. . .
“Satu dua
teman kita sudah menikah. Pekan depan, Si Baik Hati itu yang akan menikah.”
“Yeah, kita
semua tahu itu.”
“Bagaimana perasaanmu?”
“Biasa saja—selain
fakta bahwa kita ‘kehilangan’ seorang teman lagi.”
“Pertemuan
ini jadi kurang seru tanpa Si Baik Hati itu. Sejak sekolah dulu, kita sering
menghabiskan waktu di kedai ini. Aku juga merasa ‘kehilangan.’ Apa kau juga
akan segera menyusulnya?”
“Pertanyaanmu
seperti kau tak mengenal diriku saja. Kita sudah bersama sejak SMP, termasuk Si
Baik Hati itu. Kalau kau ingin tahu apakah pernikahannya membuatku gusar untuk
segera menikah, tentu saja tidak.”
“Kau tidak
berpikir untuk punya pacar?”
“Pacar?
Jangan bodoh. Untuk apa punya pacar jika tidak ada rencana menikah dalam waktu
dekat? Itu sama saja menyakiti pacarmu dengan harapan-harapan semu. Membuatnya
menunggu tanpa kepastian dan janji yang belum tentu kau tepati.”
“Sepertinya
kau mulai percaya pada ‘bualan’ Si Baik Hati itu. Tapi, bukankah banyak orang
melakukannya?”
“Haha…peduli
setan dengan orang-orang. Jika mereka melakukan itu hanya karena novel-novel
picisan atau film-film roman, itu sangat disayangkan. Mereka tidak benar-benar
memahami pilihan hidupnya. Tapi aku—prinsipku, keputusanku, ini semua
berdasarkan pertimbangan nalar logikaku.”
“Well, setiap kepala bisa berbeda. Aku
tak ingin berdebat denganmu. Lagipula,
Si Baik Hati itu tak jauh beda denganmu. Wanita yang dinikahinya bukan bekas
pacarnya.”
“Benarkah? Aku
belum tahu soal itu. Dan bagaimana mereka bisa bertemu?”
“Mereka teman
saat SMA. Saat Si Baik Hati pergi berbelanja di swalayan, dia bertemu wanita
itu, terlibat obrolan dengannya dan……….. Yah, seperti di cerita-cerita picisan—pertemuan
yang tidak sengaja, takdir, jodoh, kiranya kau sudah tahu kelanjutannya. Si
Baik Hati itu benar-benar beruntung.”
“Oh, well, Si Baik Hati itu menohok banyak
orang yang bertahun-tahun pacaran tapi belum
kunjung menikah juga.”
“Jadi pekan
depan, bisakah kau datang?”
“Tentu saja.
Mana bisa aku mengecewakan karibku sekarang. Aku banyak berhutang budi padanya.”
“Ya. Dia
memang selalu baik pada semua orang. Ngomong-ngomong, berapa banyak yang akan
kau beri?”
“Sebanyak
yang aku bisa. Haha…untuknya tidak ada diskon.”
“Kita tak
akan tega memberinya amplop kosong, bukan?”
. . .
Derai tawa
kami pecah di kedai itu. Dulu, kami bertiga sering menghabiskan waktu bersama
di sana—melewati hingar bingar masa sekolah. Si Baik Hati itu sering menraktir
kami, memberi banyak nasihat untuk tidak pacaran. Sempat aku berpikir dia
membual. Tapi kini, Si Baik Hati itu benar-benar membuktikan ‘bualannya’.
Menikah
adalah bagian dari ‘ritual hidup’ manusia yang memilih untuk menikah. Bagi kami
yang masih bujang, tidak ada yang bisa disalahkan dari pernikahan, selain fakta
bahwa kita ‘kehilangan’ seorang teman bermain. Toh, jika memang sudah waktunya,
kita juga harus mulai memikirkan ‘sahabat hidup’ yang akan menemani sisa umur
kita. Begitulah.
0 comments:
Post a Comment