARUS dibaca orang, bukan apa yang INGIN dibaca orang.”


5.  Kenapa Anda tidak pernah memakai sebutan lo, gue di blog Anda? Bukankah itu terdengar lebih akrab?
Untuk sebagian orang, memang iya. Tapi dalam standar etika saya, memakai lo, gue, itu kurang sopan. Kebetulan saya orang Jawa. Saya terbiasa dengan hierarki kata. Misalnya, menyebut kowe (kamu) untuk orang yang lebih tua itu kurang sopan. Akan lebih baik jika kata kowe diganti menjadi panjenengan.


6.  Kenapa namanya Hatake Niwa? Seperti nama Jepang, tapi malah tidak ada konten Jepang di sini.
Saya pernah menuliskan tentang itu di sini. Jadi saya hanya sembarang membuat nama, hasil dari menghubung-hubungkan dan menyortir nama panjang saya. Jadi nama saya tidak ada kaitannya dengan budaya Jepang sama sekali. Lagipula, blog yang membahas budaya Jepang sudah terlalu banyak.


7.  Kalau boleh saya tahu, kenapa jarang sekali memposting ‘blue material? ’ Artikel-artikel Anda sepertinya “main aman,” dan terlalu sopan.
Tergantung sih, blue material seperti apa. Blue material jika ditujukan untuk penjelasan ilmiah bisa bermanfaat. Misalnya, jika saya merasa perlu menulis tentang (maaf) kondom. Boleh jadi saya akan lebih tertarik untuk menulis tentang dampak kondom yang dijual bebas bagi para remaja. Saya ragu jika menulis sesuatu yang ‘nyeleneh ’ seperti cara memakai kondom atau pengalaman pertama memakai kondom. Itu sangat beresiko dan bisa ditafsirkan lain oleh pembaca yang belum cukup dewasa. Apalagi, blog saya tidak memakai label “adult content.” 


8. Wah, kalau begitu blog ini membosankan sekali ya?
Ya, tergantung penilaian dan selera masing-masing orang. Sekali lagi, saya ingin menulis apa yang harus dibaca orang. Saya takut jika tulisan saya disalahartikan. Tulisan semacam itu bisa berbahaya sekali.


9. Maksudnya?
Misalnya kenapa di blog ini saya jarang menulis tentang tips-tips kencan, cara cepat dapat pacar, atau topik-topik lain seputar pacaran? Itu tidak lain karena saya tidak mau ‘memotivasi’ pembaca saya untuk pacaran. Ilustrasinya begini: katakanlah saya menulis tentang “tips cepat dapat pacar.” Suatu kali ada pembaca saya—sebut saja Neneng—yang mempraktekkan tips dari blog saya sampai akhirnya dia beneran dapat pacar. Satu dua tahun Neneng awet dengan pacarnya, sampai kemudian Neneng terlibat masalah pelik. Suatu malam pacarnya khilaf, Neneng kedapatan hamil, kemudian DO dari sekolah.


10.  Lha itu kan salah pembacanya yang tidak cerdas.
Iya, tapi poinnya bukan di situ. Saya merasa ikut bertanggung jawab karena tulisan saya mendorong Neneng untuk pacaran. Secara tidak langsung, saya manas-manasin dia untuk pacaran. Padahal kita tahu, resiko pacaran tidak hanya putus, sakit hati, nyeseg, galau, tapi juga resiko lain yang jauh lebih gawat seperti hamil di luar nikah sampai keinginan untuk bunuh diri. Itu berbahaya sekali. Karenanya, saya tidak mau kena “dosa turunan” gara-gara menyarankan sesuatu yang banyak resikonya—seperti pacaran—kepada pembaca blog saya.


11.  Saya malah tidak pernah berpikir sejauh itu.
Makanya ada baiknya kamu mulai memikirkannya. Masak ngeblog cuma sekedar posting nananina, judul heboh, konten wah, foto vulgar, bahasa kocak, tapi itu semua dibuat cuma demi mengejar traffict ? Pikirkan juga dampak negatif yang mungkin timbul akibat tulisan kita.


