“Seringkali
orang-orang pintar lupa bahwa dulunya mereka adalah orang-orang bodoh.”
—Hatake
Niwa
“A-K-U.” Itulah
kata pertama yang berhasil saya tulis. Saya ingat betul ketika saya menggoreskan
kapur di kusen pintu rumah saya dan menuliskan kata “AKU”. Awalnya saya tidak berniat
membuat kata apapun karena saat itu saya baru belajar mengeja. Saya hanya asal
menjejerkan huruf A, K, dan U. Ibu saya pun memberi pujian karena saya sudah
bisa menulis. Untuk beberapa saat saya malah tidak sadar dengan apa yang saya
lakukan.
Saya mencoba mengingat
kembali masa-masa awal saya sekolah dari TK sampai kelas 2 SD. Dalam rentang
waktu itu, saya tidak merasa belajar sebagai sebuah beban. Saya hanya didorong
oleh rasa ingin tahu sehingga manggut-manggut saja disuruh belajar. Saya juga belum
mengalami kesulitan belajar yang membuat saya takut pergi ke sekolah. Pelajaran
di sekolah bagi saya tak ubahnya permainan. Tak ada beban, tak ada paksaan,
hanya ada perasaan gembira bisa berkumpul dengan teman-teman di sekolah.
Menginjak
kelas 3 SD, saya mulai menyadari ada beberapa materi pelajaran yang sulit dipahami,
salah satunya materi pecahan. Meski sudah berulang kali diberi penjelasan, saya
tak kunjung mengerti. Alih-alih guru saya malah sewot karena saya terlalu
banyak bertanya. Saya pun menyerah, beringsut mundur kembali ke tempat duduk
dan mulai mengerjakan soal sebisanya. Saat itu saya benar-benar “merasa bodoh.”
“Merasa bodoh”
tidak sama artinya dengan mengatakan “Saya bodoh.” Merasa bodoh hanyalah sebuah
persepsi kita pada diri sendiri yang belum tentu menunjukkan fakta yang ada. Sementara
ungkapan “saya bodoh” lebih menjurus pada ungkapan kekesalan pada diri sendiri
atau bisa juga menjadi labelisasi—sebuah perendahan diri akibat
ketidakberdayaan menghadapi suatu masalah. Biasanya orang akan menyebut dirinya
bodoh ketika muncul persepsi bahwa dia merasa dirinya bodoh (tidak bisa
melakukan sesuatu).
Ketika saya
tidak kunjung paham materi pecahan, saya “merasa bodoh.” Tapi saya tidak sampai
menyebut diri saya bodoh. Saya pun mencoba berbagai upaya agar tidak terus-menerus
“merasa bodoh” dalam pecahan. Beruntung saya memiliki ibu yang juga seorang
guru SD sehingga dengan bantuannya saya bisa mengejar setiap ketertinggalan
materi pelajaran di sekolah.
Beda halnya jika
saya buru-buru mengatakan “saya bodoh.” Ungkapan semacam itu adalah labelisasi
yang jika dilakukan terus-menerus akan menjadi sebuah afirmasi negatif yang
membuat alam bawah sadar berpikir “saya
memang bodoh beneran.” Jika saat itu saya mengatakan diri saya bodoh, maka
saya akan berhenti mengurusi tetek bengek tentang pecahan. Saya enggan mengerjakan
soal yang ada pecahannya. Sangat mungkin ketika saya menemui kesulitan lagi
saat belajar matematika, saya menjadi malas berpikir bahkan membenci pelajaran matematika.
Untungnya,
skenario mengerikan iitu tidak terjadi. Saya sangat beruntung memiliki
guru-guru kelas yang hebat yang bisa membuat para muridnya menguasai sebagin
besar materi pelajaran. Saya juga beruntung memiliki orangtua dengan profesi
guru. Semua itu memungkinkan saya untuk selalu BELAJAR setiap kali saya “merasa
bodoh.” Pada akhirnya, persepsi saya yang “merasa bodoh” tidak sampai menjelma
menjadi labelisasi “saya bodoh.”
Dalam dosis
tertentu, “merasa bodoh” adalah faktor internal yang akan mendorong kita untuk
mau belajar. Dengan “merasa bodoh” kita menyadari bahwa kita harus mempelajari
sesuatu untuk melenyapkan kebodohan yang kita rasakan. Sama halnya ketika saya tidak
kunjung paham dengan materi pecahan, saya justru terdorong untuk belajar
tentang materi tersebut. Saya pun berhasil melenyapkan kebodohan saya dalam
materi pecahan.
Hal serupa
tidak akan terjadi pada orang yang “merasa pintar.” Orang yang sudah merasa
pintar tidak butuh belajar. Mereka sudah melabeli diri mereka sebagai orang
pintar yang berderajat tinggi. Orang semacam ini cenderung meremehkan orang
lain yang sekiranya lebih bodoh.
Ada dua kemungkinan
bagi orang yang merasa pintar. Yang pertama orang itu memang benar-benar
pintar, yang kedua orang itu hanya berlagak sok pintar dengan kedangkalan ilmunya.
Orang yang merasa pintar akan berbicara panjang lebar memamerkan pengetahuan
dan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Jika orang ini benar-benar pintar, beberapa kali
ia berhasil membuat orang berdecak kagum meski sebagian lain menganggapnya angkuh.
Sebaliknya jika
orang ini tidak benar-benar pintar, maka ocehannya tidak lebih dari omong
kosong yang membuat dahi berkerut dan membuat tertawa orang-orang yang benar-benar
pintar. Siapapun yang lebih percaya kulit daripada isi akan cenderung mempercayai
‘orang sok pintar’ semacam ini (entah kenapa penampilan orang yang sok pintar
cenderung lebih meyakinkan daripada orang yang pintar beneran).
Orang yang
merasa pintar ibarat teko yang telah penuh terisi air—percuma memasukkan cairan
apapun ke dalamnya karena hanya akan membuat isinya tumpah. Kritik dan saran
dari orang lain tidak akan mengubah idealisme dan pendiriannya. Pribadinya menjadi
keras kepala dan otoriter. Tidak mudah menghadapi orang yang sudah merasa
pintar, setidaknya sampai dia termakan sendiri oleh ucapannya yang ternyata
keliru.
Karena itu, jika
kita ingin belajar kita harus “mengosongkan teko” kita dahulu. Kita harus menyadari
sepenuhnya bahwa diri kita tidak sempurna. Pemikiran setiap kepala belum tentu
sama. Dengan begitu, kita bisa berpikir terbuka untuk memahami dan menerima ide-ide
orang lain.
Harus diakui
ada kecenderungan dalam diri kita untuk sombong ketika ilmu yang dimiliki sudah
mumpuni. Jika itu terjadi, ada baiknya kita membiasakan diri untuk “merasa
bodoh” (bukan berarti menyebut diri kita bodoh dalam artian sebenarnya). Saat bertemu
orang lain, tanyakan pada diri kita sendiri “Apa yang bisa aku pelajari darinya.” Dengan sikap semacam itu, akan
lebih mudah bagi kita untuk bersikap rendah hati setinggi apapun ilmu yang
sudah kita miliki.
0 comments:
Post a Comment