“Selama
kita hidup bertetangga, ada hak-hak tetangga yang harus kita tunaikan.”
—Hatake
Niwa
Belakangan saya
sering dikesalkan dengan perilaku ayam tetangga yang sering keluyuran di
halaman rumah. Saya tidak tahu jalan pikiran si ayam kenapa lebih suka menyatroni
halaman rumah saya daripada halaman rumah pemilik ayam itu sendiri. Biasanya,
ayam itu akan nangkring di pagar
rumah saya atau mengais-ngais sesuatu di tumpukan sampah di ujung halaman. Seringkali
ayam itu juga nangkring di jok motor
saya. Jika saya lagi ‘hoki’ si ayam akan berbaik hati memberi ‘oleh-oleh’ yang
aromanya sulit hilang walau dibasuh dengan sabun motor sekalipun. Agaknya, ayam
ini bermaksud meninggalkan kenangan yang memorable,
berkesan dan juga tahan lama sampai-sampai bekasnya sulit dihilangkan. Benar-benar
dramatis!
Jujur saja,
saya bukan pecinta binatang. Sekalipun orangtua saya memiliki ternak ayam di
kampung, saya tidak pernah menyukai ayam sepenuhnya—kecuali untuk konsumsi. Kalaupun
harus memelihara binatang, saya lebih memilih memelihara kucing daripada ayam. Menurut
saya, kucing lebih memiliki nilai estetika dan ke-imut-an tersendiri untuk dijadikan
peliharaan. Beda halnya dengan ayam yang tidak ada lucu-lucunya sama sekali. Bagi
saya, ayam tidak lebih dari bayangan daging goreng dan sate dengan baluran saus
kacang.
Bagian
tersulit saat memelihara ayam adalah mengurus residu pencernaannya. Aroma tengik
khas kotoran ayam adalah ‘polutan tak termaafkan’ bagi hidung manusia. Begitu tengiknya
kotoran ayam sampai-sampai para pengendara motor akan melesat kabur jika di depannya
ada mobil pick up yang membawa
sekawanan ayam. Menghilangkan residu pencernaan ayam juga tidak selalu mudah.
Secara kasat mata, kotorannya sudah hilang, tapi tengiknya masih ada. Boleh
jadi ungkapan “hangat-hangat tahi ayam”
akan lebih pas jika diganti menjadi “tengik-tengik
tahi ayam!”
Di kampung
kakek saya, hampir setiap kepala keluarga memelihara ayam. Dalam area 300x300
meter, jumlahnya bisa mencapai puluhan ekor. Lahan di kampung masih cukup luas
sehingga membebaskan ayam peliharaan di sana adalah hal yang lumrah—selama si
ayam tidak masuk ke dalam rumah dan buang kotoran di beranda. Tak heran jika kemudian
muncul ‘ranjau kotoran’ di ruas-ruas jalan kampung kakek saya. Jika ada
tetangga yang kebetulan apes terkena ‘ranjau’, mereka tidak pernah marah-marah
pada pemilik ayam. Kesal sih iya, tapi menyelidiki anus ayam siapa yang baru
saja mengotorinya adalah hal yang mustahil.
Beda halnya
dengan rumah saya di kota. Jarak antarrumah begitu dekat, sementara lahan kosong
yang tersedia tidak luas. Membebaskan ayam peliharaan di kota adalah petaka
bagi tetangga-tetangga di sekitarnya. Kawanan ayam akan cenderung mendatangi
tempat yang sekiranya banyak makanan, terbuka, dan memiliki ‘fasilitas’ untuk nangkring. Sialnya, rumah saya memenuhi semua
persyaratan untuk menjadi ‘tempat nongkrong’ para ayam. Tak heran jika kawanan ayam rajin mendatangi halaman rumah saya untuk kemudian berbagi ‘oleh-oleh’
di jok motor saya.
Jika saya tipe
orang yang hobi berkonfrontasi, tetangga sebelah rumah sudah pasti saya sembur (karena memang hanya dia yang memelihara ayam di sepanjang gang itu). Saya akan
berterus terang memintanya untuk mengandangkan ayam-ayamnya. Saya ultimatum
jika ada seciprit kotoran ayam di jok motor saya lagi, saya berhak mengeksekusi
sendiri ayam-ayamnya.
