“Paklik,
bawa anak kecil ke masjid hukumnya apa sih?”
“Lho, bukan wewenang saya memfatwa.”
“Walah, Paklik ini. Yasudah saya tanya pendapat Paklik
saja. Saya mau nguda rasa ini.”
Paklik mengangguk pelan.
“Tahu sendiri kan Paklik, kalau tarawih di langgar* sebelah
pasti ada anak kecil yang ramai di belakang.”
“Memangnya masalah?”
“Ya jelas mengganggu kekhusyukan beribadah to, Paklik.
Terutama si Paidi. ‘Amin’-nya sengaja di-mbleyer-mbleyerke
ngalahin suara knalpot motor.”
“Lha wong Paidi masih bocah kok piye.”
“Mosok nggak
diingatkan to, Paklik.”
“Berarti kamu yang harus belajar khusyuk.”
“Gimana mau khusyuk kalau Paidi dan konco-konconya gojek sendiri di belakang?”
“Mbok ya
maklum saja. Mereka kan masih anak-anak, besok kalau sudah baligh juga sadar, nggak bakal rame lagi kalau di langgar.”
“Jadi saya harus nunggu mereka baligh, Paklik? Kenapa nggak sekalian dilarang aja itu Paidi cs ke
langgar?”
“Wah, kalau sampe melarang saya ndak sependapat. Ditegur saja.”
“Nggak bakal kapok, Paklik. Minta dijewer itu
bocah-bocah.”
“Halah, mbok
ya wes ben, to Gus. Biarkan saja. Lagipula
bocah-bocah yang rame pas sholat itu nggak beda jauh kayak kamu.”
“Kok saya, Paklik?”
“Lha iya to. Kalau anak-anak itu ramenya vulgar,
blak-blakan. Kalau orang dewasa sholat, ramenya di sini.” Paklik menunjuk
kepalanya yang mulai beruban.
“Orang dewasa sholat itu sebenarnya juga rame.
Badannya di tempat sholat tapi pikirannya ngelayap ke urusan dunianya,
pekerjaannya, duitnya, istrinya, anaknya. Nggak beda kan sama Paidi dan
konco-konconya?”
NB:
*langgar: surau, tempat sholat sederhana, masjid kecil yang biasa ada di perkampungan
0 comments:
Post a Comment