“Sungguh aku tak mau menghabiskan sisa umurku
dalam dekapan kebencian.
Ikhlaslah engkau memaafkan dan biarkan aku berbaring dalam dekapan kedamaian”
(Hatake Niwa)
“Jangan pernah
membenci orangnya, bencilah sifatnya” kata AA Gym. Ketika saya menshare
tentang hal tersebut di media sosial, seorang teman menanyakan kepada saya, “Bagaimana caramu
memisahkan kedua hal itu?”
Well, dalam
interpretasi saya, apa yang dimaksudkan AA Gym adalah sebuah konsep membenci dengan bijaksana. Membenci adalah respon wajar seseorang ketika menemui
sesuatu yang tidak disukainya. Boleh jadi karena sesuatu itu bertentangan
dengan standar-standar nilai atau moral yang kita anut.
Misalnya kita punya
standar moral bahwa tepat waktu adalah keharusan. Kemudian kita dihadapkan pada
situasi di mana kita harus bekerja dengan seseorang yang tidak menghargai
standar nilai yang kita anut. Rekan kerja kita ini punya kebiasaan datang
terlambat dan tidak peduli pada kejaran deadline.
Sebut saja rekan kita ini Sukir (maaf jika ada kesamaan nama).
Sebagai orang yang memiliki standar moral tentang disiplin,
kita pasti muak melihat kelakuan Sukir. Sekali dua kita pasti akan menegurnya. Tapi
ketika teguran demi teguran tidak diindahkan, sangat wajar bila kita membenci Sukir
yang semau gue tadi. Tapi, jika kita sudah
membenci Sukir, selanjutnya apa? Di sisi lain kita satu kantor dengan Sukir. Suka
atau tidak setiap hari kita pasti bertemu dengannya. Mungkin saja kita akan
mengadu pada atasan perihal kinerja Sukir yang keterlaluan. Tapi karena kita segan
dicap tukang ngadu, kita urungkan niatan mengadu.
Pada kondisi ini kita punya dua pilihan. Pertama, kita
bisa membenci manusia yang bernama Sukir seutuhnya. Artinya di mana pun Sukir
berada kita akan langsung memasang aura kebencian di wajah kita. Jangankan menyapa,
berjabat tangan pun tidak ikhlas. Kedua, kita bisa membenci ketidakdisiplinan
Sukir saja. Ketika bertemu dengan Sukir, kita tetap memperlakukannya sebagai orang
baik-baik.
Kebencian yang pertama terlihat terang-terangan. Kita menampakkan
kebencian pada Sukir dengan perilaku kasat mata. Boleh jadi semua orang di
kantor—termasuk Sukir—juga tahu kita sangat membenci Sukir. Kebencian yang
kedua agak munafik. Kita memang membenci Sukir tapi tidak sampai menampakkan
kebencian itu dalam pergaulan sosial.
Kedua hal di atas adalah pilihan. Setiap orang berhak
memilih kebencian seperti apa yang akan ditimpakan pada Sukir. Bagi yang suka
terang-terangan menunjukkan emosinya, pilihan pertama adalah pilihan paling rasional.
Sementara bagi mereka yang kadar sungkan atau pekewuh-nya di atas rata-rata, maka mereka pasrah pada pilihan
kedua.
Dalam pemahaman saya, kebencian pertama yang
terang-terangan cenderung berpotensi menjadi sesuatu yang destruktif. Okelah, Sukir
memang salah. Sikapnya yang tidak disiplin lebih sering merugikan rekan
kerjanya. Kita berhak membencinya. Tapi bisakah kita atur kadar kebencian itu sebatas
pada sifatnya? Artinya seperti pilihan kedua, kita hanya membenci
ketidakdisiplinan Sukir tapi dalam pergaulan kita tetap baik pada Sukir.
Tidak mudah menerapkan konsep membenci ‘setengah-setengah’
ini. Ketika kita sudah membenci, biasanya kebencian itu akan tampak lahir
batin. Tidak hanya benci sifatnya tapi juga benci orangnya.
Tapi di sisi lain, kita pun harus memahami bahwa kita
tidak akan pernah bisa memaksa setiap orang berlaku sesuai standar nilai dan moralyang kita anut. Sehebat apapun kita, kita tidak bisa mengendalikan
perilaku orang-orang sepenuhnya. Orang-orang akan selalu berperilaku sesuai
standar mereka masing-masing. Bahkan para Nabi—manusia pilihan Tuhan—pun tidak mampu
membuat seluruh penduduk bumi beriman. Yang bisa kita lakukan sebatas memberi
peringatan, menegur, menuntut, dan memberi tindakan koersif (paksaan)—meski semua
itu tetap tidak menjamin kepatuhan orang lain pada standar nilai dan moral yang
kita anut.
Kembali pada kasus Sukir. Bisa saja kita memilih untuk
membenci Sukir lahir batin, menggunjingkan tabiat buruknya dan membiarkan
seluruh kantor tahu betapa kita sangat membenci Sukir. Boleh jadi Sukir pun
tahu kita membencinya. Tidak mengherankan jika kelak pergaulan kita dengan
Sukir lebih sering diwarnai perdebatan dan pertengkaran.
Untuk menghindari pertengkaran dan perdebatanyang
tidak perlu itulah, alangkah bijaknya jika kita membatasi kebencian kita pada
Sukir. Benci tetap benci, tapi sekedar pada sifatnya yang tidak disiplin di tempat
kerja. Di luar itu kita bisa memilih untuk memaklumi pribadi Sukir dan
memperlakukannya baik-baik. Untuk apa
Tapi perlu dicatat bahwa kebencian ‘setengah-setengah’
ini sifatnya terbatas. Hanya ditujukan untuk menjaga hubungan baik dengan
orang-orang terdekat seperti keluarga, saudara, mertua, menantu, dan rekan
kerja. Di luar itu, kita tidak bisa membenci ‘setengah-setengah’ pada orang
yang jelas-jelas melakukan tindak kriminal dan melanggar konsensus umum masyarakat
seperti para koruptor, pencuri, perampok dan pembunuh.
Poin penting yang ingin saya sampaikan dalam uraian
ini adalah pentingnya sikap selektif dalam membenci sesuatu. Jangan sampai hubungan
baik kita dengan orang lain rusak karena kebencian itu sendiri. Mau tak mau
kita harus belajar memaklumi dan memaafkan tabiat buruk orang lain. Kalau pun kebencian
itu harus ada, maka bencilah sekedar membenci sifatnya. Tidak perlu
terang-terangan menampakkan kebencian itu yang boleh jadi dapat merusak
hubungan kita dengan orang lain.
0 comments:
Post a Comment