Tapi konfrontasi
bukan gaya saya. Dalam kehidupan bertetangga kita tidak bisa serta merta
mengabaikan hak-hak tetangga. Dalam batas-batas tertentu kita harus memberikan
toleransi pada tetangga. Kita tidak seharusnya melarang tetangga jika mereka ingin
numpang menjemur kayu bakarnya. Kita juga tidak sepatutnya memaki-maki tetangga
yang menumpang mandi karena kamar mandi di rumahnya sedang direnovasi. Toleransi
dalam kehidupan bertetangga semacam ini sangat penting agar tercipta
keharmonisan dalam masyarakat.
Dalam kehidupan
sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari tetangga. Setiap bepergian, kita akan melewati
rumah-rumah tetangga—berpapasan satu sama lain. Betapa pun egoisnya kita, tidak
sepatutnya kita mengabaikan tetangga tanpa membina kontak dan komunikasi
dengannya. Dalam kamus hidup saya, hal itu TIDAK
SENORMALNYA MANUSIA.
Sampai batas
tertentu, kita memang mampu mengurusi semuanya sendiri tanpa bantuan tetangga.
Tapi sekuat-kuatnya kita, akan ada saat di mana hanya tetangga kita yang bisa
menolong. Apa jadinya jika seumur hidup kita menjadi orang yang egois, acuh, merasa
dirinya paling hebat, seakan-akan tidak membutuhkan tetangga? Saya malah khawatir
tidak akan ada tetangga yang datang melayat dan membantu prosesi pemakaman kita—alih-alih
mendapati mayat kita membusuk di rumah akibat ketertutupan kita sendiri.
Selama kita
hidup bertetangga, akan selalu ada hak-hak tetangga yang harus kita penuhi. Tidak
mungkin kita akan diam saja jika rumah tetangga terbakar. Tidak mungkin kita
akan mengabaikan tetangga yang tengah sekarat karena kelaparan. Pun ketika tetangga
kita meninggal. Kita tidak bisa menolak untuk melayat dan membantu pemakaman
jenazahnya.
Yang jadi
masalah adalah ketika kita bertetangga dengan orang yang tidak tahu diri dan
bertingkah seenaknya sendiri. Keseharian kita tidak akan jauh berbeda dengan Squidward yang setiap hari dibuat kesal gara-gara
ulah abnormal tetangganya—Spongebob
dan Patrick. Tetangga semacam ini
biasanya akan menyalahgunakan kelonggaran yang kita beri. Misalnya kita
mengizinkan tetangga untuk memarkir motornya di halaman rumah kita saat dia
mengadakan hajatan. Setelah hajatan berakhir, seharusnya tetangga kita kembali memarkirkan
motor di rumahnya. Alih-alih kembali memarkirkan motor di rumahnya sendiri, setiap
kali ada tamu yang datang, dia menyilahkan tamunya untuk parkir di halaman
rumah kita. Bukankah itu mengesalkan?
Dalam kasus
ayam tetangga, saya tidak bisa menimpakan kesalahan pada tetangga saya sepenuhnya.
Saya memang tahu betul bahwa anus ayam miliknyalah yang sering mengotori jok
motor saya. Tapi di sisi lain saya mafhum bila lahan di kota tidak luas. Tetangga
saya juga tidak punya cukup ruang untuk membangun kandang ayam sendiri di
rumahnya. Karena itu, selama saya masih punya lahan, saya tidak akan membatasi
hak-hak tetangga untuk memanfaatkan lahan rumah saya. So, silahkan saja menumpang menjemur baju, memarkir motor, atau bermain
bersama cucu di halaman rumah saya—selama itu semua masih berada dalam konteks
kewajaran dan tidak melanggar batas-batas etika.
Saya akui
saya memang kesal dengan kotoran ayamnya. Saya kesal karena harus membersihkan
jok motor di saat saya tengah terburu-buru. Tapi tidak sepatutnya saya menaruh kekesalan
yang sama pada si pemilik ayam. Bagaimanapun juga saya harus belajar menjadi ‘tetangga
yang baik.’
0 comments:
Post a Comment