“Yang nikah saja bisa kandas gara-gara LDR,
apalagi
yang cintanya sebatas pacar, TTM,
atau
hubungan lain yang tidak jelas statusnya.”
(Hatake
Niwa)
Saya sering kasihan pada orang yang LDR. Gara-gara LDR,
mereka tidak bisa menghabiskan malam minggu bersama. Gara-gara LDR, mereka
harus membunuh tega setiap kerinduan yang muncul ke permukaan. Gara-gara LDR
pula, mereka sibuk berharap-harap cemas, takut pasangannya mencari “ban serep” di perantauan. Saking beratnya LDR, sampai-sampai
banyak hubungan percintaan yang kandas di tengah
jalan.
Bagaimana tidak. Sampai batas-batas tertentu, LDR bisa
mengurangi, bahkan meniadakan jalinan interaksi dan komunikasi dengan pasangan.
Padahal interaksi dan komunikasi intens dengan pasangan merupakan elemen
penting dalam membangun hubungan percintaan. Minimnya interaksi dan komunikasi bisa
mendorong kita untuk mencari kompensasi lain demi memenuhi rasa ingin
diperhatikan dan disayang. Karena itu, jangan heran jika banyak cerita LDR yang
endingnya ditinggal selingkuh atau
ditinggal nikah.
Terlepas dari semua itu, LDR tidak melulu terlihat buruk.
Bagi pasangan yang sudah di ambang perceraian, misalnya, LDR malah dilihat sebagai
jalan terbaik untuk memperlancar urusan cerai. Alih-alih mereka memang “sepantasnya”
menjaga jarak dengan mantan istri atau suami demi menjaga martabat dan harga
diri.
Tapi bagi pasangan muda yang baru saja menikah, LDR jelas
sebuah mimpi buruk. Malam-malam di saat mereka seharusnya berbulan madu, malah diisi
dengan dinginnya harapan dan penantian. Setan pun leluasa membuka prasangka, “Jangan-jangan laki-mu sedang ‘main gila’ dengan
wanita lain di seberang.”
LDR bagi mereka yang sudah nikah tentu terasa berbeda daripada
LDR-nya mereka yang belum nikah. Setelah menikah, kita menanggung tanggung
jawab dan konsekuensi yang lebih besar dalam setiap keputusan yang diambil. Ikatan
pernikahan mengharuskan sebuah hubungan percintaan mengikuti tatanan formal hukum
yang berlaku.
Orang yang sudah nikah akan berpikir dua kali untuk selingkuh, lebih-lebih jika mereka ingin kawin lagi di perantauan. Andai nekat meminta cerai karena tidak betah LDR, mereka harus mengurus seabrek berkas gugatan ke pengadilan agama. Belum lagi berbicara seputar hak asuh, hubungan dengan mertua, sampai uang ganti rugi.
Orang yang sudah nikah akan berpikir dua kali untuk selingkuh, lebih-lebih jika mereka ingin kawin lagi di perantauan. Andai nekat meminta cerai karena tidak betah LDR, mereka harus mengurus seabrek berkas gugatan ke pengadilan agama. Belum lagi berbicara seputar hak asuh, hubungan dengan mertua, sampai uang ganti rugi.
Sementara pada pasangan yang belum nikah, tanggung jawab yang
diemban tidak sebesar mereka yang sudah nikah. Orang pacaran yang LDR lebih leluasa
untuk minta putus dan berpaling, tanpa harus menanggung konsekuensi seperti
halnya orang minta cerai. Orang pacaran bisa saja minta putus dalam semenit. Dan
LDR bisa menjadi alasan paling wajar untuk minta putus. Jika itu yang terjadi, tidak
akan ada satu pengadilan pun yang sudi mengurus gugatan kita. Yang bisa kita
lakukan paling-paling ‘cuma’ mengurung diri di kamar dan mewek—menangis semalaman.
Saya bukan bermaksud menakut-nakuti apalagi mendoakan yang
buruk-buruk. LDR-nya mereka yang belum menikah boleh jadi lebih berpotensi “merusak
hubungan” daripada mereka yang sudah nikah. Semua ini simply karena mereka yang belum nikah hanya menyandarkan hubungan
mereka pada “kontrak lisan” yang berupa janji-janji—entah janji untuk setia, janji
untuk tetap mencinta, atau janji untuk menikahinya kelak saat kembali. Karena tidak
ada “hitam di atas putih”, pada akhirnya lebih banyak orang yang memilih ingkar
daripada setia.
Melihat beratnya menjalani LDR, kita tidak bisa memutuskan
LDR dengan mengabaikan keinginan pasangan kita. Kita harus memiliki pembenaran
logis sebelum memutuskan untuk menjalani LDR. Setiap pasangan harus memahami
alasan mereka memilih LDR. Mereka juga harus siap menerima segala konsekuensi
dan skenario terburuk dari hubungan jarak jauh.
Kita juga tidak bisa naif mempasrahkan urusan LDR pada “kontrak
emosional” seperti komitmen, kepercayaan, dan janji setia seperti yang ada dalam
novel-novel picisan. Apalagi jika kita masih belum bisa percaya sepenuhnya pada
pasangan kita. Dalam konteks ini, boleh dibilang kita belum siap menjalani hubungan
jarak jauh. Karena itu, ada baiknya kita mengutarakan masalah tersebut di awal,
daripada menelan pil pahit belakangan. Dengan begitu, kita bisa mendiskusikan win-win solution sebelum memutuskan menjalani
LDR.
0 comments:
Post a Comment