“Where there is love, there is life”
(Mahatma Gandhi)
Saya tidak
mau munafik. Sebagai pria normal, saya akui bahwa kecantikan menempati kriteria
pertama dalam menilai wanita. Saya sendiri tidak tahu mengapa. Kebanyakan pria
juga berpikir begitu. Sulit dibantah jika pria adalah ‘makhluk visual’ yang
mudah tergoda oleh penampilan. Meski kenyataannya banyak wanita yang kurang
suka jika kecantikannya dibanding-bandingkan dengan wanita lain.
Karena pria
cenderung melihat tampilan luar, jauh lebih mudah bagi mereka untuk jatuh hati
pada wanita cantik. Tak peduli pria itu ganteng atau jelek, seleranya satu
suara—suka yang ‘cantik-cantik.’
Di Instagram
misalnya. Akun yang berisi foto-foto wanita cantik cenderung memiliki banyak followers dan feedback yang notabene berasal dari netizen pria. Foto-foto cantik tersebut akan segera kebanjiran like dan komentar bernada pujian seperti
“wah…cantiknya,” “ayu tenan…,” “kamu cantik,” dan komentar sejenis lainnya. Di sisi lain, hasrat
pria untuk menikmati sajian yang ‘cantik-cantik’ semakin mudah karena banyak
sekali wanita yang tak ragu memamerkan foto-foto pribadi di akun sosial media miliknya.
Wanita juga
memiliki kecenderungan untuk tertarik pada tampilan fisik pria. Hanya saja,
wanita tidak seagresif pria dalam mengungkapkan ketertarikan visualnya. Hampir
tidak pernah saya dapati wanita yang terang-terangan memuji foto pria sambil
nyinyir bilang “iihh…kamu ganteng banget
deh.” Wanita cenderung lebih kalem dalam mengekspresikan ketertarikan
visualnya.
Akan tetapi
dalam hal kriteria jodoh, wanita tidak seperti pria yang mudah tertarik pada
citra visual pasangannya. Memang ada sebagian wanita yang mempertimbangkan
fisik pria—seperti postur tinggi atau kulit putih—dengan dalih ‘memperbaiki
keturunan.’ Tapi bagi wanita, komitmen
dan tanggung jawab seorang pria jauh
lebih penting sebagai prasyarat membina hubungan yang serius. Jangan heran jika
kemudian seorang wanita cantik menikahi pria yang (kata orang) jelek. Boleh
jadi yang kata orang ‘jelek’ itu malah lebih jelas komitmen dan tanggung
jawabnya daripada yang ganteng tapi brengsek nan plin-plan sikapnya.
Dari sini
muncul pertanyaan, jika pria ‘jelek’ masih mungkin mendapat wanita cantik,
bagaimana jika wanitanya yang ‘jelek’? Mungkinkan wanita ‘jelek’ mendapat pria
yang ganteng? (mengingat kaum pria lebih tertarik pada tampilan fisik wanita).
Tentu saja
cinta tidak se-kekanak-kanakan itu. Seringkali cinta yang kita kenal di dunia
ini tidak mengenal sekat-sekat logika ataupun nilai-nilai artifisial manusia.
“Cinta” yang benar-benar cinta tidak akan naif dengan hanya melihat tampilan
fisik yang sifatnya sesaat. Alih-alih cinta akan mewujud dalam bentuk ikatan
emosional yang lebih abadi seperti kesetiaan,
kepedulian, kepercayaan, perhatian, ketulusan, dan pengorbanan.
Di Amerika
Serikat, seorang pria bernama Mark Lukac harus menjalani hari-hari yang panjang
bersama istrinya—Giulia—yang mengidap bipolar
disorder. Bukan hal mudah mendampingi seorang pengidap gangguan kejiwaan
semacam itu. Mark mengaku sempat putus asa, sampai-sampai Mark pernah berpikir
untuk bunuh diri di jembatan Golden Gate.
Saat ditanya
kenapa Mark masih mau menjadi istri Giulia, dia menyebutkan dua alasan: CINTA-nya yang banyak dan KOMITMEN yang telah Mark jalin dengan Giulia.
Mark sadar,
tidak ada seorang pun yang menginginkan gangguan kejiwaan itu—termasuk
istrinya. Tapi ketika takdir menuliskan bahwa istrinya mengidap bipolar disorder, maka tidak ada yang
bisa mencegahnya.
Tentu saja meninggalkan
Giulia adalah pilihan paling realistis bagi Mark. Godaan untuk menceraikan
istrinya pun sangat besar. Tapi Mark mencoba bertahan dengan CINTA dan
KOMITMEN-nya pada sang istri. Mark pun memutuskan untuk setia membersamai
Giulia—karena Mark percaya—hanya kasih sayang-lah yang bisa membuat istrinya lebih
kuat untuk menjalani hidupnya.
Dalam keseharian,
sering kita jumpai sepasang kakek-nenek yang meneladankan nilai-nilai cinta
yang agung. Keduanya sudah puluhan tahun menikah dan saling membersamai dalam
manis-getirnya kehidupan. Si Kakek sudah pikun dan berkurang pendengarannya. Setiap
kali Si Kakek kurang paham dengan lawan bicaranya, maka istrinya akan membantu
menjelaskan. Ketika Si Kakek mulai sakit-sakitan, istrinya tetap bersabar merawatnya,
menyuapinya, dan mengurusi segala kebutuhannya. Hingga ketika ajal menjemput Si
Kakek, istrinya masih turut serta mengiring jenazahnya menuju pembaringan
terakhirnya.
Kakek dan
nenek itu tidak lagi memiliki ketampanan maupun kecantikan fisik seperti saat keduanya
masih muda. Mereka menua bersama-sama, mendapati keriput yang sama, dan mengalami
kerentaan yang sama. Tapi bukan fisik yang menyatukan mereka melainkan benih-benih
cinta yang selalu mereka jaga hingga tetap tumbuh meski telah puluhan tahun
berlalu.
0 comments:
Post a Comment