“Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka
yang menunggu,
terlalu cepat bagi yang takut, terlalu
panjang bagi yang gundah,
dan terlalu pendek bagi yang bahagia. Tapi bagi yang selalu mengasihi,
waktu adalah keabadian.”
(Henry
van Dyke)
Semua orang
tahu betapa pentingnya waktu. Ada yang bilang “waktu adalah uang.” Saya lebih
suka menyebut waktu sebagai “modal.” Jika waktu dipersepsikan sebagai “uang,”
maka kita akan cenderung untuk menghambur-hamburkannya—sebagaimana hakikat uang
yang tak pernah cukup memenuhi keinginan kita. Beda halnya jika waktu dipersepsikan
sebagai “modal.” Kita akan berusaha menginvestasikan “modal” tersebut sebaik-baiknya
agar tidak merugi di kemudian hari.
Waktu adalah “musuh”
yang selalu menang. Kita tidak memiliki kuasa sedikit pun atas waktu. Waktu tetap
terus berjalan meski peradaban dunia ini tidak pernah mengenal arloji. Begitu berharganya
waktu sampai-sampai banyak orang berimajinasi memiliki mesin waktu. Dengan
mesin itu manusia bisa pergi ke mana saja melewati dimensi waktu. Ada yang
pergi ke masa depan untuk melihat dunia yang penuh keajaiban. Ada pula yang
pergi ke masa lalu hanya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya.
Waktu adalah “pedagang”
yang tidak pernah rugi, tapi kehadirannya bisa membuat rugi banyak orang. Tentu
saja orang-orang yang merugi di sini adalah orang-orang yang tidak memahami esensi waktu.
Alih-alih mereka justru menyia-nyiakan waktu yang dimiliki untuk melakukan
hal-hal yang kurang bermanfaat.
Kita sadar
bahwa waktu yang kita miliki di dunia ini terbatas. Manusia bukan makhluk yang
kekal karena memiliki jatah umur tertentu. Jika umurnya habis, maka berakhir
pula kehidupan manusia di dunia ini. Keterbatasan ini seharusnya membuat kita
bersikap arif. Kita tidak akan mampu memenuhi semua keinginan kita dengan umur
yang terbatas itu. Kita harus memilih cara-cara terbaik untuk menghabiskan umur
agar kelak kita menuai berkah kebaikan.
Saya jadi
teringat sebuah kisah tentang seorang pemuda yang hidupnya berubah setelah
menyadari esensi waktu. Saya lupa di mana pertama kali membaca cerita ini. Di
sini, akan saya ceritakan ulang cerita tersebut dalam cerita versi saya
sendiri.
*
* *
Alkisah
seorang pemuda mengeluhkan hidupnya yang serba susah dan dipenuhi berbagai
masalah keluarga. Suatu hari pemuda ini menemui seorang ‘Guru’ dan mengadukan
segala penderitaannya. Si Pemuda bahkan terang-terangan mengaku ingin
mengakhiri hidupnya. Sang Guru mengangguk takzim menyimak penuturan Si Pemuda.
Setelah Si Pemuda selesai bicara, Sang Guru memberikan sebotol air padanya.
“Cairan
bening dalam botol ini adalah racun. Cukup kau minum sekali, maka besok pagi
kau akan mati tanpa rasa sakit.”
Muka Si
Pemuda mendadak berseri-seri. Ia begitu gembira menerima racun dari Sang Guru.
Dia lega karena besok pagi dia bisa mati tanpa harus menghadapi rasa sakit.
Tanpa banyak ba-bi-bu Si Pemuda itu langsung menenggak racun yang diberikan
Sang Guru.
“Terima
kasih, Guru. Sampai jumpa di surga,” kata Si Pemuda sambil beranjak pergi
meninggalkan rumah Sang Guru.
Sesampainya
di rumah, pemuda itu mendapati istri dan anaknya yang tengah tertidur pulas. Si
Pemuda sadar bahwa inilah hari terakhirnya di dunia. Ia merasa perlu melakukan
sesuatu agar besok ia bisa mati dengan tenang. Ia pun bergegas menuju pasar.
