“Apalah artinya punya WeChat, Kakao, Line,
BBM, Whatsapp,
jika
kau tak punya teman ngobrol yang menyenangkan?”
(Hatake Niwa)
Sejujurnya, saya bukan tipe orang yang doyan gonta-ganti
gadget. Selama sebuah gadget masih berfungsi dan tidak terlalu ketinggalan
zaman, maka saya akan terus memakainya. Seperti dulu ketika saya kuliah
semester awal. Saat itu, Blackberry tengah
menjamur di kalangan anak muda. Beberapa teman saya juga ikut memakai Blackberry dan mulai bergerilya bertukar
pin BBM (Blackberry Messenger). Di
sisi lain, saya malah masih betah ngutak-atik HP konvensional yang pin default –nya: “1-2-3-4”.
Begitu tren Blackberry
meredup, datanglah smartphone dengan
OS Androidnya. Seperti halnya tren Blackberry,
teman-teman saya mulai beralih memakai smartphone
yang terkesan lebih futuristik. Sementara
saya, masih bertahan dengan HP konvensional yang kameranya tak lebih dari 2MP. Alasannya
sederhana, gadget lama saya masih layak pakai kok.
Sejujurnya, saya melakukan itu karena prinsip “mengedepankan
FUNGSI daripada GENGSI” (yah,
walaupun lebih terdengar seperti ‘mengenaskan’ dan ‘tidak bermodal’). Dengan
prinsip itu, selama sebuah barang masih bisa dipakai dan tidak terlalu
ketinggalan zaman, saya akan terus memakainya. Lagipula saat itu saya merasa belum
membutuhkan smartphone. Komunikasi
saya dengan teman-teman saya juga tidak terganggu meski tanpa smartphone ataupun Blackberry.
“Iman” saya baru mulai terusik ketika fitur chatting berjejalan di Playstore. Keberadaan aplikasi tersebut
membuat pengiriman pesan konvensional via SMS mulai ditinggalkan. Banyak teman
saya yang memakai aplikasi pesan berbasis internet (seperti Whatsapp dan BBM) untuk berkomunikasi. Dalam kondisi itu, mau tak mau, saya harus
menyesuaikan diri. HP konvensional saya tidak lagi mencukupi untuk mengikuti dinamika
teknologi dan tren saat itu. Pada akhirnya, dengan sedikit niat ikut-ikutan, saya
pun tergoda membeli sebuah smartphone.
* * *
Sejak memiliki smartphone,
saya mulai bergerilya menginstal berbagai aplikasi chatting. Mulai dari WeChat,
Kakao, BeeTalk, Line, BBM, Whatsapp,
sampai aplikasi random seperti Scout
dan Friendstalk pernah saya instal.
Berhubung kapasitas RAM saya kecil, saya memberlakukan sistem “bongkar pasang”
saat mencoba berbagai aplikasi tersebut. Harapannya, aplikasi-aplikasi tersebut
akan mempermudah saya dalam berkomunikasi dengan teman-teman saya.
Sayangnya, di antara sekian banyak aplikasi chatting yang saya instal, hanya segelintir saja
yang bertahan di smartphone saya. Sebagian
besar aplikasi malah terasa mubadzir karena
jarang atau tidak pernah saya pakai. Bahkan aplikasi sekaliber Whatsapp pun terpaksa saya uninstal karena
memang tidak berguna (bagi saya). Sampai saya menuliskan ini, aplikasi chatting yang bertahan di smartphone saya hanya Line Messenger
dan BBM. Itu pun saya pakai karena ada
fitur groupchat di dalamnya. Jika groupchat sepi, maka praktis smartphone saya ikut-ikutan sepi.
Karena itu, tidak mengherankan jika saya bisa tidak
menerima pesan apapun dalam sehari. Saya memang jarang berkirim pesan di luar groupchat kecuali saat ada acara atau urusan
penting. Terkadang saya merasa teralienasi dari pergaulan di dunia smartphone—meski itu bukan hal yang
buruk. Alih-alih mencari kesenangan dengan chatting,
smartphone saya justru lebih berguna untuk keperluan browsing di internet.
