“Orang
pintar yang benar-benar “pintar” justru selalu merasa dirinya masih bodoh,
sementara
orang bodoh yang benar-benar “bodoh” justru merasa dirinya sudah pintar,
tak peduli betapa banyak
keburukan yang telah dilakukannya.”
—Hatake Niwa
Sebut saja murid
ini Kendo (huruf “E” dibaca seperti huruf “E” dalam kata “emas”). Kendo bukanlah
tipe murid yang mudah memahami pelajaran. Perbaikan ulangan sudah biasa
buatnya. Suatu ketika Kendo terpilih mewakili sekolahnya dalam lomba
bulutangkis antarpelajar SMA. Kendo memang aktif menggeluti ekstra bulutangkis.
Sementara di rumah dia rutin berlatih bersama ayahnya yang seorang guru
olahraga. Kendo memang ‘terbelakang’ dalam urusan nilai akademis. Tapi soal
bulutangkis, tidak ada satu pun murid yang lebih baik daripada Kendo di
sekolahnya.
Sebagian guru
sempat meragukan Kendo yang terkenal suka bikin onar di kelas dan penghuni
tetap ranking paling buncit. Mereka beranggapan paling-paling Kendo hanya akan
sampai babak pertama. Dengan segala talenta yang dimilikinya, Kendo membungkam semua
keraguan gurunya. Kendo terus melaju hingga akhirnya berhasil menggondol juara
tingkat provinsi. Kisah yang utopis memang, mengingat ranking Kendo di kelas
yang selalu paling buncit. Poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah jika
kita berposisi sebagai guru Kendo, akankah kita tega melabeli Kendo sebagai
murid bodoh?
Saya pernah merasakan
betapa sulitnya mengajar murid dengan daya tangkap rendah. Saat itu saya
mengampu les matematika. Ada seorang murid yang mengalami ketertinggalan materi
dengan temannya. Hal ini sempat menghambat jalannya proses pembelajaran karena
di sisi lain saya tidak bisa meninggalkan murid itu begitu saja. Saya pikir murid
ini memang lemah dalam matematika dan butuh diberi les secara privat.
Pada hari
lain saya mengajar Bahasa Indonesia. Sebagai permulaan saya sengaja memberi
tugas “menulis cerita berdasarkan gambar” untuk mengetahui kemampuan menulis para
murid. Murid yang tempo hari saya vonis lemah dalam matematika ternyata mampu menulis
lebih baik dibanding kebanyakan murid di kelas itu. Bahkan jauh lebih baik. Well, murid itu memang tidak terlalu berhasil dalam matematika, tapi boleh
jadi kecerdasan linguistiknya tidak tertandingi di kelasnya.
Dewasa ini, saya
semakin meyakini bahwa tidak ada orang yang benar-benar bodoh di dunia ini.
Selama fisik kita normal, tidak idiot, tidak mengalami keterbelakangan mental, kita
tidak berhak menganggap siapapun sebagai “orang bodoh” termasuk diri kita
sendiri. Frasa “orang bodoh” justru terdengar seperti sebuah penghinaan tak
termaafkan. Faktanya, pintar dan bodoh seringkali menjadi sangat subjektif tergantung
perspektif mana yang dipakai dan siapa yang menilai.
Boleh jadi Lionel
Messi tidak terlalu ahli dalam hal balap kuda, tapi kita tidak mungkin melabelinya
“bodoh” karena faktanya dia adalah jenius sepakbola dengan raihan tiga Ballon D’Or selama tiga tahun berturut-turut.
Kita bisa saja meragukan kemampuan Lin Dan dalam hal bermain basket. Tapi kita tidak
bisa menganggapnya “bodoh” hanya karena dia tidak bisa bermain basket. Faktanya
dia termasuk salah satu pebulutangkis terhebat abad ini.
Dari sini
kita bisa melihat bahwa setiap manusia memiliki spesialisasi, keahlian tertentu
yang belum tentu dimiliki semua orang. Setiap manusia dikaruniai potensi yang
berbeda-beda. Belajar hanyalah sarana untuk mengembangkan potensi itu untuk
kemudian ditransformasikan menjadi keahlian yang digunakan untuk kemaslahatan
orang banyak. Saya jadi heran, untuk apa bertahun-tahun sekolah mempelajari
seabrek bahan pelajaran jika itu semua tidak mendukung keahlian ingin kita
geluti di masa depan?
Dalam proses
belajar, “bodoh” dan “pintar” adalah dikotomi yang sangat naif dan kekanak-kanakan—sama
halnya dengan dikotomi “ganteng/cantik”dan “jelek.” Guru yang bijak pasti paham bahwa potensi dan konstruksi
pengetahuan para murid tidak sama. Tapi entah kenapa masih ada sebagian guru
yang melabeli muridnya “bodoh” hanya karena nilai akademis yang buruk. Padahal
boleh jadi murid yang dikiranya “bodoh” tadi malah jauh lebih ahli mengoperasikan
komputer daripada si guru. Bukankah itu fakta yang menggelikan.
Karena itu,
sejatinya yang membedakan prestasi setiap orang adalah kemauannya untuk belajar. Kemauan untuk belajar harus kita jaga
karena itulah satu-satunya bahan bakar kita agar tetap merasa haus ilmu
pengetahuan. Orang yang dalam hidupnya sudah “merasa pintar,” sudah merasa
cukup ilmunya, mereka akan berhenti belajar—sebuah kesalahan yang sangat fatal!
Kehidupan di
dunia ini berjalan sangat dinamis. Segala sesuatunya berubah sangat cepat. Saat
saya SMA, telepon genggam masih mendominasi pasaran. Selang 4-5 tahun kemudian
telepon genggam telah bertransformasi menjadi telepon pintar yang saat ini
menjamur. Selama saya sekolah, hanya satu dua guru yang membawa laptop. Kini karena
tuntutan pekerjaan, setiap guru harus belajar mengoperasikan laptopnya sendiri.
Alam memaksa
kita untuk selalu belajar agar bisa survive
menghadapi perubahan zaman, sebagaimana ungkapan “Belajarlah dari buaian sampai liang lahat.” Artinya, selama kita
hidup di dunia, kita harus selalu belajar! Tak tertolak! Awalnya, manusia bepergian
dengan berjalan kaki, kemudian memakai hewan sebagai kendaraan, hingga beralih
menciptakan mesin sederhana yang digabungkan dengan roda. Mobilitas manusia
semakin cepat hingga akhirnya mampu menciptakan sesuatu yang bisa membawanya
terbang mengudara.
Segala pencapaian
teknologi manusia saat ini merupakan akumulasi proses belajar yang konsisten di
masa lalu. Semua inovasi dan hasil karya menakjubkan manusia tidak akan
terwujud jika manusia merasa “sudah cukup pintar”. Manusia yang telah sampai
pada tingkatan menyenangi proses belajar
tidak akan pernah berhenti belajar. Manusia ini akan selalu melakukan inovasi dalam
pekerjaannya demi perbaikan derajat hidup di masa depan. Sementara orang yang
berhenti belajar karena sudah “merasa cukup pintar” akan tertinggal tergilas laju
perubahan zaman. Jika sudah begitu, bukankan orang-orang yang berhenti belajar
karena merasa dirinya “sudah cukup pintar” adalah orang bodoh yang sebenarnya…?
1 comments:
Setiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda dan dalam bidang yang berbeda pula..
Setuju.. dalam hidup kita harus terus belajar.. jangan cepet puas dengan hasil yang telah dicapai.. :)
Post a Comment