Subscribe:

Labels

Sunday 25 October 2015

Menjadi Guru Honorer: Antara Profesi dan Panggilan Nurani


“Guru bukanlah sebuah profesi—melainkan sebuah peran yang seharusnya diemban
oleh setiap orang yang memahami esensi belajar.”
(Hatake Niwa)

Sebagai lulusan jurusan pendidikan, saya sering prihatin dengan nasib para guru honorer. Sudah jamak kita jumpai berbagai paradoks di mana kesejahteraan para guru honorer terabaikan—terutama persolan gaji. Tidak peduli di kota-kota besar atau di daerah terpencil, nominal salary yang diterima para guru honorer acapkali membuat miris. Jangankan mendekati UMR, gaji sebulan bisa saja habis hanya untuk biaya transportasi. Belum lagi jika pembayaran gaji tertunda. Gaji beberapa bulan ditangguhkan untuk kemudian dibayarkan kontan pada bulan berikut.

Tetangga saya beda kampung—seorang guru honorer di SD negeri, malah hanya mendapat 300 ribu rupiah per bulannya! Nilai itu tidak lebih dari sepertiga UMR provinsi yang berkisar antara 1,1-1,3 juta. Di sekolah-sekolah swasta, gaji yang diterima biasanya lebih besar tergantung kondisi dan dukungan finansial yang dimiliki sekolah.

Minimnya gaji para guru honorer sedikit banyak bisa dimaklumi karena alokasi dana BOS untuk gaji mereka dibatasi—maksimal 15 persen. Sebagai catatan, jumlah dana BOS yang dibagikan disesuaikan dengan jumlah murid di sekolah itu. Semakin banyak murid yang bersekolah di sekolah itu, semakin banyak pula dana BOS yang diterima. Misal dalam satu sekolah terdapat 100 murid dan hanya mempekerjakan satu guru honorer, gaji yang diperoleh bisa lebih.

Tapi bayangkan sebuah sekolah dengan sedikit murid—satu kelas tak lebih dari 10 orang, dan mempekerjakan dua atau lebih guru honorer. Alokasi 15 persen dana BOS jelas tak mencukupi untuk menunjang kesejahteraan para guru honorer. Gaji yang sebenarnya sudah sedikit, masih harus dibagi lagi sehingga jatah per guru honorer semakin sedikit. Karena itu, atas dasar ‘perikemanusiaan’ terhadap guru honorer, tidak mengherankan jika kemudian muncul praktek ‘sulap’ dalam pengelolaan dana BOS (saya tidak menulis ini sebagai sebuah saran).

Bertahun-tahun guru honorer menyuarakan keluhannya pada pemerintah, tapi situasi yang ada malah semakin dilematis. Mengangkat guru honorer menjadi PNS mungkin terdengar utopis karena berseberangan dengan arah kebijakan moratorium pegawai dari pemerintah (meski beberapa waktu yang lalu kebijakan ini diambil dengan beberapa syarat dan ketentuan ketat). Menetapkan upah minimum bagi guru honorer tentu tidak mudah, karena berpotensi membuat alokasi dana BOS membengkak. Di sisi lain, kebutuhan sekolah terhadap guru kelas semakin mendesak karena masalah kekurangan guru. Hal ini pula yang memaksa sekolah mempekerjakan guru honorer agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terus berlangsung.

Sekolah memang bukan rumah sakit yang memiliki lebih banyak peluang pemasukan untuk menghidupi instansinya, seperti biaya rawat inap, layanan laboratorium, obat, dan berbagai layanan kesehatan lainnya. Analoginya, orang-orang tentu lebih rela membayar 10 juta agar nyawa anaknya tertolong daripada membayarkan uang yang sama agar anaknya bisa naik kelas. Karenanya, sulit disangkal jika tenaga honorer di rumah sakit bisa lebih makmur daripada guru honorer di sekolah. Ah, seandainya persoalan kesejahteraan tidak melulu dikaitkan dengan gaji…

*  *  *

Suatu hari saya mengantar ibu saya mengunjungi mantan rekan kerjanya yang baru saja melahirkan—sebut saja Bu Yatmi. Bu Yatmi juga seorang guru honorer di sebuah SD negeri (sekolah yang dulu dikepalai ibu saya). Sudah 10 tahun lamanya Bu Yatmi menjadi guru honorer di sana. Dari penuturan-penuturannya, saya semakin heran kenapa beliau tidak memutuskan pindah kerja saja? Apalagi statusnya sekarang adalah seorang ibu satu anak, sehingga kebutuhan rumah tangganya pun lebih banyak. Saya rasa, gaji bulanannya sebagai guru honorer tidak akan mencukupi.

Menjadi guru honorer memang pilihan. Setiap diri bebas menentukan pilihan, ingin menjadi apa dirinya saat ini. Semua itu tak lebih dari perwujudan ‘kebebasan berkehendak’ manusia. Yang saya tangkap dari raut wajah Bu Yatmi, mengajar bukan cuma persoalan banyak atau sedikitnya gaji yang diperoleh. Lebih dari itu, Bu Yatmi menikmati proses mengajar itu sendiri. Boleh jadi beliau merasakan kebahagiaan tersendiri melihat wajah-wajah polos siswanya yang riuh saat belajar, penuh tawa, keceriaan, sesekali cemberut tapi kemudian melonjak-melonjak kegirangan karena mendapat nilai tertinggi di kelas. Bu Yatmi menikmati semua itu—dan saya melihat itu dari gurat di wajahnya.

Boleh jadi, Bu Yatmi merasa bahwa mengajar adalah panggilan hidupnya. Sebuah amanah tak tertulis yang entah kenapa terbesit begitu saja dalam benaknya. Bu Yatmi nyata sudah mencintai profesinya sebagai guru. Dan ketika seseorang sudah mencintai profesinya, jangankan digaji sedikit, tak digaji pun tak akan menjadi soal.


Dan Bu Yatmi pun memutuskan menjadi guru dengan segala manis pahitnya. Tak peduli berapa gaji yang diperoleh, honorer atau pegawai, murid-murid akan tetap memanggilnya—”guru”—pahlawan tanpa tanda jasa yang akan selalu dihargai, dihormati, dan mendapat tempat tersendiri dalam kenangan murid-muridnya.

0 comments:

Post a Comment