12.  Ya, itu masukan buatku. Ngomong-ngomong kalau begitu terus, bukannya blogmu bisa sepi? Apalagi nggak ada hiasan apa-apa di sini? 
Nggak apa-apa sepi. Sebisa mungkin saya akan belajar membuat tulisan yang (semoga) bermanfaat bagi orang lain. Kalau soal tampilan saya tidak mau ambil pusing. Saya pilih yang simpel saja. Toh saya juga jarang memposting gambar di blog. Loading blog jadi lebih ringan dan tidak banyak memakan kuota internet pengunjungnya.


13.  Jadi begitu ya. Saya sependapat denganmu soal itu. Ngomong-ngomong saya sudah terlalu lama ngobrol dengan Anda. Perbincangan kita cukupkan sampai di sini saja dulu. Nuhun informasi dan sharing-nya. Saya mau lanjut blogwalking . Kapan-kapan tak dolan ke sini lagi.
Oke, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Hati-hati, banyak blog nggak jelas di luar sana.


14. Haha…bukannya blogmu sendiri juga nggak jelas?
Makanya, baca dulu dong keterangannya. Yang punya blog ini kan ingin “menyesatkan pembacanya ke jalan yang lurus!”


NB:
* obrolan di atas murni fiktif—untuk memudahkan pembaca memahami konteks tulisan, bukan untuk tipu-tipu. Jika ada kesamaan nama atau kejadian, mungkin karena kita berjodoh !?


Tuesday 23 February 2016

Jebakan Setan di Urinoir


Seringkali kerikil-kerikil kecil bisa lebih berbahaya
daripada sebongkah batu besar di tengah jalan
(anonim)

*Sebelumnya, demi kenyamanan semua orang, mohon tidak membaca postingan ini jika kalian sedang makan atau mempunyai gangguan pencernaan.
.   .   .

Pertama kali saya berkenalan dengan kloset jenis urinoir adalah ketika berkunjung ke sebuah bioskop XXI di kota saya. Saat itu, saya merasa kebelet dan harus ke toilet. Di dalam toilet, saya melihat urinoir yang berjejeran menempel di dinding. Berhubung saya bukan tipe orang yang suka mencoba benda asing tanpa memiliki informasi apapun tentangnya, saya hanya melihat urinoir-urinoir itu. Sementara untuk buang air, saya lebih memilih memakai kloset duduk yang ada di sebelah urinoir.

Sejauh ini saya mengenal beberapa jenis kloset. Untuk pemakaian sehari-hari, saya masih memakai kloset jongkok. Saya paling afdhal memakai kloset jenis ini karena proses “pembuangan” dan “pembersihan” (maaf, cebok) bisa dilakukan secara leluasa dengan jumlah air yang memadai. Tidak heran jika kloset jenis ini paling digemari warga sekitar rumah saya.

Saat SD dulu, sekolah saya memakai kloset “leher angsa.” Kloset jenis ini tidak jauh beda dengan kloset jongkok biasa. Hanya bedanya, lubang pembuangan kloset ini lebih dalam—mirip dengan leher angsa. Boleh jadi karena itulah, kloset ini dinamakan kloset “leher angsa.”

Selain dua jenis kloset di atas, ada juga jenis kloset “cemplung ” yang dulu biasa dipakai oleh warga perkampungan pinggir sungai. Kloset jenis ini terkenal paling jorok karena memakai sistem pembuangan langsung ke aliran sungai (percayalah, saya tidak pernah memakainya). Konon, kloset ini menghasilkan bunyi “plung…plung…plung ” yang khas ketika dipakai. Boleh jadi karena itulah kloset ini dinamakan kloset cemplung.

Beralih ke peradaban modern, saya mengenal kloset duduk. Kloset jenis ini efektif menghindarkan pemakainya dari sensasi kesemutan—seperti yang biasa dialami “penggemar fanatik” kloset jongkok. Hanya sayangnya, pemakaian kloset duduk sering merepotkan jika tidak dilengkapi air guyuran, atau ketika tombol flush-nya tidak berfungsi. Walaupun tersedia tisu untuk pembersihan, tidak semua orang (termasuk saya) yang afdhal memakainya. Selain itu, dudukan di toilet ini kerap luput dibersihkan meski sering terciprat air kencing. Karena alasan itulah, saya sering kikuk ketika harus memakai kloset duduk.

