Subscribe:

Labels

Thursday 14 August 2014

Over Thinking STRIKES AGAIN and AGAIN

Dengan ini saya sebenar-benarnya mengamini apa yang diutarakan saudara @noffret adalah benar. Di blognya ia menulis: "Terkadang, bukan kurangnya ide yang membuat seseorang tak kunjung menulis, melainkan terlalu banyaknya ide yang ingin dituliskan." Implikasi dari efek banyak ide ini adalah tidak bisa tidur. Ya, ya, saya berulang kali mengalaminya, tapi baru nyadar sekarang—eh beberapa hari yang lalu.

Sulit membayangkan hidup dengan otak seperti saya. Pikiran saya ini mirip power bank, bisa menyimpan daya listrik untuk kemudian disalurkan ke onggokan gadget-gadget sekarat yang mengalami lowbat. Tapi di sisi lain otak saya juga seperti air yang akan menjadi keruh bila tidak dialirkan dan dibiarkan teronggok di tempat terbuka.

Ini berbahaya! Saya sudah berulang kali mengalami gejala kelelahan fisik—meski tidak beraktivitas berat. Sempat juga mengalami kantuk berulang yang tak kunjung terobati dengan tidur berjam-jam. Pusing. Suhu tubuh tidak menentu, kadang malah merasa panas-dingin di bagian tubuh tertentu (hyyiii...). Mulai horror jadinya. Berasa nyimak penuturan pelaku kesurupan di acara dunia dan lain-lain.

Toh pada akhirnya saya mulai berpikir bahwa kendala utama saya ada di sini (*nunjuk kepala). Memang secara fisik saya tidak ngapa-ngapain, tidak melakukan aktivitas-aktivitas berat semisal lari keliling halaman, menaiki atap rumah, atau gebukin maling ayam di kampung sebelah. No way! Tapi ternyata peliharaan saya yang nggak mau diajak istirahat (*nunjuk kepala lagi). Otak saya sibuk dengan imajinasi dan pikiran-pikiran liarnya. Semua itu menuntut untuk dikeluarkan—lebih kasarnya dimuntahkan bertubi-tubi hingga tiada bersisa.

Jangan keburu mengerutkan dahi karena bahasa saya yang mungkin terlalu lebay a.k.a hiperbolistik konotatif. Akan saya beri gambaran bagaimana otak saya bekerja. Bagi orang seperti saya, mengemudi di jalan raya merupakan aktivitas yang lumayan menguras otak. Lho kok bisa? Memangnya pernah ada orang nyetir pake otak? Bukan, bukan itu maksud saya. Jadi dalam kasus ini saya cenderung banyak mikir ketika berkendara. Otak saya sangat liar dalam mengkonstruksi pikiran-pikiran liarnya.

Pernah nonton film Final Destination 2 yang ada adegan kecelakaan beruntunnya? Nah, bayangan kecelakaan semacam itu terkadang menyembul di pikiran saya. Memaksa saya berpikir lebih banyak, membayangkan kejadian-kejadian yang mungkin terjadi selama perjalanan di jalan raya. Dalam Pikiran saya berkecamuk pertanyaan-pertanyaan yang serba diawali dengan kata tanya “bagaimana kalau...”

Bagaimana kalau mobil di depan berhenti mendadak? Bagaimana kalau ban truk di belakang pecah? Bagaimana kalau muncul penyeberang dungu yang tiba-tiba keluar dari gang? Bagaimana kalau ... bagaimana kalau... dan seterusnya. Itu baru di kasus jalan raya. Dalam pergaulan sosial ceritanya bisa lebih rumit lagi. Katakan saya sedang jalan-jalan kemudian melihat pengemis tua dengan baju lusuh serba menyedihkan. Pikiran yang berkecamuk di otak saya bisa langsung macam-macam. Mulai dari perasaan iba, harapan agar kakek itu segera move on, bayangan kakek-kakek (yang pernah saya temui), sampai masalah ketakutan mengalami nasib yang sama seperti pengemis tua itu.

Bayangkan hidup dengan otak sensitif seperti saya! Banyak orang yang menasehati saya untuk bersikap biasa saja. Banyak juga yang bilang rasah kakehan mikir, rasah mikir sing ora-ora. Inti nasihatnya “Nggak usah mikir yang tidak-tidak, biasa sajalah!” Wedhus! Ngomong sih gampang, ngelakuinnya yang susah. Tentu saja saya sudah mencoba dengan segala daya dan upaya untuk bersikap biasa-biasa saja serta berlatih mikir yang “iya-iya” saja. Tapi sejauh saya mencoba, hasilnya masih nihil. Saya masih tidak konsisten dan sering dibuat bingung dengan pikiran-pikiran saya sendiri. #absurd

Nah, di detik saya mulai mengupdate blog saya ini (ya, di tulisan yang sedang kamu baca ini), saya mulai mencoba meyakinkan diri saya bahwa jalan keluar satu-satunya adalah MENULIS. tidak tertolak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Saya akui saya bukan penulis yang baik. Saya juga bukan seseorang yang cenderung suka menceritakan pengalaman pribadi melalui tulisan. Toh semua itu mentah karena apa daya, menulis adalah OBAT TERAKHIR saya agar tidak terbebani dengan kecamuk pikiran-pikiran absurd dari otak saya sendiri.

Jadi, maafkan bila blog saya terlalu polos. Maafkan, bila blog saya terlalu absurd untuk dicerna dengan akal sehat. Maafkan juga bila blog saya malah terlihat menyeramkan dengan EYD yang menyesatkan. Tapi maklumilah semua itu karena saya memang sengaja membuat blog ini sekedar untuk mengobati OTAK saya yang sebenarnya tidak sakit. Saya malah mau mengucapkan banyak terima kasih karena kamu sudah sempat mampir di blog saya ini.

Mungkin tidak hanya saya yang mengalami nasib seperti ini. Boleh jadi saya tidak sendirian. Who knows?