Subscribe:

Labels

Sunday 8 May 2016

Masalah Saya dengan Aplikasi Chatting


Apalah artinya punya WeChat, Kakao, Line, BBM, Whatsapp,
jika kau tak punya teman ngobrol yang menyenangkan?
(Hatake Niwa)

Sejujurnya, saya bukan tipe orang yang doyan gonta-ganti gadget. Selama sebuah gadget masih berfungsi dan tidak terlalu ketinggalan zaman, maka saya akan terus memakainya. Seperti dulu ketika saya kuliah semester awal. Saat itu, Blackberry tengah menjamur di kalangan anak muda. Beberapa teman saya juga ikut memakai Blackberry dan mulai bergerilya bertukar pin BBM (Blackberry Messenger). Di sisi lain, saya malah masih betah ngutak-atik HP konvensional yang pin default –nya: “1-2-3-4”.

Begitu tren Blackberry meredup, datanglah smartphone dengan OS Androidnya. Seperti halnya tren Blackberry, teman-teman saya mulai beralih memakai smartphone yang terkesan lebih futuristik. Sementara saya, masih bertahan dengan HP konvensional yang kameranya tak lebih dari 2MP. Alasannya sederhana, gadget lama saya masih layak pakai kok.

Sejujurnya, saya melakukan itu karena prinsip “mengedepankan FUNGSI daripada GENGSI” (yah, walaupun lebih terdengar seperti ‘mengenaskan’ dan ‘tidak bermodal’). Dengan prinsip itu, selama sebuah barang masih bisa dipakai dan tidak terlalu ketinggalan zaman, saya akan terus memakainya. Lagipula saat itu saya merasa belum membutuhkan smartphone. Komunikasi saya dengan teman-teman saya juga tidak terganggu meski tanpa smartphone ataupun Blackberry.

“Iman” saya baru mulai terusik ketika fitur chatting berjejalan di Playstore. Keberadaan aplikasi tersebut membuat pengiriman pesan konvensional via SMS mulai ditinggalkan. Banyak teman saya yang memakai aplikasi pesan berbasis internet (seperti Whatsapp dan BBM) untuk berkomunikasi. Dalam kondisi itu, mau tak mau, saya harus menyesuaikan diri. HP konvensional saya tidak lagi mencukupi untuk mengikuti dinamika teknologi dan tren saat itu. Pada akhirnya, dengan sedikit niat ikut-ikutan, saya pun tergoda membeli sebuah smartphone.

*   *   *

Sejak memiliki smartphone, saya mulai bergerilya menginstal berbagai aplikasi chatting. Mulai dari WeChat, Kakao, BeeTalk, Line, BBM, Whatsapp, sampai aplikasi random seperti Scout dan Friendstalk pernah saya instal. Berhubung kapasitas RAM saya kecil, saya memberlakukan sistem “bongkar pasang” saat mencoba berbagai aplikasi tersebut. Harapannya, aplikasi-aplikasi tersebut akan mempermudah saya dalam berkomunikasi dengan teman-teman saya.

Sayangnya, di antara sekian banyak aplikasi chatting  yang saya instal, hanya segelintir saja yang bertahan di smartphone saya. Sebagian besar aplikasi malah terasa mubadzir karena jarang atau tidak pernah saya pakai. Bahkan aplikasi sekaliber Whatsapp pun terpaksa saya uninstal karena memang tidak berguna (bagi saya). Sampai saya menuliskan ini, aplikasi chatting yang bertahan di smartphone saya hanya Line Messenger dan BBM. Itu pun saya pakai karena ada fitur groupchat di dalamnya. Jika groupchat sepi, maka praktis smartphone saya ikut-ikutan sepi.

Karena itu, tidak mengherankan jika saya bisa tidak menerima pesan apapun dalam sehari. Saya memang jarang berkirim pesan di luar groupchat kecuali saat ada acara atau urusan penting. Terkadang saya merasa teralienasi dari pergaulan di dunia smartphone—meski itu bukan hal yang buruk. Alih-alih mencari kesenangan dengan chatting, smartphone saya justru lebih berguna untuk keperluan browsing  di internet.

