Subscribe:

Labels

Saturday 16 August 2014

Membenci dengan Bijaksana

"Jangan pernah membenci orangnya, bencilah sifatnya."
- AA Gym -
  
Siapa yang tidak benci dengan orang yang suka kentut sembarangan? Apalagi kentutnya di rumah makan. Brruuuttt! Ugh, selera makan seketika hancur. Beberapa pelanggan bergegas keluar—kabur mencari udara segar. Ironisnya, yang kentut malah tidak dengar dirinya kentut. Maklum dia orang tuli. Bau sengak amoniaknya malah dianggap bau toilet rumah makan yang seharian tidak disiram. Tapi apa jadinya bila orang yang suka kentut sembarangan itu adalah seorang artis idola kita atau pemuka agama yang didengar setiap cuap lisannya? Akankah kebencian tetap mendarah daging dalam benak kita layaknya si tuli tukang kentut di rumah makan?

Membenci identik dengan apa yang tidak disukai. Semakin banyak karakter seseorang yang tidak kita sukai, maka semakin pula kita membenci orang tersebut. Pun dengan gadget atau perabotan lain di rumah. Semakin banyak kriteria “benda yang tidak kita suka” muncul, maka semakin kita membenci barang tersebut. Ini hukum alam, rasionalitas membenci yang mutlak. Tapi tentu saja sebagai manusia yang berakal dan bernurani, kita akan arif bertanya pada diri sendiri, haruskah saya membenci seumur hidup saya?

Hidup dalam kungkungan kebencian jelas tidak nyaman. Sepekat dan segelap apapun hati kita, membenci tetap saja tidak enak. Seorang bawahan berangkat ke kantor. Ketemu dengan atasan yang dibenci. Suasana mendadak jadi horor. Si bawahan memilih untuk tidak berjabat tangan lantas melipir memilih jalan lain agar tidak berpapasan dengan si atasan. Takut kena damprat. Benci banget sama si atasan yang terkenal suka menuntut dan marah-marah nggak jelas. Kita pasti pernah mengalami situasi ini karena membenci adalah sebuah reaksi normal yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada objek yang tidak disukainya. Lalu bagaimana agar kebencian yang kita rasakan tidak sampai merusak pribadi kita?

Seorang bijak menasehati: “Jangan pernah membenci orangnya, bencilah sifatnya.” Jleb! Semua manusia bisa membenci sesamanya, tapi hanya mereka yang arif yang bisa membenci secara objektif, membenci sikap/kelakuan yang tiada disukainya. Dan ini membutuhkan latihan dan olah rasa terus-menerus. Bukan perkara instan yang bisa diperoleh selepas sekolah 24 jam.

Membenci dengan bijaksana merupakan pekerti yang baik. Kita tidak bisa munafik dengan mangatakan bahwa orang baik tak akan membenci apapun. Salah besar bila mengatakan orang suci adalah mereka yang tidak pernah membenci. Justru sebaliknya, orang-orang arif yang luhur pekertinya senantiasa mengarahkan kebenciannya secara objektif, membenci pada hakikat sifat yang dibenci, bukan membenci objek tempat di mana hakikat/sifat itu berada. Bukankah sudah tampak kerusakan yang ditimbulkan akibat kebencian yang teramat sangat pada sekelompok orang tertentu, sekelompok aliran tertentu?

Yakinlah, bahwa membenci dengan bijaksana akan mempermudah usaha kita untuk memaafkan sesama. Mempermudah kita meraih keluhuran pekerti dan membawa kita pada kesadaran betapa indahnya hidup bila setiap orang bisa saling mengerti dan memahami. Sadarilah bahwa kita pasti akan bertemu dengan berbagai jenis manusia dengan segala sifatnya. Ada banyak sifat yang tidak kita suka, tapi usahakanlah untuk berbesar hati menerima keberagaman itu dengan tidak membenci orangnya. Cukuplah kita membenci sikapnya yang tidak mengenakkan. Tapi sekali lagi hendaknya kita selalu memilih untuk berdamai dengan orang tersebut.

