Subscribe:

Labels

Thursday 31 December 2015

Kotoran Ayam dan Toleransi Bertetangga


Selama kita hidup bertetangga, ada hak-hak tetangga yang harus kita tunaikan.
Hatake Niwa

Belakangan saya sering dikesalkan dengan perilaku ayam tetangga yang sering keluyuran di halaman rumah. Saya tidak tahu jalan pikiran si ayam kenapa lebih suka menyatroni halaman rumah saya daripada halaman rumah pemilik ayam itu sendiri. Biasanya, ayam itu akan nangkring di pagar rumah saya atau mengais-ngais sesuatu di tumpukan sampah di ujung halaman. Seringkali ayam itu juga nangkring di jok motor saya. Jika saya lagi ‘hoki’ si ayam akan berbaik hati memberi ‘oleh-oleh’ yang aromanya sulit hilang walau dibasuh dengan sabun motor sekalipun. Agaknya, ayam ini bermaksud meninggalkan kenangan yang memorable, berkesan dan juga tahan lama sampai-sampai bekasnya sulit dihilangkan. Benar-benar dramatis!

Jujur saja, saya bukan pecinta binatang. Sekalipun orangtua saya memiliki ternak ayam di kampung, saya tidak pernah menyukai ayam sepenuhnya—kecuali untuk konsumsi. Kalaupun harus memelihara binatang, saya lebih memilih memelihara kucing daripada ayam. Menurut saya, kucing lebih memiliki nilai estetika dan ke-imut-an tersendiri untuk dijadikan peliharaan. Beda halnya dengan ayam yang tidak ada lucu-lucunya sama sekali. Bagi saya, ayam tidak lebih dari bayangan daging goreng dan sate dengan baluran saus kacang.

Bagian tersulit saat memelihara ayam adalah mengurus residu pencernaannya. Aroma tengik khas kotoran ayam adalah ‘polutan tak termaafkan’ bagi hidung manusia. Begitu tengiknya kotoran ayam sampai-sampai para pengendara motor akan melesat kabur jika di depannya ada mobil pick up yang membawa sekawanan ayam. Menghilangkan residu pencernaan ayam juga tidak selalu mudah. Secara kasat mata, kotorannya sudah hilang, tapi tengiknya masih ada. Boleh jadi ungkapan “hangat-hangat tahi ayam” akan lebih pas jika diganti menjadi “tengik-tengik tahi ayam!

Di kampung kakek saya, hampir setiap kepala keluarga memelihara ayam. Dalam area 300x300 meter, jumlahnya bisa mencapai puluhan ekor. Lahan di kampung masih cukup luas sehingga membebaskan ayam peliharaan di sana adalah hal yang lumrah—selama si ayam tidak masuk ke dalam rumah dan buang kotoran di beranda. Tak heran jika kemudian muncul ‘ranjau kotoran’ di ruas-ruas jalan kampung kakek saya. Jika ada tetangga yang kebetulan apes terkena ‘ranjau’, mereka tidak pernah marah-marah pada pemilik ayam. Kesal sih iya, tapi menyelidiki anus ayam siapa yang baru saja mengotorinya adalah hal yang mustahil.

Beda halnya dengan rumah saya di kota. Jarak antarrumah begitu dekat, sementara lahan kosong yang tersedia tidak luas. Membebaskan ayam peliharaan di kota adalah petaka bagi tetangga-tetangga di sekitarnya. Kawanan ayam akan cenderung mendatangi tempat yang sekiranya banyak makanan, terbuka, dan memiliki ‘fasilitas’ untuk nangkring. Sialnya, rumah saya memenuhi semua persyaratan untuk menjadi ‘tempat nongkrong’ para ayam. Tak heran jika kawanan ayam rajin mendatangi halaman rumah saya untuk kemudian berbagi ‘oleh-oleh’ di jok motor saya.

Jika saya tipe orang yang hobi berkonfrontasi, tetangga sebelah rumah sudah pasti saya sembur (karena memang hanya dia yang memelihara ayam di sepanjang gang itu). Saya akan berterus terang memintanya untuk mengandangkan ayam-ayamnya. Saya ultimatum jika ada seciprit kotoran ayam di jok motor saya lagi, saya berhak mengeksekusi sendiri ayam-ayamnya.

