Subscribe:

Labels

Monday 25 May 2015

3 Alasan yang Membuat Film Superhero Menarik untuk Ditonton

Maaf kalau judulnya terlalu mengintimidasi. Ini murni soal selera. Jadi jangan hakimi saya bila saya terlalu jujur mengatakan film The Avengers itu biasa-biasa saja. Temanya masih seputar Sisi Baik vs Sisi Jahat. Endingnya Sisi Baik bersatu kemudian mengalahkan Sisi Jahat. Sisi jahat yang tidak tuntas dikalahkan, kemudian membangun kekuatan baru untuk menjadi villain di sekuel berikutnya. Demikian seterusnya.

Menurut opini saya pribadi, sebuah film superhero akan menjadi lebih berkesan apabila memenuhi 5 kriteria seperti yang saya paparkan di bawah ini:


1. Ikonik
Iron Man=Robert Downey Jr;
Captain America=Luke Evans;
Spiderman=Tobey McGuire;
Wolverine=Hugh Jackman.
Hampir semua tokoh superhero yang tidak mengalami pergantian pemeran lebih mendapat tempat di hati penontonnya. Karena memang aktor superhero harus memiliki cukup wibawa dan konsistensi untuk memerankan superhero tersebut. Apa jadinya bila pemeran Iron Man bukan Robert Downey? Gayanya yang genius tapi slengekan boleh jadi hanya bisa diemban olehnya. Berganti aktor adalah pilihan yang buruk jika sekuel Iron Man 4 jadi dibuat.
Masih ingat  Ksatria Baja Hitam? Bagi anak-anak era 90-an, ksatria baja hitam selalu diidentikkan dengan Kotaro Minami. Sekalipun ksatria baja hitam (atau yang biasa disebut Kamen Rider) sudah berganti-ganti versi, dari Kuuga, Den-O, sampai Kiva, Kotaro Minami tetaplah aktor terbaik sebagai pemeran Kamen Rider.

2. Dramatic
Film superhero yang melulu mengusung tema kebaikan vs kejahatan sangat membosankan. Dibutuhkan sentuhan drama di dalam film superhero untuk mempermanis sajian ceritanya. Karena alasan ini pula saya lebih menyukai Spiderman versi Sam Raimi daripada The Amazing Spiderman. Balutan drama dalam trilogi Spiderman-nya Sam Raimi jauh lebih mengena dan memorable dibanding The Amazing Spiderman. Jalinan konflik jati diri yang dialami Spiderman, cinta segitiga, hingga kesalahpahaman yang terjadi antar tokoh membuat Spiderman versi Sam Raimi lebih dari sekedar film superhero.
Film X-Men pun demikian. Terlepas dari jatuh bangunnya sekuel filmnya, isu rasial antara manusia vs mutan yang diusung film ini layak diacungi jempol. Konflik yang terjadi tidak melulu mengikuti pakem manusia vs makhluk luar angkasa, tapi justru dengan sesama manusia yang memiliki ‘kelainan’ sebagai mutan.

3. Plot yang tidak terduga
Seperti yang saya bahas di atas, pakem cerita Baik vs Jahat di mana yang baik selalu menang akan terasa sangat membosankan bila tidak dibumbui konflik lain yang membuat jalinan cerita lebih kompleks. Saya cenderung menyukai film yang plot-nya mengajak penonton untuk berpikir sepanjang jalan cerita. Kemudian jawaban atas semua konflik terjawab di pertengahan sampai akhir film. Meskipun endingnya tokoh protagonis yang menang, tapi proses untuk sampai memenangkan si tokoh protagonis harus dilakukan dengan elegan dan penuh gaya khas karakter superhero tersebut.

Sekali lagi ini murni soal selera. Saya bukan seorang movie addict yang setiap ada rame-rame film terntentu saya ikut-ikutan nonton. Tapi berhubung selama beberapa tahun mendatang film-film superhero akan membanjiri bioskop, saya merasa perlu untuk menuliskan uneg-uneg saya terkait hal tersebut. Akhir kata, selamat menikmati sajian film superhero berikutnya beserta sekuel-sekuelnya. Saya sih masih setia menunggu sekuel X-Men dan Iron Man (cuma 2 itu yang masuk waitting list saya dari film bergenre superhero).

Sunday 24 May 2015

Alasan Kenapa Urusan Takdir dan Masa Depan Tidak Pernah Bisa Dipastikan

Jika segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mutlak karena takdir, buat apa Tuhan menuntut kita untuk beramal? Bisakah kita berhenti beramal kemudian setelah tabungan amal kita dirasa cukup kita katakan: “Saya pasti ditakdirkan Tuhan untuk menjadi penghuni surga”  (?)

Ah, bagi saya pribadi takdir adalah rahasia-Nya. Tahu apa kita—makhluk yang sering lalai dan lupa—tentang takdir? Karena ketidaktahuan manusia tentang takdir itulah yang mendorong manusia untuk beramal, bekerja, mengupayakan perbaikan nasibnya. Poin pentingnya di situ—ketidaktahuan yang menyemangati diri manusia untuk berbenah dan selalu mempersiapkan diri.

Manusia tidak pernah tahu sampai umur berapa dia hidup. Karena ketidaktahuan itulah dia mempersiapkan bekal terbaik menjemput kematiannya. Manusia juga tidak tahu akan ke surga atau ke nerakakah dia? Maka manusia beramal saleh agar mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Manusia juga tidak tahu rezeki macam apakah yang akan ia dapatkan hari ini? Karena itu ia berusaha menjemput rezeki dengan bekerja keras.