Fenomena Hakim Ganteng dan Selera Remaja


Masih soal jelek dan ganteng. Belakangan di media sosial ramai diperbincangkan tentang salah satu hakim Indonesia, sebut saja Om Yuli. Nah, kenapa orang ramai bicarain tentang Om Yuli? Simpel, karena Om Yuli ganteng. Nggak peduli beliau sudah om-om pabrikan tahun 1962, yang penting masih gres dan kinyis-kinyis. Cocok banget dah kalau syuting drama korea, ambil peran Ayah pemeran utama. Walhasil karena kegantengan Om Yuli ini, kasus sidang gugatan pemilu yang over-heated malah jadi anyes karena tampilan dingin-tegas Om Yuli.

Saya tertarik mengikuti pemberitaannya karena sepertinya masyarakat kita, terutama para remaja sangat sensitif dengan cowok ganteng. Seakan-akan cowok ganteng merupakan barang langka yang jarang ditemui saban hari. Normalnya manusia tertarik dengan lawan jenis yang shinny. Kulit putih pun jadi patokan. Ah, saya pun jadi berpikir kalau dunia terlalu ‘mendewakan’ mereka yang unyu-unyu, bagaimana dengan mereka yang jauh dari kriteria unyu-unyu? Haruskah kita menilik teori Seleksi Alam? Yang tidak bisa beradaptasi mengikuti ‘selera pasar’ harus tersingkir, termarginalkan, dan tidak dipenuhi hak-haknya? Berlebihan.

Belum ada studi khusus mengenai pengaruh K-Pop pada selera asmara remaja dalam memandang lawan jenis. Mau tak mau dan suka tak suka, K-pop dengan drama sampai boyband-nya telah membius jutaan manusia dengan penampilan fisiknya. Belum lagi idol group macam AKB48 dan sanak-nya JKT48 yang membuat  para remaja tanggung berteriak histeris meneriakkan oshi-nya sampai terobsesi menjadi kekasih sang idola. Semua menjual tampilan fisik yang kinyis-kinyis dan unyu-unyu sebagai sebuah komoditas entertainment dalam skala massif.

Hendaknya ketika kita suka sama yang ganteng, yang cantik, yang unyu-unyu, semua dilakukan dengan SEWAJARNYA. Jangan berlebihan, nggak usah lebay. Bukankah konyol bila kita menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan seseorang yang boleh jadi tidak pernah memikirkan kita? Silahkan maen twitter. Nge-tweet para seleb di sana. Tapi jangan kepedean, mupeng, ngarep banget mentionnya dibales. Sekali lagi pesan saya, lakukan SEWAJARNYA saja. Ngefans boleh tapi ya sewajarnya saja.

Om Yuli hanya contoh kecil saja, betapa penampilan fisik masih menjadi primadona masyarakat dunia saat ini. Saya paham, gejala ini sangat normal. Tapi entah kenapa saya malah mempermasalahkan kenormalan ini. Atau jangan-jangan malah saya sendirilah yang tidak normal. Agaknya saya butuh ke psikiater akhir pekan ini. #guyon

Friday 15 August 2014

Karena Cantik Tak Selalu ‘Putih’



Cantik itu relatif, jelek itu mutlak?

Familiar dengan kalimat di atas? Semoga tidak. Karena saya pribadi tidak terlalu suka bila kriteria fisik dijadikan dasar segala pertimbangan dalam menjalani hidup ini. Okelah saya bersyukur dikaruniai wajah yang nggak jelek-jelek amat. Biasa saja. Tapi semua berubah ketika saya hidup di lingkungan di mana warna kulit dipersoalkan. Saya hidup jauh dari pedalaman Afrika dengan politik Apartheid-nya. Saya juga tidak tinggal di Amerika di mana orang kulit hitam akan marah ketika pigmennya kulitnya dijadikan lelucon. Saya tinggal di Indonesia, asli Indonesia, di mana budaya etika dan sopan santun dijunjung tinggi.

