Subscribe:

Labels

Sunday 17 January 2016

Siapa Bilang Meluruskan Niat itu Mudah?


Jika ada yang bilang meluruskan niat itu mudah, mereka pasti berbohong.
(Hatake Niwa)

Saat sekolah dulu, guru agama saya sering memberi contoh tentang “sedekah” untuk menggambarkan perkara niat. Pertanyaan yang diberikan kurang lebih begini: “Lebih baik mana, sedekah seratus ribu tapi tidak ikhlas, atau sedekah seribu tapi ikhlas?” Jika kita memilih opsi kedua (sedekah seribu tapi ikhlas), itu sama saja mengakui bahwa kita tidak akan ikhlas jika kita sedekah seratus ribu. Bukankah berat bersedekah seratus ribu? Jujur saja-lah. Meskipun kita bersikeras bilang kita ikhlas, kita tidak bisa menjamin hati ini ikhlas. Apalagi jika penghasilan kita pas-pasan. Kehilangan uang seratus ribu di akhir bulan bisa jadi masalah. Sulit untuk bisa ikhlas dalam kondisi seperti itu.

Sebagian kita beranggapan bahwa sedekah tidak memberi keuntungan apapun. Alih-alih kita malah merugi karena kehilangan sejumlah uang tertentu. Tapi mendadak kita bisa jadi sangat ikhlas karena didorong motivasi tertentu, misalnya ketika sedang pencitraan pada calon mertua. Dalam kondisi inilah, keikhlasan kita patut dipertanyakan.

Terus terang manusia adalah makhluk yang selalu menuntut ‘kompensasi’ atas setiap tindakan yang dilakukannya. Kita hanya mau melakukan sesuatu yang jelas-jelas memberi untung bagi kita. Kita selalu mensyaratkan sesuatu di luar diri kita sebagai alat motivasi dalam bertindak. Jika kita tidak menemukannya, kita cenderung ogah melakukan apapun.

Sebagai contoh, apakah kita mau berkotor-kotor mengambil sampah satu kampung tanpa bayaran? Apakah kita mau memperbaiki jalan puluhan kilometer tanpa diupah sepeser pun? Kebanyakan tidak. Tapi bagaimana jika kita dijanjikan mendapat satu juta rupiah setiap kali mengambil sampah-sampah di kampung? Bagaimana jika kita akan mendapat seratus dollar setiap selesai memperbaiki satu ruas jalan? Kita pun mulai berubah pikiran.

Pada prakteknya perkara niat tidak semudah lisan berucap. Meluruskan niat selama melakukan perbuatan baik selalu mendapat godaan. Pamer dan keinginan dilihat orang adalah salah satu godaan terberat. Kita lebih senang jika hasil pekerjaan kita dihargai dan mendapat pujian banyak orang. Tapi jika kita menjadikan itu sebagai alasan berbuat baik maka keikhlasan kita patut dipertanyakan.

Butuh proses panjang untuk mencapai taraf ikhlas. Biasanya, perasaan riya, pamer, dan ingin dipuji muncul karena kebaikan-kebaikan yang kita lakukan masih sedikit. Kita perlu melakukan lebih banyak kebaikan agar bisa mencapai taraf ikhlas. Analoginya seperti orang mencangkul di sawah. Seseorang yang tidak terbiasa mencangkul di sawah tentu tidak bisa menikmati aktivitas mencangkul. Dia belum terbiasa melakukannya. Beda halnya dengan mereka yang setiap hari mencangkul sawah. Meski badan bermandikan peluh, mereka tetap menikmati aktivitas mencangkul.

Perkara niat ini urgen sekali karena menyangkut nasib amal-amal kita. Setiap amal yang tidak diiringi keikhlasan bisa saja dicampakkan Tuhan. Secara tersurat Tuhan meminta kita untuk ikhlas dalam beramal. Bukankah semua perbuatan bergantung pada niatnya. 

Jika kita meniatkan untuk meraih balasan-Nya, maka itulah yang akan kita dapatkan. Sebaliknya jika kita meniatkan sesuatu untuk pamer, mencari pujian, atau sekedar pencitraan, maka yang kita peroleh hanya sebatas itu—tidak akan ada balas kebaikan dari Tuhan di Hari Perhitungan. Bukankah ini mengerikan? Hanya karena niatnya salah, tumpukan kebajikan kita tidak bernilai di sisi Tuhan.

Maaf, saya tidak sedang menggurui. Saya hanya sedang berbagi uneg-uneg dan kegelisahan akut yang saya rasakan. Catatan ini juga saya tujukan bagi diri saya sendiri sebagai self reminder  karena urusan niat ini urgent sekali. 

Semua orang bisa berbuat baik, tapi tidak semuanya bisa menjaga niatnya tetap lurus. Dengan memperbanyak kebajikan, semoga kita segera dikaruniai hati yang bening yang senantiasa diliput keikhlasan agar setiap kebajikan yang kita lakukan mendapat keridhaan dari sisi-Nya.

0 comments:

Post a Comment