Subscribe:

Labels

Thursday 25 February 2016

Klinik Mbah Brojol


.   .   .

Klinik itu tak seberapa luas. Bangunannya hanya satu atap. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu dan hanya bagian depannya saja yang berlapis semen. Klinik itu tampak lenggang. Sejak tadi sore, tak ada seorang pasien pun yang datang. Mungkin karena mendung, orang-orang malas keluar rumah. Cericit burung prenjak terdengar bersahut-sahutan di kerimbunan pohon waru. Menjadi selingan dalam kelenggangan klinik itu.

Gemuruh halilintar memecah suasana. Seorang pemuda tergopoh-gopoh memasuki halaman klinik yang ditumbuhi rumput kering. Resepsionis klinik memicingkan mata melihat pemuda itu,
“Permisi. Mbah Brojolnya ada?”
“Ya, ada. Beliau sedang tidak ada pasien sekarang. Mas-nya ada keperluan apa? Mau periksa?”
Pemuda itu mengangguk.
“Silahkan masuk saja, Mas. Beliau ada di ruangannya, di ujung lorong, pintu cat merah.”
“Terima kasih.”
Pemuda itu beringsut pergi meninggalkan meja resepsionis. Langkah kakinya gontai menuju ruangan berpintu merah tempat Mbah Brojol berada.

Pemuda itu sedikit kikuk memasuki ruangan Mbah Brojol. Dilihatnya seorang wanita tua sedang duduk menghadap meja kerjanya. Umurnya mungkin sekitar enam puluhan tahun. Rambutnya sudah memutih, meski berusaha ditutupi pewarna rambut.

“Ada apa, Cah Bagus, kok buru-buru?” Mbah Brojol menyapa pemuda itu ramah. Dari sorot matanya, seakan-akan dia sudah tahu maksud kedatangan pemuda itu.

“Saya…saya mau aborsi, Mbah. Saya mau gugurin kandungan saya.”

“Yang mau aborsi itu siapa? Pacarmu? Istrimu? Atau simpananmu?”

“Bukan, Mbah. Saya sendiri yang mau aborsi.”

“Eh…maksudnya?” Mbah Brojol membenahi letak duduknya.

“Saya sendiri, Mbah, yang mau aborsi.” Kata pemuda itu lirih.

“Maaf, Le. Klinik ini tidak menampung pasien gangguan jiwa. Silahkan coba klinik sebelah”

“Saya waras, Mbah.”

Walah!  Kamu itu laki-laki, masak ya minta aborsi. Ada-ada saja.”

“Sungguh, Mbah. Belakangan saya sering mual sampai muntah. Perut saya rasanya kebas. Saya coba belikan test pack dan ternyata hasilnya positif. Tolonglah, Mbah. Ini sudah tak tertahankan lagi.”

Pemuda itu mengeluarkan test pack bertanda positif dari sakunya. Perut pemuda itu memang tampak membesar secara tak wajar. Mbah Brojol terperanjat melihatnya. Entah bagaimana caranya, pemuda di depannya benar-benar hamil. Ia pun berusaha untuk tetap tenang. Segelas Martini  di meja kerjanya diteguknya sampai habis.

“Tolonglah, Mbah. Mengertilah kondisi saya. Saya malu sama keluarga saya. Saya malu sama emak saya. Saya malu, Mbah. Saya masih ingin punya masa depan.” Cowok itu memelas.

“Ya…ya…akan saya bantu semampunya. Kalau boleh tahu, kok bisa sampai meteng itu bagaimana?

“Ini gara-gara pacar saya, Mbah. Dia khilaf semalam. Kami pacaran kebablasan. Tapi, saya juga ndak tahu, tiba-tiba setelah bangun bukannya dia yang hamil tapi malah saya yang hamil.”

Mbah Brojol menghela napas panjang. Gurat wajahnya menyiratkan kebingungan yang teramat sangat. Baru kali ini ia menangani pasien laki-laki yang minta aborsi. Dan anehnya laki-laki itu juga tidak tahu kenapa dia bisa hamil.

