. . .
Klinik itu tak seberapa luas. Bangunannya hanya satu
atap. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu dan hanya bagian depannya saja yang
berlapis semen. Klinik itu tampak lenggang. Sejak tadi sore, tak ada seorang
pasien pun yang datang. Mungkin karena mendung, orang-orang malas keluar rumah.
Cericit burung prenjak terdengar bersahut-sahutan
di kerimbunan pohon waru. Menjadi selingan dalam kelenggangan klinik itu.
Gemuruh halilintar memecah suasana. Seorang pemuda
tergopoh-gopoh memasuki halaman klinik yang ditumbuhi rumput kering.
Resepsionis klinik memicingkan mata melihat pemuda itu,
“Permisi. Mbah Brojolnya ada?”
“Ya, ada. Beliau sedang tidak ada pasien sekarang.
Mas-nya ada keperluan apa? Mau periksa?”
Pemuda itu mengangguk.
“Silahkan masuk saja, Mas. Beliau ada di ruangannya, di
ujung lorong, pintu cat merah.”
“Terima kasih.”
Pemuda itu beringsut pergi meninggalkan meja resepsionis.
Langkah kakinya gontai menuju ruangan berpintu merah tempat Mbah Brojol berada.
Pemuda itu sedikit kikuk memasuki ruangan Mbah Brojol.
Dilihatnya seorang wanita tua sedang duduk menghadap meja kerjanya. Umurnya
mungkin sekitar enam puluhan tahun. Rambutnya sudah memutih, meski berusaha
ditutupi pewarna rambut.
“Ada apa, Cah Bagus,
kok buru-buru?” Mbah Brojol menyapa pemuda itu ramah. Dari sorot matanya, seakan-akan
dia sudah tahu maksud kedatangan pemuda itu.
“Saya…saya mau aborsi, Mbah. Saya mau gugurin kandungan
saya.”
“Yang mau aborsi itu siapa? Pacarmu? Istrimu? Atau
simpananmu?”
“Bukan, Mbah. Saya sendiri yang mau aborsi.”
“Eh…maksudnya?” Mbah Brojol membenahi letak duduknya.
“Saya sendiri, Mbah, yang mau aborsi.” Kata pemuda itu
lirih.
“Maaf, Le. Klinik
ini tidak menampung pasien gangguan jiwa. Silahkan coba klinik sebelah”
“Saya waras, Mbah.”
“Walah! Kamu itu laki-laki, masak ya minta aborsi.
Ada-ada saja.”
“Sungguh, Mbah. Belakangan saya sering mual sampai
muntah. Perut saya rasanya kebas. Saya coba belikan test pack dan ternyata hasilnya positif. Tolonglah, Mbah. Ini sudah
tak tertahankan lagi.”
Pemuda itu mengeluarkan test pack bertanda positif dari sakunya. Perut pemuda itu memang tampak
membesar secara tak wajar. Mbah Brojol terperanjat melihatnya. Entah bagaimana
caranya, pemuda di depannya benar-benar hamil. Ia pun berusaha untuk tetap tenang.
Segelas Martini di meja kerjanya diteguknya sampai habis.
“Tolonglah, Mbah. Mengertilah kondisi saya. Saya malu
sama keluarga saya. Saya malu sama emak saya.
Saya malu, Mbah. Saya masih ingin punya masa depan.” Cowok itu memelas.
“Ya…ya…akan saya bantu semampunya. Kalau boleh tahu, kok bisa
sampai meteng itu bagaimana? ”
“Ini gara-gara pacar saya, Mbah. Dia khilaf semalam. Kami
pacaran kebablasan. Tapi, saya juga ndak tahu,
tiba-tiba setelah bangun bukannya dia yang hamil tapi malah saya yang hamil.”
Mbah Brojol menghela napas panjang. Gurat wajahnya
menyiratkan kebingungan yang teramat sangat. Baru kali ini ia menangani pasien
laki-laki yang minta aborsi. Dan anehnya laki-laki itu juga tidak tahu kenapa
dia bisa hamil.