Tapi konfrontasi bukan gaya saya. Dalam kehidupan bertetangga kita tidak bisa serta merta mengabaikan hak-hak tetangga. Dalam batas-batas tertentu kita harus memberikan toleransi pada tetangga. Kita tidak seharusnya melarang tetangga jika mereka ingin numpang menjemur kayu bakarnya. Kita juga tidak sepatutnya memaki-maki tetangga yang menumpang mandi karena kamar mandi di rumahnya sedang direnovasi. Toleransi dalam kehidupan bertetangga semacam ini sangat penting agar tercipta keharmonisan dalam masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari tetangga. Setiap bepergian, kita akan melewati rumah-rumah tetangga—berpapasan satu sama lain. Betapa pun egoisnya kita, tidak sepatutnya kita mengabaikan tetangga tanpa membina kontak dan komunikasi dengannya. Dalam kamus hidup saya, hal itu TIDAK SENORMALNYA MANUSIA.

Sampai batas tertentu, kita memang mampu mengurusi semuanya sendiri tanpa bantuan tetangga. Tapi sekuat-kuatnya kita, akan ada saat di mana hanya tetangga kita yang bisa menolong. Apa jadinya jika seumur hidup kita menjadi orang yang egois, acuh, merasa dirinya paling hebat, seakan-akan tidak membutuhkan tetangga? Saya malah khawatir tidak akan ada tetangga yang datang melayat dan membantu prosesi pemakaman kita—alih-alih mendapati mayat kita membusuk di rumah akibat ketertutupan kita sendiri.

Selama kita hidup bertetangga, akan selalu ada hak-hak tetangga yang harus kita penuhi. Tidak mungkin kita akan diam saja jika rumah tetangga terbakar. Tidak mungkin kita akan mengabaikan tetangga yang tengah sekarat karena kelaparan. Pun ketika tetangga kita meninggal. Kita tidak bisa menolak untuk melayat dan membantu pemakaman jenazahnya.

Yang jadi masalah adalah ketika kita bertetangga dengan orang yang tidak tahu diri dan bertingkah seenaknya sendiri. Keseharian kita tidak akan jauh berbeda dengan Squidward yang setiap hari dibuat kesal gara-gara ulah abnormal tetangganya—Spongebob dan Patrick. Tetangga semacam ini biasanya akan menyalahgunakan kelonggaran yang kita beri. Misalnya kita mengizinkan tetangga untuk memarkir motornya di halaman rumah kita saat dia mengadakan hajatan. Setelah hajatan berakhir, seharusnya tetangga kita kembali memarkirkan motor di rumahnya. Alih-alih kembali memarkirkan motor di rumahnya sendiri, setiap kali ada tamu yang datang, dia menyilahkan tamunya untuk parkir di halaman rumah kita. Bukankah itu mengesalkan?

Dalam kasus ayam tetangga, saya tidak bisa menimpakan kesalahan pada tetangga saya sepenuhnya. Saya memang tahu betul bahwa anus ayam miliknyalah yang sering mengotori jok motor saya. Tapi di sisi lain saya mafhum bila lahan di kota tidak luas. Tetangga saya juga tidak punya cukup ruang untuk membangun kandang ayam sendiri di rumahnya. Karena itu, selama saya masih punya lahan, saya tidak akan membatasi hak-hak tetangga untuk memanfaatkan lahan rumah saya. So, silahkan saja menumpang menjemur baju, memarkir motor, atau bermain bersama cucu di halaman rumah saya—selama itu semua masih berada dalam konteks kewajaran dan tidak melanggar batas-batas etika.

Saya akui saya memang kesal dengan kotoran ayamnya. Saya kesal karena harus membersihkan jok motor di saat saya tengah terburu-buru. Tapi tidak sepatutnya saya menaruh kekesalan yang sama pada si pemilik ayam. Bagaimanapun juga saya harus belajar menjadi ‘tetangga yang baik.’

0 comments:

Post a Comment