Subscribe:

Labels

Tuesday 1 November 2016

Pindah Rumah. . .


Setelah menimbang (berat badan), menilai (benar-salah), sambil memutuskan (mantan pacar), saya pikir sudah saatnya saya membuat rumah baru. Sejak pertama kali membuat blog, saya tidak pernah cukup serius menggarap kontennya. Tata bahasa yang kacau dan krisis identitas di blog ini mendorong saya untuk menggarap blog baru yang lebih "gue banget". Tentu saja dengan perbaikan konten di sana sini agar blog saya tidak membuat sakit para pengunjungnya.

At least, jika kalian berkenan, silahkan mampir ke rumah baru saya di sini

Monday 13 June 2016

Hikmah dan Romantisme Puasa


“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang- sebelum kamu,
agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 183)

Puasa, sebagaimana ibadah wajib lainnya bagi saya menyimpan romantisme tersendiri. Saya masih ingat pertama kali berpuasa, di mana saya perlu beberapa kali latihan sebelum bisa berpuasa penuh seharian. Saat saya bocah, saya harus melatih diri dengan “puasa bedug” (puasa setengah hari). Dalam puasa bedug, saya mulai berbuka pukul 12 atau ketika adzan Dzuhur berkumandang. Kemudian setelah jam 1 siang, saya melanjutkan puasa sampai waktu Maghrib.

Tentu saja tidak ada tuntunannya berpuasa seperti itu. Idealnya, kalau mau berlatih puasa ya langsung saja puasa penuh seharian. Tapi kadar makrifat setiap orang berbeda. Dan salah satu tahap makrifat saya terhadap ibadah puasa adalah dengan puasa bedug tersebut. Dengan kata lain, puasa bedug adalah salah satu “kelokan” perjalanan spiritual saya untuk mengenal ibadah puasa.

Ngomong-ngomong urusan ini jangan dilaporin ke MUI ya. Saya takut dianggap sesat, bid’ah, melecehkan agama, atau sejenisnya. Namanya juga “bocah”, ada masanya perlu melatih diri. Jadi tolong urusan ini jangan langsung dikontradiksikan dengan kajian fiqih. Toh setelah akil balig, saya tidak lagi puasa bedug. Alhamdulillaah…

Kembali ke persoalan puasa.

Saat saya bocah, salah satu hal yang paling berkesan di bulan puasa adalah sirine tanda berbuka puasa yang nyaring terdengar di radio. Saya senang sekali mendengarkan sirine tersebut. Berhubung kampung saya jarang didatangi mobil ambulans, suara sirine di radio terdengar keren dan spesial—karena hanya muncul setahun sekali selama bulan puasa. Karena itu, tidak heran jika saya sering menanti-nantikan bunyi sirine itu, sampai-sampai melakukan countdown dan memukul kentongan keras-keras begitu sirine berbunyi—sekedar ikut-ikutan memberi tanda berbuka puasa pada tetangga (masa bodoh jika ada tetangga yang bilang saya “norak”—namanya juga bocah).

Puluhan tahun berlalu, sejak saya berisik memukul kentongan tanda berbuka. Saya mulai terusik untuk menyelami hikmah-hikmah puasa. Saat saya bocah, saya tidak ambil pusing dengan makna puasa. Puasa hanya saya pahami sebagai aktivitas tidak makan dan tidak minum dari waktu Subuh hingga Maghrib. Sesederhana itu. Tapi ketika beranjak dewasa, saya mulai menyadari bahwa ternyata ibadah puasa tidak sesederhana itu. Puasa lebih dari sekedar larangan tidak boleh makan dan tidak boleh minum. Dalam ibadah puasa, terdapat unsur “pengendalian diri” yang sangat kental, baik pengendalian hawa nafsu maupun pengendalian emosi.

Dalam ibadah puasa, kita diharuskan untuk mengakrabkan diri dengan rasa lapar dan haus meski secara alamiah, kita menyenangi rasa kenyang. Bukankah hal ini mengherankan? Jika kita senang kenyang, mengapa kita diwajibkan untuk berlapar-lapar dari Subuh hingga Maghrib? Mengapa kita diharuskan “menderita” meski di sekitar kita tersedia begitu banyak hidangan untuk disantap?

Jika pembelajaran puasa kita berhenti pada pertanyaan ini, boleh jadi kita akan memilih untuk tidak berpuasa. Kenapa? Karena puasa itu tidak enak. Puasa itu menyiksa. Puasa malah bikin kepala pusing dan badan lemas. Bodoh banget kalau ada orang yang mau-maunya puasa.

Pemikiran semacam itu bisa saja muncul jika kita memaknai puasa sebatas larangan makan dan minum. Jika kita melihat puasa dari sisi lahiriahnya saja, maka memang itulah yang terlihat. Rasa lapar, haus, badan lemas, kepala pusing, semua itu adalah dampak fisiologis yang dirasakan orang berpuasa. Itu normal. Tapi jika kita cuma mendapat sensasi lapar dan haus dari puasa, maka kita termasuk orang-orang yang merugi, karena sejatinya hikmah puasa lebih luas dari sekedar rasa lapar dan haus. Betapa membosankannya ibadah puasa, jika kita hanya menahan lapar dan haus dari Subuh hingga Maghrib.

Di sinilah pentingnya mencari tahu hikmah di balik perintah puasa. Karena dengan menyelami hikmah puasa, kita dapat menikmati ibadah yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk “penyiksaan diri” itu. Pengetahuan kita tentang hikmah puasa juga akan mendorong kita untuk lebih ikhlas dalam berpuasa, sehingga amal ibadah kita insya Allah tidak akan sia-sia.

Sebenarnya, ada begitu banyak hikmah di balik puasa. Jika merujuk pada ayat yang menyatakan perintah berpuasa, maka puasa ditujukan untuk menjadikan kita orang-orang yang bertakwa. Dengan puasa, kita diharapkan bisa semakin mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Dari segi sosial, kita bisa memahami puasa sebagai sarana untuk berempati, turut merasakan rasa lapar dan haus saudara-saudara kita yang kelaparan di luar sana. Dengan puasa pula kita bisa lebih bersyukur atas nikmat dan karunia Allah yang tercurah pada kita.

Kita bisa memaknai puasa sebagai metode pelatihan diri untuk mengendalikan hawa nafsu dan mengasah sisi-sisi ruhaniah batin kita. Karena itu, bulan puasa adalah momen yang sangat baik untuk memperbanyak amal ibadah dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Jika kita memahami hakikat puasa, maka kita tidak akan “membenci” puasa sebagaimana kita membenci rasa lapar dan haus. Alih-alih kita malah akan merindukan ibadah puasa—sama halnya ketika saya merindukan bunyi sirine di radio saat saya masih bocah. Ibadah puasa memang bisa membuat tubuh lemas, tapi di sisi lain ibadah puasa juga bisa mengasah spiritualitas kita, semakin mendekatkan kita kepada Allah.

Semua hikmah itu bisa kita peroleh, jika kita MENCARINYA. Jika kita berhenti mempertanyakan hikmah ibadah puasa dan puas dengan jawaban “puasa adalah aktivitas tidak makan dan tidak minum”, maka urusan puasa selesai sebatas larangan makan dan minum—atau paling tidak iming-iming pahala dan ancaman siksa karena dosa meninggalkannya. Itu persis seperti pemahaman saya saat masih bocah dulu.

Karenanya, jika kita merasa sudah bertahun-tahun puasa tapi tak kunjung mendapat manfaat yang jelas dari ibadah puasa itu, maka kita perlu mengevaluasi lagi pemahaman kita tentang hikmah berpuasa. Begitu juga jika kita masih berat menyambut Ramadhan dengan hati gembira. Boleh jadi kita masih belum bisa ikhlas menjalankan ibadah puasa, alih-alih kita malah terpaksa menunaikannya.

