Subscribe:

Labels

Thursday 31 December 2015

Orang Bodoh yang Sebenarnya


Orang pintar yang benar-benar “pintar” justru selalu merasa dirinya masih bodoh,
 sementara  orang bodoh yang benar-benar “bodoh” justru merasa dirinya sudah pintar,
tak peduli betapa banyak keburukan yang telah dilakukannya.
—Hatake Niwa

Sebut saja murid ini Kendo (huruf “E” dibaca seperti huruf “E” dalam kata “emas”). Kendo bukanlah tipe murid yang mudah memahami pelajaran. Perbaikan ulangan sudah biasa buatnya. Suatu ketika Kendo terpilih mewakili sekolahnya dalam lomba bulutangkis antarpelajar SMA. Kendo memang aktif menggeluti ekstra bulutangkis. Sementara di rumah dia rutin berlatih bersama ayahnya yang seorang guru olahraga. Kendo memang ‘terbelakang’ dalam urusan nilai akademis. Tapi soal bulutangkis, tidak ada satu pun murid yang lebih baik daripada Kendo di sekolahnya.

Sebagian guru sempat meragukan Kendo yang terkenal suka bikin onar di kelas dan penghuni tetap ranking paling buncit. Mereka beranggapan paling-paling Kendo hanya akan sampai babak pertama. Dengan segala talenta yang dimilikinya, Kendo membungkam semua keraguan gurunya. Kendo terus melaju hingga akhirnya berhasil menggondol juara tingkat provinsi. Kisah yang utopis memang, mengingat ranking Kendo di kelas yang selalu paling buncit. Poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah jika kita berposisi sebagai guru Kendo, akankah kita tega melabeli Kendo sebagai murid bodoh?

Saya pernah merasakan betapa sulitnya mengajar murid dengan daya tangkap rendah. Saat itu saya mengampu les matematika. Ada seorang murid yang mengalami ketertinggalan materi dengan temannya. Hal ini sempat menghambat jalannya proses pembelajaran karena di sisi lain saya tidak bisa meninggalkan murid itu begitu saja. Saya pikir murid ini memang lemah dalam matematika dan butuh diberi les secara privat.

Pada hari lain saya mengajar Bahasa Indonesia. Sebagai permulaan saya sengaja memberi tugas “menulis cerita berdasarkan gambar” untuk mengetahui kemampuan menulis para murid. Murid yang tempo hari saya vonis lemah dalam matematika ternyata mampu menulis lebih baik dibanding kebanyakan murid di kelas itu. Bahkan jauh lebih baik. Well, murid itu memang tidak  terlalu berhasil dalam matematika, tapi boleh jadi kecerdasan linguistiknya tidak tertandingi di kelasnya.

Dewasa ini, saya semakin meyakini bahwa tidak ada orang yang benar-benar bodoh di dunia ini. Selama fisik kita normal, tidak idiot, tidak mengalami keterbelakangan mental, kita tidak berhak menganggap siapapun sebagai “orang bodoh” termasuk diri kita sendiri. Frasa “orang bodoh” justru terdengar seperti sebuah penghinaan tak termaafkan. Faktanya, pintar dan bodoh seringkali menjadi sangat subjektif tergantung perspektif mana yang dipakai dan siapa yang menilai.

Boleh jadi Lionel Messi tidak terlalu ahli dalam hal balap kuda, tapi kita tidak mungkin melabelinya “bodoh” karena faktanya dia adalah jenius sepakbola dengan raihan tiga Ballon D’Or selama tiga tahun berturut-turut. Kita bisa saja meragukan kemampuan Lin Dan dalam hal bermain basket. Tapi kita tidak bisa menganggapnya “bodoh” hanya karena dia tidak bisa bermain basket. Faktanya dia termasuk salah satu pebulutangkis terhebat abad ini.

Dari sini kita bisa melihat bahwa setiap manusia memiliki spesialisasi, keahlian tertentu yang belum tentu dimiliki semua orang. Setiap manusia dikaruniai potensi yang berbeda-beda. Belajar hanyalah sarana untuk mengembangkan potensi itu untuk kemudian ditransformasikan menjadi keahlian yang digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Saya jadi heran, untuk apa bertahun-tahun sekolah mempelajari seabrek bahan pelajaran jika itu semua tidak mendukung keahlian ingin kita geluti di masa depan?

Dalam proses belajar, “bodoh” dan “pintar” adalah dikotomi yang sangat naif dan kekanak-kanakan—sama halnya dengan dikotomi “ganteng/cantik”dan “jelek.” Guru yang bijak pasti paham bahwa potensi dan konstruksi pengetahuan para murid tidak sama. Tapi entah kenapa masih ada sebagian guru yang melabeli muridnya “bodoh” hanya karena nilai akademis yang buruk. Padahal boleh jadi murid yang dikiranya “bodoh” tadi malah jauh lebih ahli mengoperasikan komputer daripada si guru. Bukankah itu fakta yang menggelikan.

Karena itu, sejatinya yang membedakan prestasi setiap orang adalah kemauannya untuk belajar. Kemauan untuk belajar harus kita jaga karena itulah satu-satunya bahan bakar kita agar tetap merasa haus ilmu pengetahuan. Orang yang dalam hidupnya sudah “merasa pintar,” sudah merasa cukup ilmunya, mereka akan berhenti belajar—sebuah kesalahan yang sangat fatal!

Kehidupan di dunia ini berjalan sangat dinamis. Segala sesuatunya berubah sangat cepat. Saat saya SMA, telepon genggam masih mendominasi pasaran. Selang 4-5 tahun kemudian telepon genggam telah bertransformasi menjadi telepon pintar yang saat ini menjamur. Selama saya sekolah, hanya satu dua guru yang membawa laptop. Kini karena tuntutan pekerjaan, setiap guru harus belajar mengoperasikan laptopnya sendiri.

Alam memaksa kita untuk selalu belajar agar bisa survive menghadapi perubahan zaman, sebagaimana ungkapan “Belajarlah dari buaian sampai liang lahat.” Artinya, selama kita hidup di dunia, kita harus selalu belajar! Tak tertolak! Awalnya, manusia bepergian dengan berjalan kaki, kemudian memakai hewan sebagai kendaraan, hingga beralih menciptakan mesin sederhana yang digabungkan dengan roda. Mobilitas manusia semakin cepat hingga akhirnya mampu menciptakan sesuatu yang bisa membawanya terbang mengudara.

Segala pencapaian teknologi manusia saat ini merupakan akumulasi proses belajar yang konsisten di masa lalu. Semua inovasi dan hasil karya menakjubkan manusia tidak akan terwujud jika manusia merasa “sudah cukup pintar”. Manusia yang telah sampai pada tingkatan menyenangi proses belajar tidak akan pernah berhenti belajar. Manusia ini akan selalu melakukan inovasi dalam pekerjaannya demi perbaikan derajat hidup di masa depan. Sementara orang yang berhenti belajar karena sudah “merasa cukup pintar” akan tertinggal tergilas laju perubahan zaman. Jika sudah begitu, bukankan orang-orang yang berhenti belajar karena merasa dirinya “sudah cukup pintar” adalah orang bodoh yang sebenarnya…?

1 comments:

Arum Kusuma said...

Setiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda dan dalam bidang yang berbeda pula..

Setuju.. dalam hidup kita harus terus belajar.. jangan cepet puas dengan hasil yang telah dicapai.. :)

Post a Comment