Subscribe:

Labels

Wednesday 6 January 2016

Mumpung Masih Hidup di Dunia


Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu,
terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah,
dan  terlalu pendek bagi yang bahagia.  Tapi bagi yang selalu mengasihi,
 waktu adalah keabadian.
(Henry van Dyke)

Semua orang tahu betapa pentingnya waktu. Ada yang bilang “waktu adalah uang.” Saya lebih suka menyebut waktu sebagai “modal.” Jika waktu dipersepsikan sebagai “uang,” maka kita akan cenderung untuk menghambur-hamburkannya—sebagaimana hakikat uang yang tak pernah cukup memenuhi keinginan kita. Beda halnya jika waktu dipersepsikan sebagai “modal.” Kita akan berusaha menginvestasikan “modal” tersebut sebaik-baiknya agar tidak merugi di kemudian hari.

Waktu adalah “musuh” yang selalu menang. Kita tidak memiliki kuasa sedikit pun atas waktu. Waktu tetap terus berjalan meski peradaban dunia ini tidak pernah mengenal arloji. Begitu berharganya waktu sampai-sampai banyak orang berimajinasi memiliki mesin waktu. Dengan mesin itu manusia bisa pergi ke mana saja melewati dimensi waktu. Ada yang pergi ke masa depan untuk melihat dunia yang penuh keajaiban. Ada pula yang pergi ke masa lalu hanya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

Waktu adalah “pedagang” yang tidak pernah rugi, tapi kehadirannya bisa membuat rugi banyak orang. Tentu saja orang-orang yang merugi di sini adalah  orang-orang yang tidak memahami esensi waktu. Alih-alih mereka justru menyia-nyiakan waktu yang dimiliki untuk melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat.

Kita sadar bahwa waktu yang kita miliki di dunia ini terbatas. Manusia bukan makhluk yang kekal karena memiliki jatah umur tertentu. Jika umurnya habis, maka berakhir pula kehidupan manusia di dunia ini. Keterbatasan ini seharusnya membuat kita bersikap arif. Kita tidak akan mampu memenuhi semua keinginan kita dengan umur yang terbatas itu. Kita harus memilih cara-cara terbaik untuk menghabiskan umur agar kelak kita menuai berkah kebaikan.

Saya jadi teringat sebuah kisah tentang seorang pemuda yang hidupnya berubah setelah menyadari esensi waktu. Saya lupa di mana pertama kali membaca cerita ini. Di sini, akan saya ceritakan ulang cerita tersebut dalam cerita versi saya sendiri.

*   *   *

Alkisah seorang pemuda mengeluhkan hidupnya yang serba susah dan dipenuhi berbagai masalah keluarga. Suatu hari pemuda ini menemui seorang ‘Guru’ dan mengadukan segala penderitaannya. Si Pemuda bahkan terang-terangan mengaku ingin mengakhiri hidupnya. Sang Guru mengangguk takzim menyimak penuturan Si Pemuda. Setelah Si Pemuda selesai bicara, Sang Guru memberikan sebotol air padanya.

“Cairan bening dalam botol ini adalah racun. Cukup kau minum sekali, maka besok pagi kau akan mati tanpa rasa sakit.”

Muka Si Pemuda mendadak berseri-seri. Ia begitu gembira menerima racun dari Sang Guru. Dia lega karena besok pagi dia bisa mati tanpa harus menghadapi rasa sakit. Tanpa banyak ba-bi-bu Si Pemuda itu langsung menenggak racun yang diberikan Sang Guru.

“Terima kasih, Guru. Sampai jumpa di surga,” kata Si Pemuda sambil beranjak pergi meninggalkan rumah Sang Guru.

Sesampainya di rumah, pemuda itu mendapati istri dan anaknya yang tengah tertidur pulas. Si Pemuda sadar bahwa inilah hari terakhirnya di dunia. Ia merasa perlu melakukan sesuatu agar besok ia bisa mati dengan tenang. Ia pun bergegas menuju pasar. Didatanginya para pedagang di pasar itu. Si Pemuda meminta untuk dipekerjakan. Ia mengaku bersedia melakukan pekerjaan apapun agar memperoleh uang.