Terlepas dari semua itu, ibadah puasa akan selalu menghadirkan romantisme tersendiri bagi orang-orang yang sudah memahami hikmahnya. Tidak hanya janji pahala yang berlipat ganda, tapi kesadaran batin bahwa puasa adalah bentuk cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya, sampai-sampai Beliau menyatakan bahwa “…amal ibadah puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya”. Betapa besarnya makna puasa, sampai-sampai ganjaran ibadah puasa akan langsung diberikan oleh Allah. Jika kita sudah sampai pada taraf makrifat ini, maka bolehlah kita berharap agar Allah berkenan menjadikan kita orang-orang yang bertakwa—sebagaimana tujuan utama ibadah puasa itu sendiri. Semoga.[]

Monday 30 May 2016

Merayakan Kehidupan


Ijinkan aku bertanya padamu,

Jika kamu seorang guru, apakah kamu menjadi guru karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa menjalaninya?

Jika kamu seorang perawat, apakah kamu menjadi perawat karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa menjalaninya?

Jika kamu seorang sopir ojek, petani, pedagang, tukang sapu, atau profesi apapun, apakah kamu menjalani semua itu karena kamu menyenanginya, ataukah karena kamu terpaksa melakukannya?

Jika dalam hidup ini kamu bisa memilih, tentu kamu akan memilih apa-apa yang kamu senangi. Pada dasarnya kamu lebih senang menjadi hartawan, menjadi orang penting, pejabat, atau setidaknya pegawai negeri. Kamu inginkan semua yang menurutmu bisa membuatmu bahagia. Kamu inginkan kehidupan ini berjalan sesuai keinginanmu. Bahkan diriku pun ingin begitu.

Nyatanya tidak. Kehidupan ini, tidak melulu soal melakukan apa-apa yang kita senangi. Kehidupan ini tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Justru sebaliknya, seringkali kita harus melakukan apa-apa yang tidak kita senangi. Seringkali kita harus menghadapi situasi yang tidak pernah kita harapkan terjadi. Tapi pada hal-hal yang demikian itulah, Tuhan mengajak kita untuk merenungi dan menyelami hakikat kehidupan ini.

Menjadi pedagang, misalnya. Boleh jadi kamu akan berpkir "Oh tidak, menjadi pedagang? Pedagang itu susah, serba tidak pasti, serba prihatin. Lebih banyak rugi daripada untung. Kalau ketemu kawan lama, bisa gengsi aku mengakuinya. Inginku ya jadi pegawai saja, lebih bermartabat, lebih berpangkat, kerja juga enak, tiap bulan dapat gaji dan tunjangan segala macam."

Tapi pernahkah kamu berpikir, bahwasanya justru karena berdaganglah, tanpa sadar kamu memberi lebih banyak manfaat.

Dengan berdagang itu, kamu cukupi kebutuhan banyak orang yang membutuhkan. Kamu beri kemudahan pada banyak orang untuk mengenyangkan perutnya. Kamu ringankan beban mereka yang "papa" dengan sengaja mengambil laba yang sedikit. Bahkan sekali dua, kamu rela dihutangi, saat pelangganmu kehabisan uang sementara anak-anaknya menangis kelaparan di rumah. Jika kamu ikhlas melakukan semua itu, boleh jadi ada lebih banyak "kebaikan" yang kamu peroleh, yang belum tentu kamu terima jika kamu memilih menjadi pegawai.

"Karena dalam hidup ini, boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu amat baik bagimu. Pun boleh jadi kamu menyenangi sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu."

Hidup ini tak melulu soal materi. Hidup ini tak selalu tentang mendapatkan apa-apa yang kita inginkan. Hidup ini tak selalu tentang melakukan apa-apa yang kita senangi. Jika hidup hanya tentang melakukan apa-apa yang kita senangi dan mendapatkan apa-apa yang kita inginkan, bukankah kita tak jauh beda dengan bayi?

Maka, ikhlaslah. Belajarlah mensyukuri hal-hal kecil dalam hidup ini, sekalipun hanya helaan nafas atau seulas senyum dari bibir mungil anak-anak kita. Menjadi apapun dirimu sekarang, jalanilah itu, sebagai wujud "pengabdianmu". Hargai dirimu dan mulailah menebar manafat bagi sesama. Bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak manfaatnya?


Wednesday 11 May 2016

Menasehati tanpa Menghakimi


Sebaik-baiknya nasehat adalah nasehat yang disampaikan dengan hikmah,
tanpa menyakiti perasaan mereka yang diberi nasehat.
(Hatake Niwa)

Tidak ada manusia yang tidak pernah salah. Manusia adalah makhluk yang bisa salah dan lupa. Karena mempunyai tabiat seperti itu, manusia diingatkan Tuhan untuk “saling menasehati dalam kebaikan, dan saling menasehati dalam kesabaran”. Dengan kata lain, manusia didorong agar tidak segan berbagi nasehat jika itu memang dibutuhkan.

Nasehat tidak harus berbentuk petuah dengan untaian kata-kata mutiara ala motivator. Tidak harus berupa penjelasan panjang lebar yang membuat pendengarnya mengantuk. Sebagian orang malah kurang respek jika si pemberi nasehat terkesan menggurui. Karena itu, pemberi nasehat yang bijak akan berusaha menjaga perasaan orang yang dinasehatinya. Mereka selalu berusaha mencari jalan tengah agar nasehat mereka didengar tanpa menghakimi perbuatan orang yang diansihati. 

Dalam hal ini, persoalan nasehat-menasehati tidak sesederhana menilai perilaku orang, menjabarkan kesalahannya, untuk kemudian mengakhirinya dengan nasehat. Tidak semudah itu. Kita harus tahu bahwa ada dimensi psikologis dalam diri manusia di mana mereka tidak suka disalahkan. Itu sebabnya, menghakimi atau menyalahkan perbuatan orang lain bukanlah sikap yang bijak untuk mengawali sebuah nasehat. Bisa saja orang yang ingin kita nasehati malah lebih dulu tersinggung dan tidak menaruh respek pada kita, karena perbuatannya disalah-salahkan. Jika sudah begitu, betapa pun benarnya nasehat kita, semua itu akan sia-sia karena orang yang ingin dinasehati keburu menutup telinganya.

Jika kita ingin memberi nasehat, maka “JANGAN MENGHAKIMI” perbuatan orang yang ingin kita nasehati. Sebisa mungkin kita harus menjaga perasaannya. Kita harus membuat orang itu menyadari kesalahannya terlebih dahulu. Bukankah orang yang berbuat salah seringkali tidak sadar jika perbuatannya salah?

Misalkan seorang bocah tidak mengerjakan sholat. Tanpa tahu duduk masalahnya, kita langsung memarahi bocah itu, “Hei, kamu kok nggak sholat? Itu kan dosa! Nanti kamu masuk neraka, lho! Besok lagi jangan diulangi ya!” 

Ya, meninggalkan sholat itu berdosa. Semua orang juga tahu. Tapi kita tidak bisa langsung menghakimi bocah itu tanpa menyelidiki latar belakang masalahnya. Boleh jadi bocah itu belum memahami esensi sholat, sehingga dia tidak merasa harus bangun pagi untuk sholat. Atau boleh jadi bocah itu tidak sholat karena belum pernah diajari orangtuanya.

Dengan mengetahui latar belakang masalah, kita bisa menentukan nasehat seperti apa yang dibutuhkan. Tidak perlu sampai menyalahkan perbuatan orang lain. Sampaikan saja apa yang baik baginya tanpa harus mengusik kesalahannya hingga membuat tidak nyaman. Biarkanlah nasehat kita menggugah kesadaran orang itu. Selama niat dan penyampaian nasehat itu baik, insya Allah nasehat itu tidak akan sia-sia.

Terlepas dari itu semua, apa yang saya tulis di sini sifatnya idealis. Kenyataannya, kita harus menghadapi berbagai tipe karakter manusia. Ada tipe orang yang nurut-nurut saja dinasehati, ada yang cuek, ada yang skeptis, ada pula yang tidak suka dinasehati, alih-alih malah memaki si pemberi nasehat. Karena itu, kembali lagi pada esensi nasehat. Tuhan mendorong manusia agar saling menasehati karena manusia adalah makhluk yang sering salah dan lupa. Tak peduli orang kaya, pejabat, maupun orang berilmu. Kita semua bisa saja khilaf dan harus diingatkan, harus dinasehati agar kembali ke jalan yang benar. Bayangkan kerusakan seperti apa yang akan terjadi jika orang salah dibiarkan salah, dan orang lupa dibiarkan lupa tanpa pernah diingatkan?