Dari berbagai jenis kloset yang saya kenal, urinoir adalah jenis kloset yang paling praktis dan mudah dipakai. Biasanya, urinoir dilengkapi dengan sensor suhu dan sistem guyuran otomatis. Si pemakai cukup buang air kecil di sana, “krucukk…krucuk…” sebentar—dan air guyuran akan keluar secara otomatis setelah urinoir ditinggal pergi—praktis sekali. Tapi, di sinilah letak masalahnya.

Urinoir (yang konon merupakan buah peradaban  modern) tidak menyediakan fasilitas cebok. Padahal, cebok merupakan salah satu elemen penting dalam “ritual” buang air (baik kecil, sedang, maupun besar sekali). Para ahli medis pun sepakat bahwa kita harus cebok setiap kali selesai buang air demi menjaga kebersihan dan kesehatan organ genital. Parahnya, air guyuran dari urinoir tidak mencukupi untuk keperluan cebok. Boleh jadi urinoir memang didesain untuk orang-orang yang sudah nggak  tahan lagi, terdesak kebelet, dan berpikir cebok itu tidak penting.

Masalah lainnya, urinoir mengharuskan kita mendekatkan celana ke bibir urinoir agar urin tidak tercecer ke lantai. Kita juga harus mendekatkan celana jika tidak ingin mengalami insiden "ter-intip” seperti yang biasa terjadi di toilet cowok. Nah, pada saat mendekatkan celana itulah, ada sekian tetes urin yang menciprat ke celana kita !!!

Bagi yang berpikir cebok itu tidak penting, masalah ini mungkin terlihat sepele. Tapi bagi kalian yang muslim—yang merasa punya kewajiban untuk menjaga kebersihan diri sebelum beribadah—hal sepele ini harus tetap diperhatikan. Kenapa?

Kita tahu, urinoir tidak hanya meniadakan fitur cebok, tapi juga meninggalkan cipratan urin yang bisa mengurangi kesempurnaan thaharah (kegiatan mensucikan diri) sebelum ibadah. Karena itu, untuk menghindari “jebakan setan” di urinoir, lebih baik gunakan kloset duduk atau kloset jongkok saja. Gunakan urinoir saat kepepet saja, misalnya saat sudah nggak tahan lagi atau saat antrian kloset konvensional terlalu lama.

“Kalau di tempat itu cuma ada urinoir gimana dong ?”

Nah, itu juga repot. Ada seorang blogger  yang pernah memberi tips mengatasi masalah ini, yaitu dengan memanfaatkan botol air mineral. Caranya, sebelum “setor” pipis  ke urinoir, terlebih dahulu isi botol itu dengan air dari wastafel. Gunakan air di dalam botol untuk keperluan cebok di depan urinoir. Jadi, jangan berpikir botol ini akan dipakai untuk nampung urin seperti pispot, lho  ya.

Sayangnya, trik ini hanya bisa digunakan ketika suasana toilet sepi. Kalian tentu tidak mau ambil resiko dicap “udik ” jika ketahuan cebok di depan urinoir—lebih-lebih pakai botol air mineral!

*   *   *

Kesimpulannya, daripada kita repot tidak bisa cebok, lebih baik hindari penggunaan urinoir, kecuali terpaksa saja. Selalu prioritaskan kloset konvensional, baik yang jongkok maupun yang duduk, karena pemakaiannya jauh lebih afdhal—meski untuk itu kita harus sabar mengantri atau merogoh kocek.

Jika kita baru pertama kali memasuki sebuah gedung, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menanyakan letak toilet. Ini penting untuk mengantisipasi kondisi darurat saat kita kebelet atau sudah nggak tahan lagi. Lagipula, kita perlu tahu jenis kloset yang dipakai di gedung itu agar kita bisa menyiapkan trik untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul, seperti tidak adanya air guyuran, tisu habis, tombol flush rusak, dan “jebakan setan” di urinoir.

