Subscribe:

Labels

Saturday 1 February 2014

Menemukan Kesadaran Diri sebagai Manusia

Apakah kita hidup hanya untuk makan? Kalu hidup hanya untuk makan, maka monyet pun juga makan. Kecuali Anda penganut Darwinisme radikal, Anda tidak akan senang bila dipersamakan dengan monyet pun keturunan monyet. Tentu saja apa yang saya utarakan hanya sekedar perumpamaan. Saya sering berpikir-pikir apa sih sebenarnya yang kita inginkan di dunia ini? Hampir semua orang akan menjawab ‘uang.’ Tentu saja. Saya pun butuh uang untuk hidup. Tapi seandainya uang sudah didapat lalu apa lagi? Wanita? Ya, pasangan hidup, tentu saja. Tak terbantah. Tapi setelah itu lalu apa? Emas sepenuh bumi? Rumah yang megah? Mobil sport keluaran terbaru? Lalu apa lagi?

Begitulah keinginan manusia, tiada berbatas. Selalu ingin lebih dan lebih. Apalagi bagi mereka yang dilimpahi harta berlebih. Ketika segepok uang dengan mudah didapat dan kebutuhan badaniah tercukupi, orang-orang ini akan sampai pada pertanyaan “apa lagi yang aku inginkan?”

Perlu diketahui bahwa kita sejatinya adalah makhluk spiritual. Jangan keburu mengaitkan tulisan ini dengan khotbah keagamaan tiap pekan. Saya hanya mengajak Anda untuk merenungkan eksistensi diri Anda selaku sebaik-baiknya makhluk ciptaan Tuhan. Manusia adalah makhluk spiritual yang hanya akan menemukan kedamaian apabila
kebutuhan spiritualnya terpenuhi. Kebutuhan spiritual ini takkan mampu dipenuhi dengan barang-barang riil siap pakai macam makanan, baju, atau uang. kebutuhan spiritual hanya dapat dipenuhi manakala manusia mendekatkan diri pada Tuhan.

Ironisnya, manusia abad modern cenderung abai dengan Tuhannya. Bagi sebagian orang, ada yang berpandangan bahwa Tuhan hanya candu bagi para orang yang lemah dan tertindas. Tuhan hanya ada di tempat-tempat ibadah. Tuhan hanya ada saat ritual-ritual keagamaan. Di luar itu, tak ada tempat untuk Tuhan.

Dengan demikian kehidupan jasmani dan rohani praktis terpisahkan. Ujung-ujungnya, manusia dengan pola pikir sekuler rentan sekali kehilangan arah dalam hidupnya. Makan sih masih makan, kerja juga masih kerja, tapi hatinya entah ke mana. Tak ada ketenteraman dalam batinnya. Malang benar nasib orang semacam ini. Menjalani hari demi hari sekedar menjalankan rutinitas. “Yang penting saya nggak ngerugiin orang lain. Yang penting saya berbuat baik sama orang lain. Tuhan mah urus belakangan.” Begitulah pembenaran yang sering terlontar dari kalangan sekuler. Terdengar klise memang di tengah batin yang kian bergejolak tak tentu arah.

Padahal, sungguh manusia akan menyadari tujuan hakiki dalam hidupnya manakala ia kembali kepada Tuhannya. Mengingat Tuhan banyak-banyak dalam setiap hela nafas dan langkah hidup akan membuka mata hati kita. Dunia takkan lagi terasa sempit apabila kita selalu menyediakan satu tempat spesial di hati untuk-Nya. Kesadaran spiritual ini yang membedakan orang yang benar-benar beriman dengan orang-orang yang sekedar beriman di luar saja tapi hatinya tak kunjung menemukan kedamaian.

Sungguh, takkan merugi orang yang selalu meniatkan segala aktivitas dalam hidupnya sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Karena memang demikianlah seharusnya manusia bersikap. Kita makan dari bumi-Nya. Kita bernafas dengan kuasa-Nya menghadirkan udara. Bahkan kita hidup dengan jantung hasil karya-Nya yang tiada henti berdetak sejak pertama kali kita lahir. Lantas nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan??? Tidakkah kita merasa perlu untuk mensyukuri hidup yang tuhan berikan ini? Malulah pada dirimu sendiri.