Hari menjelang sore, pemuda itu kembali ke rumahnya. Ia membawa sebuah keranjang yang penuh dengan makanan. Istrinya terheran-heran. Tidak biasanya Si Pemuda pulang menenteng keranjang makanan. Sore itu, untuk pertama kalinya istri dan anak Si Pemuda bisa makan dengan kenyang.

Malam harinya, Si Pemuda mengajak istri dan anaknya berjalan-jalan ke bukit. Istrinya bertambah heran karena selama ini Si pemuda hampir tidak pernah mengajaknya berjalan-jalan. Ketika ditanya, Si Pemuda hanya membalasnya dengan senyum.

Di atas bukit keluarga kecil Si Pemuda menikmati hiasan bintang di langit sambil membuat ikan bakar. Si Pemuda tampak asyik mengobrol dan bercanda dengan istri dan anaknya. Gelak tawa mereka menggema memecah kesunyian bukit itu. Sekembalinya di rumah, Si Pemuda tidur bersisian dengan istri dan anaknya. Saat itu, Si Pemuda benar-benar merasa bahagia. Ia ingin merayakan momen bahagia itu lebih lama.

Tiba-tiba Si Pemuda tersentak. Ia ingat bahwa ia sudah meminum racun dari Sang Guru. Besok pagi ia akan mati. Buru-buru Si Pemuda mendatangi rumah Sang Guru dengan panik.

Sang Guru tampak masih duduk-duduk di beranda rumahnya sambil minum teh. Sambil terengah-terengah Si Pemuda berusaha mengatur nafasnya. Setelah tenang, ia meminta penawar racun pada Sang Guru. Si Pemuda tidak mau mati besok pagi. Ia sadar bahwa ternyata hidup ini sangat berharga. Sang Guru pun tersenyum mendengarnya.

“Botol yang aku berikan tadi pagi hanyalah air biasa. Tak usah khawatir. Besok kau masih bisa bekerja seperti biasa. Kembalilah pulang. Jangan biarkan istri dan anakmu mengkhawatirkanmu.” Si Pemuda menangis mendengar jawaban Sang Guru. Dipeluknya Sang Guru erat-erat. Si Pemuda pun kembali ke rumahnya dengan sebongkah kelegaan dan kesadaran baru. Hari-hari esok Si Pemuda pun berubah menjadi lebih berarti.

*   *   *

Kita tahu bahwa kematian adalah kepastian. Meski begitu, kita tidak pernah tahu berapa jatah umurnya di dunia. Ketidaktahuan ini membuat kita sering lalai mengingat kematian. Kita selalu merasa “masih ada hari esok” atau “nanti sajalah.” Akhirnya, kita pun merasa fine-fine saja menunda berbuat kebajikan. Alih-alih kita malah menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna dan merusak diri sendiri. Urusan mati pun terlupakan.

Waktu adalah modal kita yang paling berharga. Sadar bahwa umur kita terbatas, alangkah baiknya jika kita selalu merenung “bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku di dunia?” Dengan begitu, kita akan terlecut untuk menggunakan waktu yang kita punya untuk melakukan kebajikan. Kesadaran kita akan tergugah untuk meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan merusak diri sendiri.

Kita harus bergegas, umur kita terbatas. Bergegaslah bekerja, bertindak nyata, seakan hidup ini akan berakhir esok. Bergegaslah, jangan sampai ada sesal di kemudian hari. Bergegaslah, agar lebih banyak kesempatan yang bisa kita peroleh. Kesempatan untuk belajar lebih banyak hal baru, kesempatan untuk menolong sesama, kesempatan untuk menemani orang-orang yang kita kasihi, dan kesempatan untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan—Dzat Yang Maha Tahu kapan kita akan “pulang” menuju lembah keabadian.

0 comments:

Post a Comment