Ada beberapa alasan logis untuk menjelaskan kenapa saya
jarang menerima pesan langsung dari orang lain. Alasan-alasan itu antara lain:
1. Saya bukan orang
penting karena saya bukan bukan artis, aktivis, apalagi pebisnis.
2. (Karena alasan nomor 1) Tidak ada yang perlu
menghubungi saya.
3. (Alasan nomor 2 terjadi karena) Saya bukan orang yang
asyik diajak ngobrol.
4. (Mungkin juga karena) Saya segan untuk flirting pada anak gadis orang.
5. (Keempat alasan di atas menjelaskan kenapa) Saya enggan mencari pacar.
Alasan-alasan itu mungkin terdengar mengada-ada (lebih
tepatnya saya hanya mengira-ngiranya saja). Toh bagaimanapun juga, muara dari
permasalahan jarangnya orang yang nge-chat
saya tidak lepas dari prinsip saya untuk memilih “sendiri”. Prinsip tersebut
membuat saya tidak terlalu tertarik untuk flirting
dengan anak gadis orang (baca: gebetan). Lagipula, saya bukan tipe-tiper
orang yang mudah percaya dengan cinta di dunia maya.
Lho apa hubungannya chatting sama urusan asmara?
Tentu saja ada. Maraknya aplikasi chatting seperti sekarang, berbanding lurus dengan perkembangan cara-cara
pedekate dan tebar pesona. Kita tidak
bisa naif jika sejak jaman dahulu, orang-orang sibuk bertukar pesan untuk mencari
pasangan, pacar, kekasih, suami, istri, atau apapun istilahnya. Dengan adanya aplikasi
chatting, urusan semacam itu tentu
menjadi lebih mudah. Segala sesuatu bisa disampaikan dengan lebih cepat.
Bandingkan dengan fitur SMS dan telepon yang (pada masa
jayanya) penuh dengan “cerita heroik”—mulai dari membuat pesan tanpa spasi, menyingkat
pesan agar tidak melebihi batas karakter, nelpon secukupnya, sampai begadang semalaman
demi mendapat tarif nelpon gratis. Dan ujung dari semua perjuangan itu lagi-lagi
sama—“mencari pasangan”, entah itu disebut pacar, kekasih, suami, istri, atau
apapun istilahnya.
Tapi tentu saja, tidak semua orang memakai aplikasi chatting untuk mencari pasangan semata. Banyak
juga yang memakainya untuk keperluan akademis, seperti janjian dengan dosen
pembimbing atau untuk kepentingan bisnis seperti jualan online. Sangat disayangkan jika kemajuan teknologi komunikasi saat
ini hanya dimanfaatkan sebatas untuk memenuhi insting mencari pasangan. Ada hal-hal
lain yang lebih penting dan lebih layak diperjuangkan daripada sekedar mencari
kekasih yang ditikung atau sekedar berebut gebetan.
Terlepas dari semua itu, sampai batas-batas tertentu,
aplikasi chatting memudahkan kita berkomunikasi
dengan orang lain—melebihi fasilitas SMS dan telepon. Aplikasi chatting via smartphone memungkinkan kita untuk berkirim pesan sebanyak dan
sesering mungkin tanpa terhambat batasan karakter dan biaya pulsa per pesan. Tidak
mengherankan jika orang jaman sekarang lebih memilih nge-chat daripada menekan tombol “Kirim SMS”.
Meski begitu, karena tidak semua orang memakai smartphone dan koneksi internet di tiap daerah berbeda-beda, fitur SMS dan
telepon masih akan tetap survive. Saat
ini pun saya masih memakai HP konvensional untuk berkirim pesan. Setidaknya, hal
itu mengantisipasi kalau-kalau orang yang saya tuju tidak memiliki smartphone atau tengah bermasalah dengan
koneksi internetnya (lost signal atau kuota habis). Jika sudah begitu, maka tidak
ada salahnya untuk tetap setia memakai cara-cara lama untuk berkirim pesan. []
0 comments:
Post a Comment