“Kamu itu laki-laki, orok-nya nanti mau dikeluarin dari mana? Kan nggak ada jalan keluar.” Mbah Brojol menanyai pemuda di depannya.

“Aduh…Mbah. Tempuh segala caralah. Pakai obat kek, pakai minyak urut kek. Kalau perlu nanas, saya bisa ambil dari kebun Bapak saya, Mbah. Butuh berapa banyak? Kebetulan Bapak saya juragan nanas.”

“Baik, Nanti coba saya urut saja.”

Pemuda itu memasuki sebuah bilik bertirai di ruangan Mbah Brojol. Dia diminta tidur telentang. Sementara Mbah Brojol menumbuk-numbuk sesuatu di belakang, menyiapkan obat untuk pemijatan.

Tak lama kemudian, Mbah Brojol datang bersama seorang pelayannya. Minyak urut, obat, dan segelas air putih diletakkan di sudut ruangan oleh si pelayan. Mbah Brojol pun mulai memijat. Perut pemuda itu diurut-urut.

 “Aduh…Mbah…sakit…” pemuda itu merintih kesakitan.

“Ditahan, Le. Sebentar lagi juga keluar.” Mbah Brojol masih terus memijat dan mengurut perut pemuda itu.

“Arrgh….! Perut saya panas, Mbah.”

Selang beberapa saat, tubuh pemuda itu bergetar. Darah segar mengalir dari kedua pahanya. Pemuda itu mengerang kesakitan. Suaranya memekik memenuhi seisi ruangan. Mbah Brojol dan Si Pelayan kewalahan memegangi tubuh pemuda itu.  Keduanya tampak panik. Pemuda itu pun tak sadarkan diri.

.   .   .

Begitu terbangun, pemuda itu mendapati dirinya di rumah sakit. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengembalikan kesadaran. Dilihatnya ruangan itu penuh sesak dengan orang-orang berpakaian serba putih. Mereka berjalan mondar-mandir penuh kepanikan. Dari kejauhan, tampak seorang lelaki paruh baya mendatanginya.

Plak!!! 

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi pemuda itu.

“Saya tidak pernah menyangka kamu setega itu pada Rina.”

“Maksud, Bapak?”

“Kamu ini buta apa!? Rina sedang sekarat sekarang! Dia kehabisan banyak darah saat tiba di sini. Semua ini gara-gara kamu! Kamu nekat menyuruhnya aborsi! Kamu pikir kamu siapa! Bangsat! Kamu yang harus bertanggung jawab sekarang!”

Deg!

Jantung pemuda itu serasa berhenti. Ruangan rumah sakit tampak berputar-putar. Keping-keping ingatannya mulai kembali, dari pergumulannya dengan Rina, isak tangis Rina saat dia hamil, hingga jeritan Rina di klinik itu. Semuanya berkelindan menjadi serangkaian film hitam putih yang tidak terhapus—menetap dalam dimensi perjalanan waktunya.

Tapi…semua ini sudah sangat terlambat. Ya, terlalu terlambat untuk menyesal. Pemuda itu berharap dirinya tidak pernah dilahirkan saja. Dalam kegamangannya, pemuda itu melihat siluet bayangan Mbah Brojol menari-nari di depannya—terkekeh-kekeh menertawakannya dengan bibir melengkung mewujud seringai iblis.


*   *   *

3 comments:

Niki s said...

Set saya kira itu beneran cowok hamil
Wkwkwkwk
Ternyata mimpi
Kok nyesel sih? Kan udah berbuat enak duluan
Ahhdasar

Hatake Niwa said...

sama kayak orang mabuk oplosan mungkin, katanya sih enak, tapi pasti nyesel belakangan, di saat semua sudah terlambat #kejang2

adi laksono a said...

lha kirain si cowo itu beneran hamil.
wah gak bener itu dua sepasang kek gitu, harus tanggungjawab.
terlambat sudah, nyesel dah.

Post a Comment