“Dikotomi ganteng-jelek, cantik-jelek, bagiku tak jauh beda dengan perilaku rasis!”
(Hatake Niwa)
Sudah lama saya
jengah dengan dikotomi ganteng-jelek, cantik-jelek di tengah masyarakat. Mereka
yang ganteng/cantik begitu mudah dielu-elukan, mendapat perlakuan istimewa, dan
kemudahan karir. Seakan-akan yang ganteng dan yang cantik ditakdirkan lebih mulia
di muka bumi. Sementara mereka yang wajahnya pas-pasan/jelek seakan terhinakan dan
terbuang dari sengitnya percaturan hidup. Padahal ganteng, cantik, jelek, buruk
rupa, itu semua hanya atribut artifisial kasat mata—sesuatu yang sifatnya
subjektif di mana setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda.
Cantik misalnya.
Kita menyebut seseorang cantik karena sejak kecil kita memiliki kecenderungan untuk
membandingkan satu orang dengan orang lainnya. Kita bisa menilai wanita itu
cantik hanya ketika kita telah membandingkannya dengan wanita lain. Di sinilah perbandingan
cantik itu menjadi relatif. Sebagai contoh, banyak orang bilang Raisa itu
cantiknya ampun-ampunan. Ya, memang dia cantik, kata saya. Tapi saya rasa
biasa-biasa saja tuh. Alih-alih justru VJ Franda yang lebih cantik menurut saya.
(no offense, buat fans-nya Raisa).
Orang bilang
artis korea ganteng-ganteng. Ya tentu saja. Secara kasat mata mereka memiliki
hidung mancung, mata yang sipit, kulit putih dan perawakan gagah. Berbeda
dengan kebanyakan pria lokal yang berkulit gelap, sawo matang, hidung pesek dengan
rambut poni lempar setengah dipaksakan. Rumput tetangga memang selalu lebih
hijau. Orang asing seringkali mendapat kesan istimewa bagi para pribumi. Tidak heran
jika sebagian pribumi menginginkan menikahi pria asing/bule. Itung-itung memperbaiki
keturunan katanya. Argumen yang sulit dibantah mengingat banyak artis top yang
berpenampilan good looking karena
berdarah campuran.
Kembali pada
dikotomi cantik-jelek, ganteng-jelek. Saya bahkan menyamakan dikotomi ini dengan
perilaku rasis yang membeda-bedakan warna kulit serta menganggap orang kulit
putih lebih mulia daripada orang kulit gelap. Padahal seperti yang saya sebut
di awal, ganteng, cantik, jelek, itu semua hanya atribut artifisial yang ada
pada diri kita yang nampak secara kasat mata. Ketampanan dan kecantikan fisik
sama sekali tidak ada kaitannya dengan tingkat kedudukan, kemuliaan derajat,
atau indikator manusia yang lebih baik.
Bayangkan, apa
jadinya jika surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang ganteng dan yang
cantik berdasarkan ukuran manusia? Jika itu yang terjadi, maka akan terjadi
gelombang protes besar-besaran dari para manusia yang di dunia dianggap jelek.
Milyaran manusia jelek akan berteriak-teriak, berorasi meminta Tuhan untuk
mencopot gelar Maha Adilnya. Mereka mempertanyakan kenapa Tuhan tega menciptakan
mereka dengan wajah yang jelek? Sungguh keputusan yang tidak mencerminkan
keadilan sama sekali.
Tidak
mengherankan jika kemudian Tuhan menetapkan ukuran derajat manusia berdasarkan
tingkat ketakwaannya. Dengan begitu, setiap manusia, baik yang kaya maupun yang
miskin, yang ganteng maupun yang jelek, semua bisa masuk surga tergantung
seberapa takwakah dia.
Normalnya,
manusia memang mengagumi ketampanan, kecantikan, dan segala sesuatu yang
dipandangnya indah. Artis yang berwajah ganteng/cantik tentu lebih mudah
menggaet banyak penggemar. Sinetron dan film-film yang dibintangi artis ganteng/cantik
menjadi komoditas yang laku keras. Sudah seperti hukum alam jika manusia lebih mudah
mengagumi yang indah secara kasat mata.
Di lowongan-lowongan
pekerjaan pun jamak kita jumpai persyaratan “berpenampilan menarik.” Pertanyaannya, bagaimana jika sejak lahir
kita tidak ditakdirkan mendapat wajah yang menurut bahasa manusia disebut “tampan”
atau “cantik”? Dan ketika kita menyadari diri kita tidak ganteng atau tidak
cantik, bukankah syarat “berpenampilan
menarik” menjadi menjengkelkan? Seakan-akan ada diskriminasi pekerjaan bagi
mereka yang ditakdirkan berwajah tidak ganteng/tidak cantik (berdasarkan
pandangan subjektif manusia). Itulah kenapa saya katakan pembeda-bedaan
ganteng-jelek cantik-jelek tak ubahnya dengan perilaku rasis!
Ketika dunia sudah
terlalu memuja ketampanan dan kecantikan fisik, maka bertebaranlah
produk-produk kosmetik, krim-krim pemutih, klinik-klinik kecantikan,
salon-salon, perawatan tubuh, spa, operasi plastik, sampai aplikasi permak foto
wajah digital macam kamera 360! Muaranya sama, agar setiap diri menjadi lebih
tampan, lebih cantik secara kasat mata dalam penilaian lingkungannya, Lagipula
siapa sih di dunia ini yang tidak senang saat dipuji berwajah tampan/cantik?
Begitulah
manusia. Tidak ada yang bisa dipersalahkan dari kecenderungan semacam ini.
Hanya saja kita perlu bersikap bijak dan membatasi diri. Pada hakikatnya ada
orang dikatakan ganteng, karena ada orang-orang yang lebih jelek di sekitarnya.
Ketika si ganteng berkumpul di lingkungan orang-orang yang lebih ganteng, maka
kegantengannya menjadi biasa-biasa saja.
Sebaliknya ada
orang dikatakan jelek, lebih karena ada orang-orang yang lebih ganteng di
sekitarnya. Jika si jelek ini berkumpul dengan orang-orang yang lebih jelek,
ada kemungkinan si jelek tadi dilabeli yang paling ganteng. Jadi perkara
ganteng/cantik/jelek, itu semua hanya persoalan sudut pandang yang sifatnya
sangat relatif dan subjektif.
Karena itu akan
lebih aman jika kita merasa diri kita jelek. Ketika kita merasa diri kita jelek
tetapi orang-orang beranggapan diri kita ganteng, maka kita tergolong orang
yang rendah hati dan tidak sombong. Di sisi lain ketika kita merasa diri kita
jelek, dan orang-orang beranggapan kita memang jelek, berarti kita termasuk orang
yang tahu diri.
Bayangkan jika
ada orang yang berbangga diri merasa dirinya ganteng. Jika orang-orang menilai
dirinya memang ganteng, boleh jadi ada sebagian orang yang tidak suka dan
menganggapnya arogan. Di sisi lain ketika orang merasa dirinya ganteng tapi
orang-orang melihat dirinya jelek, maka betapa hina dan tidak tahu dirinya
orang itu.
Syukurilah setiap
pemberian Tuhan. Tak pelu membeda-bedakan karunia fisik yang dianugerahkan-Nya.
Bukankah menghina atau menganggap rendah fisik seseorang sama saja dengan
menghina ciptaan Tuhan Yang Maha Sempurna.
1 comments:
Post a Comment