Bayangkan seandainya kau tahu bahwa kau ditakdirkan akan menjadi orang kaya, apakah kau akan tetap bekerja keras mencari uang, atau sebaliknya—duduk bermalas-malasan sambil menunggu gepokan uang jatuh dari langit? Atau seandainya kau tahu bahwa kau dijamin Tuhan masuk surga, apakah kau akan tetap giat beramal?

Ketidaktahuan manusia tentang takdir itulah yang membuat manusia berusaha. Ketidaktahuan itu sendiri adalah salah satu unsur seni kehidupan. Karena seandainya kehidupan ini seperti matematika—serba pasti, maka tidak akan ada drama dalam kehidupan ini. Tidak akan ada pengharapan. Tidak akan ada lagi usaha. Bahkan Tidak ada lagi doa-doa yang teruntai ke langit. Manusia akan terjebak pada pemikiran sesat: “Ah, kerja nggak kerja takdir saya ya segini-gini aja kok.”

Kau pun demikian. Takdir manusia biarlah Tuhan yang menuliskan. Tugas manusia adalah memantaskan dirinya untuk takdir terbaik dari Tuhan dengan beribadah, beramal dan berusaha sebaik mungkin. Itulah mengapa kehidupan ini selalu pantas  kau syukuri.

Thursday 21 May 2015

Tentang Serotonin

Bagi saya pribadi, menulis dapat memberikan efek psikis yang menenangkan. Ide-ide dan informasi yang berkecamuk di otak saya dapat tersalurkan dengan menulis. Beban di otak saya berkurang. Pikiran serasa lebih plong. Efeknya sama dengan zat serotonin di otak. Dari sini kita akan membahas secara singkat tentang serotonin. Singkat saja ya, karena saya bukan lulusan fakultas kedokteran.

Serotonin adalah sebuah monoamine neurotransmitter di tubuh kita. Zat ini merupakan zat yang turut berperan memunculkan perasaan bahagia. Karena itu serotonin sering disebut “hormon kebahagiaan” (meskipun faktanya serotonin bukanlah hormon).

Sekitar 80 persen serotonin dalam tubuh manusia terdapat pada sel enterochromaffin di usus yang mengatur gerakan usus. Sisanya 20 persen disintesis dalam neuron sterotonergik dalam sistem saraf pusat di mana serotonin memiliki banyak fungsi. Fungsi tersebut di antaranya mengatur mood, nafsu makan, tidur, serta kontraksi otot.

Terkadang, kadar serotonin dalam tubuh manusia menurun, misalnya dalam kondisi stres. Pada kondisi tersebut, penurunan serotonin mengakibatkan depresi ringan hingga sedang. Indikasi penurunan kadar serotonin di otak antara lain: mengalami kesulitan berkonsentrasi, tugas kecil tampak seperti tugas yang sangat besar, kelelahan kronis, gangguan nafsu makan, gangguan tidur, dan kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial.

Lalu apa hubungannya dengan menulis? Seperti yang saya utarakan di pembuka tulisan ini, menulis bagi saya dapat memberikan efek menenangkan. Anggap saja adar serotonin saya bertambah dengan menulis. Untung kan? Lagipula, mempunyai otak yang berlumutan ide membutuhkan penanganan segera. Jika ide dan kreativitas kita tidak biasa diasah, maka alangkah mubazirnya Tuhan menciptakan keduanya sebagai anugerah.

Wednesday 20 May 2015

"Ma, Apakah di Sana Ada Hantu?"

Seorang ibu bersama anaknya tengah berjalan puang menuju rumah. Keduanya harus melewati sebuah lorong yang oleh penduduk sekitar dipercayai berhantu. Hari telah menjelang malam. Jalanan begitu senyap. Hembusan angin menggoyang-goyang rerimbunan pohon bambu di kanan kiri jalan. Suara ‘uhu’ burung hantu dari kejauhan menambah ngeri suasana. Si Anak mulai gelisah.

“Ma, apakah di sana ada hantu?” Si Anak mulai bertanya.

“Ya, ada.”

“Hantu seperti apa, Ma?”

“Mama tak tahu pasti. Mungkin wanita berambut panjang dengan jubah putih kusam.” Ibunya menjawab meyakinkan.

“Lalu mengapa kita harus lewat sana?”

“Kita harus melewati lorong itu untuk pulang, Nak.”

“Bagaimana dengan hantunya? Hantu akan menggigitku.”

“Ya, hantu itu akan menggigitmu. Menggigit mama juga. Kau tahu, Nak. Mama juga takut. Tapi kau adalah LAKI-LAKI, Nak. Mama berharap kau akan melindungi Mama.”

Sejenak Si Anak tertegun. Langkahnya agak ragu. Dekapannya ke baju ibunya semakin erat.
Keduanya bergegas melewati lorong gelap itu. Setiap jejak langkah terasa begitu lambat. Lorong yang lembab dan pengap itu terasa begitu panjang. Cahaya lampu di ujung lorong serasa semakin menjauh.

“Bagaimana sekarang? Kau melihat hantunya?” tanya
Si Anak menggeleng.

“Kau tahu, Nak. Seringkali rasa takut hanyalah kebohongan pikiranmu. Tapi keberanian itu di sini. Jangan sampai ketakutanmu mengalahkan keberanianmu yang bersemayam di sini—di hatimu,” kata sang ibu sambil menunjuk dada Si Anak.

Anak kecil itu mengangguk. Tak ada lagi rasa takut.
Sesampainya di kamar ia segera membaringkan diri. Lampu-lampu kamar dimatikan. Gelap. Karena tempat yang gelap adalah pembaringan yang paling damai untuk terlelap.

