“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang- sebelum
kamu,
agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 183)
Puasa, sebagaimana ibadah wajib lainnya bagi
saya menyimpan romantisme tersendiri. Saya masih ingat pertama kali berpuasa,
di mana saya perlu beberapa kali latihan sebelum bisa berpuasa penuh seharian. Saat
saya bocah, saya harus melatih diri dengan “puasa bedug” (puasa setengah hari). Dalam puasa bedug, saya mulai berbuka pukul 12 atau ketika adzan Dzuhur
berkumandang. Kemudian setelah jam 1 siang, saya melanjutkan puasa sampai waktu
Maghrib.
Tentu saja tidak ada tuntunannya berpuasa
seperti itu. Idealnya, kalau mau berlatih puasa ya langsung saja puasa penuh
seharian. Tapi kadar makrifat setiap
orang berbeda. Dan salah satu tahap makrifat
saya terhadap ibadah puasa adalah dengan puasa bedug tersebut. Dengan kata lain, puasa bedug adalah salah satu “kelokan” perjalanan spiritual saya untuk mengenal
ibadah puasa.
Ngomong-ngomong urusan ini jangan dilaporin
ke MUI ya. Saya takut dianggap sesat, bid’ah,
melecehkan agama, atau sejenisnya. Namanya juga “bocah”, ada masanya perlu melatih
diri. Jadi tolong urusan ini jangan langsung dikontradiksikan dengan kajian fiqih. Toh setelah akil balig, saya tidak
lagi puasa bedug. Alhamdulillaah…
Kembali ke persoalan puasa.
Saat saya bocah, salah satu hal yang paling berkesan
di bulan puasa adalah sirine tanda berbuka puasa yang nyaring terdengar di
radio. Saya senang sekali mendengarkan sirine tersebut. Berhubung kampung saya jarang
didatangi mobil ambulans, suara sirine di radio terdengar keren dan spesial—karena
hanya muncul setahun sekali selama bulan puasa. Karena itu, tidak heran jika saya
sering menanti-nantikan bunyi sirine itu, sampai-sampai melakukan countdown dan memukul kentongan
keras-keras begitu sirine berbunyi—sekedar ikut-ikutan memberi tanda berbuka puasa
pada tetangga (masa bodoh jika ada tetangga yang bilang saya “norak”—namanya
juga bocah).
Puluhan tahun berlalu, sejak saya berisik memukul
kentongan tanda berbuka. Saya mulai terusik untuk menyelami hikmah-hikmah
puasa. Saat saya bocah, saya tidak ambil pusing dengan makna puasa. Puasa hanya
saya pahami sebagai aktivitas tidak makan dan tidak minum dari waktu Subuh hingga
Maghrib. Sesederhana itu. Tapi ketika beranjak dewasa, saya mulai
menyadari bahwa ternyata ibadah puasa tidak sesederhana itu. Puasa lebih dari
sekedar larangan tidak boleh makan dan tidak boleh minum. Dalam ibadah puasa,
terdapat unsur “pengendalian diri” yang sangat kental, baik pengendalian hawa
nafsu maupun pengendalian emosi.
Dalam ibadah puasa, kita diharuskan untuk mengakrabkan
diri dengan rasa lapar dan haus meski secara alamiah, kita menyenangi rasa kenyang.
Bukankah hal ini mengherankan? Jika kita senang kenyang, mengapa kita
diwajibkan untuk berlapar-lapar dari Subuh hingga Maghrib? Mengapa kita diharuskan
“menderita” meski di sekitar kita tersedia begitu banyak hidangan untuk
disantap?
Jika pembelajaran puasa kita berhenti pada
pertanyaan ini, boleh jadi kita akan memilih untuk tidak berpuasa. Kenapa?
Karena puasa itu tidak enak. Puasa itu menyiksa. Puasa malah bikin kepala pusing
dan badan lemas. Bodoh banget kalau ada orang yang mau-maunya puasa.