Postingan kali ini masih nyambung dengan postingan saya sebelumnya tentang kelakar dosen saya. Agak nyeseg rasanya saat membaca status/tweet teman yang mempersoalkan warna kulit. Aku item, aku nggak cantik, aku jelek, bla bla bla. Intinya tidak suka dengan warna kulitnya yang gelap. Maunya sih ya kulit putih bersih—pakai baju apa saja cocok. Segala jenis salon kecantikan dan produk kosmetik dicoba. Buat yang kulitnya gelap kepengen kultnya dipermak menjadi lebih cerah, nggak harus puti-putih amat yang penting sekitar wajah tampak SHINNY. Cling!

Bagi orang Indonesia yang rata-rata berkulit saw matang, memiliki kulit putih bisa dibilang anugerah. Apalagi ‘putih’ telah menjadi salah satu kriteria CANTIK yang didoktrinkan melalui berbagai iklan produk kosmetik. Saya sendiri telah lama termakan jargon kosmetik. Saya menjadi cenderung menyukai wanita yang kulitnya putih, cerah, minimal kuning bangsat, eh, kuning langsat gitu. Apalagi kalau berambut panjang dan memiliki wajah oriental. #Plakk! Harap maklum, namanya juga masih bujangan. :)

Toh bagi saya ini bukan kriteria ideal untuk menstratakan manusia cantik/jelek. Ada jauh lebih banyak kriteria lain yang lebih objektif dan , seperti attitude dan derajat ketakwaan. Terkesan agamis-sok bijak memang, tapi yakinlah bahwa tampilan luar seringkali menipu. Seganteng dan secantik apapun manusia kalau hatinya busuk, niscaya sirnalah segenap pesona fisiknya. Anda tahu Maria Ozawa? Cantik bukan? Tapi kalau tahu dia bintang film porno yang melegenda, tentu para lelaki waras akan berpikir dua kali untuk menikahinya.

Ibuk saya sendiri yang bilang, kalau memilih wanita, pilihlah yang attitude nya baik. Sikapnya baik. Nggak mesti selalu yang cantik, yang penting attitude-nya. So, buat cewek-cewek yang mungkin saat ini sedang minder karena kulitnya tidak putih, dunia nggak akan kiamat kok meski kamu nggak punya kulit putih atau kuning langsat seperti yang diidamkan kebanyakan wanita Indonesia. Yang membuat ‘kiamat’ justru mereka para wanita yang dianugerahi kecantikan kulit dan fisik mengagumkan, tapi lalai dari menjaga keluhuran pekerti dan kehormatannya sebagai wanita. Alih-alih malah membiarkan dirinya menjadi tontonan berjuta pasang mata lelaki bahkan secara cuma-cuma.

Antara Ganteng dan Jelek



Dosen saya pernah berkelakar, kalau mau jadi artis tampangmu harus “ganteng-ganteng tenan”, atau “jelek-jelek tenan.” Dalam bahasa Indonesia yang baik yang benar, dosen saya ini bilang kalau mau jadi artis, maka syarat fisiknya kalau punya wajah ganteng ya harus ganteng sekali, tapi kalau punya wajah jelek ya harus jelek sekali. Maaf kalau terlalu kasar. Tapi saya sendiri mengamini kelakar si dosen nyentrik.

Industri hiburan alias entertainment telah mengalami serangkaian perubahan yang sangat dinamis. Terlepas dari kecanggihan teknologi piranti audio-visual yang semakin berkembang dewasa ini, dalam industri hiburan selalu menghadirkan para bintang (selebritis) dengan karakter khas. Entah penyanyi, pemain sinetron, model, bintang laga, sampai bintang iklan kulit manggis selalu menyertakan karakteristik yang khas yang menjadi daya tarik pembeda. Kalau nggak ganteng ganteng banget ya jelek jelek banget. Saya tidak akan menyinggung siapa artis jelek dan siapa yang ganteng/cantik. Anda yang sering nonton TV di rumah bisa menyimpulkan sendiri. Meski banyak orang mengatakan ganteng/cantik itu relatif, tapi kalau ditanya tentang jelek, jawabannya mungkin hanya satu: MUTLAK (*piss)