Di sisi lain, Tuhan juga membenci pemberi nasehat yang tidak mengerjakan nasehatnya sendiri. Tuhan sangat membenci orang yang “omdo” dalam menasehati orang lain. Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah sholat menasehati orang lain untuk sholat? Bagaimana mungkin orang yang suka korupsi menasehati orang lain untuk tidak korupsi? Dengan kata lain, jika kita menasehati orang lain maka kita mempunyai tanggung jawab moril untuk melakukan apa-apa yang kita nasehatkan. Bukankah konyol rasanya, jika kita mengharuskan orang lain utnuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah kita lakukan? Begitulah. []

Tuesday 10 May 2016

Blog yang Sepi


…tulislah apa yang harus dibaca orang,
bukan apa yang ingin dibaca orang.
(Tere Liye)

Bagi mereka yang memakai blognya untuk mencari uang, jumlah pengunjung merupakan salah isu yang sensitif. Seperti yang kita tahu, meski tidak selalu menjadi faktor penentu, jumlah pengunjung blog bisa mempengaruhi trafik sebuah blog. Semakin sering blog dikunjungi, semakin sering duit masuk rekening.

Itu cerita mereka yang sudah memonetisasi blog-nya. Sementara saya, dengan blog ini, tidak terlalu memusingkan urusan semacam itu. Boleh dibilang, saya cuma ngeblog untuk sambilan saja. Boleh juga dikatakan saya ngeblog dengan malas. Saking malasnya, saya sering menelantarkan blog ini dalam kondisi hiatus selama berminggu-minggu.

Jika saya memonetisasi atau menguangkan blog ini, maka saya akan terbebani dengan berbagai tuntutan seperti tuntutan menyajikan konten yang berkualitas, tekun meng-update informasi, menjaga trafik dan jumlah pengunjung, serta mengurus berbagai hal lain yang berkaitan dengan blog. Tentu saja hal-hal semacam itu merepotkan saya yang sejak awal hanya menjadikan blog sebagai “pelarian penyakit”.

Karena itu, daripada pusing-pusing memikirkan trafik dan tetek bengek lainnya, saya lebih memilih menjadikan blog ini sebagai kumpulan catatan pribadi saya. Karena sifatnya catatan pribadi, maka sebagian besar konten blog ini berbicara tentang saya, atau membahas sesuatu dari perspektif saya. Niatnya, sih, blog ini bisa bermanfaat bagi pembacanya (meski sejujurnya masih jauh dari harapan).

Saya tertarik untuk mengabadikan pemikiran-pemikiran saya melalui blog. Hal ini jauh lebih mudah dibanding kita menuangkannya dalam bentuk buku. Untuk membuat buku, terkadang kita harus melewati serangkaian prosedur pelik, mulai dari menyerahkan naskah, bertemu editor, ngedit, menunggu berbulan-bulan sampai ke konfirmasi penertiban penerbitan. Bandingkan dengan blog yang memberi banyak kemudahan serta efisiensi waktu dan biaya. Blog dapat menghapus batas-batas Sebuah buku boleh jadi rusak, hilang, atau tidak dikembalikan teman yang meminjam. Sementara blog, selama blog itu tidak diretas, tidak diblok, atau tidak dihapus pemiliknya, maka selama itu pula blog akan menetap dan bisa ditemukan di internet via mesin pencari.

Karena tujuannya ingin mengabadikan pemikiran-pemikiran kita melalui blog, maka kita tidak bisa sembarangan membuat kontennya. Prinsipnya: “Kalau kau ingin menjadi penulis, maka tulislah apa yang harus dibaca orang, bukan apa yang ingin dibaca orang.

Menulis apa yang harus dibaca orang tentu berbeda dengan menulis apa yang ingin dibaca orang. Menulis apa yang harus dibaca orang mengharuskan kita untuk menulis sesuatu yang memang penting untuk diketahui dan dibaca orang lain. Itu berarti, tulisan kita harus mampu memberikan nilai manfaat bagi pembacanya.

Sementara menulis apa yang ingin dibaca orang, mengharuskan kita menulis sesuatu yang bersesuaian dengan selera pembacanya. Dengan prinsip ini, boleh jadi tulisan kita akan laris manis, tapi di sisi lain, penulis terkesan “disetir” oleh selera pembacanya. Jika selera pembacanya menye-menye, maka tulisan yang dihasilkan akan menye-menye. Sebaliknya, jika selera pembacanya keren, bermutu, edukatif, maka tuntutan untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas pun menjadi sebuah keharusan.

Sejauh saya blogwalking, saya sering menjumpai artikel blog yang bagus. Artikel tersebut tidak hanya informatif tapi juga mampu menginspirasi pembacanya. Blog yang berisikan artikel semacam itu (bagi saya) cenderung lebih berkesan. Saya juga pernah nyasar ke blog-blog komedi yang kebanyakan bercerita tentang pengalaman kocak penulisnya. Beberapa artikel di blog itu memang bisa membuat pembaca terhibur, tapi efeknya temporer sekali—sekedar “Hahaha” tanpa kesan dan hilang begitu saja.

*   *   *

Jika saya mau, bisa saja saya mempermak blog ini menjadi blog remaja, yang membahas tema “percintaan.” Tentu saja tema semacam itu lebih ramai di kalangan remaja. Karena topiknya tentang “percintaan”, boleh jadi saya akan menulis tentang pengalaman saya jatuh cinta, mulai dari yang romantis sampai yang absurd. Mungkin juga saya akan menulis artikel-artikel nyeleneh seperti: Tips-Tips Mencari Gebetan, Taktik Nembak yang Benar, Tips Kencan Menyenangkan, Cara Nikung Pacar Orang, sampai Tips Pedekate Sama Kakak Kelas. Jika sudah begitu, hanya menunggu waktu sampai archive blog saya dijejali artikel-artikel “nakal” yang menggoda pengunjung untuk meng-klik-nya (tentu saja topik semacam ini tidak akan saya ambil, karena saya khawatir akan disalahartikan).

Ada kemungkinan, blog saya akan jauh lebih ramai jika saya menulis tentang konten-konten remaja semacam itu. Tapi karena blog ini hanya bersifat “selingan”, saya tidak terlalu terobsesi untuk memonetisasinya (menjadikan blog ini sebagai “mesin uang”). Karenanya, saya tidak akan terlalu khawatir seandainya blog ini sepi pengunjung. Ada atau tidaknya pengunjung tidak akan mempengaruhi kebebasan saya dalam menulis.

Andai blog saya bermanfaat bagi pembacanya, maka saya anggap itu bonus. Setidaknya saya senang karena blog saya masih eksis, sampai-sampai orang dari antah berantah bisa nyasar ke blog ini. Sekalipun saya sudah tiada, pemikiran-pemikiran saya telah terdokumentasi melalui blog ini. Dan seperti yang saya katakan sebelumnya, selama blog ini eksis di internet, selama itu pula tulisan-tulisan saya bisa dibaca siapapun.


Bukankah menyenangkan jika tulisan kita bisa menginspirasi banyak orang sekalipun kita sudah tidak lagi di dunia? Sekali lagi, seperti kata Tere Liye:  “…..tulislah apa yang harus dibaca orang, bukan apa yang ingin dibaca orang.” Dengan begitu, iktikad kita dalam menulis menjadi lebih bermakna dan tidak sia-sia. []

Sunday 8 May 2016

Masalah Saya dengan Aplikasi Chatting


Apalah artinya punya WeChat, Kakao, Line, BBM, Whatsapp,
jika kau tak punya teman ngobrol yang menyenangkan?
(Hatake Niwa)

Sejujurnya, saya bukan tipe orang yang doyan gonta-ganti gadget. Selama sebuah gadget masih berfungsi dan tidak terlalu ketinggalan zaman, maka saya akan terus memakainya. Seperti dulu ketika saya kuliah semester awal. Saat itu, Blackberry tengah menjamur di kalangan anak muda. Beberapa teman saya juga ikut memakai Blackberry dan mulai bergerilya bertukar pin BBM (Blackberry Messenger). Di sisi lain, saya malah masih betah ngutak-atik HP konvensional yang pin default –nya: “1-2-3-4”.

