Subscribe:

Labels

Wednesday 27 January 2016

Obrolan Bujang

.  .  .

“Satu dua teman kita sudah menikah. Pekan depan, Si Baik Hati itu yang akan menikah.”

“Yeah, kita semua tahu itu.”

“Bagaimana perasaanmu?”

“Biasa saja—selain fakta bahwa kita ‘kehilangan’ seorang teman lagi.”

“Pertemuan ini jadi kurang seru tanpa Si Baik Hati itu. Sejak sekolah dulu, kita sering menghabiskan waktu di kedai ini. Aku juga merasa ‘kehilangan.’ Apa kau juga akan segera menyusulnya?”

“Pertanyaanmu seperti kau tak mengenal diriku saja. Kita sudah bersama sejak SMP, termasuk Si Baik Hati itu. Kalau kau ingin tahu apakah pernikahannya membuatku gusar untuk segera menikah, tentu saja tidak.”

“Kau tidak berpikir untuk punya pacar?”

“Pacar? Jangan bodoh. Untuk apa punya pacar jika tidak ada rencana menikah dalam waktu dekat? Itu sama saja menyakiti pacarmu dengan harapan-harapan semu. Membuatnya menunggu tanpa kepastian dan janji yang belum tentu kau tepati.”

“Sepertinya kau mulai percaya pada ‘bualan’ Si Baik Hati itu. Tapi, bukankah banyak orang melakukannya?”

“Haha…peduli setan dengan orang-orang. Jika mereka melakukan itu hanya karena novel-novel picisan atau film-film roman, itu sangat disayangkan. Mereka tidak benar-benar memahami pilihan hidupnya. Tapi aku—prinsipku, keputusanku, ini semua berdasarkan pertimbangan nalar logikaku.”

Well, setiap kepala bisa berbeda. Aku tak ingin berdebat denganmu.  Lagipula, Si Baik Hati itu tak jauh beda denganmu. Wanita yang dinikahinya bukan bekas pacarnya.”

“Benarkah? Aku belum tahu soal itu. Dan bagaimana mereka bisa bertemu?”

“Mereka teman saat SMA. Saat Si Baik Hati pergi berbelanja di swalayan, dia bertemu wanita itu, terlibat obrolan dengannya dan……….. Yah, seperti di cerita-cerita picisan—pertemuan yang tidak sengaja, takdir, jodoh, kiranya kau sudah tahu kelanjutannya. Si Baik Hati itu benar-benar beruntung.”

“Oh, well, Si Baik Hati itu menohok banyak orang yang bertahun-tahun pacaran tapi belum kunjung menikah juga.”

“Jadi pekan depan, bisakah kau datang?”

“Tentu saja. Mana bisa aku mengecewakan karibku sekarang. Aku banyak berhutang budi padanya.”

“Ya. Dia memang selalu baik pada semua orang. Ngomong-ngomong, berapa banyak yang akan kau beri?”

“Sebanyak yang aku bisa. Haha…untuknya tidak ada diskon.”

“Kita tak akan tega memberinya amplop kosong, bukan?”

.  .  .


Derai tawa kami pecah di kedai itu. Dulu, kami bertiga sering menghabiskan waktu bersama di sana—melewati hingar bingar masa sekolah. Si Baik Hati itu sering menraktir kami, memberi banyak nasihat untuk tidak pacaran. Sempat aku berpikir dia membual. Tapi kini, Si Baik Hati itu benar-benar membuktikan ‘bualannya’.


Menikah adalah bagian dari ‘ritual hidup’ manusia yang memilih untuk menikah. Bagi kami yang masih bujang, tidak ada yang bisa disalahkan dari pernikahan, selain fakta bahwa kita ‘kehilangan’ seorang teman bermain. Toh, jika memang sudah waktunya, kita juga harus mulai memikirkan ‘sahabat hidup’ yang akan menemani sisa umur kita. Begitulah.

0 comments:

Post a Comment