Kelakar dosen saya akan jelas terlihat dalam tayangan komedi di mana artis ganteng-cantik berbaur dengan mereka yang tak rupawan. Boleh jadi ada sebagian orang yang bergumam, orang sejelek dia kok bisa-bisanya yah jadi artis? Atau komentar sejenis dari mereka yang merasa ke-PD-an: “Kok ada yang mau bayar dia buat naik panggung padahal saya jauh lebih ganteng dan keren dari dia.” Sah-sah saja bila ada yang merasa tidak adil. Tapi nyatanya kehadiran artis yang ganteng ganteng banget dan yang jelek jelek banget dalam sebuah acara terbukti mampu menjaga rating penonton tetap tinggi. Terlepas dari talenta masing-masing artis, aspek fisik tetaplah menjadi jualan utama industri entertainment. So, agar kita tidak cepat jemu menonton hingga berdampak pada penurunan rating siaran, maka dibuatlah acara yang bervariasi dengan tampilan artis yang bervariasi pula. Ini gejala wajar, normal—berminyak. #eh

Lalu apa hikmahnya? Buat yang ganteng-ganteng dan yang cantik-cantik mungkin bisa jadi lebih PeDe kali ya, berasa bisa jadi artis, ikut audisi bla bla bla. Setidaknya bisa ikutan memakai produk atau lifestyle si artis idola misalnya dalam hal fashion. Lha buat yang jelek? Mungkin buat motivasi kali yah. Nggak usah berkecil hati ketika fisik tidak bisa dibilang rupawan. Selalu ada jalan untuk sukses terlepas dari seburuk apa tampilan kamu. Contohnya yaa seperti artis-artis itu. syaratnya kerja keras dan terus belajar.

“Lah, mereka kan artis. Gue bukan.” Memang beda ya? Setahu saya jadi artis seperti mereka juga nggak gampang lho ya. Jangan pikir mereka bisa jadi artis dengan simsalabim. Meski fisik tak mendukung tapi mereka selalu bisa menjual talenta mereka. Mereka mau belajar dan tak henti bekerja keras. Silahkan googling sendiri tentang riwayat-riwayat artis yang nggak ganteng tapi berhasil sukses di dunia entertainment (sekali lagi saya nggak suka nyebut merk di sini).

So, inilah dunia hiburan kita. Dunia yang serba menonjolkan fisik. Saya pun hanya manggut-manggut dengan kelakar dosen saya. Jadi, kalau tampangnya biasa-biasa saja seperti saya (ganteng kagak, jelek juga kagak) maka jangan harap jadi artis. Jadilah pembelajar, manusia yang selalu haus untuk belajar; pasti lebih baik. Good.

Tentang Narsis dan Sebangsanya


Saya ingin jujur di sini. Saya bukan tipe orang yang hobi jeprat-jepret di depan kamera alias selfie. Ritual hadap kamera, kemudian pasang tampang terunyu adalah sesuatu yang jarang saya lakukan. Boleh jadi saya menjauhi selfie karena nggak pede dengan tampilan wajah saya. Eh, tapi saya pribadi merasakan phobia kamera sejak kecil. Ini yang membuat aneh. Jangan-jangan saya memang tidak berjodoh dengan kamera. Jangan-jangan saya memang tidak dikehendaki untuk narsis di sembarang tempat.

Salah seorang teman SMP saya punya motto unik. Di buku kenangan SMP dia menulis motto: “Narsis lebih baik daripada munafik.” Ah, saya kurang begitu tahu untuk siapa motto ini dia tujukan. Yang jelas, membandingkan narsis dan munafik terlihat sangat aneh.

Seperti yang kita tahu bahwa narsis identik dengan pamer (kadang2). Narsis di monas, jepret. Narsis di Tokyo, jepret. Narsis di Mekkah, jepret. Narsis everywhere, menunjukkan ke semua orang bahwa gue pernah ke tempat-tempat ini. Atau dalam hal kuliner misalnya, makan di resto mewah jepret. Makan di pucuk Burj Khalifa di Bahrain, jepret. Atau makan di stasiun luar angkasa Amerika dengan gravitasi nol, jepret (tumpah-tumpah makanannya).

