Subscribe:

Labels

Friday 31 January 2014

Makna Kesempatan (Chance)

Bagi para atlet lari dan perenang profesional, selisih seperseratus detik bisa jadi sangat berharga. Itu artinya hanya gara-gara selisih nol koma nol satu (0,01) saja sudah lebih dari cukup untuk memupuskan asa meraih medali. Tak heran bila banyak atlet yang berlomba-lomba untuk mendongkrak performa dengan berbagai cara.

Ada celana didesain mirip kulit sirip hiu yang konon mampu meningkatkan laju perenang sekian persen. Ada pula sepatu super ringan yang mampu membuat pemakainya serasa tak menapak bumi saat berlari. Semua dilakukan demi memangkas sepersekian detik dari lawan-lawannya. Itu baru contoh kecil dalam perlombaan atletik saja. kompetisi lain macam balapan F1, motoGP, sampai pertandingan sepakbola tentu jauh lebih rumit. Semua berfokus pada satu hal, “kesempatan” yang lebih besar untuk menang.

Kesempatan, atau yang beken disebut “chance” dalam bahasa Inggris adalah salah satu serpihan dari waktu. “Time” dan “chance” adalah dua hal yang tak terpisahkan. Di mana ada waktu, di situ pula ada kesempatan. Keduanya pun sama-sama bermata dua, bisa membawa keuntungan berlipat atau kebangkrutan lusinan turunan. Barangsiapa dapat memanfaatkan waktunya, maka bisa dipastikan orang itu akan beroleh kesempatan yang lebih banyak.

Namun seringkali kesempatan hadir tak terduga. Kesempatan hanya hadir sekejap kemudian lenyap tak berbekas. Padahal belum sejengkal pun kita melangkah mendekat. Itulah kesempatan. hanya diperuntukkan bagi golongan yang pertama dan utama. Itulah kesempatan, pembeda antara pecundang dan pemenang.

Lihatlah, berapa banyak orang di dunia yang gagal dalam karirnya hanya karena keterlambatan beberapa menit? Berapa banyak pengusaha yang diputus kontrak karena proyek molor? Berapa banyak orang yang harus menjadi pecundang karena kesempatan yang menghampiri justru disia-siakan hingga raib diambil orang?

Saya, Anda, dan siapapun yang membaca tulisan saya adalah manusia. Pada dasarnya ada satu sisi dalam jiwa manusia yang enggan bekerja, enggan berpeluh-peluh dalam upaya. Jiwa yang lebih memilih hidup enak berleha-leha, tidur di atas ranjang empuk dengan pemanas hangat kala musim dingin, atau terpaan AC di musim panas. Nyamanya. Tentu saja. Tapi bisa dibayangkan mau jadi apa orang yang selama hidupnya tidak mau bekerja keras? Bukankah kita telah dikaruniai akal pikir serta hati yang dengan itu kita dapat mencari karunia Tuhan di muka bumi ini?

Kalau hidup hanya untuk makan, maka monyet pun juga makan. Kalau hidup hanya untuk tidur, maka beruang kutub bisa tidur lebih lama dari kita. Maka, sudah sepantasnya manusia memposiskan diri pada fitrahnya semula sebagai sebaik-baik makhluk ciptaan Tuhan. Berpikir, bekerja, bertindak nyata untuk membangun peradaban. Itulah yang menjadi pembeda manusia dengan binatang.

Bergegaslah menjemput kesempatan itu. Bergegaslah beranjak dari tempat tidur dan segera berlari menyongsong hangat mentari. Bergegaslah, sebelum hangat sang mentari menjelma menjadi beku yang mengusik dalam pekatnya malam. Karena kesempatan (seringkali) takkan datang dua kali.