Begitu tren Blackberry meredup, datanglah smartphone dengan OS Androidnya. Seperti halnya tren Blackberry, teman-teman saya mulai beralih memakai smartphone yang terkesan lebih futuristik. Sementara saya, masih bertahan dengan HP konvensional yang kameranya tak lebih dari 2MP. Alasannya sederhana, gadget lama saya masih layak pakai kok.

Sejujurnya, saya melakukan itu karena prinsip “mengedepankan FUNGSI daripada GENGSI” (yah, walaupun lebih terdengar seperti ‘mengenaskan’ dan ‘tidak bermodal’). Dengan prinsip itu, selama sebuah barang masih bisa dipakai dan tidak terlalu ketinggalan zaman, saya akan terus memakainya. Lagipula saat itu saya merasa belum membutuhkan smartphone. Komunikasi saya dengan teman-teman saya juga tidak terganggu meski tanpa smartphone ataupun Blackberry.

“Iman” saya baru mulai terusik ketika fitur chatting berjejalan di Playstore. Keberadaan aplikasi tersebut membuat pengiriman pesan konvensional via SMS mulai ditinggalkan. Banyak teman saya yang memakai aplikasi pesan berbasis internet (seperti Whatsapp dan BBM) untuk berkomunikasi. Dalam kondisi itu, mau tak mau, saya harus menyesuaikan diri. HP konvensional saya tidak lagi mencukupi untuk mengikuti dinamika teknologi dan tren saat itu. Pada akhirnya, dengan sedikit niat ikut-ikutan, saya pun tergoda membeli sebuah smartphone.

*   *   *

Sejak memiliki smartphone, saya mulai bergerilya menginstal berbagai aplikasi chatting. Mulai dari WeChat, Kakao, BeeTalk, Line, BBM, Whatsapp, sampai aplikasi random seperti Scout dan Friendstalk pernah saya instal. Berhubung kapasitas RAM saya kecil, saya memberlakukan sistem “bongkar pasang” saat mencoba berbagai aplikasi tersebut. Harapannya, aplikasi-aplikasi tersebut akan mempermudah saya dalam berkomunikasi dengan teman-teman saya.

Sayangnya, di antara sekian banyak aplikasi chatting  yang saya instal, hanya segelintir saja yang bertahan di smartphone saya. Sebagian besar aplikasi malah terasa mubadzir karena jarang atau tidak pernah saya pakai. Bahkan aplikasi sekaliber Whatsapp pun terpaksa saya uninstal karena memang tidak berguna (bagi saya). Sampai saya menuliskan ini, aplikasi chatting yang bertahan di smartphone saya hanya Line Messenger dan BBM. Itu pun saya pakai karena ada fitur groupchat di dalamnya. Jika groupchat sepi, maka praktis smartphone saya ikut-ikutan sepi.

Karena itu, tidak mengherankan jika saya bisa tidak menerima pesan apapun dalam sehari. Saya memang jarang berkirim pesan di luar groupchat kecuali saat ada acara atau urusan penting. Terkadang saya merasa teralienasi dari pergaulan di dunia smartphone—meski itu bukan hal yang buruk. Alih-alih mencari kesenangan dengan chatting, smartphone saya justru lebih berguna untuk keperluan browsing  di internet.

Ada beberapa alasan logis untuk menjelaskan kenapa saya jarang menerima pesan langsung dari orang lain. Alasan-alasan itu antara lain:

1. Saya bukan orang penting karena saya bukan bukan artis, aktivis, apalagi pebisnis.
2. (Karena alasan nomor 1) Tidak ada yang perlu menghubungi saya.
3. (Alasan nomor 2 terjadi karena) Saya bukan orang yang asyik diajak ngobrol.
4. (Mungkin juga karena) Saya segan untuk flirting pada anak gadis orang.
5. (Keempat alasan di atas menjelaskan kenapa) Saya enggan mencari pacar.

Alasan-alasan itu mungkin terdengar mengada-ada (lebih tepatnya saya hanya mengira-ngiranya saja). Toh bagaimanapun juga, muara dari permasalahan jarangnya orang yang nge-chat saya tidak lepas dari prinsip saya untuk memilih “sendiri”. Prinsip tersebut membuat saya tidak terlalu tertarik untuk flirting dengan anak gadis orang (baca: gebetan). Lagipula, saya bukan tipe-tiper orang yang mudah percaya dengan cinta di dunia maya.

Lho apa hubungannya chatting sama urusan asmara?

Tentu saja ada. Maraknya aplikasi chatting seperti sekarang, berbanding lurus dengan perkembangan cara-cara pedekate dan tebar pesona. Kita tidak bisa naif jika sejak jaman dahulu, orang-orang sibuk bertukar pesan untuk mencari pasangan, pacar, kekasih, suami, istri, atau apapun istilahnya. Dengan adanya aplikasi chatting, urusan semacam itu tentu menjadi lebih mudah. Segala sesuatu bisa disampaikan dengan lebih cepat.

Bandingkan dengan fitur SMS dan telepon yang (pada masa jayanya) penuh dengan “cerita heroik”—mulai dari membuat pesan tanpa spasi, menyingkat pesan agar tidak melebihi batas karakter, nelpon secukupnya, sampai begadang semalaman demi mendapat tarif nelpon gratis. Dan ujung dari semua perjuangan itu lagi-lagi sama—“mencari pasangan”, entah itu disebut pacar, kekasih, suami, istri, atau apapun istilahnya.

Tapi tentu saja, tidak semua orang memakai aplikasi chatting untuk mencari pasangan semata. Banyak juga yang memakainya untuk keperluan akademis, seperti janjian dengan dosen pembimbing atau untuk kepentingan bisnis seperti jualan online. Sangat disayangkan jika kemajuan teknologi komunikasi saat ini hanya dimanfaatkan sebatas untuk memenuhi insting mencari pasangan. Ada hal-hal lain yang lebih penting dan lebih layak diperjuangkan daripada sekedar mencari kekasih yang ditikung atau sekedar berebut gebetan.

Terlepas dari semua itu, sampai batas-batas tertentu, aplikasi chatting memudahkan kita berkomunikasi dengan orang lain—melebihi fasilitas SMS dan telepon. Aplikasi chatting via smartphone memungkinkan kita untuk berkirim pesan sebanyak dan sesering mungkin tanpa terhambat batasan karakter dan biaya pulsa per pesan. Tidak mengherankan jika orang jaman sekarang lebih memilih nge-chat daripada menekan tombol “Kirim SMS”.


Meski begitu, karena tidak semua orang memakai smartphone dan koneksi internet di tiap daerah berbeda-beda, fitur SMS dan telepon masih akan tetap survive. Saat ini pun saya masih memakai HP konvensional untuk berkirim pesan. Setidaknya, hal itu mengantisipasi kalau-kalau orang yang saya tuju tidak memiliki smartphone atau tengah bermasalah dengan koneksi internetnya (lost signal  atau kuota habis). Jika sudah begitu, maka tidak ada salahnya untuk tetap setia memakai cara-cara lama untuk berkirim pesan. []

Friday 6 May 2016

Bulan yang Hilang


“Terkadang, sesuatu yang benar di matamu,
belum tentu benar di mata orang lain.

Cukup lama blog ini mengalami hiatus (lagi). Untuk kesekian kalinya, ada bulan yang hilang di archive blog ini. Ya, di bulan yang hilang itu, saya sibuk dengan “pencarian.” Ada banyak sekali pertanyaan yang mengusik saya dalam beberpaa minggu terakhir. Tentang cinta, tentang karya, tentang karir, tentang mati, tentang hidup, tentang manusia, tentang kepedulian, tentang ego, tentang panggilan hidup, sampai-sampai tidak bisa saya sebutkan satu per satu di sini.