Pemikiran semacam itu bisa saja muncul jika kita
memaknai puasa sebatas larangan makan dan minum. Jika kita melihat puasa dari
sisi lahiriahnya saja, maka memang itulah yang terlihat. Rasa lapar, haus, badan
lemas, kepala pusing, semua itu adalah dampak fisiologis yang dirasakan orang
berpuasa. Itu normal. Tapi jika kita cuma mendapat sensasi lapar dan haus dari puasa,
maka kita termasuk orang-orang yang merugi, karena sejatinya hikmah puasa lebih
luas dari sekedar rasa lapar dan haus. Betapa membosankannya ibadah puasa, jika
kita hanya menahan lapar dan haus dari Subuh hingga Maghrib.
Di sinilah pentingnya mencari tahu
hikmah di balik perintah puasa. Karena dengan menyelami hikmah puasa, kita dapat menikmati ibadah yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk “penyiksaan diri” itu. Pengetahuan kita tentang hikmah puasa juga akan
mendorong kita untuk lebih ikhlas dalam berpuasa, sehingga amal ibadah kita insya Allah tidak akan sia-sia.
Sebenarnya, ada begitu banyak hikmah di balik
puasa. Jika merujuk pada ayat yang menyatakan perintah berpuasa, maka puasa
ditujukan untuk menjadikan kita orang-orang yang bertakwa. Dengan puasa, kita diharapkan
bisa semakin mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Dari segi sosial, kita
bisa memahami puasa sebagai sarana untuk berempati, turut merasakan rasa lapar
dan haus saudara-saudara kita yang kelaparan di luar sana. Dengan puasa pula
kita bisa lebih bersyukur atas nikmat dan karunia Allah yang tercurah pada
kita.
Kita bisa memaknai puasa sebagai metode pelatihan
diri untuk mengendalikan hawa nafsu dan mengasah sisi-sisi ruhaniah batin kita.
Karena itu, bulan puasa adalah momen yang sangat baik untuk memperbanyak amal ibadah
dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Jika kita memahami hakikat puasa, maka
kita tidak akan “membenci” puasa sebagaimana kita membenci rasa lapar dan haus.
Alih-alih kita malah akan merindukan ibadah puasa—sama halnya ketika saya merindukan
bunyi sirine di radio saat saya masih bocah. Ibadah puasa memang bisa membuat
tubuh lemas, tapi di sisi lain ibadah puasa juga bisa mengasah spiritualitas kita, semakin mendekatkan kita kepada Allah.
Semua hikmah itu bisa kita peroleh, jika kita
MENCARINYA. Jika kita berhenti mempertanyakan
hikmah ibadah puasa dan puas dengan jawaban “puasa adalah aktivitas tidak makan dan tidak minum”, maka urusan puasa
selesai sebatas larangan makan dan minum—atau paling tidak iming-iming pahala dan
ancaman siksa karena dosa meninggalkannya. Itu persis seperti pemahaman saya
saat masih bocah dulu.
Karenanya, jika kita merasa sudah
bertahun-tahun puasa tapi tak kunjung mendapat manfaat yang jelas dari ibadah
puasa itu, maka kita perlu mengevaluasi lagi pemahaman kita tentang hikmah
berpuasa. Begitu juga jika kita masih berat menyambut Ramadhan dengan hati
gembira. Boleh jadi kita masih belum bisa ikhlas menjalankan ibadah puasa, alih-alih
kita malah terpaksa menunaikannya.
Terlepas dari semua itu, ibadah puasa akan selalu
menghadirkan romantisme tersendiri bagi orang-orang yang sudah memahami
hikmahnya. Tidak hanya janji pahala yang berlipat ganda, tapi kesadaran batin
bahwa puasa adalah bentuk cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya, sampai-sampai
Beliau menyatakan bahwa “…amal ibadah puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku
yang akan membalasnya”. Betapa besarnya makna puasa, sampai-sampai ganjaran
ibadah puasa akan langsung diberikan oleh Allah. Jika kita sudah sampai pada taraf
makrifat ini, maka bolehlah kita
berharap agar Allah berkenan menjadikan kita orang-orang yang bertakwa—sebagaimana
tujuan utama ibadah puasa itu sendiri. Semoga.[]