“Jika
ada yang bilang meluruskan niat itu mudah, mereka pasti berbohong.”
(Hatake Niwa)
Saat sekolah
dulu, guru agama saya sering memberi contoh tentang “sedekah” untuk
menggambarkan perkara niat. Pertanyaan yang diberikan kurang lebih begini: “Lebih baik mana, sedekah seratus ribu tapi
tidak ikhlas, atau sedekah seribu tapi ikhlas?” Jika kita memilih opsi
kedua (sedekah seribu tapi ikhlas), itu sama saja mengakui bahwa kita tidak
akan ikhlas jika kita sedekah seratus ribu. Bukankah berat bersedekah seratus
ribu? Jujur saja-lah. Meskipun kita bersikeras bilang kita ikhlas, kita tidak
bisa menjamin hati ini ikhlas. Apalagi jika penghasilan kita pas-pasan. Kehilangan
uang seratus ribu di akhir bulan bisa jadi masalah. Sulit untuk bisa ikhlas
dalam kondisi seperti itu.
Sebagian kita
beranggapan bahwa sedekah tidak memberi keuntungan apapun. Alih-alih kita malah merugi karena kehilangan sejumlah uang tertentu. Tapi mendadak kita bisa jadi
sangat ikhlas karena didorong motivasi tertentu, misalnya ketika sedang pencitraan
pada calon mertua. Dalam kondisi inilah, keikhlasan
kita patut dipertanyakan.
Terus terang
manusia adalah makhluk yang selalu menuntut ‘kompensasi’ atas setiap tindakan
yang dilakukannya. Kita hanya mau melakukan sesuatu yang jelas-jelas memberi
untung bagi kita. Kita selalu mensyaratkan sesuatu di luar diri kita sebagai alat
motivasi dalam bertindak. Jika kita tidak menemukannya, kita cenderung ogah
melakukan apapun.
Sebagai contoh,
apakah kita mau berkotor-kotor mengambil sampah satu kampung tanpa bayaran? Apakah kita mau memperbaiki jalan
puluhan kilometer tanpa diupah sepeser pun? Kebanyakan tidak. Tapi bagaimana
jika kita dijanjikan mendapat satu juta rupiah setiap kali mengambil sampah-sampah
di kampung? Bagaimana jika kita akan mendapat seratus dollar setiap selesai memperbaiki satu ruas jalan? Kita pun mulai berubah pikiran.
Pada prakteknya
perkara niat tidak semudah lisan berucap. Meluruskan niat selama melakukan
perbuatan baik selalu mendapat godaan. Pamer dan keinginan dilihat orang adalah salah satu godaan terberat. Kita lebih senang jika hasil pekerjaan kita dihargai dan mendapat
pujian banyak orang. Tapi jika kita menjadikan itu sebagai alasan berbuat baik maka keikhlasan kita patut dipertanyakan.
Butuh proses panjang untuk mencapai taraf ikhlas. Biasanya, perasaan
riya, pamer, dan ingin dipuji muncul karena kebaikan-kebaikan
yang kita lakukan masih sedikit. Kita perlu melakukan lebih banyak kebaikan agar bisa mencapai taraf ikhlas. Analoginya seperti orang mencangkul di sawah. Seseorang yang tidak
terbiasa mencangkul di sawah tentu tidak bisa menikmati aktivitas mencangkul. Dia
belum terbiasa melakukannya. Beda halnya dengan mereka yang setiap hari
mencangkul sawah. Meski badan bermandikan peluh, mereka tetap menikmati
aktivitas mencangkul.
Perkara niat ini
urgen sekali karena menyangkut nasib amal-amal kita. Setiap amal yang tidak
diiringi keikhlasan bisa saja dicampakkan Tuhan. Secara tersurat Tuhan meminta
kita untuk ikhlas dalam beramal. Bukankah semua perbuatan bergantung pada niatnya.
Jika kita meniatkan untuk meraih balasan-Nya, maka itulah yang akan kita dapatkan. Sebaliknya jika kita meniatkan sesuatu untuk pamer, mencari pujian, atau sekedar pencitraan, maka yang kita peroleh hanya sebatas itu—tidak akan ada balas kebaikan dari Tuhan di Hari Perhitungan. Bukankah ini mengerikan? Hanya karena niatnya salah, tumpukan kebajikan kita tidak bernilai di sisi Tuhan.
Jika kita meniatkan untuk meraih balasan-Nya, maka itulah yang akan kita dapatkan. Sebaliknya jika kita meniatkan sesuatu untuk pamer, mencari pujian, atau sekedar pencitraan, maka yang kita peroleh hanya sebatas itu—tidak akan ada balas kebaikan dari Tuhan di Hari Perhitungan. Bukankah ini mengerikan? Hanya karena niatnya salah, tumpukan kebajikan kita tidak bernilai di sisi Tuhan.
Maaf, saya
tidak sedang menggurui. Saya hanya sedang berbagi uneg-uneg dan kegelisahan akut yang saya rasakan. Catatan ini juga saya
tujukan bagi diri saya sendiri sebagai self
reminder karena urusan niat ini urgent sekali.
Semua orang bisa berbuat baik, tapi tidak semuanya bisa menjaga niatnya tetap lurus. Dengan memperbanyak kebajikan, semoga kita segera dikaruniai hati yang bening yang senantiasa diliput keikhlasan agar setiap kebajikan yang kita lakukan mendapat keridhaan dari sisi-Nya.
Semua orang bisa berbuat baik, tapi tidak semuanya bisa menjaga niatnya tetap lurus. Dengan memperbanyak kebajikan, semoga kita segera dikaruniai hati yang bening yang senantiasa diliput keikhlasan agar setiap kebajikan yang kita lakukan mendapat keridhaan dari sisi-Nya.
0 comments:
Post a Comment