“Jangan kau kira
cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun.
Cinta adalah
kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta
dalam hitungan
tahun bahkan abad.
(Kahlil Gibran)
Hari sudah
semakin sore. Lorong-lorong kampus sudah sepi. Kebetulan ini hari Jumat, hanya
beberapa jurusan yang membuka kelas sore. Aku tercenung sendirian di lantai 2,
di depan ruang penyimpanan barang. Tempat yang selalu kupilih untuk menyendiri
karena kesunyiannya. Begitu sunyinya, membuatku menerawang jauh mengingat
fragmen-fragmen masa laluku. Masa lalu yang seharusnya tidak pernah kuingat.
Seperti
sebuah film hitam putih—kenangan-kenangan itu terputar begitu saja. Rasa-rasanya,
kejadiannya baru kualami kemarin. Tanpa terasa semua itu telah berlalu. Ya,
waktu memang berlalu begitu cepat dan hanya menyisakan dua hal: kenangan
atau—penyesalan.
“Masih
mencoba untuk melupakan masa lalu?” Suara temanku membuyarkan nostalgiaku.
“Eh…apa?” aku
beringsut menoleh setengah kaget.
“Yang kau
lakukan itu.” Agaknya temanku hafal membaca pikiranku.
“Bukan
urusanmu!” Aku mendengus sebal.
“Ah, sikapmu
selalu saja begitu. Sok tegar, meski hatimu tak pernah damai.”
“Hey, sejak
kapan kau berubah menjadi pria yang peduli?” kataku ketus.
“Sejak kita
berkenalan.”
“Sudah basa
basinya? Ada perlu apa kau menemuiku? Tak biasanya.”
“Baiklah, aku
hanya ingin bertanya. Menurutku kau yang paling tahu di antara teman-temanku
yang lain.” Wajah pria di hadapanku menjadi serius.
“Kalau kau
ingin menanyakan tentang keburukan seseorang, kau salah tempat.”
“Bukan itu.
Aku hanya minta tanggapanmu. Apa kau percaya cinta dari dunia maya?”
Aku
mengernyitkan dahi.
“Maksudmu?”
“Itu…Cinta
yang muncul karena komunikasi yang intens di dunia maya.”
“Hm…aku belum
pernah mengalaminya.” Jawabku pendek.
“Anggaplah
kau sedang mengalaminya sekarang.” Temanku mencoba membujukku bicara.
Sebenarnya
aku malas membahas persoalan perasaan. Jika pria yang berdiri di hadapanku
bukan teman baikku, tak sudi kulanjutkan percakapan itu.
“Hei,
bukankah sudah lama kau tahu kalau aku seorang yang sangat rasional? Lantas
bagaimana mungkin aku bisa merasakan cinta hanya dari komunikasi dunia maya?
Aku bukan lelaki gampangan semacam itu.”
“Ini bukan
perkara gampangan atau tidak. Aku hanya menanyakan, apa kau percaya bahwa cinta
bisa muncul dari dunia maya?”
“Tentu saja
bisa. Tapi itu tak lebih dari proses bertemunya “perhatian” dengan “perhatian.”
“Maksudnya?” giliran
temanku yang mengernyitkan dahi.
“Sederhananya,
siapa sih yang tidak gembira jika mendapat perhatian dari seseorang? Apalagi
jika perhatian itu berlangsung secara intens. Padahal kau tahu, rumus agar
orang bisa jatuh cinta itu sederhana. Berikan ‘perhatian’ dan ‘kepedulian’ Jika yang kau cinta orang
yang waras nuraninya, lama-lama dia akan luluh juga.”
“Segampang
itukah? Kalau begitu, bisakah perasaan dari dunia maya menjadi cinta sejati?”
“Apa kau tidak
salah orang menanyakan hal itu pada seorang lajang yang bahkan tidak punya
pacar sepertiku?”
“Oh, ayolah.
Aku malah lebih percaya pada kata-katamu karena jawabanmu murni dari rasionalitas
pikiran yang tidak terecoki sisi emosional tertentu. Sekali lagi kutanya, bisakah
perasaan dari dunia maya menjadi cinta sejati?”
“Tergantung.
Setiap diri kita tidak pernah bisa memastikan masa depan. Cinta sejati, jodoh,
urusan perasaan, semuanya jauh lebih rumit dari relativitas Einstein. Kau tak akan
mendapat jawaban jika kau menggunakan pendekatan rasional untuk memahami urusan
perasaan. Memangnya kau sedang jatuh cinta dengan gadis di dunia maya?”
“Entahlah,
kukira begitu.”
“Sudah pernah
bertemu?”
“Belum.”
Temanku menggeleng.
“Saranku,
berhentilah berangan-angan. Jangan simpulkan apapun tentangnya sampai kau
menemuinya. Urusan perasaan terlalu rumit jika kau jadikan meja taruhan.”
“Bagaimana
denganmu?”
“Hah? Aku? Jangan
konyol. Pembicaraan ini tidak menyinggung tentangku melainkan dirimu.”
“Aku dengar kau
sempat bertemu dengan gadis yang kau kenal dari dunia maya. Teman chatmu?”
“Entahlah.
Aku malas membicarakannya. Dia orang yang berbeda dengan ‘dia’ yang kukenal di
dunia maya.”
“Kau
menyukainya?” Temanku malah menginterogasiku.
“Bodoh! Sudah
lama aku tak mempercayai dongeng-dongeng cinta di masa kecil. Omong kosong jika
kita membahas cinta tanpa membahas komitmen!
Sudah, pembicaraan ini sampai di sini.”
Aku beringsut
pergi. Temanku hanya melongo. Terpaku di tempat yang sama ketika aku menerawang
mengingat-ingat masa lalu. Pria yang tengah berdiri di sana, mungkin jauh lebih
menderita daripada aku.
0 comments:
Post a Comment