Boleh jadi masalah urinoir ini terlihat sepele. Tapi demi kesempurnaan thaharah, lebih baik kita mulai peduli pada masalah ini. Jika kalian lebih memilih kepraktisan, malu, dan menyerah pada alasan “tidak mau repot,” maka itu hak kalian. Tulisan ini sekedar mengingatkan saja. Karena bagaimanapun, yang namanya ibadah tidak hanya urusan niat dan khidmat-nya saja, tapi juga bagaimana mensucikan diri demi meraih kesempurnaan ibadah itu sendiri.

Monday 22 February 2016

Lelucon yang Tidak Lucu (2)


Wajah dan tubuh bukanlah sesuatu yang pantas dibangga-banggakan,
apalagi ditertawakan
(Hatake Niwa)

*Agar tidak bingung membaca tulisan ini, silahkan membaca postingan sebelumnya di sini. 

Lelucon, lawakan atau yang dalam bahasa asing disebut jokes, pada dasarnya adalah salah satu seni berkomunikasi. Biasanya, jika kita ingin cepat akrab dengan seseorang, kita bisa menyelipkan lelucon ketika mengobrol dengannya. Lelucon yang digunakan dalam dosis tepat bisa mencairkan suasana obrolan. Lelucon juga bisa dipakai untuk menghibur perasaan lawan bicara dan mempererat keakraban dengannya.

Dewasa ini, lelucon telah menjadi semacam komoditas tersendiri yang mendapat jatah prime time di banyak stasiun TV. Kita lihat banyak sekali acara TV yang ‘memaksa’ penyiarnya melontarkan lelucon untuk mengocok perut penontonnya. Ada yang memakai konsep komedi situasi (sitkom), parodi, sampai pentas lawak tunggal (Stand Up Comedy).

Sampai sini, sebenarnya sah-sah saja menggunakan lelucon sebagai media hiburan atau sekedar bagian dari seni berkomunikasi. Hanya saja, dalam melontarkan sebuah lelucon, kita punya tanggung jawab moral untuk menjaga agar lelucon kita tidak menyinggung orang lain atau melanggar batas-batas etika. Lelucon yang disampaikan pada ruang dan waktu yang tepat bisa menghibur lawan bicara. Sebaliknya, lelucon yang disampaikan secara vulgar, jorok, lebih-lebih “verbal slapstick, terkadang bisa menyakiti perasaan lawan bicara.

Saya termasuk salah satu orang yang membenci verbal slapstick (jenis komedi yang menjadikan ejekan sebagai bahan lelucon). Ejekan yang dipakai biasanya menyinggung persoalan fisik seperti warna kulit, mata sipit, gigi mrongos, tinggi badan, dan sejenisnya. Verbal slapstick semacam ini sangat mungkin menyinggung perasaan orang lain yang tidak terima jika fisiknya dijadikan bahan lelucon.

Bayangkan jika kalian bertubuh pendek. Bagaimana perasaan kalian jika ada teman kalian yang bilang: “Lihat tuh, Si Cebol datang!” Atau jika mata kalian sipit, bagaimana perasaan kalian saat ada yang nyinyir: “Melek dong! Biar nggak nabrak-nabrak kalo jalan.” Meskipun kata-kata itu diungkapkan dalam acara dagelan, orang yang fisiknya dijadikan bahan lelucon belum tentu bisa menerimanya. Siapa yang bisa memastikan orang itu tidak akan tersinggung?

Salah satu dosen saya pernah terang-terangan mengatakan tidak menyukai acara Stand Up Comedy—karena adanya unsur menjelek-jelekkan orang lain di dalamnya. Boleh jadi maksud dosen saya adalah "verbal slapstick"  yang menjadikan aktivitas mengejek fisik orang lain sebagai bahan lelucon. Meski tidak semua comic menggunakannya, comic yang bijak tentu akan memilih untuk menghindari verbal slapstick semacam itu.

Hey…bukankah selera humor tiap orang berbeda-beda? Kenapa harus pusing jika ada orang yang tidak menyukai verbal slapstick?

