Subscribe:

Labels

Thursday 11 June 2015

Hartamu Kau Dapat Dari Mana Kau Belanjakan Untuk Apa

Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba sehingga ia ditanya tentang umurnya—untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya—untuk apa ia amalkan, tentang hartanya—darimana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan tentang badannya untuk apa ia gunakan.
(Al-Hadis)

Motivator bilang, punya uang banyak bukanlah penentu kebahagiaan. Harta benda bukanlah sumber kebahagiaan yang hakiki. Tapi sulit menyangkal logika “jika punya uang banyak, hati akan bahagia.” Seteguh apapun sang motivator menguatkan hati mereka yang fakir, harta benda adalah sekelumit pesona dunia yang selalu diidentikkan dengan kebahagiaan. Dan karenanya, milyaran manusia pun berlomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.

Berbagai cara ditempuh untuk mengumpulkan harta. Pola dasarnya sama—dengan bekerja. Sebagian orang bekerja keras membanting tulang pagi-malam. Sebagian yang lain sibuk melayani pelanggan sambil sesekali menghitung laba. Sebagiannya lagi duduk manis menunggu setoran bulanan tiba. Dan ada sebagian lagi yang menadahkan tangan, mengharap uluran tangan para dermawan di jalanan. Harta yang terkumpul kemudian ditukar dengan benda lain yang dibutuhkan—sesuap nasi misalnya. Sistem bakunya selalu begitu.

Menjadi ironis ketika kebutuhan manusia tidak lagi didasarkan pada skala prioritas melainkan dilandasi kebutuhan rasa ingin yang dibumbui gengsi serta spekulasi krisis ekonomi masa depan. Manusia menjadi kalap dalam mengumpulkan harta. Tidak ada lagi istilah bekerja demi sesuap nasi. Manusia harus bekerja demi se-kuintal beras. Untuk cadangan logistik beberapa bulan ke depan katanya. Tapi manusia lupa bahwa dunia sudah cukup sesak dengan 7 milyar penghuni. Setiap anak Adam harus bersaing—selalu bersaing mencari harta. Naluri primitifnya pun bereaksi. “Kalau tidak cepat, tidak akan kebagian. Apapun caranya yang penting dapat duit.

Begitulah kehidupan manusia modern yang terlanjur diperbudak dunia. Ketakutan manusia akan kurangnya harta mendorongnya menghalalkan segala cara. Yang terlanjur gelap mata memilih ‘pasrah’ menjual diri sebagai pelacur, korupsi, mencuri, merampok, hingga membunuh sesamanya. Yang ‘setengah sadar’ mencari harta dengan lurus—tapi sekali waktu ikut mengintip celah untuk menilap uang proyek. Sementara yang tansah eling lan waspada mencoba tegar mencari harta yang halal dan thayyib meski terkadang jumlahnya tak seberapa.

Nurani kita meyakini bahwa akan ada kehidupan setelah kematian. Akan ada pertanggungjawaban atas semua tindakan kita di dunia. Dan tentu saja akan ada balasan atas kejahatan dan segala nista kita di dunia. Tak tertolak. Begitu pula dengan harta kita. Semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. Tidak hanya dari mana harta diperoleh, tapi juga untuk apa harta itu kita belanjakan. Ada dua pertanyaan untuk harta—sedangkan umur, masa muda, dan badan masing-masing hanya dijatah satu pertanyaan dari Tuhan. Ini adalah pertanda bahwa urusan mencari dan membelanjakan harta bukan perkara sepele.

Situasinya sama ketika kita menjadi bendahara di kantor. Urusan keuangan menjadi perkara penting yang menuntut pertanggungjawaban. Sekali waktu bos kita datang untuk melihat laporan keuangan bulanan. Bos tidak mungkin hanya menanyakan pemasukannya, tapi juga alokasi anggarannya untuk apa saja. Jika bos mendapati adanya manipulasi atau menyadari sesen uang kantornya kita ambil, maka tunggulah sampai ‘azab’ pemecatan itu datang dengan tiba-tiba.

Jika kita sadar setiap harta yang kita kumpulkan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan, mengapa kita masih mencari harta dengan cara yang batil? Mengapa kita masih berani menukar harta demi seteguk nikmat maksiat yang boleh jadi hanya sebentar?

Ah, dasar manusia! Saya tidak berani memfatwa macam-macam dalam tulisan ini. Saya tahu diri. Saya juga tidak mau munafik. Saya masih ‘hijau’ dalam urusan mencari harta. Saya belum pernah merasakan kegetiran pelacur yang terpaksa melacur karena desakan kebutuhan ekonomi keluarganya. Saya belum pernah merasakan pahitnya lapar dan dahaga anak jalanan yang terpaksa mencuri makanan di warung setelah berhari-hari tidak makan. Saya juga belum pernah merasakan menjadi seorang ayah yang dihajar massa karena mencuri demi pengobatan putranya yang kritis di meja operasi. Tapi apapun alasannya, Tuhan akan tetap bertanya: “Hartamu kau dapatkan dari mana dan kau belanjakan untuk apa?” Dan seketika itu pula kita tertunduk di hadapan-Nya, bergidik ngeri membayangkan balasan-Nya dengan penyesalan yang teramat dalam.

Urusan harta ini, entah bagaimana selalu membuat saya khawatir. Begitu pula dengan jutaan umat manusia lain di bumi yang bahkan tidak tahu esok masih ada makanan atau tidak. Seorang bijak pernah menasehati saya untuk belajar dari seekor burung. Setiap pagi burung terbang dari sarangnya mencari makan—sama halnya dengan manusia bekerja mencari nafkah. Hanya bedanya tidak ada cerita burung mati karena kelaparan layaknya manusia. Burung mati karena limbah pabrik atau karena tersengat listrik mungkin banyak. Tapi burung yang mati karena kelaparan rasa-rasanya tidak pernah ada.

Rezeki sudah ada yang mengatur, tinggal ikhtiar kita bagaimana menjemput rezeki itu dengan cara-cara yang baik. Akan lebih mulia jika kita mensyukuri rezeki yang diperoleh dengan menyisihkan sebagiannya untuk diberikan kepada mereka yang kekurangan. Dengan begitu, semoga Tuhan Yang Maha Kaya melapangkan rezeki hamba-hamba-Nya yang setia mencari harta di jalan yang halal dan thayyib. Aamiin.

3 comments:

diar asia said...

makasih udah nginngetin

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Melacur, merampok, mencuri, korupsi, dan sejenisnya. Mungkin kita sadar bahwa hal2 demikian itu haram dan kita sanggup menjauhinya. Tapi hal haram yang kita tidak sadar melakukannya adalah mencari uang dengan RIBA. Jika kita berhutang ke BANK kita tdk merasa dosa karna kita merasa kita adalah korban, yg harus membayar uang lebih ke Bank karna kita berhutang, ato kredit kendaraan secara leasing (perantara Bank). Dan parahnya kita menghalalkan kredit karna keinginan nafsu kita di dunia, padahal pengkredit adalah termasuk pemberi riba dan tercatat dosa pula.
Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).

Jaman sekarang sdh terlihat sangat umum memperoleh harta melalui leasing (kredit ke Bank). Dan parahnya sudah tidak terlihat dosa melakukannya. Padahal Alloh jelas2 menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dan di ancam perang dengan Alloh dan nabinya, dan dosa melakukan riba pun melebihi dosa menzinahi ibu kandungnya.

Semoga Alloh mengampuni kita dan membebaskan kita dari riba yang tak terlihat. Aamiin.

Post a Comment