Didatanginya para pedagang di pasar itu. Si Pemuda meminta untuk dipekerjakan.
Ia mengaku bersedia melakukan pekerjaan apapun agar memperoleh uang.
Hari menjelang
sore, pemuda itu kembali ke rumahnya. Ia membawa sebuah keranjang yang penuh
dengan makanan. Istrinya terheran-heran. Tidak biasanya Si Pemuda pulang
menenteng keranjang makanan. Sore itu, untuk pertama kalinya istri dan anak Si
Pemuda bisa makan dengan kenyang.
Malam
harinya, Si Pemuda mengajak istri dan anaknya berjalan-jalan ke bukit. Istrinya
bertambah heran karena selama ini Si pemuda hampir tidak pernah mengajaknya
berjalan-jalan. Ketika ditanya, Si Pemuda hanya membalasnya dengan senyum.
Di atas bukit
keluarga kecil Si Pemuda menikmati hiasan bintang di langit sambil membuat ikan
bakar. Si Pemuda tampak asyik mengobrol dan bercanda dengan istri dan anaknya.
Gelak tawa mereka menggema memecah kesunyian bukit itu. Sekembalinya di rumah,
Si Pemuda tidur bersisian dengan istri dan anaknya. Saat itu, Si Pemuda
benar-benar merasa bahagia. Ia ingin merayakan momen bahagia itu lebih lama.
Tiba-tiba Si
Pemuda tersentak. Ia ingat bahwa ia sudah meminum racun dari Sang Guru. Besok
pagi ia akan mati. Buru-buru Si Pemuda mendatangi rumah Sang Guru dengan panik.
Sang Guru
tampak masih duduk-duduk di beranda rumahnya sambil minum teh. Sambil
terengah-terengah Si Pemuda berusaha mengatur nafasnya. Setelah tenang, ia
meminta penawar racun pada Sang Guru. Si Pemuda tidak mau mati besok pagi. Ia
sadar bahwa ternyata hidup ini sangat berharga. Sang Guru pun tersenyum
mendengarnya.
“Botol yang
aku berikan tadi pagi hanyalah air biasa. Tak usah khawatir. Besok kau masih
bisa bekerja seperti biasa. Kembalilah pulang. Jangan biarkan istri dan anakmu
mengkhawatirkanmu.” Si Pemuda menangis mendengar jawaban Sang Guru. Dipeluknya
Sang Guru erat-erat. Si Pemuda pun kembali ke rumahnya dengan sebongkah
kelegaan dan kesadaran baru. Hari-hari esok Si Pemuda pun berubah menjadi lebih
berarti.
*
* *
Kita tahu
bahwa kematian adalah kepastian. Meski begitu, kita tidak pernah tahu berapa
jatah umurnya di dunia. Ketidaktahuan ini membuat kita sering lalai mengingat
kematian. Kita selalu merasa “masih ada hari esok” atau “nanti sajalah.”
Akhirnya, kita pun merasa fine-fine saja
menunda berbuat kebajikan. Alih-alih kita malah menghabiskan waktu untuk
hal-hal yang tidak berguna dan merusak diri sendiri. Urusan mati pun
terlupakan.
Waktu adalah
modal kita yang paling berharga. Sadar bahwa umur kita terbatas, alangkah
baiknya jika kita selalu merenung “bagaimana
jika hari ini adalah hari terakhirku di dunia?” Dengan begitu, kita akan
terlecut untuk menggunakan waktu yang kita punya untuk melakukan kebajikan.
Kesadaran kita akan tergugah untuk meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat
dan merusak diri sendiri.
Kita harus
bergegas, umur kita terbatas. Bergegaslah bekerja, bertindak nyata, seakan hidup
ini akan berakhir esok. Bergegaslah, jangan sampai ada sesal di kemudian hari. Bergegaslah, agar lebih banyak kesempatan
yang bisa kita peroleh. Kesempatan untuk belajar lebih banyak hal baru, kesempatan
untuk menolong sesama, kesempatan untuk menemani orang-orang yang kita kasihi,
dan kesempatan untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan—Dzat Yang Maha Tahu
kapan kita akan “pulang” menuju lembah keabadian.