Tuesday 19 May 2015

Tentang Nama “Hatake Niwa”

Ini sudah kali ke-4 saya mengganti nama blog. Saya menggantinya tepat setelah berbulan-bulan blog ini terlantar. Karena itu, nama baru menjadi semacam penanda bahwa blog ini telah di-update kembali. Walau saya merasa ganti atau nggak ganti nama sama saja—tetap nggak ada pengunjungnya. (Blognya bisa dilihat di sini

Nah, lalu kenapa saya memilih nama Hatake Niwa?



Hatake adalah nama salah satu guru dalam manga Naruto. Saya cukup respek dengan pembawaan karakter guru yang hobi baca ini. Dingin, kocak, agak slengekan, tapi perhatian dan jago di bidangnya—termasuk salah satu ninja jenius. Sementara Niwa hanya akronim nama saya sekaligus nama pena, karena dalam beberapa hal saya lebih nyaman dengan anonimitas.

Terakhir kali saya punya mood untuk posting adalah saat menulis tugas akhir skripsi. Saat itu, saya membuat blog sebagai pelarian karena pengerjaan skripsi yang tak kunjung selesai. Untuk membantu meningkatkan kepercayaan diri dan mengasah kemampuan menulis, saya pun membuat blog ini. Selain itu, saya juga mengalami kecenderungan 'banyak mikir' yang dalam skala tertentu dapat memicu stres—saya menyebutnya “Over-Thinking”. (Artikelnya bisa dibaca di sini.)

Jadi bisa dikatakan perubahan nama blog ini menandai kembali up to date-nya blog ini. Memang menghidupi blog tidaklah mudah karena saya harus konsekuen memposting sesuatu secara berkala. Kenapa harus repot-repot nulis  di blog? Toh nggak ada yang mampir, apalagi bayar. Saya anggap saja itu bentuk tanggung jawab pribadi terhadap blog yang saya miliki dan kesenangan saya untuk menulis.


Saya sudah cukup lama blog walking, menjadi silent reader dan mendapati banyaknya blog yang terlantar. Sayangnya, pemerintah tidak pernah memasukkan blog sebagai golongan miskin dan anak terlantar yang harus dipelihara. Karenanya, saya tidak mau menjadi bagian mereka yang menelantarkan blognya. Apapun yang bisa ditulis maka akan saya tulis di blog ini. 

Anyway, inilah blog saya yang sudah reborn. Dengan tampilan template yang baru tentunya. Semoga blog ini bisa menginspirasi—setidaknya bagi diri saya pribadi dan sidang pembaca yang kebetulan 'nyasar' kemari. Akhir kata, blognya itu di sini.

Kualitas Diri, Cak Lontong, dan Filosofi “Ana Rega Ana Rupa”

Dalam pepatah Jawa ada istilah “Ana rega ana rupa” (ada harga, ada barang). Sejak digunakannya sistem uang untuk menggantikan barter, manusia mulai menetapkan standar-standar kualitas tertentu terhadap barang/jasa yang diperdagangkan. Standar-satandar kualitas itulah yang nanti akan menentukan seberapa murah atau mahal komoditas dagang tersebut. Sederhananya, semakin mahal suatu barang maka semakin baik kualitasnya. Kecuali Anda tipe-tipe pembeli ‘gampangan’ yang mudah terhasut bujuk rayu penjual tipe super sales—salah satu jenis pedagang yang sangat getol menawarkan barang dengan memberikan ceramah penuh busa diiringi sisipan sumpah nan meyakinkan.

Tapi di sini saya tidak membahas pedagang salesnya. Saya menyoroti konsep “ana rega ana rupa” dalam perspektif sumber daya manusia. Ya, biar bagaimanapun kita termasuk ‘barang’. Kalau kita menawarkan barang/jasa maka kedudukan kita bisa menjadi barang dagangan. Istilahnya kita jual diri, tapi bukan melacur ya (tidak dibahas juga di sini). Salah satu kunci kesuksesan kita dalam karir juga tidak lepas dari bagaimana cara kita ‘menjual diri’.

Anggaplah di jidat kita ada merk/brand, katakanlah nama kita adalah brand. Ketika kita melamar pekerjaan misalnya, maka kita sedang mempertaruhkan brand itu. Apakah brand itu layak bekerja di perusahaan itu, atau sebaliknya—kapasitasnya diragukan dan lamaran ditolak.

Brand yang berupa diri kita sendiri merupakan perwujudan dari kualitas yang kita miliki. Semakin tinggi kualitas diri kita, maka semakin layak kita dipekerjakan dan dihargai tinggi. Pelawak Surabaya--Cak Lontong—adalah role-model sukses yang inspiratif bagi saya. Sebelum terjun di dunia pertelevisian, Cak Lontong lebih dulu aktif sebagai pemain ludruk Cap Toegoe. Di ludruk itulah kualitas Cak Lontong sebagai pelawak ditempa.

Awalnya saya sudah cukup terkesan dengan Cak Lontong saat dia masih aktif di program “Negeri Impian.” Tapi kecakapan individualnya dalam melawak baru saya ketahui ketika dia aktif menjadi komika di stand up comedy. Dari berbagai stand up yang dibawakannya, tampak bagaimana Cak Lontong memiliki wawasan dalam melawak. Tidak sekedar melawak tapi dia paham betul esensi ‘menghibur.’ Hal ini berbeda dengan pelawak-pelawak lain yang bergaya slapstick dan menjadikan kekurangan fisik sebagai bahan candaan. Of course NOT!

Cak Lontong kerap membawakan lawakan yang mempermainkan silogisme audiens. Salah satu cara melucu yang paling sederhana tapi juga yang paling susah karena membutuhkan wawasan yang luas dari pelawak itu sendiri. Dan kebiasaan Cak Lontong membaca buku adalah kuncinya. Materi lawak yang berbobot adalah pengejawantahan dari kebiasaannya membaca buku. inilah yang menjadikan kualitas diri

Saya pun berpikir bahwa cepat atau lambat Cak Lontong akan semakin sering muncul di TV, tidak terbatas di stand up comedy. Dan benar saja, hari ini Cak Lontong telah menjadi ikon tayangan “Indonesia Lawak Klub” (ILK) bersama Komeng dan kroni-kroninya. Kocaknya Cak Lontong pun bisa dilihat di berbagai stasiun televisi.

