Subscribe:

Labels

Wednesday 29 January 2014

Antara Kehilangan Ayam dan Kehilangan Iman

Beberapa hari lalu, ayam peliharaan saya hilang. Kandang tempat si ayam menghabiskan sisa-sisa umurnya pun rusak. Entah dirusak paksa atau tertimpa genteng rumah, saya tidak bisa memastikan. Intinya, ayam salah satu ayam saya hilang dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya. Tentu saja saya tidak akan ujug-ujug membicarakan tentang ayam di sini tanpa alasan. Toh saya bukan penjual ayam. Seperti biasa, ayam saya yang hilang hanya perumpamaan, permisalan untuk memudahkan pemahaman sebuah konteks masalah.

Well, di dunia yang sementara ini, setiap orang pasti pernah mengalami kehilangan. Ada yang kehilangan uang, kehilangan motor, kehilangan saham, kehilangan rumah, kehilangan anak, kehilangan istri, sampai kehilangan harga diri. Begitulah setiap materi, setiap benda duniawi yang maujud secara fisik sangat mungkin hilang dari kepemilikan manusia. Silahkan saja memiliki perumahan atau apartemen mewah dengan luas setara dengan kota New York dengan segala kemewahan fasilitasnya. Lalu apa yang terjadi bila gempa 10 SR atau badai tornado memporak-porandakan bangunan-bangunan apartemen menjadi puing-puing rata dengan tanah? Adakah yang tersisa selain kehilangan dan kehancuran?

Seringkali, manusia diributkan dengan berita kehilangan. Motor hilang, ribut. Duit hilang, ribut. Istri hilang, ribut, takut digaet orang mungkin. Itu wajar. Yang nggak wajar kalo pas kehilangan malah tenang-tenang saja. Tapi pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana bila yang hilang itu adalah benda non-maujud secara fisik, benda abstrak yang tak terindera seperti IMAN?

“Iman” bukanlah benda konkret. Iman tak bisa diraba atau diindera. Sejauh peradaban manusia belum ada seorang peneliti pun yang mampu membuat alat pengukur iman secara presisi dan akurat. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila manusia cenderung lebih peka terhadap kehilangan harta benda materi keduawian daripada kehilangan IMAN. Padahal sejatinya, IMAN inilah yang akan menjadi bekal kita ketika kita menghadap Sang Khalik di Hari Akhir di mana harta dan anak-anak kita tiada mampu menolong kita.

“Lantas, gue harus mikirin IMAN gitu? Gue harus ngelupain urusan duit gue yang hilang kemarin dengan alasan karena gue sekarang udah beriman, gue tawakal aja tuh duit ilang..!?”

Ah, susahnya mengingatkan mereka yang selalu memisahkan urusan agama dan dunia. Keduanya selalu dipandang bak air dan minyak yang tak mungkin bersatu. Padahal kalau kita mau dan tahu, agama bisa memandu kita pada kehidupan yang lebih baik selama kita meyakininya sepenuh hati dan bertindak sesuai koridor ajaran-ajaran-Nya. Sekali lagi, itu hanya bagi yang yakin lho ya, alias yang IMAN saja. Lantas bagaimana jika IMAN saja udah hilang? Prahnya lagi itu orang nggak nyadar kalo dirinya sudah kehilangan nilai-nilai IMAN dalam dirinya? (duh Gusti)...

Ingat, urusan kehilangan iman nggak sesederhana urusan mencari ayam saya yang hilang. Tinggal lapor polisi atau tanya warga setempat buat bantu nyariin, tahu-tahu ketemu. Urusan IMAN nggak bisa begitu saja diperoleh atau dicari kembali. Butuh waktu, proses, dan pengorbanan di dalamnya untuk menemukan iman. Kita nggak bisa langsung ngadu ke Pak Ustadz, merengek-rengek minta dibalikin imannya yang hilang karena vonis dokter mengatakan bahwa hidupnya tinggal sebentar lagi. Terus gimana?

Iman itu lekat dengan ilmu. Untuk mendapatkan iman jelas harus punya ilmunya. Sekarang pertanyaannya kapan terakhir kali kita mengikuti kegiatan keagamaan, pengajian misalnya. Atau mungkin yang lebih sederhana, kaan terakhir kali kita membuka kitab suci? Nggak pernah? Atau malah nggak bisa bacanya? Nggak punya!!!??? (duh Gusti)...

Karena itu, tak ada salahnya kita mulai bertanya, adakah hati saya sudah tenteram? Adakah saya merasa dekat dengan Tuhan selama ini? Atau malah sebaliknya. Tanyakan pada hati kecil kita yang seringkali lebih peka dengan kadar keimanan kita. Ketidaktenteraman hati dan kegelisahan yang tak berkesudahan merupakan beberapa indikasi menurunnya nilai-nilai keimanan dalam hati kita. Nah, sebelum IMAN itu hilang dan membuat gelap hati kita, maka sudah sepantasnya kita me-recharge iman kita dengan ilmu-ilmu yang manfaat. Pun dengan tindakan-tindakan baik pada sesama yang efektif menenangkan hati dan memperbaiki kadar keimanan kita. Trust me! Salah satu sumber kegelisahan dan galaunya hati kita adalah kurangnya perbuatan baik yang kita lakukan pada sesama. Percayalah, hanya dengan mengingat Tuhan, maka hatimu akan jauh lebih tenteram, bagi mereka yang meyakini-Nya.

So, pertanyaan terakhir: di mana ayam saya? Atau di mana IMAN saya sekarang??? Yuk, saling bantu mencarinya. Hehehe...

0 comments:

Post a Comment