Saya merasakan begitu banyak pertentangan dalam kehidupan ini. Sesuatu yang berjalan seharusnya, tidak berlaku dalam realitas. Seringkali realitas yang ada justru menyeleweng dari tataran yang seharusnya. Orang bilang rajinlah beribadah agar terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Tapi kenyataannya, ada juga orang yang rajin beribadah tapi kata-kata dan perilakunya menyakiti pihak lain. Orang bilang bersabarlah dalam menghadapi kemiskinan, padahal yang memberi nasihat tidak pernah sekalipun merasakan kelaparan. Orang bilang sekolah-lah tinggi-tinggi, agar kelak menjadi orang sukses. Realitasnya, tidak sedikit lulusan perguruan tinggi yang menganggur.

Semuanya serba kontradiktif. Penuh pertentangan. Tidak ada pencerahan di sana. Yang ada malah keruwetan yang semakin kusut untuk dipikirkan. Saking ruwetnya, sampai-sampai saya harus menegaskan: “BERHENTILAH mendengarkan omongan orang!” Ya, sampai taraf tertentu kita tidak bisa melulu mendengarkan kata-kata orang lain. Sebuah nasihat, atau sesuatu yang dianggap orang baik, belum tentu benar-benar baik. Kita perlu mengolah nasihat itu, mencocokkannya dengan realitas yang ada, barulah kemudian kita refleksikan, apakah nasihat itu relevan dengan masalah kita atau tidak.

Kita lihat dunia ini dipenuhi kata-kata bijak, petuah, nasihat, motivasi. Sebagian orang malah menjadikan “nasihat” sebagai barang dagangannya. Mereka berkeliling dari satu forum ke forum lain, bercakap tentang keadilan, tentang kesetaraan, tentang iman, perjuangan, dan dengan berapi-api mengobarkan motivasi serta harapan dalam benak “para jamaahnya.” Ironisnya, apa-apa yang mereka omongkan secara berapi-api itu justru tidak dipraktekkan dalam kesehariannya. Mereka hanya menjual “nasihat” pada “para jamaah” yang merasa butuh nasihat. Padahal hakikatnya, nasihat atau motivasi yang diberikan orang lain sama halnya dengan “candu” jika tidak diimbangi dengan tindakan dan usaha nyata! Untuk sesaat, mendengarkan nasihat atau meminta motivasi dari orang lain membuat kita merasa lega. Beban yang menghimpit bahu terasa lebih ringan. Tapi itu hanya efek temporer. Sekembalinya dengan rutinitas dan realitas kehidupan nyata, apa-apa yang diomongkan tidak semudah yang dilakukan.

Di bulan yang hilang, saya berkeliling mencari “kebenaran.” Saya berharap akan menemukan penjelasan tentang kebenaran itu di suatu tempat. Pada akhirnya saya sadar bahwa kebenaran bukan monopoli manusia. “Kebenaran” mutlak milik Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Bagi manusia, seringkali kebenaran menemui relativitasnya sendiri. Apa yang kita anggap benar, belum tentu benar di mata orang lain. Begitu juga apa yang orang lain anggap benar, belum tentu benar di mata kita. Relatif. Tergantung dari sudut mana kita melihat.


Dan karena itu, bisa saja manusia melakukan kekeliruan dalam hal yang mereka anggap benar. Itu sebabnya manusia disarankan untuk terus-menerus saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Karena bagaimanapun sebuah nasihat tetap penting dalam kehidupan sosial manusia. Hanya saja, dibutuhkan kearifan dan keterbukaan pemikiran dalam menyikapi nasihat itu. Di samping kerendahan hati untuk melihat nasihat dari berbagai sudut pandang. Saya rasa itulah jalan terbaik daripada sibuk berkonfrontasi di tengah kebenaran yang semakin rancu di masyarakat. []

Wednesday 30 March 2016

Karena Cinta Butuh LOGIKA


Cinta tanpa logika,
kalau tidak bikin sakit, paling-paling bikin ‘’khilaf’’.
 (Hatake Niwa)

Seorang bijak pernah berkata “hidup itu pilihan.” Dalam pandangan filsafat, setiap orang memiliki apa yang disebut “kehendak bebas”. Kehendak bebas itulah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dengan kehendak bebas itu, setiap orang bebas memilih jalan hidupnya masing-masing. Karenanya, pada hakikatnya kehidupan ini hanya berisi pilihan-pilihan hidup. Tugas kita hanya memilih pilihan-pilihan itu. Dan untuk setiap pilihan yang kita pilih, selalu ada konsekuensi logis yang akan menentukan perjalanan hidup kita di masa depan.

Konsep kehendak bebas ini mencakup segala aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dalam hal cinta. Sebagai perasaan universal, cinta menyediakan berbagai macam pilihan bagi kita. Pacaran, menikah, LDR, HTS, jomblo, TTM, selingkuh, putus, dan cerai, adalah beberapa contoh pilihan dalam cinta. Tugas kita tidak lebih dari memilih pilihan-pilihan itu dan menerima segala konsekuensinya.

Jika kita memilih pacaran misalnya. Ok, well, mungkin kita akan merasakan betapa bahagianya memiliki kekasih. Kita bahagia, karena memiliki seseorang yang spesial yang tulus memberikan perhatian dan kasih sayangnya pada kita. Dengan pacaran, kita berpikir kita sudah mendapatkan calon pendamping hidup. Itu gambaran indahnya pacaran. Tapi di sisi lain, ada saja kemungkinan buruk saat kita memilih pacaran.

Kita tidak bisa naif mengatakan pacaran adalah cara terbaik mencari pasangan hidup. Di satu sisi pacaran memang terlihat indah, seperti cerita novel atau di film-film picisan. Tapi di dunia nyata, realitasnya tidak semudah itu. Bagaimana jika pacar kita ternyata orang yang cuek? Bagaimana jika pacar kita ternyata seorang maniak tukang selingkuh? Bagaimana jika pacar kita keburu jengah dan memilih putus ? Semua kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi saat pacaran.

Sama halnya dengan menikah. Betapa banyak orang yang mengompori para lajang untuk segera menikah tanpa mau mengungkap susah payahnya kehidupan berumah tangga. Itu berbahaya sekali. Orang akan berpikir menikah itu mudah. Kemudian tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk menikah meski persiapannya pas-pasan. Tahu-tahu setelah menikah, orang itu menyadari ternyata kehidupan rumah tangga tak seindah kata orang. Biduk rumah tangga pun berantakan.

*   *   *

Seperti yang saya katakan di atas, setiap pilihan hidup memiliki konsekuensi. Kita sendirilah yang harus bertanggung jawab atas setiap pilihan hidup yang kita ambil. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain, jika pilihan yang kita pilh ternyata keliru. Begitu juga dengan pilihan hidup orang lain. Kita tidak bisa menjamin pilihan hidup orang lain akan berdampak sama baiknya bagi kehidupan kita. Masing-masing orang menghadapi situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Karenanya, pilihan-pilihan yang diambil pun sudah pasti berbeda.

Sebagai contoh, jika ada orang yang pacarannya awet sampai menikah, itu tidak selalu berarti pacaran adalah pilihan terbaik untuk mendapat pasangan. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang pacaran sampai bertahun-tahun, tapi akhirnya putus sebelum ke pelaminan. Begitu juga dengan orang yang sudah menikah. Meski banyak orang mengaku bahagia setelah menikah, belum tentu setiap orang yang menikah akan bahagia. Ada saja segelintir orang yang rumah tangganya berantakan, meski sudah menikah bertahun-tahun lamanya.

Kita semua tahu, urusan cinta terkait dengan perasaan. Dan setiap perasaan akan selalu menyentuh emosi. Sementara emosi hanya bisa dikendalikan dengan LOGIKA. Cinta membutuhkan LOGIKA agar ia tetap berjalan dalam batas-batas hubungan yang semestinya. Menyikapi cinta tanpa logika, sama saja menyerahkan cinta pada dorongan nafsu dan pemenuhan ego pribadi.

