Subscribe:

Labels

Tuesday 15 March 2016

Long Distance Relationship Tak Selamanya Buruk


Yang nikah saja bisa kandas gara-gara LDR,
apalagi yang cintanya sebatas pacar, TTM, 
atau hubungan lain  yang tidak jelas statusnya.
(Hatake Niwa)

Saya sering kasihan pada orang yang LDR. Gara-gara LDR, mereka tidak bisa menghabiskan malam minggu bersama. Gara-gara LDR, mereka harus membunuh tega setiap kerinduan yang muncul ke permukaan. Gara-gara LDR pula, mereka sibuk berharap-harap cemas, takut pasangannya mencari “ban serep di perantauan. Saking beratnya LDR, sampai-sampai banyak hubungan percintaan yang kandas di tengah jalan.

Bagaimana tidak. Sampai batas-batas tertentu, LDR bisa mengurangi, bahkan meniadakan jalinan interaksi dan komunikasi dengan pasangan. Padahal interaksi dan komunikasi intens dengan pasangan merupakan elemen penting dalam membangun hubungan percintaan. Minimnya interaksi dan komunikasi bisa mendorong kita untuk mencari kompensasi lain demi memenuhi rasa ingin diperhatikan dan disayang. Karena itu, jangan heran jika banyak cerita LDR yang endingnya ditinggal selingkuh atau ditinggal nikah.

Terlepas dari semua itu, LDR tidak melulu terlihat buruk. Bagi pasangan yang sudah di ambang perceraian, misalnya, LDR malah dilihat sebagai jalan terbaik untuk memperlancar urusan cerai. Alih-alih mereka memang “sepantasnya” menjaga jarak dengan mantan istri atau suami demi menjaga martabat dan harga diri.

Tapi bagi pasangan muda yang baru saja menikah, LDR jelas sebuah mimpi buruk. Malam-malam di saat mereka seharusnya berbulan madu, malah diisi dengan dinginnya harapan dan penantian. Setan pun leluasa membuka prasangka, “Jangan-jangan laki-mu sedang ‘main gila’ dengan wanita lain di seberang.

LDR bagi mereka yang sudah nikah tentu terasa berbeda daripada LDR-nya mereka yang belum nikah. Setelah menikah, kita menanggung tanggung jawab dan konsekuensi yang lebih besar dalam setiap keputusan yang diambil. Ikatan pernikahan mengharuskan sebuah hubungan percintaan mengikuti tatanan formal hukum yang berlaku. 

Orang yang sudah nikah akan berpikir dua kali untuk selingkuh, lebih-lebih jika mereka ingin kawin lagi di perantauan. Andai nekat meminta cerai karena tidak betah LDR, mereka harus mengurus seabrek berkas gugatan ke pengadilan agama. Belum lagi berbicara seputar hak asuh, hubungan dengan mertua, sampai uang ganti rugi.

Sementara pada pasangan yang belum nikah, tanggung jawab yang diemban tidak sebesar mereka yang sudah nikah. Orang pacaran yang LDR lebih leluasa untuk minta putus dan berpaling, tanpa harus menanggung konsekuensi seperti halnya orang minta cerai. Orang pacaran bisa saja minta putus dalam semenit. Dan LDR bisa menjadi alasan paling wajar untuk minta putus. Jika itu yang terjadi, tidak akan ada satu pengadilan pun yang sudi mengurus gugatan kita. Yang bisa kita lakukan paling-paling ‘cuma’ mengurung diri di kamar dan mewek—menangis semalaman.

Saya bukan bermaksud menakut-nakuti apalagi mendoakan yang buruk-buruk. LDR-nya mereka yang belum menikah boleh jadi lebih berpotensi “merusak hubungan” daripada mereka yang sudah nikah. Semua ini simply karena mereka yang belum nikah hanya menyandarkan hubungan mereka pada “kontrak lisan” yang berupa janji-janji—entah janji untuk setia, janji untuk tetap mencinta, atau janji untuk menikahinya kelak saat kembali. Karena tidak ada “hitam di atas putih”, pada akhirnya lebih banyak orang yang memilih ingkar daripada setia.

Melihat beratnya menjalani LDR, kita tidak bisa memutuskan LDR dengan mengabaikan keinginan pasangan kita. Kita harus memiliki pembenaran logis sebelum memutuskan untuk menjalani LDR. Setiap pasangan harus memahami alasan mereka memilih LDR. Mereka juga harus siap menerima segala konsekuensi dan skenario terburuk dari hubungan jarak jauh.

Kita juga tidak bisa naif mempasrahkan urusan LDR pada “kontrak emosional” seperti komitmen, kepercayaan, dan janji setia seperti yang ada dalam novel-novel picisan. Apalagi jika kita masih belum bisa percaya sepenuhnya pada pasangan kita. Dalam konteks ini, boleh dibilang kita belum siap menjalani hubungan jarak jauh. Karena itu, ada baiknya kita mengutarakan masalah tersebut di awal, daripada menelan pil pahit belakangan. Dengan begitu, kita bisa mendiskusikan win-win solution sebelum memutuskan menjalani LDR.

LDR memang tidak selamanya buruk. Kita bisa memaknai "jarak" sebagai sebuah variabel untuk menguji kesetiaan pasangan kita. Dengan jarak, kita akan mengerti apakah cinta yang selama ini kita rasakan semakin besar atau malah sebaliknya—berubah hambar. Dengan jarak pula, kita akan belajar untuk bersabar, mentafakuri kesetiaan dan menyelami agungnya pengharapan. Karena yakinlah, ada saat di mana kita harus merelakan orang yang kita kasihi pergi—menuju kehidupan lain yang lebih abadi. Tak tertolak!

0 comments:

Post a Comment