Subscribe:

Labels

Thursday 3 March 2016

Menjadi Pekerja Seks Sukarela


Ada siswi SMA hamil di-DO sekolahnya.
Giliran mahasiswi hamil kok tidak di-DO kampusnya?
Oh, betapa ‘adilnya’ si pembuat peraturan
(Hatake Niwa)

Sebelumnya, saya mohon maaf, jika judul di atas terlalu vulgar. Tapi yakinlah, tulisan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan Kalijodo atau penertiban lokalisasi sejenisnya. Kasus yang ingin saya utarakan di sini berbeda.

Ilustrasi :
Ceritanya, ada seorang mahasiswi—sebut saja Neneng—yang kedapatan hamil di luar nikah. Neneng mengaku khilaf saat berpacaran dengan kekasihnya yang bernama Blengur. (sebut saja begitu). Neneng terpikat bujuk rayu dan janji manis Blengur yang mengaku akan segera menikahinya. Blengur juga mengaku akan bertanggung jawab setelah “menyebar benih” di perut Neneng.

Tapi setelah tahu perihal kehamilan Neneng, Blengur ingkar janji. Bukannya segera bertanggung jawab, Blengur malah kabur. Blengur tidak kunjung menikahi Neneng. Neneng pun tidak terima. Neneng mencoba membawa persoalan ini ke jalur hukum. Neneng ingin menggugat Blengur dengan tuduhan penipuan, perkosaan, dan serangkaian tindak asusila. Harapannya, Blengur akan dijerat pasal berlapis dan “mampus” dipenjarakan.

Sayang seribu sayang, gugatan Neneng tidak dikabulkan. Neneng tidak bisa membuktikan adanya unsur kekerasan atau paksaan yang mengakibatkan dirinya hamil. Padahal dalam pasal 285 KUHP (pasal yang biasa dipakai untuk kasus perkosaan), harus ada unsur kekerasan atau ancaman yang memaksa korbannya. Sementara dalam kasus Neneng, perbuatannya dilakukan atas dasar suka sama suka.

Neneng tidak putus asa. Dia mencoba menggugat Blengur dengan tuduhan lain, yakni pencabulan. Neneng yakin, Blengur bisa dijerat pasal pencabulan atas dirinya. Tapi sekali lagi, gugatan Neneng tidak dikabulkan. Alasannya, Neneng sudah berumur 21 tahun saat terlibat “hubungan terlarang” dengan Blengur. Neneng tidak masuk kategori “anak di bawah umur” sebagaimana yang disyaratkan pasal 81 dan 82 Undang-Undang Perlindungan Anak (pasal yang biasa dipakai menjerat pelaku pencabulan).

Kasus Neneng pun menjadi benang kusut yang tidak bisa diurai oleh hukum. Neneng ingin menggugat Blengur dengan pasal 287 KUHP (pasal tentang perzinahan) tapi urung, karena pasal itu diperuntukkan khusus bagi mereka yang sudah menikah (memiliki pasangan sah). Neneng pun hanya bisa menyesali perbuatannya. Ia benar-benar khilaf saat berpacaran dengan Blengur. Tapi itulah harga yang harus dibayar untuk cinta yang tidak semestinya, sampai-sampai kehormatan diri pun telah tergadaikan.

*   *   *

Seperti yang pernah saya bilang di sini, saya tidak berani menyarankan orang lain untuk pacaran. Resiko terjadinya kasus seperti Neneng terlalu besar. Di luar sana, boleh jadi ada banyak Neneng-Neneng lain yang mengalami nasib serupa—kedapatan hamil lantas ditinggal kabur pacarnya. Jika sudah begitu, apa yang bisa dilakukan?

Pacaran sudah menjadi aktivitas jamak di kalangan remaja. Pacaran dinilai sebagai “jalan terbaik” menemukan cinta sejati. Banyak pelaku pacaran yang berharap pacarnya akan setia sehidup semati, hingga mengikat janji suci, bla bla bla. Karena itu, banyak orang rela mengorbankan apapun demi mempertahankan hubungan cintanya (atau mungkin egonya).

Masalahnya, aktivitas pacaran tidak bisa lepas dari interaksi intens antara dua orang berlainan jenis (LGBT di luar konteks). Interaksi intens tersebut bisa menimbulkan stimulus emosional bagi pelakunya, entah berupa perasaan nyaman, keakraban, rasa damai, bahkan sampai……..dorongan seksual.

Itu benar. Kita tidak bisa naif mengabaikan variabel itu saat membahas aktivitas pacaran. Kita juga tidak bisa menganggap sepele dengan berkata: “saya pacarannya nggak ngapa-ngapain kok.” Saat remaja, manusia akan merasakan dorongan seksual yang tinggi. Hal itu sudah menjadi semacam “hukum alam,” yang dialami semua orang.

Adanya dorongan seksual itulah yang kemudian meracuni aktivitas pacaran. Pacaran yang semula dianggap jalan mencapai cinta sejati, malah menjadi ajang “memberi servis” pada pasangan. Boleh jadi awalnya cuma pegangan tangan—(tapi kok) lamaaaa…banget. Kemudian mulai berani cipika-cipiki, pelukan, cium bibir (maaf), hingga berlanjut pada perbuatan tidak senonoh yang lebih “dewasa.”

