Subscribe:

Labels

Monday 7 December 2015

Solidaritas Bagi yang Sakit


Tuna sathak bathi sanak
(Peribahasa Jawa)

Akhirnya blog ini vakum juga. Inkonsistensi menulis masih saja terjadi. Maklum beberapa minggu terakhir saya disibukkan oleh penyakit aneh yang tidak jelas muasalnya. Saya sempat dibuat jengkel karena gejala dan keluhan dari penyakit ini sangat tidak konsisten.

Singkatnya, penyakit ini seperti flu. Saya meriang. Saya pikir beberapa vitamin akan memulihkan saya. Tapi kondisi tubuh saya malah melemah. Saya terserang demam tinggi berkepanjangan. Ada sekitar seminggu saya berkutat dengan demam. Ruam-ruam merah pun muncul di beberapa bagian tubuh saya.

Setelah dicek darah, ada indikasi saya terserang demam berdarah. Kadar trombosit saya mengalami penurunan, meski tidak drastis. Setelah diberi beberapa macam obat saya pikir saya akan segera pulih. Nyatanya, penyakit saya hanya hilang sesaat setelah mengkonsumsi obat. Jika efek obat sudah habis, gejala seperti demam dan sakit kepala muncul kembali. Saya pun menderita demam hampir setiap sore dan sepanjang malam. Pagi sampai siang demam saya menurun.

Saya kemudian disarankan cek darah lagi untuk memastikan apakah saya terserang malaria. Beruntung hasil lab menyatakan negatif. Tapi yang membingungkan, kadar trombosit saya malah sudah pulih di atas normal. Padahal saya masih demam tinggi dan sakit kepala.

Saya mulai berpikir yang aneh-aneh karena sudah berminggu-minggu sakit saya tak kunjung sembuh. Dokter kembali berargumen saya terkena gejala tipus. Dalam hati, saya sedikit ragu, kok bisa jadi tipus lha wong perut saya tak pernah terasa sakit seperti penderita tipus lainnya. Akhirnya saya pun diminta untuk dirawat inap di sebuah klinik. Meski saya ragu saya sakit tipus, saya mengiyakan saja dirawat inap. Toh kondisi tubuh saya memang lemah dan suhu tubuh tidak stabil.

Ini adalah kali kedua saya dirawat inap di klinik itu. Seperti biasa, jika ada orang sakit maka beberapa kerabat, tetangga, dan rekan kerja akan datang menjenguk. Awalnya saya menganggap hal tersebut biasa saja. Saya beramah-tamah dengan para tamu yang membesuk saya. Jika kebetulan ada ayah atau ibu yang menunggu, maka mereka yang akan menemani tau mengobrol.
Yang membuat saya tak habis pikir, setiap kali para penjenguk hendak pulang mereka selalu mengulurkan amplop putih pada saya. "Hey…apa-apaan ini?” batin saya.

Sebagai seorang yang jauh dari sempurna, saya telah berulang kali membuat repot orang lain, terutama orangtua saya. Saya tidak mamu menambah kerepotan itu bagi orang lain di luar lingkaran keluarga inti saya. Bukan apa-apa, rata-rata satu amplop putih setara untuk membeli 3 sampai 4 bungkus rokok kretek. Jika saya berada di posisi sebagai pembesuk yang memberi amplop putih, maka sejujurnya saya pasti keberatan karena perkara nominal isi amplop tersebut. Saya berpikir, bagaimana jika katakanlah dalam waktu seminggu ada 10 orang yang harus dibesuk sekaligus. Maka nominal amplop putih yang harus disiapkan sekitar setengah juta lebih!?

Ibu saya bahkan ‘sengaja’ tidak membocorkan informasi bahwa saya dirawat inap karena tahu konsekuensi sosial yang mungkin terjadi. Ibu saya juga merasa tidak enak pada para pembesuk terutama berkaitan dengan urusan amplop tadi. Tapi nyatanya informasi tetap bocor dan saya pun kebanjiran amplop putih layaknya mendapat surat dari penggemar.

