“Wajah dan tubuh bukanlah sesuatu yang pantas
dibangga-banggakan,
apalagi
ditertawakan”
(Hatake
Niwa)
*Agar tidak bingung membaca tulisan ini, silahkan membaca postingan sebelumnya di sini.
Lelucon, lawakan atau yang dalam bahasa asing disebut jokes, pada dasarnya adalah salah satu
seni berkomunikasi. Biasanya, jika kita ingin cepat akrab dengan seseorang, kita bisa menyelipkan lelucon ketika mengobrol dengannya. Lelucon yang digunakan dalam dosis tepat bisa mencairkan
suasana obrolan. Lelucon juga bisa dipakai untuk menghibur perasaan lawan
bicara dan mempererat keakraban dengannya.
Dewasa ini, lelucon telah menjadi semacam komoditas
tersendiri yang mendapat jatah prime time
di banyak stasiun TV. Kita lihat banyak sekali acara TV yang ‘memaksa’
penyiarnya melontarkan lelucon untuk mengocok perut penontonnya. Ada yang memakai konsep komedi situasi (sitkom), parodi, sampai pentas lawak tunggal (Stand Up Comedy).
Sampai sini, sebenarnya sah-sah saja menggunakan lelucon sebagai
media hiburan atau sekedar bagian dari seni berkomunikasi. Hanya saja, dalam melontarkan
sebuah lelucon, kita punya tanggung jawab moral untuk menjaga agar lelucon kita
tidak menyinggung orang lain atau melanggar batas-batas etika. Lelucon yang
disampaikan pada ruang dan waktu yang tepat bisa menghibur lawan bicara.
Sebaliknya, lelucon yang disampaikan secara vulgar, jorok, lebih-lebih “verbal slapstick”,
terkadang bisa menyakiti perasaan lawan bicara.
Saya termasuk salah satu orang yang membenci verbal slapstick (jenis komedi yang menjadikan
ejekan sebagai bahan lelucon). Ejekan yang dipakai biasanya menyinggung persoalan
fisik seperti warna kulit, mata sipit, gigi mrongos,
tinggi badan, dan sejenisnya. Verbal slapstick
semacam ini sangat mungkin menyinggung perasaan orang lain yang tidak terima jika fisiknya dijadikan bahan lelucon.
Bayangkan jika kalian bertubuh pendek. Bagaimana perasaan
kalian jika ada teman kalian yang bilang: “Lihat
tuh, Si Cebol datang!” Atau jika mata kalian sipit, bagaimana perasaan
kalian saat ada yang nyinyir: “Melek dong!
Biar nggak nabrak-nabrak kalo jalan.”
Meskipun kata-kata itu diungkapkan dalam acara dagelan, orang yang fisiknya
dijadikan bahan lelucon belum tentu bisa menerimanya. Siapa yang bisa
memastikan orang itu tidak akan tersinggung?
Salah satu dosen saya pernah terang-terangan mengatakan
tidak menyukai acara Stand Up Comedy—karena
adanya unsur menjelek-jelekkan orang lain di dalamnya. Boleh jadi maksud dosen
saya adalah "verbal slapstick" yang
menjadikan aktivitas mengejek fisik orang lain sebagai bahan lelucon. Meski tidak
semua comic menggunakannya, comic yang bijak tentu akan memilih
untuk menghindari verbal slapstick
semacam itu.
“Hey…bukankah selera
humor tiap orang berbeda-beda? Kenapa harus pusing jika ada orang yang tidak menyukai
verbal slapstick? ”
Ya, memang selera humor tiap orang berbeda. Tapi di sini kita
tidak sedang membahas perbedaan selera humor. Kita sedang mempersoalkan bagaimana
menghindari verbal slapstick sebagai
bentuk toleransi pada mereka yang secara fisik terlihat berbeda. Karena sekali lagi,
tidak semua orang bisa menerima verbal
slapstick. Sangat mungkin ada yang tersinggung atau merasa dilecehkan
karena ketidaksempurnaan fisiknya dijadikan bahan lelucon.
Tidak ada perbedaan nyata antara penggunaan ejekan sebagai
guyonan dan penggunaan ejekan sebagai
bentuk penghinaan. Keduanya tetap berkonotasi negatif dan bisa menyinggung perasaan
orang lain. Karena itu, daripada runyam ‘disembur’ orang yang tersinggung, pilihlah
lelucon lain yang lebih netral.
Jika kalian ingin menggunakan verbal slapstick, maka gunakan fisik kalian sendiri sebagai bahan
lelucon. Misalnya, jika tubuh kalian kurus, maka buatah lelucon tentang
kekurusan tubuh kalian, bukan mengejek kekurusan tubuh orang lain. Kalian bisa
mengatakan “Ah…punya tubuh kurus kayak saya itu rejeki. Siapa tahu besok bisa iklan produk
obat cacing.” Sekalipun saat itu ada orang yang sama-sama kurus, dia tidak
akan merasa tersinggung karena lelucon kalian didasarkan atas kondisi fisik
kalian sendiri.
0 comments:
Post a Comment