“Tuna
sathak bathi sanak”
(Peribahasa Jawa)
Akhirnya blog
ini vakum juga. Inkonsistensi menulis masih saja terjadi. Maklum beberapa
minggu terakhir saya disibukkan oleh penyakit aneh yang tidak jelas muasalnya. Saya
sempat dibuat jengkel karena gejala dan keluhan dari penyakit ini sangat
tidak konsisten.
Singkatnya, penyakit
ini seperti flu. Saya meriang. Saya pikir beberapa vitamin akan memulihkan
saya. Tapi kondisi tubuh saya malah melemah. Saya terserang demam tinggi
berkepanjangan. Ada sekitar seminggu saya berkutat dengan demam. Ruam-ruam
merah pun muncul di beberapa bagian tubuh saya.
Setelah dicek
darah, ada indikasi saya terserang demam berdarah. Kadar trombosit saya
mengalami penurunan, meski tidak drastis. Setelah diberi beberapa macam obat saya
pikir saya akan segera pulih. Nyatanya, penyakit saya hanya hilang sesaat
setelah mengkonsumsi obat. Jika efek obat sudah habis, gejala seperti demam dan
sakit kepala muncul kembali. Saya pun menderita demam hampir setiap sore dan sepanjang malam. Pagi sampai siang demam saya menurun.
Saya kemudian
disarankan cek darah lagi untuk memastikan apakah saya terserang malaria.
Beruntung hasil lab menyatakan negatif. Tapi yang membingungkan, kadar
trombosit saya malah sudah pulih di atas normal. Padahal saya masih demam
tinggi dan sakit kepala.
Saya mulai
berpikir yang aneh-aneh karena sudah berminggu-minggu sakit saya tak kunjung
sembuh. Dokter kembali berargumen saya terkena gejala tipus. Dalam hati, saya
sedikit ragu, kok bisa jadi tipus lha
wong perut saya tak pernah terasa sakit seperti penderita tipus lainnya. Akhirnya
saya pun diminta untuk dirawat inap di sebuah klinik. Meski saya ragu saya
sakit tipus, saya mengiyakan saja dirawat inap. Toh kondisi tubuh saya memang lemah
dan suhu tubuh tidak stabil.
Ini adalah
kali kedua saya dirawat inap di klinik itu. Seperti biasa, jika ada orang sakit
maka beberapa kerabat, tetangga, dan rekan kerja akan datang menjenguk. Awalnya
saya menganggap hal tersebut biasa saja. Saya beramah-tamah dengan para tamu
yang membesuk saya. Jika kebetulan ada ayah atau ibu yang menunggu, maka mereka
yang akan menemani tau mengobrol.
Yang membuat
saya tak habis pikir, setiap kali para penjenguk hendak pulang mereka selalu
mengulurkan amplop putih pada saya. "Hey…apa-apaan ini?” batin saya.
Sebagai
seorang yang jauh dari sempurna, saya telah berulang kali membuat repot orang
lain, terutama orangtua saya. Saya tidak mamu menambah kerepotan itu bagi orang
lain di luar lingkaran keluarga inti saya. Bukan apa-apa, rata-rata satu amplop
putih setara untuk membeli 3 sampai 4 bungkus rokok kretek. Jika saya berada di
posisi sebagai pembesuk yang memberi amplop putih, maka sejujurnya saya pasti keberatan
karena perkara nominal isi amplop tersebut. Saya berpikir, bagaimana jika katakanlah
dalam waktu seminggu ada 10 orang yang harus dibesuk sekaligus. Maka nominal
amplop putih yang harus disiapkan sekitar setengah juta lebih!?
Ibu saya
bahkan ‘sengaja’ tidak membocorkan informasi bahwa saya dirawat inap karena
tahu konsekuensi sosial yang mungkin terjadi. Ibu saya juga merasa tidak enak
pada para pembesuk terutama berkaitan dengan urusan amplop tadi. Tapi nyatanya
informasi tetap bocor dan saya pun kebanjiran amplop putih layaknya mendapat surat
dari penggemar.
Entahlah saya
tidak begitu paham asal muasal tradisi ‘amplop putih’ saat menjenguk orang
sakit. Om saya pernah berkata bahwa itu memang sudah tradisi. Dan seperti
masyarakat desa lain yang masih komunal dengan ikatan kekeluargaan yang dekat,
sekedar memberikan ‘amplop’ bagi si sakit adalah hal mulia yang pantas dilestarikan.