“Kamu itu laki-laki, orok-nya
nanti mau dikeluarin dari mana? Kan nggak ada jalan keluar.” Mbah Brojol
menanyai pemuda di depannya.
“Aduh…Mbah. Tempuh segala caralah. Pakai obat kek, pakai minyak urut kek. Kalau perlu nanas, saya bisa ambil
dari kebun Bapak saya, Mbah. Butuh berapa banyak? Kebetulan Bapak saya juragan
nanas.”
“Baik, Nanti coba saya urut saja.”
Pemuda itu memasuki sebuah bilik bertirai di ruangan Mbah
Brojol. Dia diminta tidur telentang. Sementara Mbah Brojol menumbuk-numbuk
sesuatu di belakang, menyiapkan obat untuk pemijatan.
Tak lama kemudian, Mbah Brojol datang bersama seorang
pelayannya. Minyak urut, obat, dan segelas air putih diletakkan di sudut
ruangan oleh si pelayan. Mbah Brojol pun mulai memijat. Perut pemuda itu
diurut-urut.
“Aduh…Mbah…sakit…”
pemuda itu merintih kesakitan.
“Ditahan, Le. Sebentar
lagi juga keluar.” Mbah Brojol masih terus memijat dan mengurut perut pemuda
itu.
“Arrgh….! Perut saya panas, Mbah.”
Selang beberapa saat, tubuh pemuda itu bergetar. Darah
segar mengalir dari kedua pahanya. Pemuda itu mengerang kesakitan. Suaranya
memekik memenuhi seisi ruangan. Mbah Brojol dan Si Pelayan kewalahan memegangi
tubuh pemuda itu. Keduanya tampak panik.
Pemuda itu pun tak sadarkan diri.
. . .
Begitu terbangun, pemuda itu mendapati dirinya di rumah
sakit. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengembalikan kesadaran.
Dilihatnya ruangan itu penuh sesak dengan orang-orang berpakaian serba putih. Mereka
berjalan mondar-mandir penuh kepanikan. Dari kejauhan, tampak seorang lelaki
paruh baya mendatanginya.
Plak!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi pemuda itu.
“Saya tidak pernah menyangka kamu setega itu pada Rina.”
“Maksud, Bapak?”
“Kamu ini buta apa!? Rina sedang sekarat sekarang! Dia
kehabisan banyak darah saat tiba di sini. Semua ini gara-gara kamu! Kamu nekat
menyuruhnya aborsi! Kamu pikir kamu siapa! Bangsat! Kamu yang harus bertanggung
jawab sekarang!”
Deg!
Jantung pemuda itu serasa berhenti. Ruangan rumah sakit tampak
berputar-putar. Keping-keping ingatannya mulai kembali, dari pergumulannya
dengan Rina, isak tangis Rina saat dia hamil, hingga jeritan Rina di klinik
itu. Semuanya berkelindan menjadi serangkaian film hitam putih yang tidak
terhapus—menetap dalam dimensi perjalanan waktunya.
Tapi…semua ini sudah sangat terlambat. Ya, terlalu terlambat
untuk menyesal. Pemuda itu berharap dirinya tidak pernah dilahirkan saja. Dalam
kegamangannya, pemuda itu melihat siluet bayangan Mbah Brojol menari-nari di
depannya—terkekeh-kekeh menertawakannya dengan bibir melengkung mewujud seringai
iblis.
* * *
3 comments:
Set saya kira itu beneran cowok hamil
Wkwkwkwk
Ternyata mimpi
Kok nyesel sih? Kan udah berbuat enak duluan
Ahhdasar
sama kayak orang mabuk oplosan mungkin, katanya sih enak, tapi pasti nyesel belakangan, di saat semua sudah terlambat #kejang2
lha kirain si cowo itu beneran hamil.
wah gak bener itu dua sepasang kek gitu, harus tanggungjawab.
terlambat sudah, nyesel dah.
Post a Comment