Tak bisakah kita
melakukan kebajikan (hanya) karena kita ingin melakukannya?
Tak bisakah kita menolong
sesama (hanya) karena kita sadar manusia harus saling menolong?
Tak bisakah kita menata
niat (hanya) untuk-Nya semata tanpa terbujuk pujian dunia?
Ajarkan padaku, Tuan,
apa itu—KEIKHLASAN
—Hatake
Niwa—
Namanya Abdul
Syukur.. Boleh jadi orang-orang hanya mengenalnya sebagai tukang becak biasa
yang sehari-hari mangkal di depan ITC Mega Grosir Surabaya. Profesinya
tergolong berat untuk kakek-kakek 65 tahun seusianya. Mungkin itulah yang
membuat sebagian orang menaruh iba padanya. Tapi siapa sangka, selama 10 tahun
kakek tua inilah yang berbaik hati menambal lubang-lubang di jalanan depan ITC.
Dan selama itu pula dia melakukannya tanpa dibayar sepeser pun—tanpa sorot kamera
wartawan yang akrab dengan para artis pencari sensasi.
Tiap pukul
22.00 berbekal palu dan karung berisi gragal
(sisa bongkaran bangunan) di sekitar Pasar Atom (daerah Tambak Adi Surabaya),
Abdul Syukur menambal lubang jalan yang ditemuinya. Beberapa rekannya terkadang
berseloroh mengomentari Abdul Syukur yang mereka anggap kurang kerjaan. Buat
apa susah-susah nambal jalan, Mbah.
Orang-orang juga peduli setan. Biar saja itu jalan diurus sama pemerintah. Itu kan
tanggung jawab mereka.
Ketika
ditanya wartawan mengapa Abdul Syukur berpayah-payah menambal jalan, ia
menjawab: “Saya nggak tega beberapa kali lihat orang jatuh karena menghindari
lubang. Di situ minggu lalu malah ada yang sampai meninggal.” Masya Allah. Ya, hanya karena alasan
tidak tega melihat sesamanya celaka ia menambal jalan. Sesederhana itu. Apakah
Abdul Syukur menambal jalan hanya demi mendapat uang? Kalau iya, kenapa ia
menolak tawaran petugas Dinas PU yang
menawarinya pekerjaan sebagai pengawas?
Dilandasi rasa
tidak tega, Abdul Syukur rela menyingsingkan lengan baju, malam-malam ia bawa berkarung-karung
gragal, kemudian mulai menambal lubang-lubang di jalanan dengan palu seadanya. Ketika
orang-orang telah menyebutnya ‘pahlawan’ dan sorotan media berhenti meliputnya,
Abdul Syukur masih melakukan aktivitasnya menambal jalan sukarela. Masya Allah.
Terkadang
saya berpikir tidak mungkin seorang manusia berbuat baik tanpa pamrih. Sebagian
melakukan ini itu demi pencitraan, agar diliput media dan mendulang rupiah dari
sana. Sebagian lagi ‘berlomba-lomba’ memberi sumbangan hanya karena gengsi
tetangganya menyumbang lebih banyak. Terkadang orangtua pun memberikan kasih
sayang dengan pamrih anaknya kelak membalas segala jasa baiknya dengan kasih
sayang yang serupa. Pun dengan mereka yang berbuat baik, beramal sholeh
siang-malam hanya karena ingin meraih surga yang Tuhan janjikan dalam firman-firman-Nya.
Tapi Abdul
Syukur? Tindakannya menambal jalan secara sukarela menohok kita semua dengan
pertanyaan: “Tak bisakah kau lakukan kebajikan hanya karena kau ingin melakukannya?”
Ya, tak bisakah kita melakukan amal sholeh hanya karena kita ingin? Hanya
karena kita sadar tugas kita di dunia sebagai manusia adalah mengabdi kepada Tuhannya?
0 comments:
Post a Comment