Narsis boleh dibilang sudah menjadi gaya hidup manusia modern belakangan ini. Teknologi kamera yang semakin canggih dan terintegrasi dengan perangkat sejuta umat (HaPe) membuat tren jepret-jepret menjadi jamak dilakukan. Tak peduli ada berita ABG menjadi korban pelecehan karena mengunggah foto mesumnya bla bla bla, fenomena narsis tetap menghinggapi perilaku orang banyak.

Balik lagi ke kasus saya. Berhubung saya tidak suka narsis, canggung di depan kamera, saya jadi sempat mikir kalau saya mungkin mengalami pengalaman mistis seperti tokoh utama di film Insidious. Di film horror ini pemeran utama (sebut saja Bagus) dikejar-kejar oleh sesosok makhluk astral yang sempat memperlihatkan diri dalam foto Bagus saat kanak-kanak. Penampakan selalu mewarnai foto narsis Bagus. Karena itu, foto-foto Bagus kemudian disembunyikan oleh ibunya karena ditengarai menimbulkan hal yang tidak-tidak. Hingga Bagus dewasa, makhluk astral yang menguber-uber Bagus belum juga pergi.

Ah, sudah mulai horror nih jadinya. Boleh jadi kalau nanti ada yang minta foto bareng saya, jangan heran ya, kalau muncul sesosok putih-putih atau hitam legam berbulu. Boleh jadi itu makhluk astral yang menugber-uber jiwa saya sehingga saya phobia sama kamera. Hihihi...

Akhir kata, narsis boleh-boleh saja. Tapi inget lho, tetap menjunjung tinggi etika dan norma kesopanan yang berlaku di masyarakat. Hati-hati fotonya disalahgunakan orang tidak bertanggung jawab.

Wedang Uwuh dan Nostalgia Kota Jogja



Ada yang pernah minum wedang uwuh? Belum? Yang bisa berbahasa jawa dengan baik dan benar pasti akan mengerutkan dahi saat pertama kali mendengar wedang uwuh. “Uwuh” dalam bahasa Jawa berarti sampah—lebih konkritnya semacam tumpukan sampah yang berserakan. Biasanya sih yang disebut “uwuh” adalah sampah-sampah dedaunan kering dan rumput-rumput liar yang ditumpuk untuk kemudian dibakar. Jadi ketika ada produk kuliner bernama “wedang uwuh,” yang pertama kali terlintas di pikirannya adalah dedaunan kering yang dikumpulkan kemudian diseduh dalam cangkir. Hoekksss... (*muntah uwuh)

Saya berkenalan dengan “wedang uwuh” saat seorang teman mengajak saya ke sbuah kafe remang-remang di sudut kota (eh, bercanda). Jadi di kafe ini, segala jenis minuman tradisional Jawa ada. Setelah menerima bill, saya mulai memilih minuman. Deg, “wedang uwuh” ??? Unik juga namanya. Tapi karena namanya mencurigakan, saya tak memesannya. Alih-alih teman saya itu yang emmesan wedang uwuh. Gelagatnya sih mau promosi.

Begitu sajian tiba, saya dapati wedang uwuh ternyata bukan wedang hasil olahan sampah yang diseduh (ya nggak laah). Jadi wedang uwuh ini adalah semacam minuman tradisional penghangat tubuh. Isinya macem-macem. Yang pasti ada biasanya kayu manis. Mungkin di tempat lain ditambahkan juga jahe dan herba lain yang ‘hot’. Rasanya? Dibilang enak sih relatif ya. Lidah orang beda-beda. Tapi yang jelas berasa itu efek angetnya. Wedang uwuh ini cocoknya diminum saat masih panas di tengah guyuran hujan. Wuidih... Romantis juga ya.

Anyway, buat yang pernah ngekos di Jogja, maka wedang uwuh pasti punya cerita sendiri di hati kalian. Nyesel kalau seumur-umur ngekos di jogja tapi belum pernah nyobain wedang uwuh. Jadi berasa nostalgia gitu deh kalau membahas wedang uwuh. Buat adek-adek mahasiswa baru yang masuk tahun ini, silahkan berburu kuliner unik khas Jogja, termasuk wedang uwuh ini. Harganya pas kok di kantong. Apa sih yang nggak murah di Jogja? Hehe.

Mari nguwuh, mari bicara. Salam uwuh! :)