"Jangan pernah membenci orangnya,
bencilah sifatnya."
- AA
Gym -
Siapa yang tidak benci dengan orang yang suka kentut sembarangan?
Apalagi kentutnya di rumah makan. Brruuuttt! Ugh, selera makan seketika hancur.
Beberapa pelanggan bergegas keluar—kabur mencari udara segar. Ironisnya, yang
kentut malah tidak dengar dirinya kentut. Maklum dia orang tuli. Bau sengak
amoniaknya malah dianggap bau toilet rumah makan yang seharian tidak disiram.
Tapi apa jadinya bila orang yang suka kentut sembarangan itu adalah seorang
artis idola kita atau pemuka agama yang didengar setiap cuap lisannya? Akankah
kebencian tetap mendarah daging dalam benak kita layaknya si tuli tukang kentut
di rumah makan?
Membenci identik dengan apa yang tidak disukai. Semakin banyak
karakter seseorang yang tidak kita sukai, maka semakin pula kita membenci orang
tersebut. Pun dengan gadget atau perabotan lain di rumah. Semakin banyak
kriteria “benda yang tidak kita suka” muncul, maka semakin kita membenci barang
tersebut. Ini hukum alam, rasionalitas membenci yang mutlak. Tapi tentu saja
sebagai manusia yang berakal dan bernurani, kita akan arif bertanya pada diri
sendiri, haruskah saya membenci seumur hidup saya?
Hidup dalam kungkungan kebencian jelas tidak nyaman. Sepekat dan
segelap apapun hati kita, membenci tetap saja tidak enak. Seorang bawahan
berangkat ke kantor. Ketemu dengan atasan yang dibenci. Suasana mendadak jadi
horor. Si bawahan memilih untuk tidak berjabat tangan lantas melipir memilih
jalan lain agar tidak berpapasan dengan si atasan. Takut kena damprat. Benci
banget sama si atasan yang terkenal suka menuntut dan marah-marah nggak jelas.
Kita pasti pernah mengalami situasi ini karena membenci adalah sebuah reaksi
normal yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada objek yang tidak
disukainya. Lalu bagaimana agar kebencian yang kita rasakan tidak sampai
merusak pribadi kita?
Seorang bijak menasehati: “Jangan pernah
membenci orangnya, bencilah sifatnya.” Jleb! Semua manusia bisa membenci
sesamanya, tapi hanya mereka yang arif yang bisa membenci secara objektif,
membenci sikap/kelakuan yang tiada disukainya. Dan ini membutuhkan latihan dan
olah rasa terus-menerus. Bukan perkara instan yang bisa diperoleh selepas
sekolah 24 jam.
Membenci dengan bijaksana merupakan pekerti yang baik. Kita tidak
bisa munafik dengan mangatakan bahwa orang baik tak akan membenci apapun. Salah
besar bila mengatakan orang suci adalah mereka yang tidak pernah membenci.
Justru sebaliknya, orang-orang arif yang luhur pekertinya senantiasa
mengarahkan kebenciannya secara objektif, membenci pada hakikat sifat yang
dibenci, bukan membenci objek tempat di mana hakikat/sifat itu berada. Bukankah
sudah tampak kerusakan yang ditimbulkan akibat kebencian yang teramat sangat
pada sekelompok orang tertentu, sekelompok aliran tertentu?
Yakinlah, bahwa membenci dengan bijaksana akan mempermudah usaha
kita untuk memaafkan sesama. Mempermudah kita meraih keluhuran pekerti dan
membawa kita pada kesadaran betapa indahnya hidup bila setiap orang bisa saling
mengerti dan memahami. Sadarilah bahwa kita pasti akan bertemu dengan berbagai
jenis manusia dengan segala sifatnya. Ada banyak sifat yang tidak kita suka,
tapi usahakanlah untuk berbesar hati menerima keberagaman itu dengan tidak
membenci orangnya. Cukuplah kita membenci sikapnya yang tidak mengenakkan. Tapi
sekali lagi hendaknya kita selalu memilih untuk berdamai dengan orang tersebut.
0 comments:
Post a Comment