Kembali ke filosofi “ana rega ana rupa.” Cak Lontong hanya sebuah sempilan untuk menggambarkan bagaimana kualitas diri yang dibangun dengan sungguh-sungguh akan melenggangkan jalan menuju kesuksesan. Jadi sebelum mempertanyakan gaji, tanyakan terlebih dahulu pada diri kita sendiri, “Dengan kualitas diri saya yang seperti ini, pantaskah saya meminta gaji sekian rupiah?

Yang sering membuat bingung adalah kenyataan maraknya pencari kerja yang bermodal nekat. Kualitas pas-pasan tapi maunya digaji tinggi. Sulit mengharapkan sesuatu yang wah dari pekerja semacam ini. Yang lebih parah adalah pekerja yang sebenarnya memiliki cukup kualitas tapi perilaku kerjanya tidak menunjukkan kualitas dirinya. Ngeles gaji kurang padahal sudah di atas UMR. Tidak punya motivasi kerja. Prinsipnya asal bos senang—tanpa ambisi apapun yang memacunya bekerja lebih efektif dan efisien.


Ketika saya menulis ini, saya pun masih belajar. Paragraf-paragraf dalam tulisan ini semacam self reminder bagi diri saya agar selalu mempersiapkan diri menghadapi persaingan dunia kerja yang kian ketat. Dan dari sekian banyak nasihat bijak tentang kesuksesan, saya mempercayai bahwa MEMBACA adalah cara peningkatan kualitas diri yang paling simpel. Semua orang-orang besar yang sukses adalah kutu buku sejati. Semoga kita diberi kesempatan untuk selalu belajar dari mereka.

Monday 18 May 2015

Manusia yang Menganiaya Dirinya Sendiri

Kau tahu, hal termudah dalam hidup ini adalah melihat segala sesuatu dari kacamata kesedihan, kecemasan, dan ketidakberdayaan hingga pada akhirnya dirimu membiarkan ketakutan menyakiti dirimu sendiri. 

Bodoh—tapi begitulah kebiasaan manusia yang selalu menganiaya dirinya sendiri

Lantas mengapa kau tidak memilih untuk bersyukur? 

Tidak ada lagikah Tuhan dalam hatimu?

-  H.N.  -

Tentang SMS 'Esek-Esek'

Hai, namaku Vina. Aku sudah 2 tahun janda. Aku kesepian, butuh teman curhat.Kamu mau kan nemenin aku ngobrol? Hubungi aku ya di nomor 0809xxxxxxx. SMS yang kamu dapet langsung dari HP aku lho.

Oke, SMS yang sebenarnya tidak selebai yang saya tulis di atas. Tapi intinya semacam itulah yang dinamakan SMS esek-esek. Mungkin ada lagi yang lebih parah hingga menjurus ke ajakan ‘panas’. Menggelikan sebenarnya dengan keberadaan SMS esek-esek ini. Karena selama lebih dari 10 tahun saya memakai HP, saya sudah terlalu sering mendapat SMS nggak jelas semacam ini.

Dulu saya sering mendapat SMS transfer rekening bank dan ucapan selamat karena memenangkan undian poin plus bla bla bla dari konten tertentu. Sepintas terlihat menggiurkan. Tapi karena nomor pengirim bukan nomor resmi provider yang saya pakai, maka saya simpulkan SMS itu penipuan. Berikutnya yang jamak dijumpai adalah SMS mama minta pulsa. Saking booming-nya kasus ini sampai-sampai oleh para netizen dibuat meme-nya dalam berbagai variasi rasa. Lalu ada apa dengan SMS esek-esek? Why?

Kalau kata Pak Fadli Zon, SMS esek-esek semacam itu dikarenakan maraknya perdana murah (harga 5ribuan) dan registrasi yang kacau. Yup, setuju sama Pak Fadli.

Di negara lain seperti Jepang misalnya, untuk mendapatkan nomor telepon harus melalui prosedur tertentu. Anda harus mengajukan pendaftaran dengan melampirkan KTP (kartu identitas) dan kartu kredit/buku bank hanya untuk mendapatkan nomor telepon. Tidak selesai sampai di situ Anda juga harus membuat surat kontrak. Alamak! Pada akhirnya akan mempersulit Anda untuk gonta-ganti nomor telepon.

Sementara anak di bawah 15 tahun di Jepang belum diperbolehkan memiliki nomor telepon sendiri, sehingga administrasi pendaftaran nomor telepon harus melalui orangtuanya. Bandingkan dengan kebijakan provider di negara ini yang barbar abis. Gonta-ganti nomor telepon sangat mudah. Balita pun bisa memiliki telepon genggam sendiri. Pantaslah jika kasus-kasus penipuan, terorisme, sindikat bisnis narkoba, maupun modus operandi kejahatan marak terjadi di sini. Penghilangan jejak pun semudah membuang kartu ke tempat sampah.

Masih ingat masa-masa pertama kali telepon genggam masuk ke kampung saya. Harga kartu perdana bisa mencapai 100 ribu. Asumsikan kurs rupiah pada awal-awal tahun 2000-an. Harga yang fantastis tentu saja. Membuat HP pada saat itu hanya dimiliki tetangga-tetangga saya yang berduit lebih.

