“Jika
kita tidak pernah salah,
maka kita tidak akan pernah
tahu hakikat kebenaran.”
(Hatake Niwa)
Apa jadinya
jika seorang dokter tak kunjung mengoperasi pasiennya hanya karena takut
melakukan malpraktek? Apa jadinya jika seorang pilot takut salah saat
mengemudikan pesawatnya? Dan apa jadinya jika seorang ibu enggan memasak hanya
karena takut salah mengiris hingga jarinya terluka?
Perasaan
“takut salah” tidak lebih dari hasil persepsi pikiran kita. Saat kita khawatir
tindakannya keliru, kita cenderung merasa takut salah. Kita juga bisa takut
salah saat tidak yakin pada kemampuannya sendiri.
Perasaan takut
salah adalah salah satu penghalang terbesar bagi siapapun yang ingin sukses.
Perasaan ini membuat kita “ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.” Misalnya seorang
akuntan yang takut salah dalam menghitung. Sekian lama si akuntan mengecek
angka-angka yang tertera di layar komputernya. Dia sibuk memastikan angka-angka
yang dimasukkannya tidak keliru. Pekerjaannya pun tak kunjung selesai.
Rasa takut
salah adalah hal yang normal dimiliki setiap orang. Pada dosis tertentu, rasa
takut salah akan mendorong kita bersikap hati-hati. Misalnya, kita takut salah
saat mengetik sehingga kita lebih cermat saat mengetik. Atau saat mengiris
sayuran—kita takut kita akan salah dalam mengiris sehingga kita lebih
berhati-hati agar tidak melukai jari kita. Sebaliknya, rasa takut salah yang
berlebihan justru akan membuat kita plin-plan
dalam melakukan sesuatu. Kita akan sulit berkembang jika kita tidak pernah
berani mengambil langkah perubahan hanya karena takut disalahkan orang lain.
Dalam proses
pembelajaran, kita tidak semestinya merasa takut salah. Ketakutan melakukan
kesalahan hanya akan membuat kita tidak berani mencoba. Padahal, salah satu
aspek penting dalam belajar adalah learning
by doing. Kita tidak perlu khawatir dimarahi guru/dosen gara-gara salah
mengerjakan soal. Salah adalah bagian dari proses belajar. Karena dari
kesalahan itu kita akan belajar memperbaikinya hingga sampai pada kebenaran.
Saat bayi
dulu, kita tidak pernah takut salah. Begitu kita bisa menggerakkan tangan dan
kaki, kita akan selalu aktif melatih otot-otot kita untuk bergerak. Mulanya
kita berguling-guling, merangkak, mencoba berjalan hingga akhirnya kita bisa
berjalan dan berlari. Dalam proses pertumbuhan itu, kita tidak pernah takut ada
orang yang menyalahkan. Kita juga tidak terlalu mengkhawatirkan “bagaimana
kalau nanti saya jatuh.” Yang kita tahu hanya belajar, berusaha, dan berani
mencoba.
Kita perlu
berkaca dari masa kecil kita ketika proses belajar dijalani tanpa takut salah.
Kita menjadi saksi bagi diri kita sendiri, bahwa proses belajar yang bebas rasa
takut akan jauh lebih berhasil.
Dari sini,
saya sering heran dengan suasana ruang-ruang kelas yang begitu dingin. Ruang
kelas yang seharusnya menyenangkan justru tidak beda dengan tempat-tempat uji
nyali. Di sisi lain, guru yang mengajar malah tidak ada ramah-ramahnya. Murid
yang salah mengerjakan soal dianggap tidak becus dan “bodoh.” Padahal gurulah
yang bertanggung jawab menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi
murid-muridnya.
Karena itu,
agar proses belajar yang kita jalani bertahun-tahun tidak sia-sia, kita harus
melenyapkan rasa takut salah yang membuat kita segan melangkah. Selama apa yang
kita jalani benar dan tujuan kita mulia, maka tidak seharusnya kita merasa takut
salah. Jika pekerjaan kita dinilai salah oleh orang lain, maka cukuplah kita
jadikan hal itu sebagai sebuah bentuk pembelajaran. Karena seringkali dari
“yang salah”, kita jadi mengerti bagaimana “yang benar.”
Perlu diingat
bahwa catatan ini saya tujukan untuk konteks kegiatan yang positif seperti
karir dan proses belajar di sekolah. Jangan sampai sikap tidak takut salah
malah ditujukan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang negatif dan merusak
seperti mencoba minum-minuman keras, narkoba, seks bebas, dan perilaku kriminal
lainnya.
0 comments:
Post a Comment