Subscribe:

Labels

Sunday 21 February 2016

Lelucon yang Tidak Lucu (1)


Sebuah lelucon akan terasa lucu
Jika ruang dan waktu penyampaiannya tepat
(Hatake Niwa)

Suatu hari saya mampir di sebuah toko buku. Sudah menjadi kebiasaan jika saya sedang banyak pikiran saya malah menyempatkan diri ke toko buku. Jika sedang lapang, saya bisa pulang dengan membawa minimal satu buku. Tapi jika tidak, saya hanya akan menghabiskan waktu untuk cuci mata, melihat-lihat deretan buku, sambil sesekali mengecek buku bagus yang pembungkus plastiknya sudah terbuka.

Ketika saya melihat-lihat deretan buku di rak, pandangan saya tertumbuk pada sebuah buku yang covernya cukup menarik. Saya mengambil buku itu. Kebetulan pembungkus plastiknya sudah tidak ada. Saya pun leluasa membolak-balik halaman buku itu.

Dari beberapa halaman awal, saya menyimpulkan buku yang saya pegang adalah buku komedi. Isinya tidak jauh dari pengalaman pribadi pengarangnya yang dikemas dalam bentuk cerita komedi. Beberapa cerita dalam buku itu memang lucu sehingga sesekali membuat saya tersenyum geli. Masalahnya, saya mulai mengkhawatirkan jenis lelucon yang dipakai si pengarang pada halaman-halaman berikutnya. Beberapa kali, si pengarang menulis kemaluan laki-laki secara vulgar, tanpa sensor, dan terang-terangan. Boleh jadi si pengarang bermaksud menjadikan itu sebagai lelucon. Tapi bagi saya, menyebut kemaluan untuk bahan lelucon (malah) tidak ada lucu-lucunya sama sekali. 

Dalam adat ketimuran, kita tidak bisa sembarangan menyebut kemaluan. Biasanya kita akan menggunakan kata ganti seperti “anu” agar tidak menyebut kemaluan secara langsung. Anak kecil pun paham jika mereka tidak boleh terang-terangan menyebut kemaluannya di tempat umum. Lha ini, seorang pengarang buku (yang seharusnya lebih berpendidikan), malah terang-terangan menyebut kemaluan dan menjadikannya sebuah kelucuan (lelucon jorok).

Saya tidak tahu pasti, bagaimana lingkungan tempat tinggal dan pergaulan si pengarang, Boleh jadi di tempat tinggal atau di lingkaran pergaulannya, "lelucon jorok" adalah sesuatu yang wajar. Masalahnya, ketika kita berbicara mengenai buku, blog, media sosial, atau media lain yang bersifat publik, ada tanggung jawab moral dan etika kesopanan yang harus kita patuhi. Kita tidak bisa sembrono menulis kemaluan dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang layak ditertawakan.

Jika “lelucon jorok” semacam itu dianggap biasa, saya khawatir ada anak-anak kecil yang kebetulan membaca atau mendengarnya. Dengan segala kepolosannya, sangat mungkin anak kecil itu ikut-ikutan melontarkan “lelucon jorok” pada teman, guru, bahkan orangtuanya tanpa menyadari betapa 'santun' tutur katanya.

Sebenarnya, menyebut kemaluan tidak akan menjadi masalah jika ruang dan waktu penyampaiannya tepat. Seorang pengidap sifilis tidak perlu merasa risih menyebut kemaluannya pada dokter yang memeriksanya. Remaja putri yang baru pertama kali mengalami menstruasi, tidak perlu merasa sungkan untuk menanyakan hal tersebut pada orangtuanya. Pun ketika seorang laki-laki sedang disunat—sah-sah saja dia menyebut kemaluannya secara terang-terangan pada dokter yang akan menyunatnya.

Pada contoh di atas, ketiga orang itu menyebut kemaluan dalam konteks netral, beralasan, dan tidak menjadikannya “lelucon jorok.” Hal ini berbeda dengan buku yang saya perkarakan tadi. Pengarang buku itu malah sengaja menulis kemaluan untuk menghibur pembacanya (entah orang  macam apa yang akan tertawa setelah membaca lelucon jorok semacam itu).

Saya tidak tahu apakah urusan semacam ini pantas diposting di sini atau tidak. Tapi saya merasa perlu menyentil hal ini pada orang-orang yang kerap sembrono menyebut kemaluan untuk bahan lelucon. Hal ini berlaku untuk semua jenis media publik, tidak hanya buku, tapi juga blog, media sosial, dan di dalam percakapan sehari-hari.

Menyebut kemaluan secara terang-terangan tidak hanya memalukan, tapi juga mengindikasikan bahwa pelakunya sudah tidak memiliki rasa malu. Jika memang kalian ingin melucu, maka carilah lelucon yang benar-benar lucu yang bisa membuat orang tertawa. Bukan malah memaksakan sesuatu yang tabu untuk ditertawakan orang lain. Itu malah sama sekali tidak lucu!


*silahkan lanjut ke bagian 2

6 comments:

adi laksono a said...

aku sependapat samamu menurutku kek gitu itu sama sekali gak lucu, itu jorok.
lha itu kok bisa sih ada buku model kek gitu. waah itu kalo anak kecil yang baca parah itu.

Hatake Niwa said...

@adi:
iya, aku juga mikire gitu. mungkin memang ada sebagian orang yang menganggap itu lucu/biasa. tapi kan tidak semua orang bisa paham (apalagi anak-anak/remaja). jadi biar lebih aman, jangan terlalu vulgar nyebut hal2 semacam itu kan

Icha Hairunnisa said...

Waaaakssssss serem bacanya. Jujur aku adalah salah satu dari orang-orang yang suka sama komedi vulgar, humor dewasa, blue material, apalah namanya. Dan jujur postinganku juga nggak jauh dari itu. Tapi aku biasanya nyebutin kemaluan itu dengan organ kewanitaan, kalau yang punya lelaki belum. Menurut kamu apa itu nggak sopan juga? Kata yang aku pake :(

Hmm. Bener juga sih. Lelucon bakal terasa lucu kalau pada tempatnya.

Hatake Niwa said...

@icha:
no offense ya kalau kebetulan kamu seperti itu. tapi bukan berarti gaya menulismu selalu begitu kan? semuanya pilihan sih. tinggal konteksnya aja. apakah 'blue material' itu mau dipakai untuk melucu, atau malah menjelaskan sebuah 'blue material' dari perspektif ilmiah. keduanya pasti beda

Mochammad Azka Taufiq Reyzany said...

Biasanya sih itu diperuntukkan buat 17+ sih.
Waktu kecil gue juga pernah baca bukunya Fredy S, yah walaupun nggak segamblang buku yang lo baca dalam konteks menyebut "kemaluan" itu. masih dibungkus rapi tapi tetep nilai pornonya tinggi banget.
Saat baca novel2nya Fredy S, pasti nyokap langsung ngrampas tu buku dan marahin gue. makanya gue kalo baca buku2nya pasti sembunyi2 .. hehe

Biasanya buku itu buat orang dewasa aja sih..

Hatake Niwa said...

@azka:
buku Fredy S? malah belum pernah baca itu. jaman dulu sensor belum seketat sekarang, berita-berita kriminal di koran juga terkadang memakai bahasa yang vulgar

Post a Comment