Tapi melesat satu dekade kemudian, HP menjadi barang yang jamak dijumpai di semua kalangan dari anak-anak sampai dewasa (bahkan balita). Dengan merebaknya gadget ini sedemikian rupa, mau tak mau jumlah pengguna kartu perdana pun ikut naik. Berbagai provider berlomba-lomba menawarkan berbagai fitur komunikasi dengan tarif murah sampai gratis. Belum lagi paket internet yang dewasa ini menjadi kebutuhan primer untuk mensupport perangkat ponsel pintar (android).

Lantas bagaimana dengan SMS esek-esek yang menjurus ke ajakan untuk menghubungi nomor premium tadi? Saya sih tak mau berpusing-pusing mempermasalahkannya. Saya hanya user biasa yang tidak akrab untuk mengirimkan laporan khusus ke provider yang bersangkutan agar memblokir nomor-nomor jahil tersebut.

Yang membuat saya risih adalah bunyi SMS esek-esek  tersebut. Berhubung saya jomblo menahun, saya sempat GR waktu pertama kali mendapat pesan tersebut. Dalam hati saya berpikir tumben ada cewek kesepian. Minta ditemenin curhat. #MupengModeON. Tapi setelah saya scrolldown, sayadiminta menghubungi nomor 0809xxxxxx. Ladalah! Saya mengendus aroma penipuan di sini. Sekalipun saya jomblo menahun, saya sudah cukup paham tentang kasus-kasus penipuan via SMS. Seringkali saya menonton program-program investigasi bakso berformalin (eh, nggak nyambung). Saya pun tidak tertipu karenanya.

Sejauh ini saya belum membaca kabar ada korban SMS esek-esek ini. Mungkin modusnya terlalu mudah dikenali sehingga tidak ada seorang pun yang termakan bujuk rayu Vina, Dewi, Siska, atau nama-nama samaran yang biasa dipakai di SMS esek-esek tersebut.

Saran saya bagi yang jomblo (juga), perkuatlah iman dan ketakwaan Anda. Fitnah wanita itu di mana-mana. Sungguh!

Sunday 17 May 2015

‘Main-Main’ ke Psikiater

Sudah seminggu yang lalu saya memberanikan diri mampir ke psikiater. Tentu saja saya melakukannya diam-diam tanpa seorang pun dari orangtua atau kerabat yang tahu. Maklumlah, datang ke psikiater sama saja membiarkan diri Anda dikatain gila—persepsi kebanyakan orang. Apapun itu, saya yakin Anda yang tengah membaca/nyasar ke blog saya bukanlah orang yang terganggu kejiwaannya.

Saya tidak akan menaruh tugas akhir atau skripsi (yang sampai detik saya menulis tulisan ini masih diproses), karena apa yang saya hadapi lebih kompleks dari sekedar skripsi. Saya merasa ada yang tidak beres dengan kejiwaan saya. Tapi yakinlah, sejauh ini saya tidak pernah lari-lari telanjang di jalan raya, atau terkekeh sendirian tanpa sebab sepanjang hari. Kunjungan saya ke psikiater minggu lalu pun murni inisiatif saya sendiri. Hanya uniknya, saya tidak perlu repot-repot naik ambulans dengan tangan-kaki terikat. Cukup bermodal 100ribu dan saya bisa ‘curhat’ selama hampir satu jam lamanya dengan si psikiater.

Kebanyakan orang akan merasa fine-fine saja tanpa perlu jasa psikiater. Padahal sejatinya ada banyak gejala kejiwaan yang mengindikasikan kalau jiwa Anda sakit. Perasaan cemas dan gelisah sampai perasaan galau seperti yang dialami remaja yang hilang arah sudah termasuk gangguan psikis. Hanya kadar gangguannya saja yang berbeda pada setiap orang. Bagi mereka yang mampu mengatasi ‘perasaan tidak nyamannya,’ maka tak perlulah pergi ke psikiater.

Sialnya, saya tergolong orang yang tidak berhasil mengatasi ‘perasaan tidak nyaman’ dalam diri saya. Semakin hari ‘perasaan tidak nyaman’ itu kian mengganggu aktivitas saya. Hingga pada satu titik saya merasa perlu untuk berkunjung ke psikiater sekedar untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa, kenapa, dan bagaimana.

Perasaan tidak nyaman yang saya rasakan akan tampak simpel saat dituliskan: “Cemas,” “takut salah,” “gelisah/was-was,” “terlalu perasa,” “pesimisme,” “perasaan tidak berguna,” dan “ketakutan pada hal-hal yang belum terjadi.” Perasaan-perasaan itu akan bergantian mengisi hari-hari saya dengan kadar yang berbeda-beda. Tergantung kondisi kejiwaan/mood saya.

Hm...kalau dipikir-pikir ‘lebay’ juga sih menuliskan masalah saya sendiri dan mempublikasikannya di blog pribadi. Apa yang Anda baca sekarang pun sebenarnya adalah salah satu terapi psikis yang sedang saya jalani. Setidaknya, menulis memudahkan saya untuk menjauhkan pikiran-pikiran negatif dan mencegah timbulnya depresi berkepanjangan.

Lalu untuk apa saya menulis pengalaman saya ke psikiater? Apa manfaatnya bagi orang-orang??? Ya, sederhananya, saya cuma ingin bilang kepada Anda, tak perlu ragu mendatangi psikiater. Psikiater menerima segala pasien kok. Bahkan orang yang secara lahiriah tidak sakit seperti saya. Psikiater tahu mana pasien yang benar-benar mengalami gangguan jiwa, dan mana pasien yang hanya ‘terguncang’ jiwanya. Penanganan terapi dan resep obatnya pun jelas berbeda.

