Subscribe:

Labels

Tuesday 5 January 2016

Bahaya Perasaan Takut Salah


Jika kita tidak pernah salah,
maka kita tidak akan pernah tahu hakikat kebenaran.
(Hatake Niwa)

Apa jadinya jika seorang dokter tak kunjung mengoperasi pasiennya hanya karena takut melakukan malpraktek? Apa jadinya jika seorang pilot takut salah saat mengemudikan pesawatnya? Dan apa jadinya jika seorang ibu enggan memasak hanya karena takut salah mengiris hingga jarinya terluka?

Perasaan “takut salah” tidak lebih dari hasil persepsi pikiran kita. Saat kita khawatir tindakannya keliru, kita cenderung merasa takut salah. Kita juga bisa takut salah saat tidak yakin pada kemampuannya sendiri.

Perasaan takut salah adalah salah satu penghalang terbesar bagi siapapun yang ingin sukses. Perasaan ini membuat kita “ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.” Misalnya seorang akuntan yang takut salah dalam menghitung. Sekian lama si akuntan mengecek angka-angka yang tertera di layar komputernya. Dia sibuk memastikan angka-angka yang dimasukkannya tidak keliru. Pekerjaannya pun tak kunjung selesai.

Rasa takut salah adalah hal yang normal dimiliki setiap orang. Pada dosis tertentu, rasa takut salah akan mendorong kita bersikap hati-hati. Misalnya, kita takut salah saat mengetik sehingga kita lebih cermat saat mengetik. Atau saat mengiris sayuran—kita takut kita akan salah dalam mengiris sehingga kita lebih berhati-hati agar tidak melukai jari kita. Sebaliknya, rasa takut salah yang berlebihan justru akan membuat kita plin-plan dalam melakukan sesuatu. Kita akan sulit berkembang jika kita tidak pernah berani mengambil langkah perubahan hanya karena takut disalahkan orang lain.

Dalam proses pembelajaran, kita tidak semestinya merasa takut salah. Ketakutan melakukan kesalahan hanya akan membuat kita tidak berani mencoba. Padahal, salah satu aspek penting dalam belajar adalah learning by doing. Kita tidak perlu khawatir dimarahi guru/dosen gara-gara salah mengerjakan soal. Salah adalah bagian dari proses belajar. Karena dari kesalahan itu kita akan belajar memperbaikinya hingga sampai pada kebenaran.

Saat bayi dulu, kita tidak pernah takut salah. Begitu kita bisa menggerakkan tangan dan kaki, kita akan selalu aktif melatih otot-otot kita untuk bergerak. Mulanya kita berguling-guling, merangkak, mencoba berjalan hingga akhirnya kita bisa berjalan dan berlari. Dalam proses pertumbuhan itu, kita tidak pernah takut ada orang yang menyalahkan. Kita juga tidak terlalu mengkhawatirkan “bagaimana kalau nanti saya jatuh.” Yang kita tahu hanya belajar, berusaha, dan berani mencoba.

Kita perlu berkaca dari masa kecil kita ketika proses belajar dijalani tanpa takut salah. Kita menjadi saksi bagi diri kita sendiri, bahwa proses belajar yang bebas rasa takut akan jauh lebih berhasil.

Dari sini, saya sering heran dengan suasana ruang-ruang kelas yang begitu dingin. Ruang kelas yang seharusnya menyenangkan justru tidak beda dengan tempat-tempat uji nyali. Di sisi lain, guru yang mengajar malah tidak ada ramah-ramahnya. Murid yang salah mengerjakan soal dianggap tidak becus dan “bodoh.” Padahal gurulah yang bertanggung jawab menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi murid-muridnya.

Karena itu, agar proses belajar yang kita jalani bertahun-tahun tidak sia-sia, kita harus melenyapkan rasa takut salah yang membuat kita segan melangkah. Selama apa yang kita jalani benar dan tujuan kita mulia, maka tidak seharusnya kita merasa takut salah. Jika pekerjaan kita dinilai salah oleh orang lain, maka cukuplah kita jadikan hal itu sebagai sebuah bentuk pembelajaran. Karena seringkali dari “yang salah”, kita jadi mengerti bagaimana “yang benar.”

Perlu diingat bahwa catatan ini saya tujukan untuk konteks kegiatan yang positif seperti karir dan proses belajar di sekolah. Jangan sampai sikap tidak takut salah malah ditujukan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang negatif dan merusak seperti mencoba minum-minuman keras, narkoba, seks bebas, dan perilaku kriminal lainnya.

0 comments:

Post a Comment