Subscribe:

Labels

Thursday 31 December 2015

Lebih Baik "Merasa Bodoh"


Seringkali orang-orang pintar lupa bahwa dulunya mereka adalah orang-orang bodoh.
Hatake Niwa

“A-K-U.” Itulah kata pertama yang berhasil saya tulis. Saya ingat betul ketika saya menggoreskan kapur di kusen pintu rumah saya dan menuliskan kata “AKU”. Awalnya saya tidak berniat membuat kata apapun karena saat itu saya baru belajar mengeja. Saya hanya asal menjejerkan huruf A, K, dan U. Ibu saya pun memberi pujian karena saya sudah bisa menulis. Untuk beberapa saat saya malah tidak sadar dengan apa yang saya lakukan.

Saya mencoba mengingat kembali masa-masa awal saya sekolah dari TK sampai kelas 2 SD. Dalam rentang waktu itu, saya tidak merasa belajar sebagai sebuah beban. Saya hanya didorong oleh rasa ingin tahu sehingga manggut-manggut saja disuruh belajar. Saya juga belum mengalami kesulitan belajar yang membuat saya takut pergi ke sekolah. Pelajaran di sekolah bagi saya tak ubahnya permainan. Tak ada beban, tak ada paksaan, hanya ada perasaan gembira bisa berkumpul dengan teman-teman di sekolah.

Menginjak kelas 3 SD, saya mulai menyadari ada beberapa materi pelajaran yang sulit dipahami, salah satunya materi pecahan. Meski sudah berulang kali diberi penjelasan, saya tak kunjung mengerti. Alih-alih guru saya malah sewot karena saya terlalu banyak bertanya. Saya pun menyerah, beringsut mundur kembali ke tempat duduk dan mulai mengerjakan soal sebisanya. Saat itu saya benar-benar “merasa bodoh.”

“Merasa bodoh” tidak sama artinya dengan mengatakan “Saya bodoh.” Merasa bodoh hanyalah sebuah persepsi kita pada diri sendiri yang belum tentu menunjukkan fakta yang ada. Sementara ungkapan “saya bodoh” lebih menjurus pada ungkapan kekesalan pada diri sendiri atau bisa juga menjadi labelisasi—sebuah perendahan diri akibat ketidakberdayaan menghadapi suatu masalah. Biasanya orang akan menyebut dirinya bodoh ketika muncul persepsi bahwa dia merasa dirinya bodoh (tidak bisa melakukan sesuatu).

Ketika saya tidak kunjung paham materi pecahan, saya “merasa bodoh.” Tapi saya tidak sampai menyebut diri saya bodoh. Saya pun mencoba berbagai upaya agar tidak terus-menerus “merasa bodoh” dalam pecahan. Beruntung saya memiliki ibu yang juga seorang guru SD sehingga dengan bantuannya saya bisa mengejar setiap ketertinggalan materi pelajaran di sekolah.

Beda halnya jika saya buru-buru mengatakan “saya bodoh.” Ungkapan semacam itu adalah labelisasi yang jika dilakukan terus-menerus akan menjadi sebuah afirmasi negatif yang membuat alam bawah sadar berpikir “saya memang bodoh beneran.” Jika saat itu saya mengatakan diri saya bodoh, maka saya akan berhenti mengurusi tetek bengek tentang pecahan. Saya enggan mengerjakan soal yang ada pecahannya. Sangat mungkin ketika saya menemui kesulitan lagi saat belajar matematika, saya menjadi malas berpikir bahkan membenci pelajaran matematika.

Untungnya, skenario mengerikan iitu tidak terjadi. Saya sangat beruntung memiliki guru-guru kelas yang hebat yang bisa membuat para muridnya menguasai sebagin besar materi pelajaran. Saya juga beruntung memiliki orangtua dengan profesi guru. Semua itu memungkinkan saya untuk selalu BELAJAR setiap kali saya “merasa bodoh.” Pada akhirnya, persepsi saya yang “merasa bodoh” tidak sampai menjelma menjadi labelisasi “saya bodoh.”

Dalam dosis tertentu, “merasa bodoh” adalah faktor internal yang akan mendorong kita untuk mau belajar. Dengan “merasa bodoh” kita menyadari bahwa kita harus mempelajari sesuatu untuk melenyapkan kebodohan yang kita rasakan. Sama halnya ketika saya tidak kunjung paham dengan materi pecahan, saya justru terdorong untuk belajar tentang materi tersebut. Saya pun berhasil melenyapkan kebodohan saya dalam materi pecahan.

Hal serupa tidak akan terjadi pada orang yang “merasa pintar.” Orang yang sudah merasa pintar tidak butuh belajar. Mereka sudah melabeli diri mereka sebagai orang pintar yang berderajat tinggi. Orang semacam ini cenderung meremehkan orang lain yang sekiranya lebih bodoh.

Ada dua kemungkinan bagi orang yang merasa pintar. Yang pertama orang itu memang benar-benar pintar, yang kedua orang itu hanya berlagak sok pintar dengan kedangkalan ilmunya. Orang yang merasa pintar akan berbicara panjang lebar memamerkan pengetahuan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Jika orang ini benar-benar pintar, beberapa kali ia berhasil membuat orang berdecak kagum meski sebagian lain menganggapnya angkuh.

Sebaliknya jika orang ini tidak benar-benar pintar, maka ocehannya tidak lebih dari omong kosong yang membuat dahi berkerut dan membuat tertawa orang-orang yang benar-benar pintar. Siapapun yang lebih percaya kulit daripada isi akan cenderung mempercayai ‘orang sok pintar’ semacam ini (entah kenapa penampilan orang yang sok pintar cenderung lebih meyakinkan daripada orang yang pintar beneran).

Orang yang merasa pintar ibarat teko yang telah penuh terisi air—percuma memasukkan cairan apapun ke dalamnya karena hanya akan membuat isinya tumpah. Kritik dan saran dari orang lain tidak akan mengubah idealisme dan pendiriannya. Pribadinya menjadi keras kepala dan otoriter. Tidak mudah menghadapi orang yang sudah merasa pintar, setidaknya sampai dia termakan sendiri oleh ucapannya yang ternyata keliru.

Karena itu, jika kita ingin belajar kita harus “mengosongkan teko” kita dahulu. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa diri kita tidak sempurna. Pemikiran setiap kepala belum tentu sama. Dengan begitu, kita bisa berpikir terbuka untuk memahami dan menerima ide-ide orang lain.

Harus diakui ada kecenderungan dalam diri kita untuk sombong ketika ilmu yang dimiliki sudah mumpuni. Jika itu terjadi, ada baiknya kita membiasakan diri untuk “merasa bodoh” (bukan berarti menyebut diri kita bodoh dalam artian sebenarnya). Saat bertemu orang lain, tanyakan pada diri kita sendiri “Apa yang bisa aku pelajari darinya.” Dengan sikap semacam itu, akan lebih mudah bagi kita untuk bersikap rendah hati setinggi apapun ilmu yang sudah kita miliki.

Ya, Anda benar, Tuan. Saya memang bodoh. Tapi karena saya merasa bodoh, saya ingin belajar banyak hal dari Tuan. Karena saya bukan tipe orang yang suka berlama-lama dalam penjara kebodohan…

0 comments:

Post a Comment