Ah...sudahlah. Daripada tulisan ini semakin ngelantur dan tidak berdayamanfaat, ijinkan saya menertawakan diri saya sendiri. Hanya karena terlalu mudah ditipu pikiran-pikirannya sendiri, saya sampai terbebani dan merasa sangat-sangat tidak nyaman dan membayar mahal untuk jasa psikiater. Satu resep ampuh dari kunjungan saya ke psikiater: “MENULISLAH”—abaikan semua pemikiran negatif dan buat diri Anda senyaman mungkin dengan pikiran-pikiran lain yang lebih positif.

Tidak ada salahnya kok dicoba :)

*catatan ini adalah reminder yang saya buat ketika saya masih berkutat dengan skripsi. #nostalgia

Pemuda yang Menganiaya Dirinya Sendiri

“Tuan, dari tadi Anda selalu menyinggung tentang manusia yang menganiaya dirinya sendiri. Siapakah manusia yang Tuan maksudkan itu?”

“Orang yang membiarkan dirinya sendiri dalam kegelapan.”

“Maksud Tuan?”

“Ya, orang-orang yang lebih memilih terkungkung rasa tidak berdaya dan memilih menyerah pada nasib buruk itulah manusia yang menganiaya dirinya sendiri. Orang yang membiarkan dirinya sendiri menjadi bodoh, tanpa kemauan untuk menambah ilmunya juga termasuk menganiaya dirinya sendiri. Atau orang miskin yang membiarkan kemiskinan itu menyengsarakannya tanpa sekalipun mencoba kesempatan yang datang untuk mengubah nasib.

“Banyak sekali, Tuan. Tapi bagaimana jika itu takdir? Seandainya takdirnya saya memang miskin bagaimana, Tuan?”

“Kau berbicara seakan-akan kau bisa membaca takdir. Padahal takdir itu rahasia-Nya. Yang Beliau syaratkan adalah UPAYA-mu. Kau tahu, hal apa yang tidak mungkin bagi Tuhan?”

“Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya, Tuan.” Pemuda itu mengernyitkan dahi. Bingung dengan penjelasan Kakek itu.

“Ada dua hal yang ‘tidak mungkin’ bagi Tuhan, anak muda. Pertama, Tuhan tidak mungkin tidak menyayangimu. Dan kedua, Tuhan tidak akan mengubah nasibmu kecuali kamu BERUPAYA. Tapi bukan berarti Tuhan tidak kuasa melakukan itu. Tuhan ‘membatasi’ kuasa-Nya agar manusia merasa perlu berupaya, berikhtiar, dan berdoa.”

“Tapi selama ini saya merasa sudah melakukan semua usaha itu, Tuan. Tapi nasib saya begini-begini saja—tidak berubah.”

“Akui sajalah, anak muda. Kau pribadi yang pemalas. Kau lebih senang menunda pekerjaan daripada menyelesaikannya. Kau lebih senang mencari alasan daripada mencari jalan keluar. Kau lebih senang jalan yang mudah daripada melalui jalan mendaki yang sulit. Bahkan kau sering menghujat dirimu sendiri dan menyesali kelahiranmu di dunia ini. Lalu apa yang bisa diharapkan dari manusia sepertimu?”

Pemuda itu terdiam. Mukanya yang masam seketika menunduk—malu.



“Ya, Tuan. Semua itu benar. Saya harus mulai bergegas.”

Sinetron-Sinetron Njiplak (Waton) Njeplak

Saya cukup bersyukur karena tayangan ‘alay’ salah satu stasiun TV swasta yang terkenal dengan joget absurd-nya mulai merespon teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan menghentikan tayangan tersebut. Tindakan pembenahan mulai dilakukan. Tayangan alay (memang) di-STOP, (tapi) dibikin versi baru, judul baru, dengan cita rasa yang sama ‘alay-nya.’ Penonton bayaran, joget absurd, musik ajip-ajip, joget lagi, dan humor dangkal dibumbui hinaan fisik lawan bicara. Harapan saya untuk menonton tayangan TV yang lebih bermutu kandas. Saya memutuskan tidur.

Selera setiap orang berbeda. Tapi saya yakin ada yang namanya standar kewarasan tentang bagaimana sebuah tayangan dinilai mendidik, menghibur, atau sekedar lawakan dangkal yang jauh dari kesan hiburan? Di mana letak lucunya orang dipukul dengan styrofoam? Di mana serunya ketika ada orang baik-baik dilempar tepung, cairan warna-warni? Apa gokilnya menguak kehidupan pribadi artis dan menjadikannya guyonan seakan yang dibicarakan merasa baik-baik saja? Saya sambar remote lantas berganti channel. Perhatian saya tertuju ke sinetron yang rutin tayang saat prime time. Dan sekali lagi, hopeless.

Saya pernah hidup di jaman ketika sinetron epik macam Keluarga Cemara, Pernikahan Dini, dan Tersanjung masih beredar. Jadi saya punya standar sendiri tentang sinetron seperti apa yang saya bilang bermutu. Film-film kolosal ber-genre laga macam Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, dan Angling Dharma pun pernah saya acungi jempol. Bukan karena para pemerannya yang ganteng-ganteng cantik-cantik, tapi karena saya memang menyukai orisinalitas dan keunikan cerita yang disuguhkan.

Karenanya, pantaslah saya berang ketika film-film tersebut di-remake dengan kesan yang jauh dari orisinalitasnya. Ibarat penari ronggeng semok yang kian menor ditabur bedak berlebih. Absurd.

Saya tahu sulitnya membuat skenario yang mengandalkan sistem kejar tayang. Bukan perkara mudah membuat plot cerita berbobot dengan tetap menjaga keruntutan jalan cerita dan interdependensi antar tokoh. Tapi ituadalah resiko, tantangan yang harus dihadapi para sineas kita bila memang serius ingin menggarap sinetron atau tayangan semacamnya. Ini perkara idealisme Bung. Bukan sekedar karya sehari jadi, tapi juga menyangkut kualitas dan orisinalitas yang tengah digali kembali dari nilai-nilai budaya tanah air.