Ya, memang selera humor tiap orang berbeda. Tapi di sini kita tidak sedang membahas perbedaan selera humor. Kita sedang mempersoalkan bagaimana menghindari verbal slapstick sebagai bentuk toleransi pada mereka yang secara fisik terlihat berbeda. Karena sekali lagi, tidak semua orang bisa menerima verbal slapstick. Sangat mungkin ada yang tersinggung atau merasa dilecehkan karena ketidaksempurnaan fisiknya dijadikan bahan lelucon.

Tidak ada perbedaan nyata antara penggunaan ejekan sebagai guyonan dan penggunaan ejekan sebagai bentuk penghinaan. Keduanya tetap berkonotasi negatif dan bisa menyinggung perasaan orang lain. Karena itu, daripada runyam ‘disembur’ orang yang tersinggung, pilihlah lelucon lain yang lebih netral.

Jika kalian ingin menggunakan verbal slapstick, maka gunakan fisik kalian sendiri sebagai bahan lelucon. Misalnya, jika tubuh kalian kurus, maka buatah lelucon tentang kekurusan tubuh kalian, bukan mengejek kekurusan tubuh orang lain. Kalian bisa mengatakan “Ahpunya tubuh kurus kayak saya itu rejeki. Siapa tahu besok bisa iklan produk obat cacing.” Sekalipun saat itu ada orang yang sama-sama kurus, dia tidak akan merasa tersinggung karena lelucon kalian didasarkan atas kondisi fisik kalian sendiri.

Belajarlah menghargai segala ciptaan Tuhan. Rupa, wajah, tubuh, semua itu adalah anugerah. Dan anugerah tidak patut kita bangga-banggakan, apalagi kita tertawakan. Dan sekali lagi, melawak dengan mengejek fisik orang lain itu sama sekali tidak lucu!

Sunday 21 February 2016

Lelucon yang Tidak Lucu (1)


Sebuah lelucon akan terasa lucu
Jika ruang dan waktu penyampaiannya tepat
(Hatake Niwa)

Suatu hari saya mampir di sebuah toko buku. Sudah menjadi kebiasaan jika saya sedang banyak pikiran saya malah menyempatkan diri ke toko buku. Jika sedang lapang, saya bisa pulang dengan membawa minimal satu buku. Tapi jika tidak, saya hanya akan menghabiskan waktu untuk cuci mata, melihat-lihat deretan buku, sambil sesekali mengecek buku bagus yang pembungkus plastiknya sudah terbuka.

Ketika saya melihat-lihat deretan buku di rak, pandangan saya tertumbuk pada sebuah buku yang covernya cukup menarik. Saya mengambil buku itu. Kebetulan pembungkus plastiknya sudah tidak ada. Saya pun leluasa membolak-balik halaman buku itu.

Dari beberapa halaman awal, saya menyimpulkan buku yang saya pegang adalah buku komedi. Isinya tidak jauh dari pengalaman pribadi pengarangnya yang dikemas dalam bentuk cerita komedi. Beberapa cerita dalam buku itu memang lucu sehingga sesekali membuat saya tersenyum geli. Masalahnya, saya mulai mengkhawatirkan jenis lelucon yang dipakai si pengarang pada halaman-halaman berikutnya. Beberapa kali, si pengarang menulis kemaluan laki-laki secara vulgar, tanpa sensor, dan terang-terangan. Boleh jadi si pengarang bermaksud menjadikan itu sebagai lelucon. Tapi bagi saya, menyebut kemaluan untuk bahan lelucon (malah) tidak ada lucu-lucunya sama sekali. 

Dalam adat ketimuran, kita tidak bisa sembarangan menyebut kemaluan. Biasanya kita akan menggunakan kata ganti seperti “anu” agar tidak menyebut kemaluan secara langsung. Anak kecil pun paham jika mereka tidak boleh terang-terangan menyebut kemaluannya di tempat umum. Lha ini, seorang pengarang buku (yang seharusnya lebih berpendidikan), malah terang-terangan menyebut kemaluan dan menjadikannya sebuah kelucuan (lelucon jorok).

Saya tidak tahu pasti, bagaimana lingkungan tempat tinggal dan pergaulan si pengarang, Boleh jadi di tempat tinggal atau di lingkaran pergaulannya, "lelucon jorok" adalah sesuatu yang wajar. Masalahnya, ketika kita berbicara mengenai buku, blog, media sosial, atau media lain yang bersifat publik, ada tanggung jawab moral dan etika kesopanan yang harus kita patuhi. Kita tidak bisa sembrono menulis kemaluan dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang layak ditertawakan.

