Subscribe:

Labels

Friday 1 January 2016

Karena Cinta Tak Selalu tentang Cantik


Where there is love, there is life
(Mahatma Gandhi)

Saya tidak mau munafik. Sebagai pria normal, saya akui bahwa kecantikan menempati kriteria pertama dalam menilai wanita. Saya sendiri tidak tahu mengapa. Kebanyakan pria juga berpikir begitu. Sulit dibantah jika pria adalah ‘makhluk visual’ yang mudah tergoda oleh penampilan. Meski kenyataannya banyak wanita yang kurang suka jika kecantikannya dibanding-bandingkan dengan wanita lain.

Karena pria cenderung melihat tampilan luar, jauh lebih mudah bagi mereka untuk jatuh hati pada wanita cantik. Tak peduli pria itu ganteng atau jelek, seleranya satu suara—suka yang ‘cantik-cantik.’

Di Instagram misalnya. Akun yang berisi foto-foto wanita cantik cenderung memiliki banyak followers dan feedback yang notabene berasal dari netizen pria. Foto-foto cantik tersebut akan segera kebanjiran like dan komentar bernada pujian seperti “wah…cantiknya,” “ayu tenan…,” “kamu cantik,” dan komentar sejenis lainnya. Di sisi lain, hasrat pria untuk menikmati sajian yang ‘cantik-cantik’ semakin mudah karena banyak sekali wanita yang tak ragu memamerkan foto-foto pribadi di akun sosial media miliknya.

Wanita juga memiliki kecenderungan untuk tertarik pada tampilan fisik pria. Hanya saja, wanita tidak seagresif pria dalam mengungkapkan ketertarikan visualnya. Hampir tidak pernah saya dapati wanita yang terang-terangan memuji foto pria sambil nyinyir bilang “iihh…kamu ganteng banget deh.” Wanita cenderung lebih kalem dalam mengekspresikan ketertarikan visualnya.

Akan tetapi dalam hal kriteria jodoh, wanita tidak seperti pria yang mudah tertarik pada citra visual pasangannya. Memang ada sebagian wanita yang mempertimbangkan fisik pria—seperti postur tinggi atau kulit putih—dengan dalih ‘memperbaiki keturunan.’ Tapi bagi wanita, komitmen dan tanggung jawab seorang pria jauh lebih penting sebagai prasyarat membina hubungan yang serius. Jangan heran jika kemudian seorang wanita cantik menikahi pria yang (kata orang) jelek. Boleh jadi yang kata orang ‘jelek’ itu malah lebih jelas komitmen dan tanggung jawabnya daripada yang ganteng tapi brengsek nan plin-plan sikapnya.

Dari sini muncul pertanyaan, jika pria ‘jelek’ masih mungkin mendapat wanita cantik, bagaimana jika wanitanya yang ‘jelek’? Mungkinkan wanita ‘jelek’ mendapat pria yang ganteng? (mengingat kaum pria lebih tertarik pada tampilan fisik wanita).

Tentu saja cinta tidak se-kekanak-kanakan itu. Seringkali cinta yang kita kenal di dunia ini tidak mengenal sekat-sekat logika ataupun nilai-nilai artifisial manusia. “Cinta” yang benar-benar cinta tidak akan naif dengan hanya melihat tampilan fisik yang sifatnya sesaat. Alih-alih cinta akan mewujud dalam bentuk ikatan emosional yang lebih abadi seperti kesetiaan, kepedulian, kepercayaan, perhatian, ketulusan, dan pengorbanan.

Di Amerika Serikat, seorang pria bernama Mark Lukac harus menjalani hari-hari yang panjang bersama istrinya—Giulia—yang mengidap bipolar disorder. Bukan hal mudah mendampingi seorang pengidap gangguan kejiwaan semacam itu. Mark mengaku sempat putus asa, sampai-sampai Mark pernah berpikir untuk bunuh diri di jembatan Golden Gate.

Saat ditanya kenapa Mark masih mau menjadi istri Giulia, dia menyebutkan dua alasan: CINTA-nya yang banyak dan KOMITMEN yang telah Mark jalin dengan Giulia.
Mark sadar, tidak ada seorang pun yang menginginkan gangguan kejiwaan itu—termasuk istrinya. Tapi ketika takdir menuliskan bahwa istrinya mengidap bipolar disorder, maka tidak ada yang bisa mencegahnya.

Tentu saja meninggalkan Giulia adalah pilihan paling realistis bagi Mark. Godaan untuk menceraikan istrinya pun sangat besar. Tapi Mark mencoba bertahan dengan CINTA dan KOMITMEN-nya pada sang istri. Mark pun memutuskan untuk setia membersamai Giulia—karena Mark percaya—hanya kasih sayang-lah yang bisa membuat istrinya lebih kuat untuk menjalani hidupnya.

Dalam keseharian, sering kita jumpai sepasang kakek-nenek yang meneladankan nilai-nilai cinta yang agung. Keduanya sudah puluhan tahun menikah dan saling membersamai dalam manis-getirnya kehidupan. Si Kakek sudah pikun dan berkurang pendengarannya. Setiap kali Si Kakek kurang paham dengan lawan bicaranya, maka istrinya akan membantu menjelaskan. Ketika Si Kakek mulai sakit-sakitan, istrinya tetap bersabar merawatnya, menyuapinya, dan mengurusi segala kebutuhannya. Hingga ketika ajal menjemput Si Kakek, istrinya masih turut serta mengiring jenazahnya menuju pembaringan terakhirnya.

Kakek dan nenek itu tidak lagi memiliki ketampanan maupun kecantikan fisik seperti saat keduanya masih muda. Mereka menua bersama-sama, mendapati keriput yang sama, dan mengalami kerentaan yang sama. Tapi bukan fisik yang menyatukan mereka melainkan benih-benih cinta yang selalu mereka jaga hingga tetap tumbuh meski telah puluhan tahun berlalu.

Cinta adalah anugerah terindah Sang Pencipta. Tak sepatutnya anugerah itu terbatasi oleh sekat-sekat artifisial manusia yang naif seperti tampilan fisik semata. Karena cinta sejati tak pernah mensyaratkan apapun dan takkan habis terurai dalam bait-bait pujangga. Cinta sejati hanya akan mewujud dalam kesetiaan, kepedulian, kepercayaan, perhatian, ketulusan, dan pengorbanan—yang ditujukan demi orang yang selalu dikasihi.

0 comments:

Post a Comment