Begitulah hakikat urusan
perasaan,
ia tidak akan pernah
menjadi cerita yang selesai ditulis, apalagi
dibicarakan.
(Hatake Niwa)
Sejak saya mulai
menggunakan internet secara intens (sekitar tahun 2008), saya sering menjumpai realitas
bahwa topik-topik tentang asmara dan tetek-bengek percintaan selalu ramai
dibicarakan. Setiap posting, tweet,
atau update status yang membahas topik itu akan segera dibanjiri komentar, likes, atau di-retweet oleh
pembacanya. Apalagi jika topik tersebut ditulis oleh artis, novelis, atau orang
ternama lainnya yang memiliki ribuan followers.
Dalam hitungan menit, konten itu akan segera menjadi viral di dunia maya.
Sebagai
contoh di Facebook, saya kerap menyimak
tulisan-tulisan seorang novelis dengan nama pena “Darwis Tere Liye” melalui fanspage-nya. Fanspage Tere Liye masuk dalam top
list yang hampir selalu saya kepo setiap kali membuka facebook. Tulisan-tulisannya banyak berbicara tentang etika
pergaulan, cinta, perilaku remaja, dan liku-liku kehidupan sehingga sering menohok
anak muda dan remaja tanggung hilang arah (seperti saya). Secara khusus,
topik-topik tentang cinta dan urusan perasaan yang ditulis Tere Liye di fanspage-nya selalu mendapat perhatian
lebih dari pembacanya. Hanya dalam hitungan menit, jumlah likes, share, dan
komentar dari pembaca akan melesat.
Hal ini juga
pernah saya alami ketika saya menulis tentang konsep “relativitas jodoh” di forum Kaskus.
Selang sehari setelah saya posting, tulisan saya mulai ramai ditanggapi para
Kaskuser. Apalagi ternyata tulisan saya sempat menjadi Hot Thread. Gara-gara itu pula konsepsi “relaitvitas jodoh” yang sebetulnya hanya istilah hasil reka-reka
saya, menjadi viral tersendiri di dunia maya. Padahal saya menulis thread itu dengan emosional dan bahasa
yang sempat carut-marut. Kok bisa-bisanya tulisan semacam itu malah ramai
dibicarakan orang? Entahlah, boleh jadi kegelisahan saya tentang urusanpercintaan selama ini adalah kegelisahan yang sama yang dirasakan orang-orang
kebanyakan.
Lantas kenapa?
Apakah milyaran umat manusia di bumi selalu galau setiap harinya? Apakah sudah
sedemikian parahkah kasus orang-orang patah hati di planet ini?
Boleh jadi memang
demikian adanya. Jika kalian mampir ke toko buku, coba tengok deretan buku yang
dipajang di rak best seller.
Setidaknya selalu ada satu buku (novel) bergenre romance di sana—selain buku-buku tentang “cara cepat kaya” tentunya. Tidak mengherankan jika banyak novelis
yang mengangkat topik percintaan sebagai fokus konflik atau sekedar menjadi
bumbu penyedap agar plot cerita lebih menarik. Itu sendiri sudah menunjukkan
bahwa animo masyarakat terhadap produk-produk bertemakan cinta tidak pernah
surut. Tidak mengherankan jika para kapitalis memanfaatkan bulan Februari ini
untuk mengeruk untung besar dengan propaganda Valetine’s Day.
Jika
dikaitkan dengan urusan blog, selama ini saya jarang membahas topik cinta dan
tetek bengek urusan perasaan. Boleh jadi karena alasan itulah, trafik blog ini
tidak kunjung melesat. Jadi, jangan heran jika di postingan-postingan saya
selanjutnya kalian akan lebih sering menemui tulisan tentang percintaan. Semua
ini juga karena kalian—para pembaca—yang selalu ingin diberikan cerita-cerita
cinta.
Bagaimana tidak?
Kalian mudah hanyut setiap kali mendengar lagu-lagu cinta. Itulah kenapa dari
jaman Koes Ploes sampai Raisa lahir, lagu-lagu cinta tak pernah selesai dibuat.
Begitu juga dengan film-film picisan, kalian tentu lebih suka jika tokoh
utamanya terlibat cinta segitiga, tersangkut konflik percintaan akibat perbedaan
status, berjuang mempertahankan cinta, dan semua itu (harus) diakhiri dengan ending yang bahagia. Selera kalian menciptakan
pangsa pasar tersendiri yang mendorong para pelaku bisnis industri hiburan
berlomba mengangkat topik percintaan dan mengemasnya semenarik mungkin.
Jadi, dengan
sangat naif saya umumkan—semoga dengan diangkatnya topik-topik percintaan, blog
ini akan mulai ramai pengunjung dan populasi manusia galau akan jauh lebih
berkurang, alih-alih berkembang biak. Demikian.
0 comments:
Post a Comment