Ironisnya, di tengah isu plagiarisme sinetron, salah satu sinetron kita pernah diperkarakan ke ranah hukum oleh rumah produksi luar negeri yang merasa karyanya diplagiat. Apa kita memang kurang bahan untuk sekedar membuat cerita orisinil yang berakar dari kehidupan dan budaya masyarakat kita? Apakah sebegitu silaunya sineas kita sampai-sampai harus menjiplak sebagian karya orang lain hanya karena rating atau iming-iming kesuksesan program secara instan?


Saya hanya bisa menggeleng. Hari ini, sinetron tentang bocah ajaib dengan tongkat sihir berkekuatan supernatural dan mobil terbangnya sedang booming. Harapnya sih sinetron ini akan menginspirasi anak-anak dengan kisah imajinatif dan memberikan warna baru bagi dunia persinetronan tanah air. Semoga sinetron baru ini bisa bertahan lama sampai dibuatkan 7 sekuel. Biar lebih mirip film tentang bocah penyihir di sekolah sihir Hogwarts dengan kedua teman sejawatnya. Eh, barangkali saya saja yang amnesia.

Pengalaman Pertama Demam Berdarah

Suatu ketika pernah saya menonton film dokumenter tentang daftar hewan-hewan paling mematikan di dunia. Saya cukup terkejut karena di list nomor satu bercokol serangga kecil penghisap darah—nyamuk. Ya, nyamuk adalah hewan paling mematikan di dunia.

Keberadaan nyamuk sebagai hewan pembunuh manusia nomor satu tidak dikarenakan kemampuannya menghisap darah. Justru keterlibatan nyamuksebagai vektor penyebar penyakitlah yang membuat serangga ini menjelma menjadi begitu mematikan. Banyak penyakit yang penyebarannya berasal dari nyamuk. Malaria, kaki gajah, sampai demam berdarah.

Saking kecilnya nyamuk membuat hewan ini sering luput dari perhatian. Manusia seringkali abai terhadap ancaman nyamuk. Semboyan 3M hanya menjadi pemanis sudut-sudut ruang rumah sakit dan puskesmas. Barulah ketika ada warga yang positif terkena penyakit, masyarakat di sekitarnya geger.

Hal ini pula yang terjadi pada saya. Sejak kemarin Senin (11/5) saya merasa tidak enak badan. Awalnya seperti meriang-meriang saja namun hari-hari berikutnya suhu tubuh saya naik. Setelah dua kali menjalani pemeriksaan darah, saya didiagnosis mengalami gejala demam berdarah. Meski baru gejala, saya merasa perlu menetapkan status AWAS untuk mengantisipasi memburuknya kondisi tubuh saya. Maklum, paman saya juga baru pulang dari rumah sakit karena demam berdarah.

Demam berdarah tergolong penyakit yang gejalanya mirip dengan penyakit-penyakit lain seperti flu dan tipus. Hasil tes darah saya, kadar trombosit saya mengalami penurunan dari 190.000 menjadi 179.000. Belum bisa dibilang parah namun sudah menunjukkan gejala demam berdarah. Selain itu kadar hematokrit saya mengalami kenaikan dari yang sebelumnya 38,9 menjadi 40. Setelah beberapa kali googling tentang penyakit ini, dua indikator tersebut biasa dipakai untuk mengenali gejala demam berdarah. Jadi saya mengamini apa yang dokter sampaikan.

Selama ini saya sering meremehkan demam berdarah. Saya merasa baik-baik saja selama tetangga kanan kiri tidak ada yang terjangkit. Tapi begitu saya merasakannya sendiri, saya berharap tidak ada satupun tetangga saya yang tertular—lebih-lebih keluarga saya. Ada tiga teman saya yang pernah mengalami demam berdarah. Yang paling saya ingat adalah teman SMP saya yang sakit demam berdarah hingga harus opname di rumah sakit. Kadar trombositnya menyusut hingga konon katanya badannya terasa sangat lemas.

Di satu sisi saya pantas bersyukur karena penurunan trombosit saya tidak berubah drastis dalam waktu singkat. Dalam kondisi demam yang belum juga pulih sejak hari senin kemarin, saya masih cukup bugar untuk beraktivitas. Hanya pada sore-malam hari, suhu tubuh saya naik. Selalu begitu. Satu hal yang mengkhawatirkan saya adalah kenyataan bahwa demam berdarah sering hilang timbul. Sampai saya membuat tulisan ini, saya masih dalam masa karantina untuk rutin cek up ke dokter, memastikan kondisi saya baik-baik saja. Termasuk melakukan cek darah rutin untuk melihat apakah trombosit saya sudah normal kembali atau semakin menurun.

Harapan saya, semoga penyakit ini tidak separah demam berdarah yang menimpa teman atau paman saya. Ada banyak tugas yang harus saya selesaikan minggu-minggu ini. Aamiin.


* Untuk ibu saya, terima kasih sudah berkenan menanggung biaya pengobatan dan transportasinya. Maaf merepotkan J

Distorsi Kognitif vs Hobi Blogging

Kapan ya, bisa rutin ngeblog? Pertanyaan itu seringkali melintas di pkiran saya. Berharap blog yang barusan direnovasi ini bisa eksis. Tapi apa daya karena alasan klasik kesibukan dan tugas-tugas lain yang lebih primer, blog pun terbengkalai.