Jika “lelucon jorok” semacam itu dianggap biasa, saya khawatir ada anak-anak kecil yang kebetulan membaca atau mendengarnya. Dengan segala kepolosannya, sangat mungkin anak kecil itu ikut-ikutan melontarkan “lelucon jorok” pada teman, guru, bahkan orangtuanya tanpa menyadari betapa 'santun' tutur katanya.

Sebenarnya, menyebut kemaluan tidak akan menjadi masalah jika ruang dan waktu penyampaiannya tepat. Seorang pengidap sifilis tidak perlu merasa risih menyebut kemaluannya pada dokter yang memeriksanya. Remaja putri yang baru pertama kali mengalami menstruasi, tidak perlu merasa sungkan untuk menanyakan hal tersebut pada orangtuanya. Pun ketika seorang laki-laki sedang disunat—sah-sah saja dia menyebut kemaluannya secara terang-terangan pada dokter yang akan menyunatnya.

Pada contoh di atas, ketiga orang itu menyebut kemaluan dalam konteks netral, beralasan, dan tidak menjadikannya “lelucon jorok.” Hal ini berbeda dengan buku yang saya perkarakan tadi. Pengarang buku itu malah sengaja menulis kemaluan untuk menghibur pembacanya (entah orang  macam apa yang akan tertawa setelah membaca lelucon jorok semacam itu).

Saya tidak tahu apakah urusan semacam ini pantas diposting di sini atau tidak. Tapi saya merasa perlu menyentil hal ini pada orang-orang yang kerap sembrono menyebut kemaluan untuk bahan lelucon. Hal ini berlaku untuk semua jenis media publik, tidak hanya buku, tapi juga blog, media sosial, dan di dalam percakapan sehari-hari.

Menyebut kemaluan secara terang-terangan tidak hanya memalukan, tapi juga mengindikasikan bahwa pelakunya sudah tidak memiliki rasa malu. Jika memang kalian ingin melucu, maka carilah lelucon yang benar-benar lucu yang bisa membuat orang tertawa. Bukan malah memaksakan sesuatu yang tabu untuk ditertawakan orang lain. Itu malah sama sekali tidak lucu!


*silahkan lanjut ke bagian 2

Saturday 20 February 2016

Pelajaran dari Kecelakaan


.   .   .

Seperti yang saya tulis di artikel 5 Penyebab Utama Kecelakaan Lalu Lintas, salah satu penyebab utama kecelakaan adalah "perasaan buru-buru". Kecelakaan pertama yang pernah saya alami juga berawal dari rasa buru-buru saat berkendara. 

Saat itu, saya masih SMA. Saya baru saja selesai menjalani perbaikan ulangan semester. Karena hanya menjalani perbaikan, kegiatan sekolah pada hari itu tidak banyak. Beberapa murid tampak sudah meninggalkan sekolah.

Seorang teman sekelas—sebut saja Andi, mengajak saya bermain game. Saya pun menyanggupi ajakannya. Tidak lama berselang, saya membonceng Andi menuju tempat bermain game yang letaknya tidak jauh dari sekolah.

Sekitar dua jam bermain game, saya ingin mengambil motor yang masih saya taruh di parkiran sekolah. Kebetulan saat itu ada seorang teman yang juga ingin kembal ke sekolah. Saya pun membonceng teman saya itu dan beranjak pergi ke sekolah, sementara Andi menunggu saya di tempat bermain game.

Untunglah gerbang sekolah belum tutup. Beberapa motor masih tampak berjejer di parkiran. Saya bergegas mengeluarkan motor karena saya tidak ingin membuat Andi menunggu lama.

Keluar dari gerbang sekolah, dengan terburu-buru saya memacu motor menuju tempat main game. Sekitar 50 meter dari gerbang sekolah, seorang bocah bersepeda tiba-tiba keluar dari mulut gang. Bocah itu berhenti tepat di jalur motor saya. Dan tabrakan pun tak terhindarkan lagi.