Misalkan kita memiliki seorang pacar. Kita sangat mencintai pacar kita dan tidak bisa berpaling darinya. Karena hanya dia yang tahu cara membuat kita merasa nyaman. Tapi ketika pacar kita tak lagi perhatian dan berulang kali mengecewakan kita, logika kita akan bertanya, “Apakah pacar kita memberi cinta sebesar cinta yang kita berikan padanya? Apakah pacar kita berharap sebagaimana kita selalu berharap padanya?”

Jika saat itu kita memperturutkan perasaan kita, maka yang terjadi kemudian adalah kita “membenarkan” setiap perlakuan buruk dan kekecewaan yang kita terima. Kita selalu memaafkan pacar, dengan harapan suatu saat pacar kita akan sadar dan berubah. Kita yakin itu, karena cinta selalu memaafkan. Ya, memang benar cinta selalu memaafkan. Tapi ketika orang yang dimaafkan tidak kunjung memperbaiki diri, apa lagi yang bisa kita percaya dari cinta semacam itu? Tanpa sadar, kita justru "memperkosa" makna cinta itu sendiri, dan membiarkan orang lain “memanfaatkan” keluguan kita karena menyikapi cinta tanpa logika.

Contoh di atas hanya segelintir kasus di mana orang-orang terjebak dalam perasaan cinta sampai mengabaikan pertimbangan logika. Di luar itu, masih banyak kasus lain yang jauh lebih mengkhawatirkan, seperti kehamilan di luar nikah, aborsi, kawin lari, sampai pembunuhan berencana. Semua itu bisa terjadi, karena cinta disikapi dengan nafsu dan ego pribadi, hingga mengabaikan batas-batas logika.

*   *   *

Orang pacaran bisa saja putus. Orang menikah, bisa saja bercerai. Dan jomblo pun, tak selamanya berarti kebebasan. 

Dengan logika, kita belajar menerima segala konsekuensi hubungan cinta. Kita akan melihat cinta dari sisi yang berbeda—tidak hanya sisi indahnya, seperti di cerita novel atau film picisan, tapi juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Dengan memahami konsekuensi hubungan cinta, kita bisa menjaga cinta itu pada koridor-koridor hubungan yang sewajarnya. Kita pun lebih mudah menerima kenyataan untuk move on, ketika hubungan itu harus kandas. Karena bagi orang yang jatuh cinta, konsekuensi logisnya cuma dua: berujung derita atau berakhir bahagia. Demikian. []

Tuesday 29 March 2016

Batman vs Superman vs NOLAN


…why so serious?
(Joker)

Bagi saya, move on dalam urusan perasaan boleh jadi lebih mudah, daripada move on dalam urusan film superhero. Untuk film jenis ini, saya belum bisa move on sepenuhnya dari trilogi Batman-nya Christopher Nolan—terutama sekuel keduanya yang berjudul The Dark Knight. Film yang dirilis tahun 2008 itu terbilang sukses mengubah pespektif publik terhadap film superhero. Jika dulu kita menganggap film superhero adalah film pop corn penuh fantasi, maka The Dark Knight menampilkan sosok superhero yang lebih “manusiawi”.

Di film The Dark Knight, Batman bukanlah sosok superhero yang unbeatable. Batman tidak selalu dielu-elukan banyak orang. Alih-alih, Batman sempat dicap sebagai public enemy oleh warga Gotham City yang selama ini dibelanya. Batman pun sempat menerima kenyataan pahit saat wanita yang paling dicintainya justru memilih pria lain untuk dinikahi.

Tidak seperti film superhero lain yang plot ceritanya mudah ditebak. The Dark Knight menyajikan alur cerita yang lebih rumit dan dramatis. The Dark Knight tidak melulu mengumbar efek CGI dengan adegan “jeder...jeder” memekakkan telinga. Ada pesan moral dan intrik-intrik psikologis rumit yang terselip di film The Dark Knight. Semua itu disuguhkan dengan apik tanpa merusak jalan cerita. Singkatnya, The Dark Knight telah berhasil menciptakan paradigma baru dalam film superhero.

Apiknya Batman versi Nolan telah membuat para penonton kesulitan untuk move on. Mereka menjadikan Batman-nya Nolan sebagai tolak ukur bagi film-film Batman selanjutnya. Karenanya, tidak mengherankan jika Batman sempat vakum dari layar lebar semenjak trilogi Batman-nya Nolan berakhir tahun 2012. Sineas-sineas Hollywood tampaknya sangat berhati-hati dalam membuat film Batman berikutnya. Mereka harus berpikir keras agar film Batman berikutnya tidak melenceng jauh dari Batman-nya Nolan yang kadung dijadikan standar oleh para penggemarnya.

Awal Maret kemarin, Batman kembali hadir ke layar lebar dalam film Batman vs Superman. Melihat judulnya, kita bisa langsung menebak film ini akan menyajikan konflik horisontal antara Batman dan Superman—dua superhero komik DC yang paling banyak difilmkan. Konflik dasar itulah yang membuat film garapan sutradara Zack Snyder ini disambut dengan penuh antusias oleh para penggemarnya.

Meski terlihat cukup prospektif, film Batman vs Superman tidak akan mudah merebut hati penonton. Setidaknya ada dua tantangan yang harus dihadapi, yaitu:

(1) 
Karena melibatkan “Batman” di dalamnya, penonton akan selalu membanding-bandingkan sosok Batman di film “Batman vs Superman” dengan Batman versi Nolan. Para penonton tentu berekspektasi, Ben Affleck dapat membawakan sosok Batman dengan apik, seperti halnya Christian Bale. Belum lagi jika membandingkan plot yang dramatis ala Batman-nya Nolan. Batman vs Superman tentu tidak boleh terjebak dalam kemegahan CGI dan aksi “jeder…jeder” saja, tapi juga harus menyuguhkan scene-scene yang dramatis dan plot yang sulit ditebak.

(2)
Para penonton mungkin akan kesulitan memahami plot cerita di awal-awal film. Pertanyaan-pertanyaan seperti, bagaimana Superman bisa berkenalan dengan Batman, apa alasan keduanya berkonflik, dan siapa villain utama yang dihadapi, akan berputar-putar di otak penonton selama film tersebut ditayangkan. Hal ini tidak lain karena Batman vs Superman tidak membangun kontinuitas cerita melalui film-film sebelumnya. Film terakhir Batman (The Dark Knight Rises) maupun Superman (Man of Steel) bahkan tidak ada kaitannya sama sekali. Hal ini berbeda dengan film superhero adaptasi komik Marvel, yang telah membangun kontinuitas cerita secara paralel dari film-film superhero Marvel sebelumnya.

Dua hal itulah yang harus dijawab Zack Snyder dalam film Batman vs Superman. Kesuksesan film ini akan menjadi pondasi penting untuk prospek film-film superhero adaptasi komik DC selanjutnya, seperti Wonder Woman dan Justice League, yang akan dirilis tahun depan.

Tentu saja tulisan ini hanya sebatas penilaian subjektif semata. Saya tidak bermaksud mengatakan film Batman vs Superman itu buruk. Semuanya murni soal selera. Saya memiliki kriteria tertentu dalam menilai film superhero. Di sini, Saya hanya menggarisbawahi bahwa setiap film yang melibatkan Batman di dalamnya, akan selalu dibanding-bandingkan dengan trilogi Batman-nya Christopher Nolan. Para sineas Hollywood harus berhati-hati dalam menghadirkan sosok Batman karena penonton terlanjur menjadikan Batman versi Nolan sebagai tolak ukur film Batman berikutnya. Jika tidak, maka bersiaplah menerima kritikan pedas dari penonton yang belum bisa move on dari Batman-nya Nolan—termasuk saya.


NB:
Sementara orang-orang sibuk berjejalan di bioskop untuk mengantri tiket Batman vs Superman, saya lebih memilih bersabar menunggu film superhero yang lebih “humanis” seperti Batman-nya Nolan.

Monday 28 March 2016

UKS (Unit Kemalasan Siswa)


Bukannya aku malas belajar,
aku hanya merasa—jenuh.

