“Guru bukanlah sebuah profesi—melainkan sebuah peran yang seharusnya diemban
oleh setiap orang yang
memahami esensi belajar.”
(Hatake
Niwa)
Sebagai
lulusan jurusan pendidikan, saya sering prihatin dengan nasib para guru
honorer. Sudah jamak kita jumpai berbagai paradoks di mana kesejahteraan para
guru honorer terabaikan—terutama persolan gaji. Tidak peduli di kota-kota besar
atau di daerah terpencil, nominal salary yang
diterima para guru honorer acapkali membuat miris. Jangankan mendekati UMR,
gaji sebulan bisa saja habis hanya untuk biaya transportasi. Belum lagi jika
pembayaran gaji tertunda. Gaji beberapa bulan ditangguhkan untuk kemudian
dibayarkan kontan pada bulan berikut.
Tetangga saya
beda kampung—seorang guru honorer di SD negeri, malah hanya mendapat 300 ribu
rupiah per bulannya! Nilai itu tidak lebih dari sepertiga UMR provinsi yang
berkisar antara 1,1-1,3 juta. Di sekolah-sekolah swasta, gaji yang diterima
biasanya lebih besar tergantung kondisi dan dukungan finansial yang dimiliki
sekolah.
Minimnya gaji
para guru honorer sedikit banyak bisa dimaklumi karena alokasi dana BOS untuk
gaji mereka dibatasi—maksimal 15 persen. Sebagai catatan, jumlah dana BOS yang
dibagikan disesuaikan dengan jumlah murid di sekolah itu. Semakin banyak murid
yang bersekolah di sekolah itu, semakin banyak pula dana BOS yang diterima.
Misal dalam satu sekolah terdapat 100 murid dan hanya mempekerjakan satu guru
honorer, gaji yang diperoleh bisa lebih.
Tapi bayangkan
sebuah sekolah dengan sedikit murid—satu kelas tak lebih dari 10 orang, dan
mempekerjakan dua atau lebih guru honorer. Alokasi 15 persen dana BOS jelas tak
mencukupi untuk menunjang kesejahteraan para guru honorer. Gaji yang sebenarnya
sudah sedikit, masih harus dibagi lagi sehingga jatah per guru honorer semakin
sedikit. Karena itu, atas dasar ‘perikemanusiaan’ terhadap guru honorer, tidak
mengherankan jika kemudian muncul praktek ‘sulap’
dalam pengelolaan dana BOS (saya tidak menulis ini sebagai sebuah saran).
Bertahun-tahun
guru honorer menyuarakan keluhannya pada pemerintah, tapi situasi yang ada
malah semakin dilematis. Mengangkat guru honorer menjadi PNS mungkin terdengar
utopis karena berseberangan dengan arah kebijakan moratorium pegawai dari
pemerintah (meski beberapa waktu yang lalu kebijakan ini diambil dengan
beberapa syarat dan ketentuan ketat). Menetapkan upah minimum bagi guru honorer
tentu tidak mudah, karena berpotensi membuat alokasi dana BOS membengkak. Di
sisi lain, kebutuhan sekolah terhadap guru kelas semakin mendesak karena
masalah kekurangan guru. Hal ini pula yang memaksa sekolah mempekerjakan guru
honorer agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terus berlangsung.
Sekolah
memang bukan rumah sakit yang memiliki lebih banyak peluang pemasukan untuk
menghidupi instansinya, seperti biaya rawat inap, layanan laboratorium, obat,
dan berbagai layanan kesehatan lainnya. Analoginya, orang-orang tentu lebih rela
membayar 10 juta agar nyawa anaknya tertolong daripada membayarkan uang yang
sama agar anaknya bisa naik kelas. Karenanya, sulit disangkal jika tenaga
honorer di rumah sakit bisa lebih makmur daripada guru honorer di sekolah. Ah,
seandainya persoalan kesejahteraan tidak melulu dikaitkan dengan gaji…
*
* *
Suatu hari saya
mengantar ibu saya mengunjungi mantan rekan kerjanya yang baru saja
melahirkan—sebut saja Bu Yatmi. Bu Yatmi juga seorang guru honorer di sebuah SD
negeri (sekolah yang dulu dikepalai ibu saya). Sudah 10 tahun lamanya Bu Yatmi
menjadi guru honorer di sana. Dari penuturan-penuturannya, saya semakin heran
kenapa beliau tidak memutuskan pindah kerja saja? Apalagi statusnya sekarang
adalah seorang ibu satu anak, sehingga kebutuhan rumah tangganya pun lebih
banyak. Saya rasa, gaji bulanannya sebagai guru honorer tidak akan mencukupi.
Menjadi guru
honorer memang pilihan. Setiap diri bebas menentukan pilihan, ingin menjadi apa
dirinya saat ini. Semua itu tak lebih dari perwujudan ‘kebebasan berkehendak’ manusia.
Yang saya tangkap dari raut wajah Bu Yatmi, mengajar bukan cuma persoalan
banyak atau sedikitnya gaji yang diperoleh. Lebih dari itu, Bu Yatmi menikmati proses mengajar itu
sendiri. Boleh jadi beliau merasakan kebahagiaan tersendiri melihat wajah-wajah
polos siswanya yang riuh saat belajar, penuh tawa, keceriaan, sesekali cemberut
tapi kemudian melonjak-melonjak kegirangan karena mendapat nilai tertinggi di
kelas. Bu Yatmi menikmati semua itu—dan saya melihat itu dari gurat di wajahnya.
Boleh jadi, Bu
Yatmi merasa bahwa mengajar adalah panggilan hidupnya. Sebuah amanah tak
tertulis yang entah kenapa terbesit begitu saja dalam benaknya. Bu Yatmi nyata
sudah mencintai profesinya sebagai guru. Dan ketika seseorang sudah mencintai
profesinya, jangankan digaji sedikit, tak
digaji pun tak akan menjadi soal.
Dan Bu Yatmi pun
memutuskan menjadi guru dengan segala manis pahitnya. Tak peduli berapa gaji
yang diperoleh, honorer atau pegawai, murid-murid akan tetap memanggilnya—”guru”—pahlawan
tanpa tanda jasa yang akan selalu dihargai, dihormati, dan mendapat tempat
tersendiri dalam kenangan murid-muridnya.
0 comments:
Post a Comment