. . .
“Kenapa kau belum punya pacar?”
“Untuk apa? Aku malah kasihan jika aku punya pacar.”
“Lho, kok kasihan?”
“Pacaran saat kita masih jauh dari menikah itu tidak mudah.”
“Ya, tentu saja. Bukankah cinta memang perlu diperjuangkan?”
“Diperjuangkan, tapi bukan berarti dilakukan dengan nekat dan tanpa
memperhitungkan resiko patah hati. Alih-alih berakhir bahagia, yang aku lihat
pacaran justru menyiksa pelakunya.”
“Maksudmu?”
“Ketika pacaran kau memberi harapan, membicarakan janji-janji masa depan
yang semuanya terlihat begitu hijau bagi pasanganmu. Semakin lama pasanganmu
akan semakin berharap semua itu akan menjadi kenyataan. Tapi ketika kau tak
kunjung bisa mewujudkannya, bukankah itu sama saja kau sedang menyiksa
pasanganmu dengan harapan?”
“Memang terdengar menyakitkan kalau yang terjadi seperti itu.”
“Bukankah di dunia ini banyak orang yang pacaran bertahun-tahun tapi
akhirnya kandas sebelum ke pelaminan? Bukankah tidak sedikit di antara pelaku
pacaran yang terjebak dalam perasaannya sendiri, susah move on, bahkan sampai menikah pun mereka masih teringat pada masa-masa
pacaran? Apa jadinya kalau mantan pacarnya ternyata bukan orang yang
dinikahinya?”
“Menurutmu apakah itu memalukan?”
“Ya. Dan dalam standar moralku, orang yang sudah lama pacaran tapi tidak
jadi nikah itu memalukan. Aku tidak mau itu terjadi padaku. Belum lagi mereka
yang pacarannya kebablasan, sampai harus menjalani pernikahan yang bukan karena
kesiapan melainkan karena ‘kecelakaan.’ Itu ironis sekali.”
“Tapi kau kan orang baik-baik. Kau tampan. Pintar. Kau disenangi banyak
orang. Luwes dalam bergaul. Kau punya wawasan tentang bagaimana menghadapi
wanita dan semacamnya. Rasa-rasanya kau tidak mungkin melakukan kekhilafan
seperti itu.”
“Justru karena itulah. Aku tidak tahu kapan aku akan khilaf. Aku tidak
tahu seberapa jauh aku bisa menjaga diriku sendiri. Tidak ada jaminan. Dan ketika
kita memutuskan untuk melibatkan orang lain dalam lingkaran kehidupan kita, itu
bukan persoalan main-main dan penuh coba-coba. Jika sampai orang yang aku
libatkan merasa tersakiti, merasa dirugikan, maka aku akan menanggung dosa
selama orang itu belum mau memaafkanku. Bukankah itu mengerikan?”
“Jadi apa yang sedang kau lakukan? Kapan kau akan mulai memikirkan
tentang jalinan hubungan yang serius dengan seseorang?”
“Entahlah. Ada hal lain yang harus aku lakukan untuk saat ini. Kalau kau
ingin meminta saran tentang urusan perasaan, urusan cinta, lebih baik kau tanyakan pada temanmu yang sudah menikah. Mereka pasti
jauh lebih paham pahit manisnya jatuh cinta dan tahu seluk-beluk membangun
komitmen yang lebih tinggi daripada seorang lajang sepertiku.”
0 comments:
Post a Comment