Subscribe:

Labels

Sunday 17 May 2015

‘Main-Main’ ke Psikiater

Sudah seminggu yang lalu saya memberanikan diri mampir ke psikiater. Tentu saja saya melakukannya diam-diam tanpa seorang pun dari orangtua atau kerabat yang tahu. Maklumlah, datang ke psikiater sama saja membiarkan diri Anda dikatain gila—persepsi kebanyakan orang. Apapun itu, saya yakin Anda yang tengah membaca/nyasar ke blog saya bukanlah orang yang terganggu kejiwaannya.

Saya tidak akan menaruh tugas akhir atau skripsi (yang sampai detik saya menulis tulisan ini masih diproses), karena apa yang saya hadapi lebih kompleks dari sekedar skripsi. Saya merasa ada yang tidak beres dengan kejiwaan saya. Tapi yakinlah, sejauh ini saya tidak pernah lari-lari telanjang di jalan raya, atau terkekeh sendirian tanpa sebab sepanjang hari. Kunjungan saya ke psikiater minggu lalu pun murni inisiatif saya sendiri. Hanya uniknya, saya tidak perlu repot-repot naik ambulans dengan tangan-kaki terikat. Cukup bermodal 100ribu dan saya bisa ‘curhat’ selama hampir satu jam lamanya dengan si psikiater.

Kebanyakan orang akan merasa fine-fine saja tanpa perlu jasa psikiater. Padahal sejatinya ada banyak gejala kejiwaan yang mengindikasikan kalau jiwa Anda sakit. Perasaan cemas dan gelisah sampai perasaan galau seperti yang dialami remaja yang hilang arah sudah termasuk gangguan psikis. Hanya kadar gangguannya saja yang berbeda pada setiap orang. Bagi mereka yang mampu mengatasi ‘perasaan tidak nyamannya,’ maka tak perlulah pergi ke psikiater.

Sialnya, saya tergolong orang yang tidak berhasil mengatasi ‘perasaan tidak nyaman’ dalam diri saya. Semakin hari ‘perasaan tidak nyaman’ itu kian mengganggu aktivitas saya. Hingga pada satu titik saya merasa perlu untuk berkunjung ke psikiater sekedar untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa, kenapa, dan bagaimana.

Perasaan tidak nyaman yang saya rasakan akan tampak simpel saat dituliskan: “Cemas,” “takut salah,” “gelisah/was-was,” “terlalu perasa,” “pesimisme,” “perasaan tidak berguna,” dan “ketakutan pada hal-hal yang belum terjadi.” Perasaan-perasaan itu akan bergantian mengisi hari-hari saya dengan kadar yang berbeda-beda. Tergantung kondisi kejiwaan/mood saya.

Hm...kalau dipikir-pikir ‘lebay’ juga sih menuliskan masalah saya sendiri dan mempublikasikannya di blog pribadi. Apa yang Anda baca sekarang pun sebenarnya adalah salah satu terapi psikis yang sedang saya jalani. Setidaknya, menulis memudahkan saya untuk menjauhkan pikiran-pikiran negatif dan mencegah timbulnya depresi berkepanjangan.

Lalu untuk apa saya menulis pengalaman saya ke psikiater? Apa manfaatnya bagi orang-orang??? Ya, sederhananya, saya cuma ingin bilang kepada Anda, tak perlu ragu mendatangi psikiater. Psikiater menerima segala pasien kok. Bahkan orang yang secara lahiriah tidak sakit seperti saya. Psikiater tahu mana pasien yang benar-benar mengalami gangguan jiwa, dan mana pasien yang hanya ‘terguncang’ jiwanya. Penanganan terapi dan resep obatnya pun jelas berbeda.

Ah...sudahlah. Daripada tulisan ini semakin ngelantur dan tidak berdayamanfaat, ijinkan saya menertawakan diri saya sendiri. Hanya karena terlalu mudah ditipu pikiran-pikirannya sendiri, saya sampai terbebani dan merasa sangat-sangat tidak nyaman dan membayar mahal untuk jasa psikiater. Satu resep ampuh dari kunjungan saya ke psikiater: “MENULISLAH”—abaikan semua pemikiran negatif dan buat diri Anda senyaman mungkin dengan pikiran-pikiran lain yang lebih positif.

Tidak ada salahnya kok dicoba :)

*catatan ini adalah reminder yang saya buat ketika saya masih berkutat dengan skripsi. #nostalgia