BRAKKK!!!

Stang motor saya dengan telak menghantam kepala bocah itu. Saya kehilangan kendali. Motor saya oleng, membuat saya terpental dan terseret sekitar 5 meter setelah menghujam permukaan aspal.

Saya lihat bocah itu terkapar—diam tak bergerak. Darah mengucur deras dari kepala si bocah. Di seberang jalan, sepeda mini bocah itu tampak ringsek parah. Begitu juga dengan kap depan motor saya yang remuk setelah menghantam aspal. Hampir-hampir saya tidak mempercayai kejadian itu. Semuanya terjadi begitu cepat.

Orang-orang berdatangan menolong kami. Motor saya dan sepeda mini si bocah ditepikan Kami pun segera dibawa ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung dilarikan ke UGD. Bocah itu berada di bilik yang terpisah dari saya, sehingga saya tidak bisa melihat keadaannya. Saya cukup beruntung hanya mengalami luka lecet dan nyeri di persendian. Penanganan luka saya tidak lama. Saya lebih mencemaskan keadaan bocah itu.

Pendarahan di kepalanya terlihat cukup parah. Saat bocah itu akan dibawa ke rumah sakit, saya sempat melihat darah yang terus mengucur dari kepalanya. Saya ragu bocah itu akan selamat. Jika hal itu yang terjadi, sayalah yang harus bertanggungjawab karena telah menghabisi nyawanya—sekalipun saya tidak sengaja.

Saya mulai bergidik ngeri membayangkan skenario terburuk itu. Saya tidak percaya hidup saya akan berakhir sebagai seorang pembunuh. Saya masih SMA, tapi mungkinkah polisi akan mau melunak dan memaafkan kesalahan saya? Pikiran saya malah semakin kusut memikirkan hal itu.

Sejak memasuki ruang UGD, saya mendengar banyak sekali suara tangis anak kecil. Dalam hati, saya berharap itu adalah suara tangis bocah nahas yang saya tabrak. Setidaknya, itu akan mengurangi kegelisahan saya dan menyalakan harapan bahwa bocah itu masih mungkin selamat.

“Adiknya tadi bagaimana, Mbak?” tanya saya pada seorang perawat yang sedang memeriksa keadaan luka saya.

“Oh, dia baik-baik saja kok,” jawab perawat itu.

(Alhamdulillaah...)"  Kecemasan saya jauh lebih berkurang setelah mendengar jawaban perawat itu.

Setengah jam kemudian, orangtua saya datang. Keduanya tampak sangat khawatir. Selama beberapa menit, saya berbincang dengan orangtua saya. Tak banyak yang bisa saya ceritakan pada mereka. Saya masih agak syok dengan kecelakaan itu. Setelah mengetahui kondisi saya baik-baik saja, orangtua saya beranjak pergi menemui keluarga si bocah nahas.

*   *   *

Buru-buru, ngebut—keduanya seperti semacam ‘paket kecelakaan siap saji.’ Banyak sekali kecelakaan fatal yang terjadi karena pengendara yang buru-buru dan alpa memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.

Setelah kecelakaan itu, saya sempat trauma naik motor. Bayangan bocah nahas yang terkapar berdarah-darah masih membekas di benak saya. Selama beberapa hari, saya memutuskan untuk jalan kaki ke sekolah.

Meski terlihat menyeramkan, saya mendapat banyak pelajaran dari kecelakaan itu. Saya sadar, buru-buru dalam berkendara adalah tindakan konyol. Kita tidak akan bisa berkendara dengan tenang saat dikejar perasaan buru-buru. Ketika itu terjadi, pikiran kita tidak fokus pada kendaraan yang sedang kita kendarai. Dan itu bisa jadi sangat berbahaya, tidak hanya mengancam keselamatan kita, tapi juga mengancam keselamatan orang lain.

Jadi, buang jauh-jauh perasaan buru-buru saat berkendara. Jangan sampai hanya karena alasan buru-buru, kita mempertaruhkan keselamatan banyak orang di jalanan. Berhati-hatilah dalam berkendara, karena kecepatan bukan jaminan untuk cepat sampai tujuan. “Keluarga Anda menunggu di rumah.”