Pada dasarnya, UKS adalah salah satu fasilitas sekolah yang dipakai untuk memberikan pertolongan pertama pada warga sekolah yang mengalami gangguan kesehatan ringan, seperti: pingsan, pusing, mual, lecet, memar, dan sejenisnya. Tapi bagi saya, UKS tidak jauh beda dengan “penginapan kelas melati” yang menyediakan fasilitas kasur, selimut, dan bantal gratis di sekolah. Dengan berbagai fasilitas penginapan, UKS pun dianggap sebagai tempat paling nyaman di sekolah.

Berbeda dengan ruang-ruang kelas yang terkesan horror, ruang UKS memiliki tingkat kenyamanan yang jauh lebih baik. Di UKS, kita bisa menikmati kasur yang empuk dan bantal yang nyaman. Jika cuaca dingin, kita cukup menggelar selimut untuk menghangatkan tubuh. Di UKS, kita bisa melupakan kepenatan belajar—meski hanya sejenak. Di UKS pula kita bisa mendapat segelas teh hangat dan kudapan gratis dari guru, yang jarang kita jumpai di kantin.

Sementara di kelas, fasilitas yang ada tidak pernah senyaman ruang UKS. Di kelas, kita tidak bisa merasakan kasur yang empuk atau bantal yang nyaman. Satu-satunya benda yang dianggap “paling nyaman” di kelas hanya sebuah bangku kayu, yang lebih sering membuat pantat murid menderita daripada merasa nyaman. Tidak mengherankan, jika ruang UKS kerap disalahgunakan para murid sebagai tempat “melarikan diri”.

Penyalahgunaan ruang UKS memang tidak bisa dibenarkan. Tapi di sisi lain, kita tidak bisa mengabaikan rasa jenuh dan kelelahan murid saat belajar. Metode pembelajaran yang monoton dan proses pembelajaran yang kaku seringkali membuat murid tidak betah berlama-lama di kelas. Pada akhirnya, rasa jenuh dan kelelahan itu terakumulasi, hingga para murid terdorong untuk membolos. Berhubung ruang UKS adalah satu-satunya tempat yang memungkinkan murid membolos tanpa harus meninggalkan sekolah, UKS pun terpilih sebagai “lokalisasi pelarian” paling strategis.

 Murid hanya perlu mengeluh sakit pada bagian tubuh tertentu, kemudian berpura-pura lemas dengan memasang wajah pucat. Seorang “pembolos profesional” biasanya sangat mahir memucatkan wajahnya hingga terlihat seperti seperti orang sakit betulan. Untuk mempermudah izin mbolos ke UKS, murid memakai gangguan kesehatan yang tidak bisa diketahui langsung, seperti: mual, pusing, dan sakit perut. Berbeda dengan gangguan kesehatan seperti “panas,” yang bisa diketahui langsung dengan termometer atau rabaan tangan—keluhan seperti pusing dan meriang tidak memiliki alat ukur tertentu untuk mengetahui seberapa parah sakit si penderita. Orang lain hanya bisa menyimpulkan berdasarkan keluhan-keluhan yang disampaikan si penderita.

Untuk itu, sekolah perlu membuat regulasi khusus untuk mengantisipasi penyalahgunaan ruang UKS. Sekolah perlu memiliki petugas UKS yang bertanggung jawab penuh terhadap penggunaan ruang UKS. Petugas UKS akan mencatat informasi tentang murid yang dirawat di ruang UKS, meliputi gangguan kesehatan yang dirasakan, tindakan perawatan, dan obat-obat apa saja yang dberikan. Petugas UKS juga berwenang dalam memberikan izin penggunaan ruang UKS dan menentukan apakah murid yang sakit perlu dirawat di UKS, diantar pulang, atau langsung dilarikan ke rumah sakit. Di sinilah peran petugas UKS menjadi sangat vital untuk mengantisipasi penyalahgunaan ruang UKS.

Petugas UKS perlu mencurigai keluhan murid yang tidak wajar. Keluhan-keluhan seperti pusing, mual, dan sakit perut patut diselidiki kebenarannya, sebelum memutuskan apakah murid itu benar-benar sakit atau hanya cari-cari alasan untuk membolos. Jika penjelasan murid rancu, petugas UKS bisa langsung mengantar murid ke rumah sakit atau layanan kesehatan terdekat untuk pemeriksaan medis yang lebih akurat.

Tulisan ini saya tujukan pada pihak sekolah agar mereka mengantisipasi penyalahgunaan ruang UKS. Jangan sampai iktikad baik ruang UKS ternodai ulah oknum murid yang menjadikannya tempat membolos. Jika sekolah kerepotan mengurus UKS, hapus saja ruang UKS. Jauh lebih baik jika sekolah menyediakan mobil ambulance atau kendaraan khusus yang bisa mengantarkan murid ke rumah sakit langsung. Gitu aja kok repot!


NB:

Untuk ‘kalian’ yang merasa pernah membolos ke ruang UKS, saya harap kalian tidak tersindir.

Sunday 20 March 2016

Melecehkan Lambang Negara, Gundulmu!


.   .   .

Dari kejauhan, seorang pemuda tampak terbirit-birit menuju halaman rumah Pak RT. Pagar rumah yang tak seberapa tinggi dilompatinya. Sejurus kemudian, pemuda itu sudah berteriak memanggil si empunya rumah keras-keras.

“Pak RT, Pak RT…!!!”

Yang diteriaki segera membuka pintu. “Owalah…Trimbil!”

“Gawat Pak RT, gawat!”

“Gawat kenapa? Nggak usah kemrungsung begitu to! Pelan-pelan ngomongnya!”

Pemuda bernama Trimbil itu mencoba mengatur nafasnya. Setelah tenang, ia meneruskan kata-katanya. “Barusan saya jatuh Pak RT.”

“Jatuh? Kamu nabrak orang?” mata Pak RT membelalak.

“Bukan, Pak. Saya barusan jatuhin kaos saya ke jamban,” Trimbil berkata sambil mengacungkan sebuah kaos warna merah dari kresek yang dibawanya.

Ladalah…Jabang bayi!  Kok pesing tenan Mbil!” Dengan refleks, Pak RT menutup hidung.

“Maaf Pak. Soalnya saya takut, keburu dicari Polisi.”

“Lho, memangnya kamu salah apa?” Dahi Pak RT berkerut.

“Pak RT nggak lihat? Di kaos ini ada lambang Garudanya, Pak.” Trimbil menunjukkan lambang Garuda yang dibordir di kaos merah itu.

“Pak RT kan tahu, ‘Garuda’ itu lambang negara. Kalau saya menjatuhkan kaos ini ke jamban, berarti saya telah melecehkan lambang negara dong, Pak. Iya to? Kemarin saya lihat di TV ada artis ditangkap polisi gara-gara melecehkan lambang negara. Katanya diancam hukuman 5 tahun penjara, lho, Pak. Aduh, saya nggak mau dipenjara, Pak. Tolong Pak RT, tolong saya. Sumpah saya nggak sengaja…”

Pak RT menghela napas panjang. “Owalah…Mbil...Trimbil. Apanya yang melecehkan lambang negara? Gundulmu! Mbok berita di TV jangan diikuti mentah-mentah. Kasus kaosmu itu jelas beda.“

“Beda gimana, Pak RT?”

“Lha iya to. Yang namanya kaos jatuh di kamar mandi, itu biasa. Cuma kebetulan di kaosmu itu ada lambang Garudanya. Tapi dalam hal ini, kamu kan tidak sengaja. Beda soal kalau kamu nginjak-injak bendera merah-putih, misalnya, terus rekamannya kamu unggah ke Yutub. Itu baru jadi masalah.”

Trimbil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Memangnya yang artis itu gimana, Pak RT?”

Sambil berkacak pinggang, Pak RT kembali menjelaskan. “Walah…tadi kan sudah saya bilangin, berita di TV jangan kamu telan mentah-mentah. Tidak semua ‘pelecehan’ dianggap melecehkan lambang negara. Anak SD yang keliru mengurutkan sila Pancasila, misalnya, tidak bisa serta merta dianggap melecehkan lambang negara. Lagipula kalau dipikir-pikir, apa untungnya sih melecehkan lambang negara?”

Trimbil menggelengkan kepalanya. “Nggak ada Pak RT. Warga negara yang baik, tentu tidak akan menjadikan atribut negaranya sendiri sebagai bahan bercandaan.”

