Sudah
seminggu yang lalu saya memberanikan diri mampir ke psikiater. Tentu saja saya
melakukannya diam-diam tanpa seorang pun dari orangtua atau kerabat yang tahu.
Maklumlah, datang ke psikiater sama saja membiarkan diri Anda dikatain gila—persepsi
kebanyakan orang. Apapun itu, saya yakin Anda yang tengah membaca/nyasar ke
blog saya bukanlah orang yang terganggu kejiwaannya.
Saya
tidak akan menaruh tugas akhir atau skripsi (yang sampai detik saya menulis
tulisan ini masih diproses), karena apa yang saya hadapi lebih kompleks dari
sekedar skripsi. Saya merasa ada yang tidak beres dengan kejiwaan saya. Tapi
yakinlah, sejauh ini saya tidak pernah lari-lari telanjang di jalan raya, atau
terkekeh sendirian tanpa sebab sepanjang hari. Kunjungan saya ke psikiater
minggu lalu pun murni inisiatif saya sendiri. Hanya uniknya, saya tidak perlu
repot-repot naik ambulans dengan tangan-kaki terikat. Cukup bermodal 100ribu
dan saya bisa ‘curhat’ selama hampir satu jam lamanya dengan si psikiater.
Kebanyakan
orang akan merasa fine-fine saja
tanpa perlu jasa psikiater. Padahal sejatinya ada banyak gejala kejiwaan yang
mengindikasikan kalau jiwa Anda sakit. Perasaan cemas dan gelisah sampai
perasaan galau seperti yang dialami remaja yang hilang arah sudah termasuk
gangguan psikis. Hanya kadar gangguannya saja yang berbeda pada setiap orang.
Bagi mereka yang mampu mengatasi ‘perasaan tidak nyamannya,’ maka tak perlulah
pergi ke psikiater.
Sialnya,
saya tergolong orang yang tidak berhasil mengatasi ‘perasaan tidak nyaman’
dalam diri saya. Semakin hari ‘perasaan tidak nyaman’ itu kian mengganggu
aktivitas saya. Hingga pada satu titik saya merasa perlu untuk berkunjung ke
psikiater sekedar untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa, kenapa, dan
bagaimana.
Perasaan
tidak nyaman yang saya rasakan akan tampak simpel saat dituliskan: “Cemas,”
“takut salah,” “gelisah/was-was,” “terlalu perasa,” “pesimisme,” “perasaan
tidak berguna,” dan “ketakutan pada hal-hal yang belum terjadi.”
Perasaan-perasaan itu akan bergantian mengisi hari-hari saya dengan kadar yang
berbeda-beda. Tergantung kondisi kejiwaan/mood
saya.
Hm...kalau
dipikir-pikir ‘lebay’ juga sih menuliskan masalah saya sendiri dan
mempublikasikannya di blog pribadi. Apa yang Anda baca sekarang pun sebenarnya
adalah salah satu terapi psikis yang sedang saya jalani. Setidaknya, menulis
memudahkan saya untuk menjauhkan pikiran-pikiran negatif dan mencegah timbulnya
depresi berkepanjangan.
Lalu
untuk apa saya menulis pengalaman saya ke psikiater? Apa manfaatnya bagi
orang-orang??? Ya, sederhananya, saya cuma ingin bilang kepada Anda, tak perlu
ragu mendatangi psikiater. Psikiater menerima segala pasien kok. Bahkan orang
yang secara lahiriah tidak sakit seperti saya. Psikiater tahu mana pasien yang
benar-benar mengalami gangguan jiwa, dan mana pasien yang hanya ‘terguncang’
jiwanya. Penanganan terapi dan resep obatnya pun jelas berbeda.
Ah...sudahlah.
Daripada tulisan ini semakin ngelantur dan tidak berdayamanfaat, ijinkan saya
menertawakan diri saya sendiri. Hanya karena terlalu mudah ditipu
pikiran-pikirannya sendiri, saya sampai terbebani dan merasa sangat-sangat tidak
nyaman dan membayar mahal untuk jasa psikiater. Satu resep ampuh dari kunjungan
saya ke psikiater: “MENULISLAH”—abaikan semua pemikiran negatif dan buat diri
Anda senyaman mungkin dengan pikiran-pikiran lain yang lebih positif.
Tidak ada salahnya kok
dicoba :)
*catatan ini adalah reminder yang saya buat ketika saya masih berkutat dengan skripsi. #nostalgia