Subscribe:

Labels

Saturday 16 August 2014

Fenomena Hakim Ganteng dan Selera Remaja


Masih soal jelek dan ganteng. Belakangan di media sosial ramai diperbincangkan tentang salah satu hakim Indonesia, sebut saja Om Yuli. Nah, kenapa orang ramai bicarain tentang Om Yuli? Simpel, karena Om Yuli ganteng. Nggak peduli beliau sudah om-om pabrikan tahun 1962, yang penting masih gres dan kinyis-kinyis. Cocok banget dah kalau syuting drama korea, ambil peran Ayah pemeran utama. Walhasil karena kegantengan Om Yuli ini, kasus sidang gugatan pemilu yang over-heated malah jadi anyes karena tampilan dingin-tegas Om Yuli.

Saya tertarik mengikuti pemberitaannya karena sepertinya masyarakat kita, terutama para remaja sangat sensitif dengan cowok ganteng. Seakan-akan cowok ganteng merupakan barang langka yang jarang ditemui saban hari. Normalnya manusia tertarik dengan lawan jenis yang shinny. Kulit putih pun jadi patokan. Ah, saya pun jadi berpikir kalau dunia terlalu ‘mendewakan’ mereka yang unyu-unyu, bagaimana dengan mereka yang jauh dari kriteria unyu-unyu? Haruskah kita menilik teori Seleksi Alam? Yang tidak bisa beradaptasi mengikuti ‘selera pasar’ harus tersingkir, termarginalkan, dan tidak dipenuhi hak-haknya? Berlebihan.

Belum ada studi khusus mengenai pengaruh K-Pop pada selera asmara remaja dalam memandang lawan jenis. Mau tak mau dan suka tak suka, K-pop dengan drama sampai boyband-nya telah membius jutaan manusia dengan penampilan fisiknya. Belum lagi idol group macam AKB48 dan sanak-nya JKT48 yang membuat  para remaja tanggung berteriak histeris meneriakkan oshi-nya sampai terobsesi menjadi kekasih sang idola. Semua menjual tampilan fisik yang kinyis-kinyis dan unyu-unyu sebagai sebuah komoditas entertainment dalam skala massif.

Hendaknya ketika kita suka sama yang ganteng, yang cantik, yang unyu-unyu, semua dilakukan dengan SEWAJARNYA. Jangan berlebihan, nggak usah lebay. Bukankah konyol bila kita menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan seseorang yang boleh jadi tidak pernah memikirkan kita? Silahkan maen twitter. Nge-tweet para seleb di sana. Tapi jangan kepedean, mupeng, ngarep banget mentionnya dibales. Sekali lagi pesan saya, lakukan SEWAJARNYA saja. Ngefans boleh tapi ya sewajarnya saja.

Om Yuli hanya contoh kecil saja, betapa penampilan fisik masih menjadi primadona masyarakat dunia saat ini. Saya paham, gejala ini sangat normal. Tapi entah kenapa saya malah mempermasalahkan kenormalan ini. Atau jangan-jangan malah saya sendirilah yang tidak normal. Agaknya saya butuh ke psikiater akhir pekan ini. #guyon