“Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan,
selama ia menjadi lebih
bijaksana daripada sebelumnya.“
(Alexander Pope)
Jika ada
survey tentang intensitas kesalahan ketik, saya yakin kalangan pengguna smartphone dan tablet layar sentuh akan
berada di urutan teratas—lebih banyak daripada pengguna gadget dengan keyboard
konvensional. Sejak beralih menjadi pengguna smartphone, saya cukup sering
menerima pesan yang salah ketik. Saking seringnya, salah ketik pun dianggap lumrah.
Cukup tambahkan koreksi pada kata yang salah ketik, meminta maaf—persoalan selesai.
Bagi
masyarakat awam, kesalahan ketik memang bisa dimaklumi. Tapi bagi sebagian
orang, salah ketik bisa saja menjadi perkara besar yang tidak hanya merugikan
diri sendiri tapi juga orang lain. Pegawai bank, petugas kasir, peracik obat,
dan pembuat dokumen resmi adalah contoh profesi yang tidak boleh salah ketik
saat bekerja. Tanggung jawab mereka berbeda dengan masyarakat awam karena
menyangkut hajat hidup orang lain, kepentingan instansi tempatnya bekerja dan
kelangsungan karir mereka. Peraturannya sih
sederhana: tidak boleh salah ketik! Tapi dalam prakteknya, menghindari salah
ketik tidaklah mudah.
Baru-baru ini
di tempat saya tinggal juga terjadi kasus salah ketik. Surat keterangan hasil
ujian sekolah (SKHUS) masal. Sekolah-sekolah (termasuk sekolah tempat saya
bekerja) dibuat kelabakan karena harus mengurus
berbagai administrasi dan membuat surat keterangan tambahan yang harus
dilampirkan bersamaan dengan SKHUS tersebut. Situasi semakin mendesak karena
kekeliruan baru diumumkan beberapa hari menjelang pendaftaran siswa baru tahun
ajaran 2015/2016.
Setelah saya
cermati, kesalahan penulisan SKHUS terletak pada nomor ujian peserta, tepatnya
pada kode tahun. Agaknya si penulis
SKHUS melakukan copy-paste dari
dokumen tahun lalu, tapi lupa untuk mengganti kode tahunnya. Hasilnya, SKHUS
yang keliru terlanjur dicetak dan diedarkan. Sayangnya, dalam dokumen resmi
tidak mengenal fitur tip-ex dan
coret. Kesalahan tulis dalam bentuk apapun hanya bisa ‘diampuni’ dengan
penambahan surat keterangan resmi dari instansi yang menerbitkan dokumen tersebut.
Padahal dalam kasus di tempat tinggal saya tadi, kesalahan ketik hanya terjadi
pada satu angka saja.
Salah ketik
terkesan menjadi perkara sepele. Tapi dalam dunia literasi, salah ketik tidak
bisa ditoleransi. Salah ketik ibarat sebuah bisul bernanah yang akan segera
menginfeksi jaringan tubuh lainnya. Sepele—tapi dampaknya bisa sangat
menyakitkan. Karena itu, penerbit buku ternama sangat memperhatikan presisi
pengetikan dalam setiap naskah yang akan diterbitkan. Tidak heran jika kita
jarang menjumpai kesalahan ketik dalam buku-buku terbitan penerbit ternama.
Salah ketik
juga pernah menjadi ‘dosa’ saya sehingga skripsi saya ngadat beberapa hari.
Saat itu saya sedang khusyuk-khusyuknya mengerjakan revisi skripsi. Saya melakukan
revisi dengan segenap kesungguhan yang saya miliki, memperbaiki kalimat, tata
tulis, memperbanyak kajian pustaka, hingga memikirkan teori/prosedur yang
mungkin akan ditanyakan dosen. Intinya, saya tidak mau skripsi saya
dikembalikan dosen untuk direvisi lagi.
Setelah
dirasa cukup, dengan penuh keyakinan, saya serahkan revisi skripsi saya pada
dosen pembimbing. Kebetulan dosen saya sudah berada di ruangannya sehingga saya
tidak perlu menunggu lama. Skripsi saya letakkan di meja dosen. Dalam hati,
saya sangat yakin skripsi saya tidak akan revisi lagi.
“Apa sudah
diteliti skripsinya?”
Sesaat saya
mencemaskan pertanyaan dosen saya. Tidak biasanya dosen saya berbasa-basi
seperti itu.
“Sudah, Pak,”
jawab saya pelan.
“Kalau saya
temukan lima saja kesalahan tulis, skripsi ini saya kembalikan!”
DEG!!! Saya
sempat keder mendengar ultimatum dosen pembimbing saya. Sebelumnya saya memang
kurang memperhatikan presisi dalam mengetik. Saya sering mengetik dengan
prinsip sing penting rampung. Saya
pikir kesalahan tulis adalah persoalan sepele yang selalu dimaafkan dalam
skripsi. Saya terlalu risau dengan kajian teori, prosedur penelitian, instrumen
penelitian, dan hal-hal teknis lainnya, sampai-sampai mengabaikan presisi
pengetikan (yang bagi dosen saya adalah persoalan besar).
Entah seberapa
keruh air muka saya waktu itu. Baru sampai di halaman kata pengantar, dosen
saya tidak sudi melanjutkan koreksi. Kesalahan tulis yang ditemukan sudah lebih
dari lima biji. Saya pun beringsut meninggalkan ruangan, membawa skripsi dengan
salah ketik yang tak termaafkan.
Sejak peristiwa
memalukan itu, saya memutuskan untuk lebih memperhatikan presisi dalam
mengetik. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan lama yang sering salah ketik,
tapi memperbaiki diri adalah sebuah keharusan. Saya tidak mau mendapat malu
untuk yang kesekian kalinya hanya karena kesalahan sepele seperti salah ketik.
Saya
beruntung karena saya hidup ketika mesin ketik digital sudah jamak dipakai. Saya
rasa, tombol backspace/delete adalah penemuan spetakuler—sama
halnya dengan mesin cetak—karena boleh jadi keberadaannya telah berhasil
menghemat jutaan lembar kertas yang terbuang akibat salah ketik. Saya tidak
bisa membayangkan jika saya hidup ketika dunia literasi dipenuhi mesin ketik
konvensional yang tidak memiliki tombol backspace/delete. Boleh jadi saat ini saya masih
betah ‘menginap’ di kampus sambil melihat adik-adik kelas yang diwisuda.
Sedemikian
pentingnya untuk mengetik dengan benar sampai-sampai menentukan kelanjutan
karir seseorang. Seorang pegawai bank, misalnya, bisa saja dia dipecat/membayar
ganti rugi karena salah menginput angka yang mengakibatkan kerugian bank dan
nasabah. Salah ketik juga menjadi momok petugas kasir swalayan yang harus
menghadapi ribuan barang belanjaan setiap harinya. Konsentrasi, teliti, dan
tetap fokus pada pekerjaan sangat esensial agar salah ketik tidak terjadi.
Blog ini pun
tidak lepas dari penyakit salah ketik. Betapapun saya mencoba teliti saat
mengetik, kesalahan ketik kadang tetap terjadi. Agaknya saya harus menyerah
pada pepatah lama bahwa “manusia memang tempatnya salah dan lupa.”