“Nah, iya to. Buat saya, yang ‘melecehkan’ itu malah orang-orang yang ngaku hapal Pancasila, tapi kelakuannya tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Dia ngaku berketuhanan Yang Maha Esa, tapi ibadah saja jarang-jarang. Katanya paham kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi kok tega nilep subsidi orang lain? Waktu kampanye, janji memperjuangkan keadilan sosial. Tapi setelah terpilih, kok ya masih tega melakukan korupsi. Apa nggak melecehkan itu namanya? Saya malah lebih setuju orang-orang semacam itu yang diperkarakan.”

Trimbil manggut-manggut. “Betul juga Pak RT. Saya yang wong cilik ini juga nggak mungkin sengaja melecehkan lambang negara. Lalu saya harus gimana ini, Pak RT?”

Wis kamu pulang saja. Kaose dicuci sampai bersih. Kalau perlu dikasih pewangi biar hilang pesingnya.”

“Saya nggak bakal dicari Polisi to Pak?” Trimbil masih agak ragu.

“Iyo,,,iyo…Ora bakal digoleki Polisi wis. Nyatane kowe yo ora salah. Buruan dicuci kaos. Ora nguwati tenan ambune!

“Hehe…injih, Pak RT.” Trimbil malah nyengir.


*   *   *

Friday 18 March 2016

TAKONO HANI: Mbahas Ujian Nasional



- 001 -

Korban_UN: “Tinggal beberapa minggu lagi ujian. Mbok aku dikasih motivasi gitu lah Bang. Rasanya kok keder juga walau sudah banyak latihan dan ikut try out.”

Bg_Hani: “Oh…sudah mau ujian to? Berarti sebentar lagi lulus dong.”

Korban_UN: “Iya, lulus—kalau ujiannya juga lulus, Bang.”

Bg_Hani: “Optimis saja. Kayaknya kamu phobia banget sama ujian?”

Korban_UN: “Ya iyalah, Bang. Mana ada murid yang nggak keder waktu mau ujian? Lagian gondok  juga Bang, tiap hari isinya latihan soal melulu.”

Bg_Hani: "Namanya juga mau ujian. Dulu aku juga begitu.”

Korban_UN: "Boleh diceritain, Bang, dulu kayak gimana?"

Bg_Hani: “Dulu, menjelang ujian, murid-murid pasti diminta mempeng belajar. Semuanya disuruh berlatih soal dengan porsi yang tidak wajar. Pagi-pagi sekali, sudah disuruh berangkat sekolah untuk les pagi. Sorenya, pergi ke bimbel untuk les lagi. Waktu bermain hampir tidak ada. Guru-guru bilang semua murid harus banyak berlatih soal supaya lulus. Waktu itu, aku berharap ada guru yang mau menyiapkan mental murid yang telranjur down melihat hasil tryout. Tapi sampai hari-H ujian, hal semacam itu tidak pernah terjadi. “Siraman rohani” yang diberikan tidak lebih dari kegiatan doa bersama dan ritus ibadah sunah yang akan segera ditinggalkan murid begitu ujian selesai.”

Korban_UN: “Wah….yang terjadi sekarang juga masih seperti itu, Bang.”

Bg_Hani: “Kadang aku kasihan sama kalian. Sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya cuma disuruh ikut ujian. Belasan tahun sekolah, ujung-ujungnya ditentukan dari 3 hari ujian.”

Korban_UN: “Maka dari itu, Bang? Siapa yang nggak keder tiap mau UN begini? Ini mah Ujian Nasional Nasib!”

Bg_Hani: “Ya, bagaimanapun kamu tinggal menjalaninya saja kan. Cepat atau lambat kamu tetap tidak bisa mengelak dari ujian.”

Korban_UN: “Itu sih jelas Bang. Yang lainnya apa lagi? Takutnya itu lho, Bang. Serba pesimis. Takut-takut kalau hasil ujian tidak memuaskan. Apalah saya ini, Bang, cuma pelajar cupu yang mengira bulan April sama kayak Halloween.”

Bg_Hani: “Kamu itu cuma kurang percaya diri saja. Kalau belajarmu sudah tekun, rutin latihan soal, ikut les/privat, banyak membaca, ikhlas berdoa, semua itu sudah cukup. Sampai di situ asal kamu menikmati prosesnya, maka tidak ada yang salah. Biasanya, yang jadi masalah itu “hutang materi di kelas sebelumnya.” Misalnya, dulu kamu kurang menguasai materi aljabar. Ada baiknya kamu fokus mempelajari materi itu dengan semua sumber daya yang kamu punya, entah buku, internet, teman, atau tanya langsung ke guru les.”

Korban_UN: “Kalau yang itu sudah, Bang.”

Bg_Hani: “Baguslah, anggap saja itu sudah separuh perjalanan. Kalau soal pesimisme, mungkin kamu perlu meng-upgrade cara berpikirmu menjadi lebih kekinian.”

Korban_UN: “Maksudnya Bang?”

Bg_Hani: “Di dunia ini kita bisa merugi karena tiga hal:
1) Terlalu sibuk mencemaskan masa depan yang belum terjadi;
2) Terlalu lama menyesali masa lalu yang tidak mungkin kembali; dan
3) Menyia-nyiakan penghidupannya hari ini.
Coba kamu pikirkan! Ketinggalan materi—itu masa lalu. Biarkan saja ia berlalu, jangan terlalu lama disesali. Yang bisa kamu lakukan HARI INI hanya meminimalisir ketertinggalan itu dengan mempelajari materi itu kembali. Sedangkan hasil ujian—itu perkara masa depan. Yang bisa kamu lakukan HARI INI adalah mempersiapkannya sebaik mungkin, dengan semua sumber daya yang kamu punya.
Kita hanya bisa mengontrol tindakan kita SAAT INI. Masa lalu dan masa depan berada di luar kontrol kita. Karena itu, kita malah akan ‘tertekan’ saat mencemaskan masa depan atau menyesali masa lalu—karena dua hal itu berada di luar kendali kita.”

Korban_UN: “Kuncinya, fokus pada yang dihadapi saat ini, ya Bang?”

Bg_Hani: “Ya. Untuk apa buang-buang waktu memikirkan hal-hal yang tidak jelas, tidak pasti, yang bahkan belum tentu terjadi?”

Korban_UN: “Oke, hadapi yang ada di depan mata, pikirkan hari ini, urusan masa depan dipikir belakangan. Pasrah saja. Begitu?”

Bg_Hani: “Hati-hati dengan kata PASRAH. Pasrah jangan kamu artikan bermalas-malasan, tanpa melakukan apa-apa. Pasrah harus didahului dengan UPAYA. Jika kamu pasrah sebelum berupaya, itu ‘bodoh’ namanya! Logikanya, mana yang lebih baik; belajar dulu sebelum ujian, kemudian pasrah apapun hasilnya nanti, atau malah pasrah duluan, tanpa belajar sama sekali?”

Korban_UN: “Ya jelas lebih baik yang belajar duluan, Bang.”

Bg_Hani: “Sampai sini sudah paham kan maksudku?”

Korban_UN: “Sudah, Bang. Aduh, makasih banget wejangan gratisnya. Kapan-kapan kalau teman saya ada masalah, saya ajak main ke sini deh, Bang?”

Bg_Hani: Anytime. Asal tidak minta yang aneh-aneh seperti minta cara cepat kaya, minta jodoh, apalagi minta bocoran nomor togel. Good luck ya buat ujiannya. Dan tolong, itu nickname-nya diganti. Masak terus-terusan jadi Korban_UN?”

Korban_UN: “Siplah, Bang!”



NB:
“TAKONO HANI” adalah rubrik semifiksi yang berisi tanya-jawab seputar masalah remaja. Rubrik ini sifatnya terbuka. Bagi siapapun yang ingin berkonsultasi seputar masalah remaja, langsung saja mengirimkan ‘pertanyaan’-nya via email: bennysapien@gmail.com
Pertanyaan terpilih akan saya posting di rubrik “TAKONO HANI” dengan privasi (semua nama tempat, nama orang, nama merk, akan disamarkan). GRATIS