Sekali lagi, jangan naif membaca urusan ini dengan mengabaikan realitas yang terjadi!

Memang ada orang yang pacarannya safe banget, cuma ngobrol, tidak pernah kencan, dan sebagainya. Tapi berapa banyak yang seperti itu? Lebih banyak mana dengan yang melakukan peluk-cium dan perbuatan tidak senonoh lainnya?

Seseorang yang rela memberikan tubuhnya untuk digerayangi pacarnya, entah karena penasaran atau alasan suka sama suka, tidak jauh beda dengan (maaf) “seorang pekerja seks” yang menjajakan kenikmatan pada pelanggannya. Boleh jadi pekerja seks malah lebih "bermartabat" karena mereka dibayar untuk itu. Sementara seseorang yang dibutakan oleh bujuk rayu dan dalih pembuktian cinta, dengan sukarela memberikan tubuhnya pada pacar yang entah kapan dinikahinya. (Ironis!)

Jika kalian masih memiliki kepedulian untuk menjaga kehormatan diri dan tidak ingin disamakan dengan pekerja seks, maka kalian harus melakukan sesuatu untuk menghentikan pacar kalian yang bertindak sembrono—bukannya malah menikmati “servis gratis” dari pacar kalian.

*   *   *

Dari kacamata hukum, remaja yang belum genap 18 tahun masih tergolong “anak di bawah umur.” Golongan tersebut masih bisa mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang Perlindungan Anak. Jadi, jika kalian merasa diperlakukan tidak senonoh oleh pacar kalian, dicium, dipeluk, atau digerayangi yang aneh-aneh, maka kalian bisa memperkarakan pacar kalian ke pengadilan dengan tuduhan pencabulan.

Ini serius. Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya pasal 81 dan 82, dibuat untuk melindungi anak di bawah umur dari ancaman kekerasan seksual dan tindak pencabulan. Pasal-pasal itu ampuh sekali untuk menjerat orang-orang cabul di sekitar kita. Nggak percaya? Buktinya, tuh ada artis ngetop yang baru saja terjerat pasal 81 dan 82 setelah terbukti mencabuli remaja cowok di bawah umur.

Sekali lagi, jika kalian masih peduli pada kehormatan diri, peduli pada batas-batas nilai agama, dan peduli pada masa depan, maka kalian tidak akan membiarkan seorang pun “menodai” kalian. Tak peduli siapa pelakunya, kalian berhak memperkarakan setiap perilaku mesum yang kalian terima melalui jalur hukum. Itu jika kalian memilih untuk peduli.

Tapi jika kalian memilih tidak peduli lagi, menyerah pada alasan klise “suka sama suka” maka kalian akan pasrah saja “di-anu-anuin” sama pacar. Alih-alih merasa berdosa, boleh jadi kalian malah sibuk menikmati “servis” dari pacar kalian. Suka tidak suka, kalian berhasil membuat pacar kalian senang karena mendapat layanan seks gratis tanpa harus membayar. Itulah yang saya sebut sebut menjadi “pekerja seks” sukarela.

Sampai di sini mungkin kalian akan nyinyir bilang, “Apa salahnya kalau cuma ciuman, pelukan, kan nggak sampai melakukan hubungan ranjang..Well, itu hak kalian bicara. Asal kalian tahu saja, kebanyakan “hubungan terlarang yang kebablasan” berawal dari kata “cuma.” Ah,kita cuma pegangan tangan kok. Ah, kita cuma cipika-cipiki kok. Ah, kita cuma bla bla bla. Pada akhirnya, ketika yang “cuma-cuma” itu berlanjut, maka kehormatan diri tidak bisa dikembalikan dan waktu tidak bisa kalian putar.

*   *   *

Sebagian orang merasa pacaran tidak akan seru jika cuma ngobrol dan kencan tanpa ada “servis” lain yang lebih menggairahkan. Lebih-lebih jika pelakunya masih remaja dengan dorongan seks yang tinggi. Dengan dalih pembuktian cinta, seseorang bisa meminta pacarnya untuk memberikan “servis gratis“. Bujuk rayu dan janji manis—seperti kasus Nenengseringkali digunakan untuk meluluhkan "iman" pasangannya. Tidak jarang permintaan itu disertai unsur paksaan dan ancaman pemutusan hubungan.

Di sisi lain, kita tidak bisa memaksakan pacaran gaya Barat yang menganggap pacar hamil sebagai hal yang biasa. Dalam budaya Timur, hamil di luar nikah tetap saja aib yang tidak termaafkan dan menodai citra diri kita di mata masyarakat.

Jika memang pacaran adalah jalan yang sudah kalian pilih saat ini, maka jagalah kehormatan diri kalian baik-baik. Jangan pernah mau dijadikan “pekerja seks sukarela” demi memuaskan birahi pacarmu. Sungguh, jika pacarmu itu beneran baik, dia tidak akan berani menggerayangimu. Dia akan memilih untuk segera menseriusi hubungan kalian dalam ikatan yang dicatat negara dan direstui agama. Pikirkanlah! []

1 comments:

Mochammad Azka Taufiq Reyzany said...

Kalo kasusnya Neneng sama Blengur sih. gue rasa bisa dilaporkan atas tuduhan pelecehan seksual dan tindakan tidak menyenangkan lainnya, sih.

Post a Comment