Subscribe:

Labels

Thursday 11 June 2015

Keikhlasan dalam Tindakan (Cerita Penambal Jalan Sukarela)

Tak bisakah kita melakukan kebajikan (hanya) karena kita ingin melakukannya?
Tak bisakah kita menolong sesama (hanya) karena kita sadar manusia harus saling menolong?
Tak bisakah kita menata niat (hanya) untuk-Nya semata tanpa terbujuk pujian dunia?
Ajarkan padaku, Tuan, apa itu—KEIKHLASAN
Hatake Niwa

Namanya Abdul Syukur.. Boleh jadi orang-orang hanya mengenalnya sebagai tukang becak biasa yang sehari-hari mangkal di depan ITC Mega Grosir Surabaya. Profesinya tergolong berat untuk kakek-kakek 65 tahun seusianya. Mungkin itulah yang membuat sebagian orang menaruh iba padanya. Tapi siapa sangka, selama 10 tahun kakek tua inilah yang berbaik hati menambal lubang-lubang di jalanan depan ITC. Dan selama itu pula dia melakukannya tanpa dibayar sepeser pun—tanpa sorot kamera wartawan yang akrab dengan para artis pencari sensasi.

Tiap pukul 22.00 berbekal palu dan karung berisi gragal (sisa bongkaran bangunan) di sekitar Pasar Atom (daerah Tambak Adi Surabaya), Abdul Syukur menambal lubang jalan yang ditemuinya. Beberapa rekannya terkadang berseloroh mengomentari Abdul Syukur yang mereka anggap kurang kerjaan. Buat apa susah-susah nambal jalan, Mbah. Orang-orang juga peduli setan. Biar saja itu jalan diurus sama pemerintah. Itu kan tanggung jawab mereka.

Ketika ditanya wartawan mengapa Abdul Syukur berpayah-payah menambal jalan, ia menjawab: “Saya nggak tega beberapa kali lihat orang jatuh karena menghindari lubang. Di situ minggu lalu malah ada yang sampai meninggal.” Masya Allah. Ya, hanya karena alasan tidak tega melihat sesamanya celaka ia menambal jalan. Sesederhana itu. Apakah Abdul Syukur menambal jalan hanya demi mendapat uang? Kalau iya, kenapa ia menolak tawaran petugas Dinas PU yang menawarinya pekerjaan sebagai pengawas?

Dilandasi rasa tidak tega, Abdul Syukur rela menyingsingkan lengan baju, malam-malam ia bawa berkarung-karung gragal, kemudian mulai menambal lubang-lubang di jalanan dengan palu seadanya. Ketika orang-orang telah menyebutnya ‘pahlawan’ dan sorotan media berhenti meliputnya, Abdul Syukur masih melakukan aktivitasnya menambal jalan sukarela. Masya Allah.

Terkadang saya berpikir tidak mungkin seorang manusia berbuat baik tanpa pamrih. Sebagian melakukan ini itu demi pencitraan, agar diliput media dan mendulang rupiah dari sana. Sebagian lagi ‘berlomba-lomba’ memberi sumbangan hanya karena gengsi tetangganya menyumbang lebih banyak. Terkadang orangtua pun memberikan kasih sayang dengan pamrih anaknya kelak membalas segala jasa baiknya dengan kasih sayang yang serupa. Pun dengan mereka yang berbuat baik, beramal sholeh siang-malam hanya karena ingin meraih surga yang Tuhan janjikan dalam firman-firman-Nya.

Tapi Abdul Syukur? Tindakannya menambal jalan secara sukarela menohok kita semua dengan pertanyaan: “Tak bisakah kau lakukan kebajikan hanya karena kau ingin melakukannya?” Ya, tak bisakah kita melakukan amal sholeh hanya karena kita ingin? Hanya karena kita sadar tugas kita di dunia sebagai manusia adalah mengabdi kepada Tuhannya?

Di sudut-sudut perkampungan yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota, sering saya jumpai orang-orang renta yang memanggul barang dagangan ke pasar. Turut serta berpayah-payah menggelar dagangannya di pasar penuh sesak. Di kaki-kaki perbukitan hijau beberapa orang renta mencari kayu bakar di tengah belukar. Diikat lalu dipikulnya kayu bakar-kayu bakar itu dengan perkasa. Langkahnya tertatih, tapi alam semesta yakin pada setiap keikhlasan tindakan mereka. Untuk apa bersusah payah, Mbah? Saya melakukannya hanya karena saya “ingin” melakukannya. Sesederhana itu.

0 comments:

Post a Comment