Tak jauh beda dengan memberi amplop di acara kematian.
Syukurlah saya
tidak perlu berlama-lama di klinik. Setelah 3 hari saya sudah diizinkan pulang.
Dalam hati saya juga lega karena tidak akan ada lagi amplop-amplop putih yang
mampir. Saya betul-betul tidak enak menerima hal semacam itu.
Setibanya di
rumah, saya pun bisa menikmati segelas susu cokelat panas. Meski badan saya
belum pulih benar, selera makan saya sudah membaik. Baru beberapa jam menikmati
kesembuhan, sudah ada tetangga yang mengunjungi rumah saya.
Para pembesuk
yang tidak lain adalah tetangga-tetangga saya juga turut menghaturkan prihatin
atas kondisi saya. Sama seperti yang di klinik, sesaat sebelum berpamitan para
pembesuk memberi saya amplop putih lagi. Nominalnya sama—setara dengan 4 bungkus
rokok.
Boleh jadi
saya tidak akan begitu meributkan hal remeh seperti perkara amplop jika sakit
yang saya derita tergolong berat seperti gagal ginjal, diabetes melistus,
meningitis, atau kanker stadium IV. Mereka yang mengidap penyakit-penyakit
tersebut lebih pantas mendapatkan amplop putih. Setidaknya isi amplop akan
lebih berdayaguna bagi mereka yang memang perlu dibantu karena biaya pengobatan
yang tidak sedikit.
Sementara saya?
Baru dinyatakan gejala tipus saja respon tetangga sudah seperti melihat saya
terkena penyakit ganas.
Maaf, saya
menulis ini bukan untuk mengkritik budaya ‘ngamplop’ orang sakit. Saya menghargai
para pembesuk saya yang berniat baik dan ikhlas menunjukkan solidaritas dan
keluhuran budaya srawung antarwarga.
Saya hanya tak habis pikir kenapa. Bukankah isi amplop itu tergolong lumayan? Bukankah
dengan isi amplop itu bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarga selama beberapa
hari ke depan? Kenapa hanya karena alasan srawung
, etika, atau karena tradisi, amplop-amplop itu ringan saja diberikan?
Mungkin benar
bahwa dalam kultur Jawa, ada ungkapan “tuna
sathak bathi sanak” yang artinya kurang lebih “tak mengapa jika kita merugi
sedikit, yang penting dapat membina hubungan baik dengan sesama/saudara.” Dan
apa yang para pembesuk dan tetangga-tetangga saya lakukan hanyalah segelintir
penjabaran nyata ungkapan tersebut.
Bertahun-tahun
saya tinggal di masyarakat yang kultur ke-kotaannya kental sejak SMP sampai perguruan
tinggi. Rumah berpagar tinggi-tinggi, interaksi yang jarang, hingga minimnya even-even
sosial antarwarga adalah pemandangan yang sering saya temui ketika di kota. Di
kota ketika ada tetangga sakit, boro-boro
ngamplop, tahu saja tidak. Biasanya si sakit akan dibawa sendiri oleh
keluarganya ke rumah sakit. Tak perlu babibu dengan tetangga sebelah.
Bahkan saya sering
tidak mengetahui kabar lelayu dari tetangga. Tahu-tahu sudah ada acara
pemakaman yang entah siapa yang meninggal. Solidaritas antarwarga rendah
sekali.
Walhasil saya
menjadi canggung ketika saya pulang kampung, menemui masyarakat desa yang
komunal dengan iklim kekerabatan yang intim. Saya serba tidak enak mendapat
perlakuan akrab dari tetangga kanan kiri. Apalagi dalam ‘insiden amplop’ saat
saya sakit kemarin. Saya benar-benar tidak habis pikir. Saya merasa perlu
belajar lagi dari awal untuk bisa beradaptasi dengan masyarakat yang memiliki
solidaritas tinggi dan memandang tetangga layaknya kerabat sendiri.
Dan semoga yang
membesuk saya kemarin diberikan kesehatan dan penghidupan yang penuh berkah
dari Tuhan. Saya hanya bisa menghaturkan terima kasih atas pembelajaran yang
berharga ini. Ngaturaken agenging panuwun.