Sebenernya nggak cuma blog saja yang terbengkalai. Bahkan update status di jejaring sosial pun tidak saya lakukan. Boleh jadi ini adalah indikasi bahwa saya masih belum mencintai aktivitas menulis. Padahal kalau saya mau percaya dan belajar dari mereka para dewa menulis seperti Emha Ainun Najib, Arswendo, Seno Gumira Aji Dharma, Darwis Tere Liye, sampai penulis sekaliber Pramoedya Anantha Toer, mereka mendedikasikan hidup untuk menyenangi menulis dan berkarya lewat tulisan.

Kenapa mereka saya sebut dewa? Karena memang karyanya yang berkualitas dan diimbangi dengan kuantitas. Saya yakin mereka menulis setiap hari, tidak hanya puluhan—ratusan lembar tulisan dalam sehari pun jadi.. kalau tidak demikian, mustahil karya-karya masterpiece mereka bisa mendobrak pasaran, menjadi best seller.

Blog ini saya tujukan sekedar untuk membuat saya menyukai aktivitas menulis. Bagi saya ini penting. Saya memiliki sebuah gejala psikis yang saya namai: gejala “Over-Thinking.” Sebuah gejala psikis yang membuat saya berpikir terlalu banyak terhadap hal sekecil apapun yang saya temui. Maaf kalau istilahnya maksa banget.

Gara-gara Over-Thinking ini pula saya jadi pribadi yang rentan depresi. Saya menjadi orang yang terlalu perasa, sulit mengacuhkan penilaian dan respon emosional orang lain pada saya. Akibatnya pikiran saya acapkali disesaki banyak prasangka—yang sebenarnya hanya ketakutan psikis hasil interpretasi keliru saya terhadap sikap orang lain. Selebihnya, saya lebih sering merasa tidak nyaman dengan apa-apa yang saya beri untuk orang lain, takut dicap salah, cemas dinilai buruk orang lain, dan seterusnya.

Gejala Over-Thinking dalam istilah psikologi (kebetulan saya beli salah satu buku psikologi klinis) disebut Distorsi Kognitif. Ada banyak macam gejala distorsi kognitif. Salah satunya yaa seperti yang saya alami—kecenderungan takut dikritik, merasa tidak bisa melakukan sesuatu yang belum dicoba, menggeneralisasi respon buruk orang lain, melabeli diri sendiri secara negatif, dan meramalkan hal buruk secara ekstrem.

Di antara sekian gejala distorsi kognitif tersebut, satu-satunya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memaksa diri saya sendiri untuk mengubah respon kognitif. Artinya saya harus memaksa ‘membelokkan’ setiap pikiran-pikiran buruk yang muncul dengan pikiran-pikiran lain yang lebih positif. Dan salah satu terapi yang psikolog sarankan bagi saya adalah menulis. Ya, tuliskan pikiran negatif yang muncul, lantas ikuti dengan pikiran positif sebagai antitesis dari pikiran negatif tersebut.


Jadi, maafkan saya bila isi blog ini terkesan serba gue, nggak penting, curhat melulu, atau banyak konten yang tidak pantas di dalamnya. Maafkan saya bila Anda tidak puas dengan blog ini, karena blog saya bukan ‘barang pemuas.’ Ijinkan saya untuk belajar menjadi lebih baik. Salam.

Blog Terlantar

Setelah sekian  lama blog ini terbengkalai, akhirnya saya kembali menemukan mood untuk menulis blog ini lagi. Saya tidak bisa ngeles dengan alasan macam-macam untuk mengabaikan blog ini. Saya tidak bisa ngeles blog ini terbengkalai karena tugas-tugas kuliah yang menumpuk—karena saya sudah resmi graduated Desember 2014 lalu (alhamdulillaah). Saya juga tidak bisa ngeles karena sibuk travelling bareng pacar karena semenjak saya mengalami renaissance 5 tahun yang lalu saya keukeuh meninggalkan dunia gemerlap pacaran.

Akhirnya, here I am. Di sinilah saya berada. Blog ini kembali saya tulisi. Bagi saya, blog ini ibarat mini diary. Dan berhubung saya laki-laki, tidak pantas rasanya bila saya harus menuliskan segala keluh kesah dan cerita absurd saya dalam buku sampul merah bertuliskan “DIARY”. Maka blog inilah yang menjadi pelampiasan segala uneg-uneg saya selama ini.

Sudah lama saya menyadari bawa menulis adalah proses berpikir. Jika kita berpikir maka sebaiknya kita menulis. Belakangan saya kembali tersiksa dengan sedemikian banyaknya pikiran-pikiran dalam otak saya. Segala ide, gagasan, kritik, nasihat, dan stress membaur mengisi pikiran saya menuntut pelampiasan. Dan menulis adalah satu-satunya jalan yang bisa saya tempuh untuk membuat pikiran saya lebih tertata.

Bayangkan, otak ini ibarat ruang arsip. Karena suatu hal ruang arsip ini menjadi sangat berantakan. Dokumen-dokumen berserakan, saling bercampur satu sama lain. Tidak ada lagi kategorisasi dokumen. Semua tercecer dimana-mana. Saya pun sulit untuk mengendalikan pikiran-pikiran saya sendiri. Saya harus memutuskan untuk mulai menatanya.

Dan alat bantu penataan otak dan psikis saya itu adalah blog ini. Tempat di mana segala curah gagasan saya berada. Tempat di mana kertas dan pulpen tak lagi cukup bagi saya untuk mengungkapkan semua. Dan berhubung saya netizen aktif, maka saya lebih berkenan menulis di sini. Perdemit* (bahasa halus untuk mengganti kata “perset*n”) dengan siapa saja yang kebetulannyasar di blog absurd ini.


Cukuplah blog ini yang ditelantarkan. Kalau anak manusia jangan ditelantarkan yah. Piss.