Entahlah saya tidak begitu paham asal muasal tradisi ‘amplop putih’ saat menjenguk orang sakit. Om saya pernah berkata bahwa itu memang sudah tradisi. Dan seperti masyarakat desa lain yang masih komunal dengan ikatan kekeluargaan yang dekat, sekedar memberikan ‘amplop’ bagi si sakit adalah hal mulia yang pantas dilestarikan. Tak jauh beda dengan memberi amplop di acara kematian.

Syukurlah saya tidak perlu berlama-lama di klinik. Setelah 3 hari saya sudah diizinkan pulang. Dalam hati saya juga lega karena tidak akan ada lagi amplop-amplop putih yang mampir. Saya betul-betul tidak enak menerima hal semacam itu.

Setibanya di rumah, saya pun bisa menikmati segelas susu cokelat panas. Meski badan saya belum pulih benar, selera makan saya sudah membaik. Baru beberapa jam menikmati kesembuhan, sudah ada tetangga yang mengunjungi rumah saya.

Para pembesuk yang tidak lain adalah tetangga-tetangga saya juga turut menghaturkan prihatin atas kondisi saya. Sama seperti yang di klinik, sesaat sebelum berpamitan para pembesuk memberi saya amplop putih lagi. Nominalnya sama—setara dengan 4 bungkus rokok.

Boleh jadi saya tidak akan begitu meributkan hal remeh seperti perkara amplop jika sakit yang saya derita tergolong berat seperti gagal ginjal, diabetes melistus, meningitis, atau kanker stadium IV. Mereka yang mengidap penyakit-penyakit tersebut lebih pantas mendapatkan amplop putih. Setidaknya isi amplop akan lebih berdayaguna bagi mereka yang memang perlu dibantu karena biaya pengobatan yang tidak sedikit.

Sementara saya? Baru dinyatakan gejala tipus saja respon tetangga sudah seperti melihat saya terkena penyakit ganas.

Maaf, saya menulis ini bukan untuk mengkritik budaya ‘ngamplop’ orang sakit. Saya menghargai para pembesuk saya yang berniat baik dan ikhlas menunjukkan solidaritas dan keluhuran budaya srawung antarwarga. Saya hanya tak habis pikir kenapa. Bukankah isi amplop itu tergolong lumayan? Bukankah dengan isi amplop itu bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarga selama beberapa hari ke depan? Kenapa hanya karena alasan srawung , etika, atau karena tradisi, amplop-amplop itu ringan saja diberikan?

Mungkin benar bahwa dalam kultur Jawa, ada ungkapan “tuna sathak bathi sanak” yang artinya kurang lebih “tak mengapa jika kita merugi sedikit, yang penting dapat membina hubungan baik dengan sesama/saudara.” Dan apa yang para pembesuk dan tetangga-tetangga saya lakukan hanyalah segelintir penjabaran nyata ungkapan tersebut.

Bertahun-tahun saya tinggal di masyarakat yang kultur ke-kotaannya kental sejak SMP sampai perguruan tinggi. Rumah berpagar tinggi-tinggi, interaksi yang jarang, hingga minimnya even-even sosial antarwarga adalah pemandangan yang sering saya temui ketika di kota. Di kota ketika ada tetangga sakit, boro-boro ngamplop, tahu saja tidak. Biasanya si sakit akan dibawa sendiri oleh keluarganya ke rumah sakit. Tak perlu babibu dengan tetangga sebelah.

Bahkan saya sering tidak mengetahui kabar lelayu dari tetangga. Tahu-tahu sudah ada acara pemakaman yang entah siapa yang meninggal. Solidaritas antarwarga rendah sekali.

Walhasil saya menjadi canggung ketika saya pulang kampung, menemui masyarakat desa yang komunal dengan iklim kekerabatan yang intim. Saya serba tidak enak mendapat perlakuan akrab dari tetangga kanan kiri. Apalagi dalam ‘insiden amplop’ saat saya sakit kemarin. Saya benar-benar tidak habis pikir. Saya merasa perlu belajar lagi dari awal untuk bisa beradaptasi dengan masyarakat yang memiliki solidaritas tinggi dan memandang tetangga layaknya kerabat sendiri.


Dan semoga yang membesuk saya kemarin diberikan kesehatan dan penghidupan yang penuh berkah dari Tuhan. Saya hanya bisa menghaturkan terima kasih atas pembelajaran yang berharga ini. Ngaturaken agenging panuwun.

0 comments:

Post a Comment