Ada beberapa alasan logis untuk menjelaskan kenapa saya jarang menerima pesan langsung dari orang lain. Alasan-alasan itu antara lain:

1. Saya bukan orang penting karena saya bukan bukan artis, aktivis, apalagi pebisnis.
2. (Karena alasan nomor 1) Tidak ada yang perlu menghubungi saya.
3. (Alasan nomor 2 terjadi karena) Saya bukan orang yang asyik diajak ngobrol.
4. (Mungkin juga karena) Saya segan untuk flirting pada anak gadis orang.
5. (Keempat alasan di atas menjelaskan kenapa) Saya enggan mencari pacar.

Alasan-alasan itu mungkin terdengar mengada-ada (lebih tepatnya saya hanya mengira-ngiranya saja). Toh bagaimanapun juga, muara dari permasalahan jarangnya orang yang nge-chat saya tidak lepas dari prinsip saya untuk memilih “sendiri”. Prinsip tersebut membuat saya tidak terlalu tertarik untuk flirting dengan anak gadis orang (baca: gebetan). Lagipula, saya bukan tipe-tiper orang yang mudah percaya dengan cinta di dunia maya.

Lho apa hubungannya chatting sama urusan asmara?

Tentu saja ada. Maraknya aplikasi chatting seperti sekarang, berbanding lurus dengan perkembangan cara-cara pedekate dan tebar pesona. Kita tidak bisa naif jika sejak jaman dahulu, orang-orang sibuk bertukar pesan untuk mencari pasangan, pacar, kekasih, suami, istri, atau apapun istilahnya. Dengan adanya aplikasi chatting, urusan semacam itu tentu menjadi lebih mudah. Segala sesuatu bisa disampaikan dengan lebih cepat.

Bandingkan dengan fitur SMS dan telepon yang (pada masa jayanya) penuh dengan “cerita heroik”—mulai dari membuat pesan tanpa spasi, menyingkat pesan agar tidak melebihi batas karakter, nelpon secukupnya, sampai begadang semalaman demi mendapat tarif nelpon gratis. Dan ujung dari semua perjuangan itu lagi-lagi sama—“mencari pasangan”, entah itu disebut pacar, kekasih, suami, istri, atau apapun istilahnya.

Tapi tentu saja, tidak semua orang memakai aplikasi chatting untuk mencari pasangan semata. Banyak juga yang memakainya untuk keperluan akademis, seperti janjian dengan dosen pembimbing atau untuk kepentingan bisnis seperti jualan online. Sangat disayangkan jika kemajuan teknologi komunikasi saat ini hanya dimanfaatkan sebatas untuk memenuhi insting mencari pasangan. Ada hal-hal lain yang lebih penting dan lebih layak diperjuangkan daripada sekedar mencari kekasih yang ditikung atau sekedar berebut gebetan.

Terlepas dari semua itu, sampai batas-batas tertentu, aplikasi chatting memudahkan kita berkomunikasi dengan orang lain—melebihi fasilitas SMS dan telepon. Aplikasi chatting via smartphone memungkinkan kita untuk berkirim pesan sebanyak dan sesering mungkin tanpa terhambat batasan karakter dan biaya pulsa per pesan. Tidak mengherankan jika orang jaman sekarang lebih memilih nge-chat daripada menekan tombol “Kirim SMS”.


Meski begitu, karena tidak semua orang memakai smartphone dan koneksi internet di tiap daerah berbeda-beda, fitur SMS dan telepon masih akan tetap survive. Saat ini pun saya masih memakai HP konvensional untuk berkirim pesan. Setidaknya, hal itu mengantisipasi kalau-kalau orang yang saya tuju tidak memiliki smartphone atau tengah bermasalah dengan koneksi internetnya (lost signal  atau kuota habis). Jika sudah begitu, maka tidak ada salahnya untuk tetap setia memakai cara-cara lama untuk berkirim pesan. []

0 comments:

Post a Comment